Anakmu tak betah bu tinggal di Kerisidenan Serang, situasi disini biasa
aja, warganya banyak yang pergi kesawah dan ke ladang dengan komunitas
Tionghoa yang begitu banyak terutama di daerah pasar Turi, sedangkan
teman untuk bermain saya tidak ada, gak kaya di daerah ibu ku warganya
ramah-ramah terutama warga pesisir di Daerah Karang Hantu yang sangat
ramai dengan perahu besar hingga kecil hilir mudik ke pantai yang luas,
sejak kepindahaan aku ke Serang kurang lebih jaraknya 30 KM, ya terpaksa
aku ke sini untuk istriku karena ia mersa kurang betah di daerah pusat
pemerintahn Banten, sebenaranya ibunya menyuruh aku dan istriku untuk
tinggal di Kaibon, dengan tuntutan istriku bahwa ia ingin melepas
kehidupan dari ibunya di Kaibon dan kebetulan aku punya sebidang tanah
dan usaha tembikar di daerah Pisang Mas, jarak tempat usaha dan rumah
kami yang baru tidak terlalu jauh sih, Saat itu kerisidenan masih belum
seramai saat ini.
sebenarnya hati nurai ku ingin tinggal bersama mertua ku, karena sejak
dulu cita-cita aku ingin paham ilmu pemerintah dan perang, terutama
menggunakn Keris dan Tombak, apa daya istriku begitu melas ingin pisah
rumah dengan ibunya, ya mau nolak gimana sedangkan saat itu ia lagi
hamil 2 bulan mungkin ngidam kali ya. ya dengan lapangan dada dan dengan
rasa cinta kepada istriku, ku relakan cita-citaku tak tergapai.
sejak kepindahaan kami ke Serang, kehidupan mulai tersa betah dan
sederhana dengan berbagai keanekaragaman warganya, mulai dari kaum
pedagang Tionghoa dan penduduk asli Pandeglang yang logatnya beda dengan
kami saat itu, suku sunda berasal kebanyakan dari Pandeglang terutama
daerah Cadasari dan Mandalawangi.
Berselang 7 bulan saat mau kelahiran istriku yang mungkin sudah
bulannya, saya cemas dan bimbang sedangkan gak ngerti soal kelahiran,
dukun beranak sangat lah jauh , dengan jarak hampir 5 KM aku berlari
menjemput dukun beranak agar membantu kelahiran astriku melahirkan saat
itu delman jarang sekali lewat, ya terpaksa jalan kaki, dengan rasa
cemas aku berbicara pada Dukun Branak: "Mbok cepet dikin takut sing
kalen nih istriku, udah sakit dari subuh", kata si Mbok Dukun, "ye nih
khan tugas Gusti yan kita harus bersha sebaik mungkin, in juga si Mbok
agak dicepetin nak, maklum agak lambat mboknya udah tuaa'.
Tidak berselang lama kami pun sampai di rumah, duh dengan kesakitan
menjerit2 istriku langsung ditolng oleh mbak dukun, nah tidak bersalang
lama akhirnya anak kami lahir juga, nah alhamdulilah anak kami
laki-laki, wah dengan rasa bangga anak ku laki-laki akan ku jadikan
prajut kerjaan yang perkasa untuk menggantikan cita-cita aku yang tak
kesampean nih. hahhaha, dengan rasa bersykur, alhamdulilah proses
kelahiran istriku bejkalan lancar sehat ibunya dan anknya pun sehat
muntok.
sejak kelahiran anak kami, berselang sebulan saya berbicara pada
istriku, Nur kita khan dah unya ank laki-laki yang gagah kita pulang
dulu ke ibu kamu ya, mungkin bangga ibumu kepada kita yang memberikan
cucu gagah ganteng sperti ayahnya ini, siapa tahu dia akan mengangkat
anak kita jadi pangeran di Kaibon.
Dengan rasa bagga kami pun berniat ke Ibu Mertua di Kaibon, perjalanan
kami sangat melelahkan karena kenapa jalan yang masih berpasir dengan
batu kerikil yang cukup merepotkan kereta delman yang kami tunggangi.
sebabnya Ibu mertua ingin memberikan fasilitas keraton ke Anaknya Nur
Salamh Al Tirtayasa. akan tetapi dia menolak karena menghormati aku
sebagai orang biasa agar dia ikut ke dalam kehidupanku yang biasa ini,
hingga dia maksa untuk meninggalkan Kaibon.
Tampak dari kejauhan gerbang Kaibon nampak, tapi saya heran ko ada asap
yang mengepul sebesar ya, ada apa gerangan sedangkan di keraton jarang
menyalakan api yang sangat besar. Dengan meyuruh agar kecepatan kereta
delman kami dipercepat untuk sampai tujuan. sesekali ku lihat istriku
sambil mengendong anak kami dengan sangat cemas. dan sesampainya di
pintu gerbang Keraton Kaibon ibu mertua ku kami gak percaya, Kaibon
telah dibakar oleh Belanda pada pagi hari dengan tertegun aku dan
istriku mengais, bahwa apa salah kami kepada Belanda yang sangat ramah
kepada mereka. ada beberap prajurit keprcayaan Mertua ku, aku kesana
sambil bertanya: "kenapa ini saudaraku?, Dia menyahut, "kerjaan pusat di
Titayasa kalah hingga petinggi kerajaan mangungsi dan kami bertekuk
lutu ke mereka, Mesjid, Keraton Baginda dan semuanya dibakar mereka.
Pupus sudah harapan kami untuk memperkenalkan cucu kebanggaanku
kepadanya, kini pupus harapan untuk bertemu meryua ia telah meninggal
terbakar beserta pengawalnya di Keraton, betapa bejatnya Belanda
tersebut. hati dan jiwa kami sangat terpukul. hingga kebencian ku
memuncak pada mereka sangat kesumat.
Saya dan istriku turut mengungsi sesuai nasihat Ky Rasyid ke Puncak
Pandeglang daerah yang diapit 4 gunung kebanggan Banten yaitu Daerah
Mandalawangi, untuk menghilangkan jejak kaki dari intaian Belanda karena
keturunan kerajaan sangat mereka buru hal ini terkait dengan Istriku
salah satu pewaris kuat tahta Kerjaan Banten. yang kelak tak mungkin
meneruskan keajyaan Banten di masa mendatang karena hegemoni Belanda
begitu Besar hingga ke pelosok Banten dan kami memilih menyembunyikan
identitas sebagai pewaris tahta kerajaan Banten generasi ke 3 sebagai
petani seperti warga lainnya. karena kami anggap Mandalawangi sebagai
surga khayangan kami yang baru di Banten.
Keraton Kaibon Kini
Pintu gerbang, tempat kesukaan kami bercengkrama dengan prajurit
Latar di dalam Keraton, tempat kami belajar bela diri dan taktik perang, sekaligus menggoda puri-putri raja hehehe
Latar Bagian seletan tempat bermain, yang kini tempat buat latihan Bola aduh,,
Nih Bangun Utama sebagi Aula sekaligus tempat ibadah solat berjamaah warga Keraton, yang kini beratapkan langit
SW-Lintas Babad dan Cerita