Monday, December 1, 2014

Representasi Sosial (Common Sense)

 



Istilah representasi sosial mengacu pada produk dan proses yang menandai pemikiran pada masyarakat awam (diambil dari kata common sense dan untuk selanjutnya akan disebut sebagai pikiran awam), suatu bentuk pemikiran praktis, secara sosial dielaborasi, ditandai oleh suatu gaya dan logika khas, dan dianut oleh para anggota sebuah kelompok sosial atau budaya. Sejak paruh kedua abad XX opini umum menempati posisi penting di antara obyek-obyek ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang diakibatkan oleh sejumlah aliran pemikiran yang searah dalam bidang antropologi, sejarah, psikologi, psikoanalisis, sosiologi, dan baru-baru ini, dalam ilmu-ilmu kognitif, filsafat bahasa dan nalar.

Kajian representasi sosial dalam psikologi sosial diajukan oleh Mocsovici untuk melihat pikiran awam dalam pengalaman keseharian. Dalam « Psikoanalisa, Citra dan Publiknya » (Psychanalise, son image et son public), sebuah karya yang berpusat pada pengetahuan sosial dan studi tentang keterkaitan antara ilmu danpikiran awam, Moscovici mengambil konsep Durheim «yang terlupakan » tentang representasi kolektif, yang lebih sering disebut representasi sosial, untuk menjelaskan berfungsinya pikiran awam dalam masyarakat kontemporer yang berbeda dengan masyarakat tradisional oleh karena ide-ide yang lebih bersifat pluralisme, peka terhadap perubahan, pergerakan sosial, otonomisasi aktor-aktor sosial dalam hubungannya dengan kendala sosial, penetrasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehar-hari, dan pentingnya komunikasi.

Dari representasi ke representasi sosial.
Representasi adalah sebuah fenomena yang, dalam bentuk-bentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar, suara, dll), memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan obyek itu sendiri, dan dimana obyek itu bisa berasal dari dunia materi, peristiwa, manusia, sosial, ide, dan imajiner.Penyebutan representasi dalam ilmu-ilmu humaniora saat ini memiliki status yang lintas-ilmu dengan berbagai pemakaian.

