BPH
(BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)
- PENGERTIAN
1.
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang
disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005)
2.
Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar
prostat nonkanker, (Corwin, 2000)
3.
BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
4.
Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan
berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges,
1999)
5.
Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk
mengatasi BPH, tindakan infasif medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit
adalah prostatektomy, yaitu tindakan pembedahan bagian prostat (sebagian/seluruh) yang memotong uretra
bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria
akut.
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia)
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat
mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy merupakan
tindakan pembedahan bagian prostate
(sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki
aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
- ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui
secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a. Adanya perubahan keseimbangan antara
hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut;
b. Peranan dari growth factor (faktor
pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat;
c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena
berkurangnya sel yang mati;
d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi
proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel
epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan
beberapa teori :
-
Teori
Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu sebab
seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain.
Maka sel stem dapat
berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
-
Teori
kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral
dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
-
Teori
lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan
bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya
konversi testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995).
- PATOFISIOLOGI
Kelenjar
prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976)
yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam
beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005),
menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka
efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan.
Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya
disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan
leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal
setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah
pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan
terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa
yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel.
Fase penebalan
detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila
keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes
pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh
atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena
produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan
sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan
dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin
dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan
iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan
media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
- MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan
dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan:
pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus
menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing
terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya
menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat
berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung
kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi
kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih
tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa
kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli
penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow
inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth
(2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah
peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih,
anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan
saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing
(urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar
prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan
pada waktu vesika urinaria kosong :
-
Grade
0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam
rectum.
-
Grade
1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam
rectum.
-
Grade
2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam
rectum.
-
Grade
3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam
rectum.
-
Grade
4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam
rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur
tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang
kateter.
-
Normal : Tidak ada sisa
-
Grade
I : sisa 0-50 cc
-
Grade
II : sisa 50-150 cc
-
Grade
III : sisa > 150 cc
-
Grade
IV : pasien sama sekali tidak bisa
kencing.
- KOMPLIKASI
Komplikasi
yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya
BPH, dapat terjadi obstruksi
saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin,
2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).
- PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Sjamsuhidjat (2005)
dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran
klinis
a.
Stadium
I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin
dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium
II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c.
Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium
IV
Pada stadium IV yang harus
dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang
kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan
umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan
konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan
konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi
LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan
Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan:
a.
Observasi
Kurangi minum setelah makan
malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan
kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b.
Medikamentosa
1)
Mengharnbat adrenoreseptor α
2)
Obat anti androgen
3)
Penghambat enzim α -2 reduktase
4)
Fisioterapi
c.
Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1)
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
2)
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar
prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
3)
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian
bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4)
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar
prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
5)
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis
dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,
uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
d.
Terapi Invasif Minimal
1)
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
2)
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP)
3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
- PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang
mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
a.
Laboratorium
1). Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan
adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2). Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang
menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap
beberapa antimikroba yang diujikan.
b.
Pencitraan
1). Foto polos
abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan
tanda dari retensi urin.
2). IVP (Intra
Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada
buli-buli.
3).
Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4). Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
KONSEP
DASAR KEPERAWATAN
- PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan
proses keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH
adalah sebagai berikut :
a.
Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh
karena efek pembesaran ginjal. Penurunan
tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH
yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
b.
Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari
tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c.
Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin,
aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya
obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna
keruh, gelap dengan bekuan. Selain
terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi.
Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam
rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan
makanan.
d.
Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
e.
Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar
yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul
tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f.
Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan
tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk
menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang
perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan
seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya
inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah
maupun pada saluran perkemihannya.
g.
Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
h.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium
diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu
dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin,
asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit
karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya
infeksi.
Perubahan usia (usia lanjut)
Ketidakseimbangan produksi estrogen dan testosteron
Kadar Testoteron
menurun Kadar
Estrogen meningkat
|
Proligerasi sel
prostat Hiperplasi
sel stroma pada jaringan prostat
|
Obstruksi
saluran kemih
Pembedahan
BPH
|
Kompensasi otot destruksor Dekompensasi otot destruksor
Perdarahan Terputusnya kontinuitas
jaringan
|
|||
Spasme otot Penebalan
|
|
|
|||||
Otot suprapubik Kontraksi otot Adanya
media masuk
kuman
|
Kesulitan
berkemih
|
Dipasang kateter
- DIAGNOSA KEPERAWATAN
Preoperasi
1) Retensi urine berhubungan dengan tekanan
uretral tinggi karena kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor).
