ABSTRACT
Concept of general election should cover definitions and classification or criteria of general election. It should be clearly formulated in legal norms (rechtsregel). General election concept should be implemented base on legal principles. Regulation and implementation basis of general election should base on 3 (three) fundamental values covers rule of law principle, democracy principle and nasionalism principle. Next, the third fundamental values would derive some legal principles that have a function as a basis of legal norm created.
Kata Kunci : hukum pemilu, dasar, asas-asas hukum
A. PENDAHULUAN
Demokrasi perwakilan yang dikembangkan pada zaman modern sekarang ini sudah menjadi obsesi di banyak negara. Demokrasi kini telah dipandang sebagai bentuk cara penyelenggaraan pemerintahan yang terbaik oleh setiap negara yang mengklaim dan menyebut dirinya modern. Setiap negara berusaha meyakinkan masyarakat dunia bahwa pemerintah negara tersebut menganut sistem politik demokrasi, atau sekurang-kurangnya tengah berproses seperti itu.
Demokrasi yang berlangsung di setiap negara-bangsa tidaklah dapat terlaksana secara uniform (seragam), karena dalam banyak hal pemahaman dan penerapan demokrasi dipengaruhi oleh ideologi atau falsafah hidup negara-bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, Bagir Manan mengemukakan, demokrasi itu merupakan suatu fenomena yang tumbuh, bukan suatu bentuk atau hasil penciptaan.
Salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemiliahan umum (pemilu) untuk membentuk pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan (pangreh). A.S.S. Tambunan mengemukakan, pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Henry Campbell Black mengemukakan : General election is an election held in the state at large. A regularly recurring election to select officers to serve after the expiration of the full terms of their predecessors. Dalam Black’s Law Dictionary, ditemukan klasifikasi election menjadi 2 (dua) macam, yaitu general election dan special election.
Berdasarkan konsep dasar pemilu sebagaimana tersebut di atas, maka pada hakikatnya konsep dasar pemilu itu dapat dilihat pada pengertian-pengertian yang diberikan, dan juga dapat dilihat pada kriteria atau klasifikasi yang dilakukan terhadapnya.
Dalam praktik ketatanegaraan di era reformasi sampai sekarang, ada beberapa jenis pemilihan umum, yaitu :
(1) Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah;
(2) Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan
(3) Pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah seperti, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Di luar ketiga macam atau jenis pemilihan umum itu, ditemukan dalam praktik ketatanegaraan atau pemerintahan bermacam-macam kegiatan pemilihan yang melibatkan rakyat banyak, seperti pemilihan kepala desa, pemilihan kepala dusun, dan jenis pemilihan lain yang dimaksudkan untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan (pangreh). Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana macam-macam atau jenis pemilu itu seharusnya diatur dan diselenggarakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tulisan ini secara normatif akan mengkaji beberapa hal yang relevan dengan konsep hukum pemilu, dasar atau asas-asas hukum (rechtsbegiselen) yang melandasi pengaturan dan penyelenggaraannya.
B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : Bagaimana konsep hukum pemilu, dasar dan asas-asas hukum yang melandasi kegiatan penyelenggaraan pemilu di Indonesia ?
C. PEMBAHASAN
A.D. Belifante mengemukakan, bahwa agar suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi, maka pengorganisasiannya harus memenuhi beberapa aturan dasar (grondregels). Salah satu daripadanya adalah bahwa tidak ada seorang pun dapat melaksanakan suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkan atau bahwa pelaksanaan kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol. C.F. Strong mengemukakan, the contemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guarantees the souvereignty of the people. Jadi, negara konstitusional pada saat sekarang ini harus didasarkan pada sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat.
Suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada sistem perwakilan dinamakan ’representative government’. Representative government dapat dirumuskan sebagai :
A form of government where the citizens exercise the same right to make political decision but through representative chosen by them and responsible to them through the process of free election.
Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut :
(1) Pemerintahan yang bertanggungjawab;
(2) Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi. Dewan perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol), memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijaksanaan pemerintah secara kontinyu;
(3) Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik (sistem dwi-partai, multi-partai). Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang kontinyu antara masyarakat umumnya dan pemimpin-pemimpinnya;
(4) Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat;
(5) Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak azasi dan mempertahankan keadilan.
Henry B. Mayo mengemukakan, bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai (values), yaitu :
(1) Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga;
(2) Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah;
(3) Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur;
(4) Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum;
(5) Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku;
(6) Menjamin tegaknya keadilan.