Tradisi filsafat dan psikologi membedakan antara representasi sebagai aktivitas berpikir dan representasi sebagai produk/hasil dari aktivitas berpikir tersebut. Ilmu-ilmu sosial memperlakukan hasil yang terbentuk, « produk mental sosial » (Durkheim), yang dianalisis dalam bentuk-bentuknya (sistem kepercayaan, ideologi, teori tentang dunia, masyarakat, dan manusia, dll.) dan fungsi-fungsinya dalam kehidupan sosial ; antropologi memberi tekanan pada fungsi konstitutif hubungan-hubungan sosial, sebagai dasar karakterisasi tingkatan-tingkatan sosial (Augé, Godelier) ; sosiologi melihat factor transformasi sosial, sumber dari sikap politik dan keagamaan (Bordieu, Maître, Michelat & Simon); sejarah mengambilnya sebagai obyek penelitian yang paling utama dalam pendekatan mentalitas dan sensibilitas (Chartier, Corbin), menjamin terutama mediasi antara organisasi material dan sistem-sistem ideologi (Duby), atau antara praktik, pembentukan hubungan sosial dan simbolisasi identitas (Lepetit). Ilmu-ilmu kognitif berkaitan dengan proses aktivitas kognitif yang, melalui perlakuan terhadap informasi (terutama perseptif), memberi ruang bagi representasi mental antarindividu. Ciri « sosial » hanya muncul pada aktivitas kognitif yang diterapkan pada obyek yang benar-benar bersifat sosial (individu, kelompok, relasi sosial). Pendekatan psikososiologis pada representasi social mengintegrasikan dua sudut pandang tersebut, karena menjelaskan baik proses maupun isi pengetahuan dengan menghubungkannya dengan kondisi dan konteks sosial yang menghasilkan representasi dan tempat dikomunikasikannya representasi, serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam hubungan dengan lingkungan materi, manusia, dan simbolis. Representasi sosial mereproduksi obyeknya dengan mentransformasikannya dengan tanpa mengabaikan faktor-faktor psikologis (yang berkaitan dengan fungsi kognitif atau psikis) dan faktor-faktor sosial (terkait dengan komunikasi, intersubyektivitas, keanggotaan dalam kelompok, letak dalam ranah sosial dan sistem hubungan sosial). Dalam perspektif ini elemen-elemen afektif dan emosial yang mengartikulasikan kandungan ide sama-sama diperhitungkan, termasuk psikoanalisis, dengan menempatkan kembali representasi di dalam proses psikis dan intersubyektivitas (Green).
Teori representasi sosial.
Teori yang dikembangkan oleh Moscovici ini memiliki beberapa tujuan, yakni mempelajari hubungan yang terjadi antara pikiran awal atau pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan keilmuan ; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial ; pembiasaan akan hal-hal baru dan pemahaman kebaruan tersebut berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika sosial.
Paradigma utama merujuk pada dua proses besar pembentukan representasi sosial : obyektivasi (objectification) yang menjelaskan intervensi kelompok-kelompok social (norma, nilai, kode, dll, yang ikut campur sebagai meta-sistem yang mengatur proses kognitif) serta kendala-kendala komunikasi dalam penyeleksian dan pengaturan unsur-unsur representasi di satu pihak, dan pengakaran (anchoring) yang menjelaskan pengintegrasian informasi-informasi baru ke dalam sistem pengetahuan dan pemaknaan yang sudah ada, di lain pihak. Proses itu menjelaskan juga cara elemen-elemen tersebut diperkenalkan kembali,sebagai instrumen operasional, dalam interpretasi terhadap situasi dunia dan dalam interaksi dengan orang lain.
Paradigma ini juga menyediakan instrumen konseptual untuk analisis representasi social seperti hasil yang terbentuk, maksudnya pengaturan isi (yang merupakan ide, imajinasi, dan simbol), dikenali dalam berbagai pendukung (produksi diskursus atau ikon, peralatan materi, dan praktik secara individual atau kolektif) dan/atau yang beredar dalam masyarakat, melalui berbagai saluran komunikasi (percakapan, media, dan institusi).
Di dalamnya ada tiga dimensi (informasi, sikap, dan ranah representasi, yang mencakup gambaran, ekspresi nilai-nilai, kepercayaan, dan opini, dll). Dalam hal pembentukan isi yang berhubungan dengan komunikasi sosial yang langsung, 3 faktor (penyebaran dan kesenjangan informasi yang bisa berupa penundaan atau ketidakberfokusan, tekanan dalam inferensi seperti berkesimpulan sendiri bagi penutur, serta kepentingan penutur dan implikasinya pada komunikasi) akan mempengaruhi aspek-aspek kognitif dalam representasi dan membedakan pemikiran awam dalam pola penalarannya, logikanya, dan gayanya. Dalam hal komunikasi media terjadi efek-efek yang disebabkan oleh upaya untuk menarik perhatian publik, akan secara berbeda-beda mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku: dan propaganda yang bersifat stereotip. Perkembangan terakhir teori Moscovici, menekankan pembedaan antara tipe-tipe pemikiran (magis, ilmiah, ideologis); peran thêmata, struktur-struktur biner yang mapan, yang mendukung pembentukan representasi-representasi baru; dasar subyektif dari representasi sosial dan cara menarik pengikut yang menjadi obyeknya pada saat representasi sosial telah berakar di dalam sejarah kebudayaan dalam bentuk kepercayaan.
Model-model sosio-psikologi representasi sosial.
Dengan dasar itu, berbagai model interpretasi berkembang berdasarkan perspektifnya (genetis, strukturalis, atau dinamis), yang diadopsi dan disesuaikan dengan metodologi pendekatan, kualitatif dan kuantitatif, spesifik (Abric, Doise, Flament, Guimelli, Jodelet, Markova, Rouquette).
Perspektif genetis memberi tekanan pada kondisi kemunculan dan transformasi representasi sosial, dengan menyesuaikan isi dan organisasinya sebagai ranah yang terstruktur, pada kondisi social produksinya dan pada modalitas komunikasi sosial.
Perspektif struktural berkaitan dengan deskripsi isi dalam bentuk situasi-situasi yang tercipta dari unsur-unsur utama dan pelengkap. Unsur-unsur utama berperan sebagai pembangkit pemaknaan keseluruhan representasi dan mengisi fungsi penyatu dan stabilisator unsur-unsur pelengkap. Perspektif ini juga mengkaji aspek logis dari organisasi tersebut.
Persepektif dinamis meletakkan bingkai referensi umum dalam sebuah sistem komunikasi dan hubungan simbolis tertentu, dan menjelaskan eksistensi keanekaan dalam pengambilan posisi individual oleh intervensi representasi sosial, berdasarkan prinsip-prinsip pengatur.
Aspek lain dalam dinamika representasi sosial dikaitkan dengan karakter dialogis yang berhubungan dengan komunikasi sosial.
Kritik dan pengembangan.
Meski mempunyai posisi sentral dalam ilmu humaniora, representasi dan representasi sosial mendapat kritik dalam soal realisme yang diajukannya, dan utamanya dalam memperdebatkan model-model mental serta prerogatif yang diberikan pada diskursus. Kritik ini hanya menyentuh sedikit perspektif kajian representasi sosial yang melekatkan peran penting pada bahasa dan komunikasi dalam pembentukan representasi, dengan dasar konstruksi sosial yang bertumpu pada realitas. Representasi sosial tidak mempengaruhi produksi ranah penelitian ini, yang ditandai oleh keterlibatan internasional dan jumlah terbitan (lebih dari 3.000 dalam berbagai bahasa) yang berkaitan dengannya.
*Diterjemahkan dari « Le Dictionnaire des Sciences Humaines », Paris, PUF, 2006,
« Representation Sociales » oleh Denise Jodelet
 