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
( iritasi kandung kemih, spame, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari
balon kandung kemih).
3) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap patogen
(pemasangan kateter).
4) Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya
tindakan operasi.
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan
keterbatasan informasi mengenai pengobatan.
Pascaoperasi
1) Resiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan pasca obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung
kemih yang terlalu distensi secara kronis.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
biologi ( terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan).
3) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan neurovaskuler (nyeri).
4) Resiko kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan imobilisasi fisik.
5) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap patogen (adanya
media masuknya kuman akibat prosedur invasif).
- INTERVENSI
Preoperasi
DX I :Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena
kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pengeluaran urine lancar.
NOC: Inkontinensi urine
Kriteria Hasil:
1. Bebas dari kebocoran urine diantara
berkemih.
2. Kandung kemih kosong sempurna
3. Tidak ada sisa setelah buang air >
100-200cc.
4. Asupan cairan dalam rentang yang
diharapkan.
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Katerisasi urine
1) Pantau asupan dalam haluaran urine.
2) Pantau derajat distensi kandung kemih
dengan palpasi dan perkusi.
3) Instrusikan pasien dan keluarga untuk
mencatat haluran urine bila diperlukan..
4) Rujuk pada spesialis kontinensia urine
jika diperlukan..
DX II : Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera ( iritasi kandung
kemih, spame, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung
kemih)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
a. NOC 1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
1. Laporkan frekuensi nyeri
2. Kaji frekuensi nyeri
3. Lamanya nyeri berlangsung
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri
5. Perubahan TTV
b. NOC 2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil:
1. Mengenal faktor penyebab
2. Gunakan tindakan pencegahan
3. Gunakan tindakan non analgetik
4. Gunakan analgetik yang tepat
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Manajemen Nyeri
5) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri
termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.
6) Observasi isyarat non verbal dari
ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
7) Berikan analgetik dengan tepat.
8) Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur.
9) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya:
relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)
DX III : Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran
paparan lingkungan terhadap patogen (pemasangan kateter).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan infeksi tidak
terjadi.
a. NOC 1: Deteksi Infeksi
Kriteria Hasil:
1. Mengukur tanda dan gejala yang
mengindikasikan infeksi
2. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
3. Mampu mengidentifikasi potensial resiko
b. NOC 2: Pengendalian Infeksi
Kriteria Hasil:
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi
2. Mampu memonitor faktor resiko dari
lingkungan
3. Membuat strategi untuk mengendalikan
resiko infeksi
4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi
resiko
Ket Skala:
1 = Selalu menunjukkan
2 = Sering menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Jarang menunjukkan
5 = Tidak pernah menunjukkan
NIC: Teaching diases proses
1) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
2) Sediakan informasi tentang kondisi pasien
3) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
4) Gambaran tanda dan gejala penyakit
5) Instruksikan pasien untuk melaporkan
kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan.
DX IV : Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan
operasi.
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan pasien dan
keluarga tidak mengalami kecemasan.
NOC: Control Cemas
Kriteria Hasil:
1. Monitor Intensitas kecemasan
2. Menurunkanstimulasi lingkungan ketika
cemas
3. Menggunakan strategi koping efektif
4. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
5. Menggunakan teknik relaksasi untuk
menurunkan cemas
Ket Skala:
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
NIC: Penurunan Kecemasan
1) Tenangkan Klien
2) Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada
klien dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan
3) Berikan informasi tentang diagnosa,
prognosis, dan tindakan.
4) Temani pasien untuk mendukung keamanan dan
menurunkan rasa sakit.
5) Instruksikan pasien untuk menggunakan
metode/ teknik relaksasi.
DX V : Kurang
pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi mengenai pengobatan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pengetahuan pasien dan keluarga bertambah.
NOC: Pengetahuan: proses
penyakit.
