Kajian representasi sosial dalam psikologi sosial diajukan oleh Mocsovici untuk melihat pikiran awam dalam pengalaman keseharian. Dalam « Psikoanalisa, Citra dan Publiknya » (Psychanalise, son image et son public), sebuah karya yang berpusat pada pengetahuan sosial dan studi tentang keterkaitan antara ilmu danpikiran awam, Moscovici mengambil konsep Durheim «yang terlupakan » tentang representasi kolektif, yang lebih sering disebut representasi sosial, untuk menjelaskan berfungsinya pikiran awam dalam masyarakat kontemporer yang berbeda dengan masyarakat tradisional oleh karena ide-ide yang lebih bersifat pluralisme, peka terhadap perubahan, pergerakan sosial, otonomisasi aktor-aktor sosial dalam hubungannya dengan kendala sosial, penetrasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehar-hari, dan pentingnya komunikasi.
Dari representasi ke representasi sosial.
Representasi adalah sebuah fenomena yang, dalam bentuk-bentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar, suara, dll), memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan obyek itu sendiri, dan dimana obyek itu bisa berasal dari dunia materi, peristiwa, manusia, sosial, ide, dan imajiner.Penyebutan representasi dalam ilmu-ilmu humaniora saat ini memiliki status yang lintas-ilmu dengan berbagai pemakaian.
Tradisi filsafat dan psikologi membedakan antara representasi sebagai aktivitas berpikir dan representasi sebagai produk/hasil dari aktivitas berpikir tersebut. Ilmu-ilmu sosial memperlakukan hasil yang terbentuk, « produk mental sosial » (Durkheim), yang dianalisis dalam bentuk-bentuknya (sistem kepercayaan, ideologi, teori tentang dunia, masyarakat, dan manusia, dll.) dan fungsi-fungsinya dalam kehidupan sosial ; antropologi memberi tekanan pada fungsi konstitutif hubungan-hubungan sosial, sebagai dasar karakterisasi tingkatan-tingkatan sosial (Augé, Godelier) ; sosiologi melihat factor transformasi sosial, sumber dari sikap politik dan keagamaan (Bordieu, Maître, Michelat & Simon); sejarah mengambilnya sebagai obyek penelitian yang paling utama dalam pendekatan mentalitas dan sensibilitas (Chartier, Corbin), menjamin terutama mediasi antara organisasi material dan sistem-sistem ideologi (Duby), atau antara praktik, pembentukan hubungan sosial dan simbolisasi identitas (Lepetit). Ilmu-ilmu kognitif berkaitan dengan proses aktivitas kognitif yang, melalui perlakuan terhadap informasi (terutama perseptif), memberi ruang bagi representasi mental antarindividu. Ciri « sosial » hanya muncul pada aktivitas kognitif yang diterapkan pada obyek yang benar-benar bersifat sosial (individu, kelompok, relasi sosial). Pendekatan psikososiologis pada representasi social mengintegrasikan dua sudut pandang tersebut, karena menjelaskan baik proses maupun isi pengetahuan dengan menghubungkannya dengan kondisi dan konteks sosial yang menghasilkan representasi dan tempat dikomunikasikannya representasi, serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam hubungan dengan lingkungan materi, manusia, dan simbolis. Representasi sosial mereproduksi obyeknya dengan mentransformasikannya dengan tanpa mengabaikan faktor-faktor psikologis (yang berkaitan dengan fungsi kognitif atau psikis) dan faktor-faktor sosial (terkait dengan komunikasi, intersubyektivitas, keanggotaan dalam kelompok, letak dalam ranah sosial dan sistem hubungan sosial). Dalam perspektif ini elemen-elemen afektif dan emosial yang mengartikulasikan kandungan ide sama-sama diperhitungkan, termasuk psikoanalisis, dengan menempatkan kembali representasi di dalam proses psikis dan intersubyektivitas (Green).
Teori representasi sosial.
Teori yang dikembangkan oleh Moscovici ini memiliki beberapa tujuan, yakni mempelajari hubungan yang terjadi antara pikiran awal atau pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan keilmuan ; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial ; pembiasaan akan hal-hal baru dan pemahaman kebaruan tersebut berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika sosial.
