Sunday, June 5, 2016

Pendekatan Atlantis di Sundalandia ( Indonesia)

Sundalandia

Oleh Dhani Irwanto, 27 Oktober 2015
Sundalandia adalah wilayah bio-geografi Asia Tenggara yang meliputi Paparan Sunda, bagian landas kontinen Asia yang terekspos selama zaman es terakhir. Periode Glasial Terakhir, dikenal sebagai Zaman Es Terakhir, adalah periode glasial terakhir dalam rangkaian panjang Zaman Es yang terjadi selama tahun-tahun terakhir Pleistosen, dari sekitar 110.000 sampai 12.000 tahun yang lalu. Sundalandia meliputi Semenanjung Malaka di daratan Asia, serta pulau-pulau besar Kalimantan, Jawa dan Sumatera, dan pulau-pulau sekitarnya. Batas timur Sundalandia adalah Garis Wallace, diidentifikasi oleh Alfred Russel Wallace sebagai batas timur kisaran daratan fauna mamalia Asia, dan juga sebagai batas zona ekosistem Indomalaya dan Australasia. Pulau-pulau di sebelah timur garis Wallace dikenal sebagai Wallacea, dan dianggap sebagai bagian dari Australasia. Perlu dicatat bahwa saat ini secara umum telah diterima bahwa Asia Tenggara adalah merupakan titik masuk migrasi manusia modern dari Afrika.
800px-Map_of_Sundaland
Gambar 1 – Peta Sundalandia
Laut Tiongkok Selatan dan daratan di sekitarnya telah diteliti oleh para ilmuwan seperti Molengraaff dan Umbgrove, yang mendalilkan sistem drainase kuno yang sekarang terendam. Daerah ini telah dipetakan oleh Tjia pada tahun 1980 dan dijelaskan secara lebih rinci oleh Emmel dan Curray pada tahun 1982 termasuk delta sungai, dataran banjir dan rawanya. Ekologi Paparan Sunda yang terekspos telah diselidiki dengan menganalisis inti bor dasar laut. Serbuk sari yang ditemukan didalam inti telah menunjukkan ekosistem yang kompleks dan berubah dari waktu ke waktu. Penggenangan Sundalandia telah memisahkan spesies yang pernah menempati lingkungan yang sama seperti ikan surau air tawar (Polydactylus macrophthalmus, Bleeker 1858; Polynemus borneensis, Vaillant 1893) yang pernah berkembang dalam sistem sungai yang sekarang disebut "Sungai Sunda Utara" atau "Sungai Molengraaff". Ikan ini sekarang ditemukan di Sungai Kapuas di pulau Kalimantan, serta di Sungai Musi dan Batanghari di pulau Sumatera.
Periode Glasial Terakhir, atau Zaman Es Terakhir, dianggap oleh para ilmuwan sebagai peristiwa glasiasi (pencairan es) terbaru dalam serangkaian Zaman Es yang lebih panjang, yang dimulai lebih dari dua juta tahun yang lalu dan telah mengalami beberapa glasiasi. Dalam periode ini, ada beberapa perubahan diantara gletser maju dan mundur. Glasiasi terluas dalam Periode Glasial Terakhir ini adalah sekitar 22.000 tahun yang lalu. Pola umum pendinginan dan gletser maju secara global adalah mirip, namun perbedaan lokal pengembangan gletser maju dan mundur dari benua ke benua yang terinci sulit untuk dibandingkan.
Dari sudut pandang arkeologi manusia, periode tersebut masuk kedalam periode Paleolitik dan Mesolitik. Saat peristiwa glasiasi dimulai, Homo sapiens hanya terdapat di Afrika dan menggunakan peralatan yang sebanding dengan yang digunakan oleh manusia Neanderthal di Eropa, Levant dan Homo erectus di Asia. Menjelang akhir peristiwa tersebut, Homo sapiens menyebar ke Eropa, Asia, dan Australia. Gletser mundur memungkinkan kelompok orang Asia bermigrasi ke Amerika dan mempopulasikannya.
11924236_10206675964050464_8773787452159628519_n
Gambar 2 – Permukaan laut Pasca-Glasial
Stadial Dryas Muda, juga disebut Pendinginan Besar, adalah suatu kondisi geologi beriklim dingin dan kering yang singkat (1300 ± 70 tahun) dan terjadi antara sekitar 12.800 dan 11.600 tahun yang lalu. Stadial Dryas Muda diduga disebabkan oleh runtuhnya lapisan es di Amerika Utara, meskipun teori lain juga telah diusulkan. Stadial ini terjadi setelah interstadial Bølling-Allerød (periode hangat) pada akhir Pleistosen dan mendahului kelahiran Holosen Awal. Nama stadial ini diambil dari nama sebuah genus indikator, Dryas octopetala, bunga liar yang terdapat di tundra Pegunungan Alpin.
Stadial-stadial Dryas adalah periode-periode dingin yang menyelingi tren pemanasan sejak Maksimum Glasial Terakhir 21.000 tahun yang lalu. Dryas Tua terjadi sekitar 1.000 tahun sebelum Dryas Muda dan berlangsung sekitar 400 tahun. Dryas Tertua terjadi antara sekitar 18.000 dan 14.700 tahun yang lalu.
Slide2
Gambar 3 – Periode Glasial Terakhir berdasarkan pengukuran lapisan es di Greenland