Representasi Pemberitaan Perempuan dalam Media Massa
Bukan sebuah rahasia lagi, jika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan, berita tersebut menjadi bulan-bulanan media. Media kita masih menjadi media yang sangat menyukai bentuk-bentuk berita yang mengorek-ngorek pribadi individu. Kasus-kasus pribadi menjadi sangat penting dalam headline media, bahkan kasus-kasus tersebut seringkali dijadikan alasan politis untuk kepentingan tertentu. Perempuan korban kekerasan seringkali menjadi objek kekerasan kedua kalinya dalam media untuk melanggengkan bukan hanya kepentingan politis tertentu, namun juga kepentingan media terhadap sebuah pemberitaan.
Walaupun seringkali media mencoba menghormati perempuan korban kekerasan terhadap perempuan, misalnya dengan menyembunyikan identitas korban dan menyampaikan deskripsi kronologis kasus dengan singkat, namun cukup banyak media lain justru melakukan kekerasan dengan pengobjekan perempuan korban kekerasan.  Media seringkali bersikap tidak adil kepada korban, bahkan yang lebih naifnya lagi, media bersimpati kepada pelaku. Media mengobjekkan korban sebagai perempuan yang juga awalnya merupakan pelaku terjadinya tindak kekerasan. Seperti yang diungkapkan oleh Piliang dalam Sorbur,
“Kekerasan terhadap perempuan—dengan mengacu pada pengertiannya yang paling luas—pada kenyataannya tidak hanya berlangsung pada tingkat ‘realitas’ (berupa pemukulan, perkosaan atau pelecehan) akan tetapi juga pada tingkat ‘representasi’ dari realitas tersebut di dalam berbagai media representasi.”

Artinya, bagaimana bentuk dan cara sebuah ‘realitas kekerasan’ direpresentasikan di dalam berbagai media representasi telah merupakan sebuah bentuk ‘kekerasan’ itu sendiri. Sehingga sikap tidak empatis pada korban, dan bias gender yang berpihak pada pelaku pada berita merupakan sebuah representasi dari kekerasan terhadap perempuan itu sendiri dalam media. Apalagi jika perempuan korban kekerasan diberi stigma sebagai “bukan perempuan baik-baik”. Sehingga secara tidak sadar, memaksa masyarakat memberikan arti bahwa kekerasan terhadap perempuan diawali oleh perempuan itu sendiri sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Sungguh suatu pemaksaan yang tidak adil, yang melanggengkan budaya patriarki itu sendiri dalam masyarakat. 

Contoh yang sangat konkret adalah terlihat dari pemilahan bahasa yang digunakan media untuk menggambarkan suatu kejadian perkosaaan. Dengan menggunakan ”bahasa banci” yang memaksa masyarakat meraba-raba dan menebak-nebak makna yang terkandung. Misalnya saja contoh judul berita perkosaan di media cetak ”Remaja ABG Digarap Sepulang Sekolah” atau ”Digauli ayah Tiri selama 1 Tahun”. Kedua contoh judul diatas merupakan sebuah bentuk representasi kekerasan terhadap perempuan dalam media massa. Bagaimana tidak, perempuan diposisikan sebagai kaum yang lemah yang hanya ingin diposisikan sebagai ”korban” yang tak berdaya. Penulisan judul saja sudah membuat asumsi dalam benak masyarakat bahwa perempuan merupakan mahluk yang bisa diperlakukan semena-mena. 
Ini belum lagi termasuk kedalam isi yang juga sarat akan kekerasan terhadap perempuan pada tingkat representasi. Seringkali deskripsi korban dijadikan senjata secara sengaja untuk menggambarkan bahwa perempuan juga merupakan pelaku. Contohnya saja, ”Gadis (Bunga bukan nama sebenarnya, 16 tahun), bertubuh sintal dan kulit putih digarap pada saat pulang sekolah disebuah gubuk”. Secara naluriah, jika kita membaca tulisan ini, maka kita akan berasumsi bahwa perempuan tersebut memancing laki-laki untuk melakukan tindakan kekerasan. Bukankah itu suatu bentuk kekerasan secara psikologi yang kedua kalinya didapatkan oleh perempuan? Starting pointnya yang perlu digaris bawahi adalah ”Perempuan mana yang ingin terjadi kekerasan dalam hidupnya?”