Paradigma utama merujuk pada dua proses besar pembentukan representasi sosial : obyektivasi (objectification) yang menjelaskan intervensi kelompok-kelompok social (norma, nilai, kode, dll, yang ikut campur sebagai meta-sistem yang mengatur proses kognitif) serta kendala-kendala komunikasi dalam penyeleksian dan pengaturan unsur-unsur representasi di satu pihak, dan pengakaran (anchoring) yang menjelaskan pengintegrasian informasi-informasi baru ke dalam sistem pengetahuan dan pemaknaan yang sudah ada, di lain pihak. Proses itu menjelaskan juga cara elemen-elemen tersebut diperkenalkan kembali,sebagai instrumen operasional, dalam interpretasi terhadap situasi dunia dan dalam interaksi dengan orang lain.
Paradigma ini juga menyediakan instrumen konseptual untuk analisis representasi social seperti hasil yang terbentuk, maksudnya pengaturan isi (yang merupakan ide, imajinasi, dan simbol), dikenali dalam berbagai pendukung (produksi diskursus atau ikon, peralatan materi, dan praktik secara individual atau kolektif) dan/atau yang beredar dalam masyarakat, melalui berbagai saluran komunikasi (percakapan, media, dan institusi).
Di dalamnya ada tiga dimensi (informasi, sikap, dan ranah representasi, yang mencakup gambaran, ekspresi nilai-nilai, kepercayaan, dan opini, dll). Dalam hal pembentukan isi yang berhubungan dengan komunikasi sosial yang langsung, 3 faktor (penyebaran dan kesenjangan informasi yang bisa berupa penundaan atau ketidakberfokusan, tekanan dalam inferensi seperti berkesimpulan sendiri bagi penutur, serta kepentingan penutur dan implikasinya pada komunikasi) akan mempengaruhi aspek-aspek kognitif dalam representasi dan membedakan pemikiran awam dalam pola penalarannya, logikanya, dan gayanya. Dalam hal komunikasi media terjadi efek-efek yang disebabkan oleh upaya untuk menarik perhatian publik, akan secara berbeda-beda mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku: dan propaganda yang bersifat stereotip. Perkembangan terakhir teori Moscovici, menekankan pembedaan antara tipe-tipe pemikiran (magis, ilmiah, ideologis); peran thêmata, struktur-struktur biner yang mapan, yang mendukung pembentukan representasi-representasi baru; dasar subyektif dari representasi sosial dan cara menarik pengikut yang menjadi obyeknya pada saat representasi sosial telah berakar di dalam sejarah kebudayaan dalam bentuk kepercayaan.
Model-model sosio-psikologi representasi sosial.
Dengan dasar itu, berbagai model interpretasi berkembang berdasarkan perspektifnya (genetis, strukturalis, atau dinamis), yang diadopsi dan disesuaikan dengan metodologi pendekatan, kualitatif dan kuantitatif, spesifik (Abric, Doise, Flament, Guimelli, Jodelet, Markova, Rouquette).
Perspektif genetis memberi tekanan pada kondisi kemunculan dan transformasi representasi sosial, dengan menyesuaikan isi dan organisasinya sebagai ranah yang terstruktur, pada kondisi social produksinya dan pada modalitas komunikasi sosial.
Perspektif struktural berkaitan dengan deskripsi isi dalam bentuk situasi-situasi yang tercipta dari unsur-unsur utama dan pelengkap. Unsur-unsur utama berperan sebagai pembangkit pemaknaan keseluruhan representasi dan mengisi fungsi penyatu dan stabilisator unsur-unsur pelengkap. Perspektif ini juga mengkaji aspek logis dari organisasi tersebut.
Persepektif dinamis meletakkan bingkai referensi umum dalam sebuah sistem komunikasi dan hubungan simbolis tertentu, dan menjelaskan eksistensi keanekaan dalam pengambilan posisi individual oleh intervensi representasi sosial, berdasarkan prinsip-prinsip pengatur.
Aspek lain dalam dinamika representasi sosial dikaitkan dengan karakter dialogis yang berhubungan dengan komunikasi sosial.
Kritik dan pengembangan.
Meski mempunyai posisi sentral dalam ilmu humaniora, representasi dan representasi sosial mendapat kritik dalam soal realisme yang diajukannya, dan utamanya dalam memperdebatkan model-model mental serta prerogatif yang diberikan pada diskursus. Kritik ini hanya menyentuh sedikit perspektif kajian representasi sosial yang melekatkan peran penting pada bahasa dan komunikasi dalam pembentukan representasi, dengan dasar konstruksi sosial yang bertumpu pada realitas. Representasi sosial tidak mempengaruhi produksi ranah penelitian ini, yang ditandai oleh keterlibatan internasional dan jumlah terbitan (lebih dari 3.000 dalam berbagai bahasa) yang berkaitan dengannya.