Batimetri dan Topografi

Sundaland - Last Glacial Maximum_75%
Gambar 4 – Sebuah peta yang menunjukkan Sundalandia pada sekitar Zaman Es Terakhir (21.000 tahun yang lalu) yang dihasilkan oleh penulis dari grid elevasi GTOPO30 yang diterbitkan oleh USGS. Muka air lautnya adalah sekitar 120 meter dibawah sekarang. Pola aliran sungai yang dibawah muka air laut sekarang digambar menggunakan grid tersebut dan perkiraan sedimentasi laut, transportasi sedimen pesisir, pembentukan delta, peristiwa meander, perubahan rezim sungai dan gerakan sungai. Sungai daratan sekaran digabungkan. Warna-warna selain biru menunjukkan elevasi permukaan tanah. Garis merah tipis adalah garis pantai sekarang.
Data topografi dan batimetri saat ini yang meliputi Paparan Sunda dalam proyeksi geografi (lintang dan bujur) telah diekstrak dari grid elevasi GTOPO30 yang diterbitkan oleh USGS. GTOPO30 meliputi resolusi spasial lintang dan bujur horizontal 30 detik busur (sekitar 0,9 km di dekat khatulistiwa) dalam bentuk berkas format model elevasi digital (digital elevation model, DEM). Grid serupa lainnya seperti GEBCO_8 yang diterbitkan oleh IHO dan IOC/UNESCO, dan ETOPO1 yang diterbitkan oleh NOAA juga digunakan sebagai referensi. Diterapka skema warna pada DEM dimana daerah dibawah -120 m diwakili oleh warna biru sehingga garis pantai pada periode Maksimum Glasial Terakhir dapat dengan mudah diidentifikasi.
Beberapa asumsi telah diterapkan dalam prosedur analitisnya (Sathiamurthy et al, 2006). Pertama, diasumsikan bahwa topografi dan batimetri daerah tersebut mendekati fisiografi yang ada selama rentang waktu dari 21.000 tahun yang lalu sampai sekarang. Namun, karena proses sedimentasi dan erosi telah mempengaruhi batimetri Paparan Sunda selama 21.000 tahun terakhir (Schimanski dan Stattegger, 2005), maka hasilnya adalah hanya perkiraan. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa kedalaman dan geometri Paparan Sunda dan depresi-depresi yang sekarang terendam tidak mencerminkan kondisi masa lalu yang tepat.
Kedua, diasumsikan bahwa dasar laut yang sekarang adalah seperti yang ada pada periode Maksimum Glasial Terakhir dan sedikit dipengaruhi oleh erosi arus dasar laut, pelarutan kapur atau gerakan tektonik, seperti ditunjukkan oleh Umbgrove (1949), yang mungkin terjadi selama transgresi pada masa Pasca-Pleistosen awal. Dalam hal gerakan tektonik, Geyh et al (1979) menyebutkan bahwa Selat Sumatera adalah secara tektonik stabil setidaknya selama Holosen. Selanjutnya, Tjia et al (1983), menyatakan bahwa Paparan Sunda telah sebagian besar secara tektonik stabil sejak awal Tersier. Namun demikian, Tjia et al (1983) menunjukkan bahwa kenaikan permukaan laut di wilayah ini dapat dikaitkan dengan kombinasi dari kenaikan permukaan laut yang sebenarnya dan gerakan kerak vertikal. Hill (1968) mengacu pada karya sebelumnya yang dilakukan oleh Umbgrove (1949), menyarankan kemungkinan solusi kapur sebagai modus pembentukan depresi (seperti dalam kasus lubang Lumut lepas pantai Perak, Malaysia), dan memberikan alternatif penjelasan, yaitu disebabkan oleh proses tektonik.
Data sedimentasi dasar laut adalah jarang tersedia namun pendekatan proses sedimentasi telah dibuat dalam menghasilkan peta topografi dan batimetri daerah Sundalandia. Dalam kondisi yang sama, proses-proses lain seperti transportasi sedimen pesisir, pembentukan delta, proses meander, perubahan rezim sungai dan gerakan sungai juga telah didekati dan dimasukkan pada peta. Danau kuno direkonstruksi dari DEM dan riwayat geologi yang ada. Pulau-pulau yang kecil dan tidak signifikan telah dihapus.
Selain peta topografi dan batimetri, garis pantai pada permukaan laut tertentu, kemiringan permukaan tanah, daerah aliran sungai dan pola aliran sungai juga dihasilkan dan menempatkannya pada layer-layer yang berbeda.
Sundaland - Watersheds_resized
Gambar 5 – Sebuah peta yang menunjukkan DAS utama Sundalandia di sekitar periode Maksimum Glasial Terakhir (21.000 tahun BP) yang dihasilkan oleh penulis menggunakan metode yang sama seperti pada gambar sebelumnya. Nama-nama sungai diberikan berdasarkan pada nama-nama laut, selat, teluk, pulau atau sungai saat ini yang ditempati oleh DAS.