Media sebagai Agen Konstruksi Realitas
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil dari konstruksi realitas yang dipilih para pekerja media untuk ditampilkan kepada khalayak. Konstruksi realitas pada media merupakan hasil peristiwa-peristiwa tertentu yang dipilih berdasarkan kepentingan-kepentingan. Menurut Bauer dan Bauer dalam Barker (2000:278), menyatakan bahwa media yang berkembang dengan baik mengemban pengaruh yang cukup untuk membentuk opini dan keyakinan, mengubah kebiasaan hidup. Secara aktif media juga membentuk perilaku yang kurang lebih sesuai dengan keinginan orang-orang yang dapat mengendalikan media dan isinya. Semua teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2001:13).
Media massa menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Hamad, 2004:11-12). Namun, ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah realitas, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya, yang tidak dapat kita tangkap. Yang dapat ditangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Straaten dalam Sorbur, 2006:930).
Dalam konteks media-khususnya pemberitaan mengenai perempuan di dalamnya-representasi perempuan didasarkan atas sebuah ideologi besar. Menurut Piliang, ada banyak prinsip bagaimana ideologi beroperasi dalam produksi makna-termasuk makna dalam media. Di antara prinsip tersebut adalah apa yang disebut sebagai prinsip ‘oposisi biner’ (binary opposition), yaitu semacam prinsip polarisasi segala sesuatu (tanda, kode, makna, stereotip, identitas) yang di dalamnya terjadi proses generasilasi dan reduksionisme, sedemikian rupa sehingga segala sesuatu dikategorikan ke dalam dua kelompok yang ekstrim, saling bertentangan dan kontradiktif.
Dalam media mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan konsep-konsep oposisi biner tersebut, terpolarisasi dari ideologi patriarki secara garis besar. Ideologi patriaki membagi prinsip oposisi biner dalam konsep maskulinitas dan feminitas yang terkonstruksi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan diposisikan secara budaya sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya. Sedangkan laki-laki diposisikan sebagai mahluk yang kuat dan mendominasi. Bahkan perumpamaan ini hanya sedikit sekali ungkapan mengenai konsep maskulinitas dan feminitas. Pembagian prinsip-prinsip dasar sifat ini terkonstruksi dalam masyrakat kita yang patriarki, sehingga adanya penerimaan secara mutlak yang tidak adil dalam masyarakat. Penegasan ini didukung oleh media yang dianggap sebagai agen informasi.
Lebih lanjut menurut Piliang, di dalam media-termasuk media pers-ideologi beroperasi pada tingkat bahasa, baik ‘bahasa tulisan’ maupun ‘bahasa visual’. Ideologi pada tingkat bahasa atau linguistik melibatkan yang pertama, pilihan (choices) kata-kata, kosa-kata, sintaks, gramar, cara pengungkapan, pada tingkat paradigmatik (perbendaharaan bahasa), dan yang kedua, tingkat seleksi (selection) yaitu penentuan kata atau bahasa berdasarkan pada berbagai pertimbangan ideologis.
Jika begitu, dominannya ideologi patriarki mempengaruhi kehidupan masyarakat menjadikan polarisasi maskulin dan feminin menjadi suatu bentuk yang konkret dan kodrat, bukan hanya ideologi saja. Kodrat baru yang diterima oleh masyarakat dijadikan sebagai tolak ukur dalam penerimaan apa yang disampaikan oleh media. Bahwa maskulin dan feminin merupakan kodrat bukan hasil konstruksi sosial. Dan itu direduksi secara massal oleh masyarakat. Sungguh naif, jika kita tak mampu menjabarkan yang mana kodrat dan yang mana konstruksi realitas, padahal kita hidup di era yang penuh dengan informasi.  

http://anggerwijirahayu.blogspot.com/2010/02/representasi-pemberitaan-perempuan.html

No comments:
Write komentar

E-learning