*Diterjemahkan dari « Le Dictionnaire des Sciences Humaines », Paris, PUF, 2006,
« Representation Sociales » oleh Denise Jodelet
Representasi Pemberitaan Perempuan dalam Media Massa
Bukan sebuah rahasia lagi, jika terjadi kasus
kekerasan terhadap perempuan, berita tersebut menjadi bulan-bulanan media.
Media kita masih menjadi media yang sangat menyukai bentuk-bentuk berita yang
mengorek-ngorek pribadi individu. Kasus-kasus pribadi menjadi sangat penting
dalam headline media, bahkan kasus-kasus tersebut seringkali dijadikan alasan
politis untuk kepentingan tertentu. Perempuan korban kekerasan seringkali
menjadi objek kekerasan kedua kalinya dalam media untuk melanggengkan bukan
hanya kepentingan politis tertentu, namun juga kepentingan media terhadap
sebuah pemberitaan.
Walaupun seringkali media mencoba menghormati
perempuan korban kekerasan terhadap perempuan, misalnya dengan menyembunyikan
identitas korban dan menyampaikan deskripsi kronologis kasus dengan singkat,
namun cukup banyak media lain justru melakukan kekerasan dengan pengobjekan
perempuan korban kekerasan. Media
seringkali bersikap tidak adil kepada korban, bahkan yang lebih naifnya lagi,
media bersimpati kepada pelaku. Media mengobjekkan korban sebagai perempuan
yang juga awalnya merupakan pelaku terjadinya tindak kekerasan. Seperti yang
diungkapkan oleh Piliang dalam Sorbur,
“Kekerasan
terhadap perempuan—dengan mengacu pada pengertiannya yang paling luas—pada
kenyataannya tidak hanya berlangsung pada tingkat ‘realitas’ (berupa pemukulan,
perkosaan atau pelecehan) akan tetapi juga pada tingkat ‘representasi’ dari
realitas tersebut di dalam berbagai media representasi.”
Artinya, bagaimana bentuk dan cara sebuah ‘realitas
kekerasan’ direpresentasikan di dalam berbagai media representasi telah
merupakan sebuah bentuk ‘kekerasan’ itu sendiri. Sehingga sikap tidak
empatis pada korban, dan bias gender yang berpihak pada pelaku pada berita
merupakan sebuah representasi dari kekerasan terhadap perempuan itu sendiri
dalam media. Apalagi jika perempuan korban kekerasan diberi stigma sebagai
“bukan perempuan baik-baik”. Sehingga secara tidak sadar, memaksa masyarakat
memberikan arti bahwa kekerasan terhadap perempuan diawali oleh perempuan itu
sendiri sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Sungguh suatu pemaksaan yang
tidak adil, yang melanggengkan budaya patriarki itu sendiri dalam masyarakat.
Contoh yang sangat konkret adalah
terlihat dari pemilahan bahasa yang digunakan media untuk menggambarkan suatu
kejadian perkosaaan. Dengan menggunakan ”bahasa banci” yang memaksa masyarakat
meraba-raba dan menebak-nebak makna yang terkandung. Misalnya saja contoh judul
berita perkosaan di media cetak ”Remaja ABG Digarap Sepulang Sekolah” atau
”Digauli ayah Tiri selama 1 Tahun”. Kedua contoh judul diatas merupakan sebuah
bentuk representasi kekerasan terhadap perempuan dalam media massa. Bagaimana
tidak, perempuan diposisikan sebagai kaum yang lemah yang hanya ingin
diposisikan sebagai ”korban” yang tak berdaya. Penulisan judul saja sudah
membuat asumsi dalam benak masyarakat bahwa perempuan merupakan mahluk yang
bisa diperlakukan semena-mena.
Ini belum lagi termasuk kedalam
isi yang juga sarat akan kekerasan terhadap perempuan pada tingkat
representasi. Seringkali deskripsi korban dijadikan senjata secara sengaja
untuk menggambarkan bahwa perempuan juga merupakan pelaku. Contohnya saja,
”Gadis (Bunga bukan nama sebenarnya, 16 tahun), bertubuh sintal dan kulit putih
digarap pada saat pulang sekolah disebuah gubuk”. Secara naluriah, jika kita
membaca tulisan ini, maka kita akan berasumsi bahwa perempuan tersebut
memancing laki-laki untuk melakukan tindakan kekerasan. Bukankah itu suatu
bentuk kekerasan secara psikologi yang kedua kalinya didapatkan oleh perempuan?