Vegetasi

Cannon et al (2009) telah melakukan penelitian terhadap distribusi vegetasi di wilayah Sundalandia pada Maksimum Glasial Terakhir menggunakan model spasial eksplisit yang digabungkan dengan bukti-bukti geografi, paleoklimatologi dan geologi. Vegetasinya dibagi menjadi 3 macam, yaitu vegetasi pesisir dan rawa, vegetasi daerah rendah dan vegetasi daerah tinggi.
Vegetasi pesisir dan rawa mengalami sejarah biogeografi yang paling dinamis diantara ketiga macam vegetasi yang diteliti. Pada puncak Maksimum Glasial Terakhir, ketika permukaan laut turun dibawah garis pantai, hutan bakau terdapat didalam daerah yang sangat sempit di sepanjang pesisir. Namun, banyak rawa pesisir yang meluas sampai ke pedalaman ditumbuhi kerapah gambut dan kerangas yang berbagi dengan hutan rawa gambut pesisir. Ketika daratan mulai tergenangi, pada 11.000 – 9.000 tahun lalu, vegetasi pesisir dan rawa mengalami ekspansi yang dramatis tetapi relatif singkat. Pada sekitar 8.000 tahun lalu, vegetasi pantai telah kira-kira pada posisi yang sama dengan saat ini, dengan luasan bakau, aluvial air tawar dan rawa gambut ditentukan oleh pola progradasi masing-masing delta sungai yang mengikuti transgresi masa Holosen. Vegetasi pesisir dan rawa juga mengalami relokasi geografi yang tiba-tiba dan menyeluruh sampai ratusan kilometer selama penggenangan yang cepat.
Luasan vegetasi daerah rendah mencapai maksimum pada Maksimum Glasial Terakhir yang disebabkan oleh adanya daratan yang luas karena penurunan permukaan laut. Luasan vegetasi daerah tinggi juga mencapai maksimum pada Maksimum Glasial Terakhir. Secara umum, distribusi vegetasi daerah tinggi sangat sensitif terhadap interaksi antara perubahan suhu dan tingkat pertumbuhan vegetasi.
0809865106SI_Page_1 (Cropped)
Gambar 6 – Peta vegetasi Sundalandia pada Maksimum Glasial Terakhir berdasarkan data historis dari Bird et al (2005) dan beberapa penyesuaian, dengan skenario koridor terbuka (kiri) dan tertutup (kanan) (Cannon et al, 2009)