Pemilihan umum sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi, paling tidak mesti didasari oleh beberapa hal, yaitu :
(1) Adanya peraturan perundang-undangan yang memadai sebagai landasan bagi penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis, fair, jujur dan adil;
(2) Pemilu diselenggarakan dengan prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
(3) Pemilu diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum yang berwenang, bersifat independen, tidak memihak atau netral, transparan, adil dan bertanggungjawab;
(4) Adanya lembaga pengawas dan/atau lembaga pemantau yang dibentuk secara independen, yang berfungsi untuk melakukan pengawasan atau kontrol terhadap penyelenggaraan pemilihan umum agar dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan legal (sah) berdasarkan hukum dan keadilan;
(5) Adanya lembaga peradilan yang independen dan tidak memihak, yang khusus dibentuk untuk menangani masalah pelanggaran, kecurangan dan tindakan-tindakan lainnya yang melanggar nilai-nilai demokrasi, kejujuran, norma-norma hukum dan keadilan, termasuk memutuskan keabsahan hasil pemilihan umum yang diselenggarakan;
(6) Adanya lembaga penegak hukum yang khusus bertugas untuk mengawal dan menegakkan norma-norma hukum pemilu agar ditaati oleh peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pengawas atau pemantau pemilu dan masyarakat luas lainnya.
Dasar penyelenggaraan pemilu yang ideal bagi suatu negara paling tidak bertumpu pada 3 (tiga) nilai dasar, yaitu : (1) Negara Hukum; (2) Demokrasi; dan (3) Nasionalisme. Dasar negara hukum menurunkan beberapa prinsip yang dapat dipakai dalam menyelenggarakan pemilu, diantaranya :
(1) peraturan perundang-undangan yang baik, adil dan demokratis;
(2) perlindungan yang memadai atas terlaksananya hak memilih dan dipilih berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) pengawasan dan penerapan sanksi hukum yang memadai;
(4) peradilan pemilu yang independen dan tidak memihak;
(5) legitimasi dan keabsahan hasil pemilu.
Dasar demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu, diantaranya adalah :
(1) penyelenggaraan pemilu didasarkan pada aturan hukum yang demokratis;
(2) lembaga penyelenggara pemilu yang baik, tidak memihak dan demokratis;
(3) lembaga pengawas atau pemantau penyelenggaraan pemilu yang memadai;
(4) partisipasi dan pengawasan rakyat (publik) yang baik atas seluruh rangkaian kegiatan pemilu;
(5) fungsi kontrol media massa yang baik terhadap seluruh proses penyelenggaraan pemilu;
(6) hak memilih dan dipilih dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
Dasar nasionalisme menurunkan beberapa prinsip yang dapat dipakai dalam menyelenggarakan pemilu, diantaranya adalah :
(1) penyelenggaraan pemilu dalam rangka menjaga dan memelihara keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(2) pemilu dilaksanakan untuk mengokohkan semangat persatuan dan kesatuan dalam perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan, perbedaan golongan dan perbedaan-perbedaan lainnya;
(3) memilih wakil-wakil rakyat, pimpinan-pimpinan lembaga negara atau pimpinan-pimpinan pemerintahan yang tidak didasarkan pada sentimen kedaerahan, suku bangsa (ras), agama, keturunan dan sebagainya, yang dapat mengancam semangat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang majemuk; dan sebagainya.
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disebutkan, bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rumusan ini mengandung 4 (empat) unsur konsep pemilihan umum di Indonesia, yaitu : (1) pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat; (2) pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil; (3) pemilu dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) pemilu dilaksanakan dengan berdasar pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan rumusan yang demikian, maka dalam konsep hukum pemilu itu ada beberapa hal yang pokok yang menunjuk pada fungsi instrumental, landasan dan asas pemilu. Pertama, fungsi instrumental pemilu sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi). Fungsi ini relevan dengan cara pengisian jabatan-jabatan publik atau jabatan kenegaraan/pemerintahan. Maurice Duverger mengemukakan ada beberapa cara untuk menempatkan pejabat negara (pangreh), yaitu : (1) dengan cara yang otokratis, meliputi beberapa cara diantaranya, perebutan kekuasaan (misal coup d’etat, revolusi, dsb nya); (2) keturunan; (3) kooptasi atau pengangkatan/penunjukkan; (4) pengundian; (5) cara yang demokratis melalui pemilihan; (6) cara campuran antara otokratis dan demokratis, misalnya sebagian pejabat pangreh dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum, sebagian lagi diangkat atau ditunjuk, atau berdasarkan sistem garis keturunan, dan sebagainya. Maurice Duverger memberikan contoh untuk cara campuran ini dengan sistem ’juxtaposition’ (=pengisian jabatan pangreh melalui cara penunjukkan/pengangkatan dan cara pemilihan umum, dsb nya). Praktik ketatanegaraan di Indonesia memperlihat pola campuran dalam pengisian jabatan-jabatan (pangreh), dan belum terdapat pengaturan tentang kriteria hukum yang digunakan, bilamana suatu jabatan kenegaraan atau pemerintahan (pangreh) itu harus diisi dengan cara pemilihan umum atau cara penunjukkan/pengangkatan misalnya.