Starting pointnya yang perlu digaris
bawahi adalah ”Perempuan mana yang ingin terjadi kekerasan dalam hidupnya?”
Media sebagai Agen Konstruksi
Realitas
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan
realitas. Isi media adalah hasil dari konstruksi realitas yang dipilih para
pekerja media untuk ditampilkan kepada khalayak. Konstruksi realitas pada media
merupakan hasil peristiwa-peristiwa tertentu yang dipilih berdasarkan
kepentingan-kepentingan. Menurut Bauer dan Bauer dalam Barker (2000:278),
menyatakan bahwa media yang berkembang dengan baik mengemban pengaruh yang
cukup untuk membentuk opini dan keyakinan, mengubah kebiasaan hidup. Secara
aktif media juga membentuk perilaku yang kurang lebih sesuai dengan keinginan
orang-orang yang dapat mengendalikan media dan isinya. Semua teks, percakapan,
dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi
tertentu (Eriyanto, 2001:13).
Media massa menyusun realitas dari berbagai peristiwa
yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian
seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana
yang bermakna. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk
disajikan kepada khalayak (Hamad, 2004:11-12). Namun, ada sebuah konsep
filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah realitas, melainkan
representasi (sense datum) atau tanda
(sign) dari realitas yang
sesungguhnya, yang tidak dapat kita tangkap. Yang dapat ditangkap hanyalah
tampilan (appearance) dari realitas
dibaliknya (Straaten dalam Sorbur, 2006:930).
Dalam konteks media-khususnya pemberitaan mengenai
perempuan di dalamnya-representasi perempuan didasarkan atas sebuah ideologi
besar. Menurut Piliang, ada banyak prinsip bagaimana ideologi beroperasi dalam
produksi makna-termasuk makna dalam media. Di antara prinsip tersebut adalah
apa yang disebut sebagai prinsip ‘oposisi biner’ (binary opposition), yaitu semacam prinsip polarisasi segala sesuatu
(tanda, kode, makna, stereotip, identitas) yang di dalamnya terjadi proses
generasilasi dan reduksionisme, sedemikian rupa sehingga segala sesuatu
dikategorikan ke dalam dua kelompok yang ekstrim, saling bertentangan dan
kontradiktif.
Dalam media mengenai kasus kekerasan terhadap
perempuan konsep-konsep oposisi biner tersebut, terpolarisasi dari ideologi
patriarki secara garis besar. Ideologi patriaki membagi prinsip oposisi biner
dalam konsep maskulinitas dan feminitas yang terkonstruksi secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Perempuan diposisikan secara budaya sebagai makhluk yang
lemah dan tak berdaya. Sedangkan laki-laki diposisikan sebagai mahluk yang kuat
dan mendominasi. Bahkan perumpamaan ini hanya sedikit sekali ungkapan mengenai
konsep maskulinitas dan feminitas. Pembagian prinsip-prinsip dasar sifat ini
terkonstruksi dalam masyrakat kita yang patriarki, sehingga adanya penerimaan
secara mutlak yang tidak adil dalam masyarakat. Penegasan ini didukung oleh
media yang dianggap sebagai agen informasi.
Lebih lanjut menurut Piliang, di dalam media-termasuk
media pers-ideologi beroperasi pada tingkat bahasa, baik ‘bahasa tulisan’
maupun ‘bahasa visual’. Ideologi pada tingkat bahasa atau linguistik melibatkan
yang pertama, pilihan (choices)
kata-kata, kosa-kata, sintaks, gramar, cara pengungkapan, pada tingkat
paradigmatik (perbendaharaan bahasa), dan yang kedua, tingkat seleksi (selection) yaitu penentuan kata atau
bahasa berdasarkan pada berbagai pertimbangan ideologis.
Jika begitu, dominannya ideologi patriarki
mempengaruhi kehidupan masyarakat menjadikan polarisasi maskulin dan feminin
menjadi suatu bentuk yang konkret dan kodrat, bukan hanya ideologi saja. Kodrat
baru yang diterima oleh masyarakat dijadikan sebagai tolak ukur dalam penerimaan
apa yang disampaikan oleh media. Bahwa maskulin dan feminin merupakan kodrat
bukan hasil konstruksi sosial. Dan itu direduksi secara massal oleh masyarakat.
Sungguh naif, jika kita tak mampu menjabarkan yang mana kodrat dan yang mana
konstruksi realitas, padahal kita hidup di era yang penuh dengan
informasi.
http://anggerwijirahayu.blogspot.com/2010/02/representasi-pemberitaan-perempuan.html
No comments:
Write komentar