Kondisi Saat ini

Sundaland - Tectonic Plates_resized 75%
Gambar 7 – Sesar aktif utama di Sundalandia pada zona konvergensi Lempeng Sunda, Eurasia, Filipina, India dan Australia. Lempeng Timor dan Laut Banda yang lebih kecil (bagian dari Lempeng Sunda), Maluku (bagian dari Lempeng Filipina) dan Andaman (bagian dari Lempeng Eurasia) juga ditampilkan. Panah besar menunjukkan gerakan mutlak lempeng. Segitiga merah adalah gunungapi.
Sundaland - Earthquake (USGS)_75%
Gambar 8 – Plot kejadian gempa besar yang pernah tercatat beserta intensitasnya dalam skala Mw. Perhatikan bahwa Sundalandia dikelilingi oleh deretan rawan gempa. (Sumber: USGS)
Sundaland - Tsunami_75%
Gambar 9 – Plot sumber tsunami yang pernah tercatat beserta akibat kenaikan airnya. Perhatikan bahwa tsunami sering terjadi di Laut Banda dan Laut Sulawesi yang dapat mempengaruhi pulau-pulau bagian dalam. (Sumber: NOAA)
Sundaland - Volcano Eruption_resized_75%
Gambar 10 – Plot letusan gunungapi yang pernah diketahui beserta intensitasnya dalam Volcanic Explosivity Index (VEI). Perhatikan letusan skala besar Tambora pada tahun 1815 dan letusan-letusan Krakatau yang sering terjadi, terbesar pada tahun 1883. (Sumber: NOAA)