Kedua, landasan pemilu idiil dan konstitusionil pemilu adalah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila 1 Juni 1945 yang digali oleh Bung Karno atau apabila diperas menjadi Trisila terdiri dari sosio-nasionalisme, sosio- demokrasi dan Ketuhanan, atau apabila diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu ‘Gotong-Royong’. Jadi, apabila pemilu di Indonesia itu diselenggarakan dengan berdasar pada Pancasila, maka pemilu itu harus bertumpu pada prinsip ‘Gotong-Royong’. Dalam konsep ‘gotong-royong’ ada kerukunan, ada semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Gotong-royong merupakan suata paham yang anti-individualisme, anti-liberalisme, dan anti-otoritarianisme atau hegemoni negara. Prinsip gotong-royong yang pada saat sekarang ini, ketika era globalisasi dan pasar bebas bergulir, atau yang dikatakan oleh Fukuyama sebagai era neo-liberalisme, nyaris terabaikan dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan pemilu untuk memilih pejabat-pejabat pangreh di Indonesia tidak lagi diselenggarakan berdasarkan ideologi gotong-royong. Pemilu lebih dipandang sebagai ‘hajatan’ individu daripada hajatan bersama (gotong-royong), oleh karena itu pemilu kemudian menjadi ajang bagi kepentingan pribadi (individu) untuk meraih kedudukan atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Dan, bersama itupula berkembang proses liberalisasi dan kapitalisasi politik yang mendorong pemilu untuk diselenggarakan menurut mekanisme ‘pasar bebas’ yang liberal, dan proses kapitalisasi politik dengan berbagai modus, diantaranya money politic untuk ‘membeli’ atau ‘menjual’ dukungan suara pemilih (voters), praktik jual-beli suara dengan organ penyelenggara atau pengawas pemilu atau saksi-saksi, dan sebagainya.
Ketiga, asas pemilu yang terdiri dari asas demokrasi, asas langsung, asas umum, asas bebas, asas jujur dan adil. Pemilu yang demokratis berarti pemilu diselenggarakan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu yang demokratis adalah pemilu yang tidak di-hegemoni kekuasaan negara, karena memang rakyatlah yang berkuasa (memiliki kedaulatan). Rakyatlah yang memutuskan siapa-siapa saja yang akan duduk dalam jabatan-jabatan pangreh itu. Kekuasaan rakyat yang besar itu hingga kemudian digambarkan dalam adagium vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam praktik, asas ini nyaris ditinggalkan. Suara rakyat (vox populi) yang semestinya adalah suara Tuhan (vox dei), suara Nur Ilahi, suara hati nurani dan kebenaran dinodai dengan praktik ‘jual beli suara’ dan berbagai modus kapitalisasi politik lainnya. Pemilih (voters) ‘menjual’ suaranya, sedangkan yang mencalonkan (=calon pejabat pangreh) ‘membeli’ suara rakyat (voters) itu. Maka terjadilah apa yang disebut dengan ‘transaksi politik’ yang dilakukan sesuai dengan mekanisme dan hukum pasar (penjual dan pembeli). Suara rakyat yang tidak lain adalah suara Tuhan tak ayal lagi ‘diperjualbelikan’. Bila sudah demikian, maka tidak perlu heran sebenarnya, bila bangsa Indonesia yang dikarunia sumberdaya dan kekayaan alam yang tak terbilang banyaknya, serta dikaruniai bumi yang subur (gemah ripah loh jinawi) dan memiliki banyak tambang, masih saja rakyatnya sengsara, miskin, dan korupsinya merajalela. Ditambah lagi bencana alam, penyakit dan berbagai malapetaka yang seolah-olah tiada henti-hentinya. Seluruh bangsa ini mesti kembali menyadari secara utuh tentang hakikat dasar demokrasi dan hakikat dasar vox populi vox dei dalam pemilu.