Migrasi Manusia

Menurut teori sebelumnya, nenek moyang masyarakat Austronesia modern di kepulauan Melayu dan wilayah yang berdekatan diyakini telah bermigrasi ke selatan, dari daratan Asia Timur ke Taiwan, dan kemudian ke seluruh kepulauan Asia Tenggara. Namun, temuan terakhir menunjukkan bahwa Sundalandia yang sekarang terendam adalah merupakan awalmula peradabah: disebut sebagai teori "Keluar dari Sundalandia".
Stephem Oppenheimer menempatkan asal Austronesia di Sundalandia dan daerah-daerah diatasnya. Penelitian genetik yang dilaporkan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa pulau-pulau yang merupakan sisa-sisa Sundalandia kemungkinan besar dihuni sedini 50.000 tahun yang lalu, bertentangan dengan hipotesis sebelumnya (Bellwood dan Dizon, 2005) bahwa daerah tersebut dihuni paling lambat 10.000 tahun yang lalu dari Taiwan.
Sebuah studi oleh Universitas Leeds yang dipublikasikan dalam Molecular Biology and Evolution pada tahun 2008, yang meneliti garis keturunan DNA mitokondria, menunjukkan bahwa manusia telah mendiami pulau-pulau di Asia Tenggara dalam jangka waktu yang lebih lama dari yang diyakini sebelumnya. Penyebaran penduduk tampaknya telah terjadi pada saat yang sama dengan naiknya permukaan laut, yang telah mengakibatkan migrasi dari Kepulauan Filipina ke utara menuju Taiwan dalam 10.000 tahun terakhir. Migrasi penduduk yang paling mungkin adalah karena didorong oleh perubahan iklim – sebagai efek tenggelamnya sebuah benua kuno. Naiknya permukaan laut dalam tiga pulsa besar mungkin telah menyebabkan banjir dan perendaman di Sundalandia, menciptakan Laut Jawa dan Laut Tiongkok Selatan, dan ribuan pulau yang membentuk Indonesia dan Filipina kini. Berubahnya permukaan laut menyebabkan manusia tersebut untuk menjauh dari kediaman pantai dan budaya mereka, dan berpindah ke pedalaman di seluruh Asia Tenggara. Migrasi paksa ini menyebabkan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan hutan dan pegunungan baru, mengembangkan pertanian dan domestikasi, dan menjadi pendahulu manusia masa depan di wilayah ini.
Penelitian dan studi oleh HUGO Pan-Asian SNP Consortium pada tahun 2009, yang dilakukan dalam dan antara populasi yang berbeda di benua Asia, menunjukkan bahwa keturunan genetik sangat berhubungan dengan kelompok-kelompok etnis dan bahasa. Terdapat peningkatan yang jelas dalam keragaman genetik dari utara ke selatan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada satu aliran migrasi utama manusia ke Asia yang berasal dari Asia Tenggara, bukan beberapa aliran dalam dua arah selatan-utara seperti yang diusulkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa Asia Tenggara merupakan sumber geografi utama populasi Asia Timur dan Asia Utara. Populasi Asia Timur terutama berasal dari Asia Tenggara dengan kontribusi kecil dari kelompok Asia Tengah-Selatan. Penduduk pribumi Taiwan berasal dari Austronesia. Hal ini berlawanan dengan teori bahwa Taiwan merupakan "tanah air" leluhur bagi populasi di seluruh Indo-Pasifik yang berbicara bahasa Austronesia.
clip_image002
Gambar 11 – Panah-panah berwarna yang menggambarkan meningkatnya diversifikasi genetik manusia setelah bermigrasi ke timur di sepanjang yang sekarang disebut pantai India dan berpencar menjadi beberapa kelompok genetik yang berbeda yang bergerak di seluruh Asia Tenggara dan bermigrasi ke utara ke Asia Timur (Sumber: HUGO Pan-Asian SNP Consortium)
Pada tahun 2012, Stephen Oppenheimer menunjukkan, berdasarkan bukti genetik, iklim dan arkeologi, bahwa manusia modern dari Afrika menyebar melalui jalur tunggal ke Sundalandia. Semua kelompok non-Afrika saat ini adalah keturunan dari penyebaran ini, dengan pengecualian beberapa autosom (7% atau kurang) yang berasal dari campuran dengan beberapa kelompok non-Afrika kuno. Terbukti bahwa terdapat penyebaran cepat melalui pantai Samudera Hindia ke Kalimantan dan Bali di ujung Paparan Sunda. Permukaan laut yang rendah pada Zaman Es memungkinkan penyebaran berikutnya ke Paparan Sahul, yang kemudian terisolasi cukup lama karena naiknya permukaan laut sampai masa pasca-glasial dimana para pelayar dari kepulauan Asia Tenggara menemukannya.
clip_image002
Gambar 12 – Peta yang menunjukkan jalur migrasi selatan tunggal dari Afrika dan jalur migrasi pantai dari Laut Merah di sepanjang pantai Indo-Pasifik ke Australia, termasuk kecenderungan ekstensi ke Tiongkok, Jepang dan Papua. Vegetasi yang tampak adalah pada Maksimum Glasial Terakhir. (Sumber: Oppenheimer, 2013)
Pada tahun 2012, Jinam et al menentukan 86 urutan genom DNA mitokondria (mtDNA) lengkap dari empat masyarakat adat Malaysia, bersama-sama dengan analisis ulang terhadap data autosomal tunggal nukleotid polimorfisme (SNP) di Asia Tenggara untuk menguji kewajaran dan dampak model migrasi. Tiga kelompok Austronesia (Bidayuh, Selatar, dan Temuan) menunjukkan frekuensi tinggi haplogrup mtDNA, yang berasal dari daratan Asia 30,000–10,000 tahun lalu, tetapi terdapat frekuensi yang rendah penanda “Keluar dari Taiwan”. Analisis komponen utama dan analisis filogenetik menggunakan data SNP autosomal menunjukkan dikotomi antara kelompok Austronesia benua dan pulau. Mereka berpendapat bahwa baik mtDNA dan data autosomal menyarankan migrasi “Rangkaian Awal” yang berasal dari Indocina atau Tiongkok Selatan sekitar masa akhir-Pleistosen sampai awal-Holosen, yang mendahului, tetapi belum tentu mengecualikan, ekspansi Austronesia.
Karafet et al (2014), melalui sebuah studi Y-DNA, mendukung hipotesis bahwa Asia Tenggara adalah pusat diversifikasi garis keturunan haplogrup K di Oseania dan menggarisbawahi pentingnya potensi Asia Tenggara sebagai sumber variasi genetis untuk populasi Eurasia. Struktur filogenetis haplogrup K-M526 menunjukkan peristiwa percabangan yang berturut-turut (M526, P331 dan P295), yang tampaknya telah secara cepat terdiversifikasi. Kecuali P-P27, semua garis keturunannya saat ini terdapat Asia Tenggara dan Oseania. Struktur filogenetis haplogrup K-M526 dibagi menjadi empat subklade utama (K2a-d). Yang terbesar dari subklade ini, K2b, dibagi lagi menjadi dua kelompok: K2b1 dan K2b2. K2b1 menggabungkan haplogrup sebelumnya yang dikenal dengan M, S, K-P60 dan K-P79, sedangkan K2b2 terdiri dari haplogrup P dan sub haplogrupnya, Q dan R.
Menariknya, kelompok monofiletis yang dibentuk oleh haplogrup Q dan R, yang membentuk mayoritas garis keturunan patrilinial di Eropa, Asia Tengah dan Amerika, merupakan satu-satunya subklade K2b yang ternyata tidak terbatas secara geografis di Asia Tenggara dan Oseania saja. Perkiraan interval waktu peristiwa percabangan antara M9 dan P295 menunjukkan proses diversifikasi awal K-M526 yang cepat, yang kemungkinan terjadi di Asia Tenggara, yang kemudian mengekspansi ke arah barat menjadi nenek moyang haplogrup Q dan R. Menariknya lagi, bukti DNA purba menunjukkan bahwa haplogrup R1b – garis keturunan yang dominan saat ini di Eropa Barat – mencapai frekuensi yang tinggi setelah periode Neolitikum Eropa seperti yang ditunjukkan oleh Lacan et al dan Pinhasi et al.
Tatiana 1
Gambar 13 – Filogeni haplogrup K (Karafet et al, 2014)
Karafet
Gambar 14 – Penyebaran keturunan haplogrup K2 (Karafet et al, 2014)
Brandão et al dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh Human Genetics pada tahun 2016 menyatakan bahwa penyebaran keramik Neolitik dan bahasa Melayu-Polinesia di kepulauan Asia Tenggara yang menunjukkan penyebaran pertanian keluar dari Taiwan 4.000 tahun yang lalu adalah masih menjadi perdebatan. Mereka kemudian melakukan studi menggunakan analisis DNA mitokondria (mtDNA) untuk mengidentifikasi kelompok garis keturunan utama yang paling mungkin telah tersebar dari Taiwan ke kepulauan Asia Tenggara, dan menyimpulkan bahwa penyebaran tersebut memiliki dampak yang relatif kecil pada struktur genetik yang masih ada di kepulauan Asia Tenggara, dan bahwa peran pertanian dalam perluasan bahasa Austronesia adalah kecil. Apabila dibandingkan antara penyebaran “Keluar dari Taiwan” pada pertengahan Holosen dengan penyebaran pasca-glasial dari kepulauan Asia Tenggara pada awal Holosen, hanya sekitar 20% garis keturunan mtDNA di kepulauan Asia Tenggara saja yang merupakan hasil penyebaran “Keluar dari Taiwan” dan selebihnya adalah hasil penyebaran pasca-glasial dari kepulauan Asia Tenggara, terutama karena naiknya permukaan laut pada Maksimum Glasial Terakhir. Migrasi dari Asia daratan ke Taiwan terjadi sekitar 6.000 – 7.000 tahun yang lalu dan tetap menjadi penduduk asli yang berbeda sampai dengan penyebarannya ke kepulauan Asia Tenggara.
Analisis rinci yang menggabungkan data DNA mitokondria (mtDNA), kromosom-Y dan genome dalam studi yang dilakukan oleh Soares et al dari University of Minho di Portugal dan diterbitkan dalam jurnal Human Genetics pada 2016, menunjukkan rangkaian peristiwa yang jauh lebih rumit. mtDNA dan kromosom-Y yang ditemukan di Kepulauan Pasifik telah ada di kepulauan Asia Tenggara jauh lebih awal dari 4.000 SM, yang menimbulkan keraguan yang serius terhadap teori “Keluar dari Taiwan”. Soares et al berpendapat bahwa lanskap dan permukaan laut yang berubah sekitar 11.500 tahun lalu menyebabkan ekspansi yang signifikan dari Indonesia 8.000 tahun lalu. Ekspansi ini, yang merupakan penemuan tim, menunjukkan bahwa populasi di seluruh Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik berbagi mtDNA dan kromosom-Y yang sama. Hasil studi tim tersebut juga menunjukkan adanya gelombang minor migrasi yang mungkin mengarah pada penyebaran bahasa Austronesia.
Edwina Palmer (2007) telah melakukan studi bahwa penggenangan Sundalandia pasca-glacial telah mendorong sebagian penduduknya untuk bermigrasi pada sekitar 10.000 – 11.000 tahun yang lalu, mengikuti sabuk hutan lucidophyllous yang meluas dan akhirnya menetap di Jepang sekarang pada periode Jomon. Orang-orang ini mungkin penutur bahasa Austronesia. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa migrasi penutur bahasa Austronesia “Keluar dari Taiwan” bisa terjadi kemudian sebagai migrasi balik pada periode Holosen akhir, dan bahwa skenario migrasi “Keluar dari Sundalandia” ke Jepang pada periode Jomon belum tentu sepenuhnya kompatibel dengan teori “Keluar dari Taiwan” tersebut.
Migrasi dari Asia Tenggara ke Madagaskar telah dibuktikan dengan studi hubungan linguistik antara bahasa Madagaskar dengan bahasa Barito Kalimantan dan telah dikonfirmasi dengan penelitian genetik. Analisis genetik serupa juga telah diterapkan pada tanaman, dan dengan mempelajari terminologi nama-nama yang digunakan juga telah menunjukkan migrasi tersebut (Claude Allibert, 2011). Migrasi orang-orang Asia Tenggara ke Madagaskar berasal dari bagian selatan Sulawesi (Bugis) dan Kalimantan (Maanyan). Kemiripan karakteristik antropologi budaya dan agama, seperti keyakinan tentang kembaran anak dan hewan, dan juga praktek penguburan ganda (terdapat di Filipina), menguatkan indikator kaitan genetik dan linguistik mereka.