Asas langsung sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum langsung dilakukan oleh rakyat (voters). Rakyatlah yang langsung memilih para pejabat pangreh yang akan duduk dalam jabatan-jabatannya (ambts) melalui pemilihan umum. Secara teoretis, ada 2 (dua) cara yang dapat dipakai untuk melakukan pemilihan. Pertama melalui apa yang disebut dengan pemilihan langsung, dimana rakyat (voters) memilih secara langsung mereka yang akan didudukkan dalam jabatan pangreh. Kedua, melalui sistem pemilihan tidak langsung, dimana wakil-wakil rakyat yang telah dipilih diberikan mandat untuk memilih pejabat pangrehnya. Cara kedua ini lebih mengarah pada representative system atau sistem perwakilan. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, Presiden pernah dipilih oleh MPR, dimana keanggotaan MPR dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Demikian juga pemilihan Gubernur dan Bupati pada masa Orde Baru yang dipilih oleh DPRD.
Asas umum sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum itu diselenggarakan seluruh rakyat (voters) yang berstatus sebagai warga negara. Apa sebenarnya makna ‘umum’ itu ? Pertanyaan ini juga terkait dengan apa sebenarnya makna ‘umum’ dalam terminologi ‘pemilihan umum’. Apakah yang dimaksud ‘umum’ itu artinya lebih dari satu ? Atau jumlahnya tertentu, misalnya 1000 orang, satu wilayah desa, satu wilayah kabupaten atau provinsi ? Ataukah pengertian ‘umum’ itu menunjuk seluruh rakyat (voters) di wilayah Indonesia ? Kriteria ‘umum’ ini harus jelas, sebab jika tidak, maka kegiatan-kegiatan pemilihan ketua Rukun Warga (RW) atau ketua Rukun Tetangga (RT), atau pemilihan Ketua Yayasan dan Koperasi misalnya, dapat saja disebut dengan pemilihan umum, karena melibatkan rakyat banyak atau lebih dari seorang. Dapat saja, kriteria ‘umum’ itu didasarkan pada bidang atau lapangan kegiatan dalam negara, yang lazimnya terbagi dalam lapangan publik (atau lapangan pemerintahan) atau ketatanegaraan) dan lapangan privat. Kriteria mana yang harus digunakan untuk memberikan makna ‘umum’ pada asas ‘umum’ dan terminologi ‘pemilihan umum’ harus ditentukan secara tegas oleh pembentuk undang-undang. Jika tidak, maka implementasi pengaturan dan pelaksanaan pemilihan umum itu akan kehilangan orientasinya, dan terkesan kacau atau dalam bahasa Latinnya disebut ad absurdum. Contoh pengaturan pemilu dalam Pasal 22E ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur sebagai berikut :
‘Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.’
Jadi menurut ketentuan ini, pemilihan umum itu hanya dimaksudkan untuk mengisi jabatan-jabatan pangreh meliputi :
(1) DPR;
(2) DPD;
(3) Presiden dan Wakil Presiden;
(4) DPRD.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa jabatan pangreh seperti ‘Kepala Daerah’ (= Gubernur, Bupati dan Walikota) dan ‘Kepala Desa’ yang pengisian jabatannnya dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat di daerah atau di desanya itu, tidak termasuk dalam rumusan konsep hukum pemilu seperti dimaksud Pasal 22E ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ? Bukankah, seperti pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota penyelenggara pemilihannya adalah Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini akibat yang timbul dalam pengaturan pemilu, karena sejak awal konsep atau kriteria ‘umum’ dalam pengertian asas ‘umum’ atau dalam pengertian ‘pemilihan umum’ tidak jelas.
Selanjutnya, asas bebas sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum itu diselenggarakan tanpa adanya tekanan, paksaan, intimidasi dan bentuk pengekangan lainnya terhadap pemilih (voters) dalam memilih calon-calonnya yang akan didudukkan dalam jabatan pangreh. Kebebasan dalam menentukan pilihan ini harus dihormati, dan karena itupula hukum harus melindunginya. Asas bebas tidak berarti bebas memilih atau tidak memilih (netral atau masyarakat lazim menyebutnya golongan putih/golput). Asas bebas tidak berarti bebas semaunya. Dalam bingkai tanggungjawab setiap warga negara dalam bidang hukum dan pemerintahan, termasuk tanggungjawab untuk turut berperanserta dalam membentuk pemerintahan negara yang lebih baik ke depan, maka seluruh rakyat pemilih (voters) harus menentukan pilihannya untuk memilih. Tidak boleh rakyat pemilih (voters) kemudian bersikap tidak memilih dengan dalih ’semua calon yang ada tidak baik’ atau itu merupakan wujud dari ’hak asasi-nya’ yang harus dihormati dan dilindungi negara. Dasar negara kita adalah Pancasila yang tidak lain adalah Gotong-Royong, maka pemilu sebagai salah satu cara untuk membentuk pemerintahan harus pula didasarkan pada prinsip ”Gotong Royong”. Dalam prinsip Gotong Royong ini tersirat semangat kebersamaan, semangat kekeluargaan dan semangat kerukunan, bukan semangat kebebasan (liberal) atau individualisme. Bangsa Indonesia secara ideologis dengan tegas menolak paham liberalisme dan individualisme.
Asas rahasia sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum itu diselenggarakan dengan melindungi ’kerahasiaan’ pilihan pemilih (voters). Asas rahasia ini dimaksudkan agar ada penghormatan terhadap privasi dan hak pilih voters sekaligus perlindungan dari kemungkinan timbulnya tekanan, ancaman, intimidasi dan sebagainya yang dapat mempengaruhi pelaksanaan asas bebas voters dalam memilih calon-calonnya.
Asas jujur dan adil sebagai landasan pelaksanaan pemilu mengisyaratkan agar pemilihan umum yang dilakukan itu, baik oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, rakyat pemilih (voters), lembaga pengawas atau pemantau, dan aparat penegak hukum termasuk lembaga peradilannya, bertumpu pada nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Akhirnya, sejauhmana asas-asas hukum dalam pelaksanaan pemilu itu dapat direalisasikan, tergantung pada apakah fungsi asas hukum (rechtsbeginsel atau legal principle) itu benar-benar digunakan ataukah tidak dalam praktiknya. Fungsi asas-asas hukum itu dalam pemilu adalah :
(1) Bagi pembuat undang-undang (wetgever), asas-asas hukum merupakan pedoman dalam pembuatan undang-undang (wetgeving) – peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
(2) Bagi penyelenggara pemilu, asas-asas hukum itu merupakan ’rechtsidee’ yang hendak diwujudkan;
(3) Bagi lembaga pengawas atau pemantau pemilu, asas-asas hukum itu merupakan batu uji sekaligus dasar untuk mengontrol pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
(4) Bagi peserta pemilu, asas-asas hukum itu dapat menjadi alasan atau dasar untuk menyelaraskan dan mengontrol atau menggugat pelaksanaan pemilu ke lembaga yang berwenang atau ke pengadilan;
(5) Bagi hakim (rechter), asas-asas hukum menolong untuk mencermatkan interpretasi dan membantu dalam pengenaan analogi serta mengarahkan dalam memberikan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan.
Asas-asas hukum itu memang bukan peraturan hukum -- een rechtsbeginselen is niet een rechtsregel, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang melandasinya – het recht is echter niet te begrijpen zonder die beginselen – vunderend principe. Mestinya juga dipahami, bahwa asas-asas hukum itu merupakan pengarah umum bagi ’positivering’ hukum oleh pembuat undang-undang dan hakim dalam mewujudkan tendensi etis – ethische tendezen, algemene richtlijnen voor positivering van het recht door wetgever en rechter. Jadi dalam konteks pelaksanaan pemilihan umum, asas-asas hukum kendatipun bukan rechtsregel, akan tetapi ia merupakan kaidah dalam pemilu yang menganjurkan wat rechtens behoort te zijn – apa yang seharusnya menurut hukum itu.
D. PENUTUP
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa konsep dasar pemilu yang meliputi pengertian-pengertian hukum tentang pemilu, juga klasifikasi atau kriteria yang diberikan pada pemilu idealnya dirumuskan dengan jelas dalam peraturan hukumnya (rechtsregel). Pemilu juga seharusnya diatur dan diselenggarakan bertumpu pada dasar atau asas-asas hukum yang melandasinya. Dasar pengaturan dan penyelenggaraan pemilu idealnya bertumpu pada 3 (tiga) nilai dasar, yaitu : (1) Negara Hukum; (2) Demokrasi; dan (3) Nasionalisme. Tiga dasar pengaturan dan penyelenggaraan pemilu ini tidak saja menjadi landasan bagi kegiatan pemilu, akan tetapi juga dapat menderivasi atau menurunkan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum pemilu dan penyelenggaraannya di Indonesia.