Peradaban Sungai

Sungai menyediakan aliran dan pasokan air yang terus menerus atau yang selalu dapat diandalkan untuk transportasi, pertanian dan bahan makanan bagi manusia. Sungai-sungai tersebut bersama dengan iklim, vegetasi, geografi dan topografi menjadikan awal berkembangannya peradaban sungai. Selain itu, sementara masyarakat dari peradaban tersebut bergantung pada sungai, sungai juga menjadi tempat awalmulanya inovasi baru dan perkembangan teknologi, ekonomi, kelembagaan dan organisasi. Budaya sungai adalah tempat lahirnya peradaban maritim.
Sungai-sungai besar dengan lahan yang subur terdapat di Sundalandia pada Zaman Es. Besar kemungkinan bahwa peradaban di Sundalandia berawal di sungai-sungai tersebut. Karena laut juga tidak dapat terpisahkan dari kehidupan mereka, maka tumbuhnya peradaban hingga menjadi besar adalah di sekitar muara sungai. Kenaikan permukaan laut dan bencana banjir atau tsunami yang berulang-ulang menyebabkan mereka untuk berpindah ke tempat yang lebih tinggi, di pegunungan. Sarana transportasi yang ada pada waktu itu hanyalah sungai, sehingga mereka berpindah ke daerah-daerah hulu sungai. Peradaban kuno dan yang masih berlanjut sampai sekarang telah diamati dan mereka berada di daerah-daerah hulu sungai besar.
Sundaland - Riverine Civilizations (2)
Gambar 15 – Peradaban sungai di Sundalandia

Teori Atlantis di Sundalandia

Beberapa penulis telah secara khusus menyatakan hubungan yang jelas antara Sundalandia dan Atlantis-nya Plato. Dataran bawah laut Sunda adalah cukup cocok dengan deskripsi Plato tentang Atlantis. Topografi, iklim, flora dan faunanya bersama-sama dengan aspek mitologi lokal, semuanya menjadi hal yang meyakinkan untuk mendukung ide ini.
CW Leadbeater (1854-1934), seorang teosopis ternama, adalah mungkin yang pertama menunjukkan adanya hubungan antara Atlantis dan Indonesia dalam bukunya, The Occult History of Java. Peneliti-peneliti lain telah menulis tentang prasejarah daerah tersebut, diantaranya yang paling dikenal adalah mungkin Stephen Oppenheimer yang dengan tegas menempatkan Taman Eden di wilayah ini, meskipun ia hanya menyebut sedikit referensi mengenai Atlantis. Robert Schoch, bekerjasama dengan Robert Aquinas McNally, menulis sebuah buku dimana mereka menunjukkan bahwa bangunan piramida mungkin memiliki asal-usul dari sebuah peradaban yang berkembang di bagian-bagian Sundalandia yang kini terendam.
Buku pertama yang secara khusus mengidentifikasi Sundalandia dengan Atlantis ditulis oleh Zia Abbas. Namun, sebelumnya telah ada setidaknya dua publikasi internet yang membahas secara rinci perihal Atlantis di Asia Tenggara. William Lauritzen dan almarhum Profesor Arysio Nunes dos Santos keduanya mengembangkan situs internet secara luas. Lauritzen juga telah menulis sebuah e-book yang tersedia dalam situsnya, sementara Santos mengembangkan pandangannya tentang Atlantis di Asia melalui bukunya, Atlantis: The lost continent finally found. Dr Sunil Prasannan membuat sebuah esai yang menarik didalam website Graham Hancock. Sebuah situs yang lebih esoteris juga menyampaikan dukungan mengenai teori Sundalandia.
Dukungan lebih lanjut tentang Atlantis di Indonesia terjadi pada April 2015 dengan penerbitan buku, Atlantis: The lost city is in Java Sea oleh seorang pakar hidrologi, Dhani Irwanto, yang berupaya untuk mengidentifikasi fitur kota yang hilang dalam rincian narasi Plato dengan suatu lokasi di Laut Jawa lepas pantai pulau Kalimantan.

Referensi

Stephen Oppenheimer, Out-of-Africa, the peopling of continents and islands: tracing uniparental gene trees across the map, Philosophical Transactions of The Royal Society B (2012) 367, 770–784
Andreia Brandão, Ken Khong Eng, Teresa Rito, Bruno Cavadas, David Bulbeck, Francesca Gandini, Maria Pala, Maru Mormina, Bob Hudson, Quantifying the legacy of the Chinese Neolithic on the maternal genetic heritage of Taiwan and Island Southeast Asia, Human Genetics, April 2016, Volume 135, Issue 4, pp 363-376
Tatiana M Karafet, Fernando L Mendez, Herawati Sudoyo, J Stephen Lansing and Michael F Hammer, Improved phylogenetic resolution and rapid diversification of Y-chromosome haplogroup K-M526 in Southeast Asia, European Journal of Human Genetics (2015) 23, 369–373
Pedro A Soares et al, Resolving the ancestry of Austronesian-speaking populations, Human Genetics Volume 135, Issue 3, pp 309-326, March 2016
Timothy A. Jinam, Lih-Chun Hong, Maude E Phipps, Mark Stoneking, Mahmood Ameen, Juli Edo, HUGO Pan-Asian SNP Consortium and Naruya Saitou, Evolutionary History of Continental Southeast Asians: “Early Train” Hypothesis Based on Genetic Analysis of Mitochondrial and Autosomal DNA Data, Society for Molecular Biology and Evolution 29(11):3513–3527,  June 2012
Dhani Irwanto, Atlantis: The lost city is in Java Sea, Indonesia Hydro Media, 2015
***
Hak cipta © 2015, Dhani Irwanto