Kriteria Hasil:
a. Mengenal tentang penyakit
b. Menjelaskan proses penyakit
c. Menjelaskan penyebab/faktor yang
berhubungan
d. Menjelaskan faktor resiko
e. Menjelaskan komplikasi dari penyakit
f. Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC:
a. NIC 1: Health Care Information exchange
1) Identifikasi pemberi pelayanan keperawatan
yang lain
2) Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga
dalam mengimplementasikan keperawatan setelah penjelasan
3) Jelaskan peran keluarga dalam perawatan
yang berkesinambungan
4) Jelaskan program perawatan medik meliputi;
diet, pengobatan, dan latihan.
5) Jelaskan rencana tindakan keperawatan
sebelum mengimplementasikan
b. NIC 2: Health Education
1) Jelaskan faktor internal dan eksternal
yang dapat menambah atau mengurangi dalam perilaku kesehatan.
2) Jelaskan pengaruh kesehatan danperilaku
gaya hidup individu,keluarga/lingkungan.
3) Identifikasi lingkungan yang dibutuhkan
dalam program perawatan.
4) Anjurkan pemberian dukungan dari keluarga
dan keluarga untuk membuat perilaku kondusif.
Pascaoperasi
DX I : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca
obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu
distensi secara kronis.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama proses keperawatan diharapkan
kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi.
NOC : Fluid
balance
KH :
1. Mempertahankan
urine output sesuai dengan usia
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh
dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik.
4. Membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
Keterangan skala:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
NIC : Fluid manajement
1.
Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
2. Monitor status hidrasi (kelemahan membran
mukosa, nadi adekuat)
3.
Monitor vital sign
4.
Monitor cairan/makanan dan hitung intake kalon harian
5.
Kolaborasikan pemberian cairan IV
6.
Masukkan oral
7.
Keluarga untuk membantu pasien maka
DX II : Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi ( terputusnya
kontinuitas jaringan akibat pembedahan).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
a. NOC 1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
6. Laporkan frekuensi nyeri
7. Kaji frekuensi nyeri
8. Lamanya nyeri berlangsung
9. Ekspresi wajah terhadap nyeri
10. Perubahan TTV
b. NOC 2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil:
1. Mengenal faktor penyebab
2. Gunakan tindakan pencegahan
3. Gunakan tindakan non analgetik
4. Gunakan analgetik yang tepat
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC:
Manajemen Nyeri
1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri
termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.
2) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan
terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
3) Berikan analgetik dengan tepat.
4) Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur.
5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya:
relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)
DX III : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kerusakan neurovaskuler (nyeri).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pasien dapat meningkatkan mobilisasi pada tingkat yang
paling tinggi
NOC: Mobility level
Kriteria Hasil:
a. Keseimbangan penampilan
b. Memposisikan tubuh
c. Gerakan otot
d. Gerakan sendi
e. Ambulansi jalan
f. Ambulansi kursi roda
Ket Skala:
1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang
lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dapat melakukan sendiri
dengan bantuan alat
5 = Mandiri
NIC:
Exercise Therapy: Ambulation
1) Bantu pasien untuk menggunakan fasilitas
alat bantu jalan dan cegah kecelakaan atau jatuh
2) Tempatkan tempat tidur pada posisi yang
mudah dijangkau/diraih pasien.
3) Konsultasikan dengan fisioterapi tentang
rencana ambulansi sesuai kebutuhan
4) Monitor pasien dalam menggunakan
alatbantujalan yang lain
5) Instruksikan pasien/pemberi pelayanan
ambulansi tentang teknik ambulansi.
DX IV : Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi
fisik.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi.
NOC: Integritas Jaringan:
kulit dan membran mukosa
Kriteria Hasil:
a. Sensasi normal
b. Elastisitas normal
c. Warna
d. Tekstur
e. Jaringan bebas lesi
f. Adanya pertumbuhan rambut dikulit
g. Kulit utuh
Ket Skala:
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang-kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi
NIC: Skin Surveilance
1) Observation ekstremitas oedema, ulserasi,
kelembaban
2) Monitor warna kulit
3) Monitor temperatur kulit
4) Inspeksi kulit dan membran mukosa
5) Inspeksi kondisi insisi bedah
6) Monitor kulit pada daerah kerusakan dan
kemerahan
7) Monitor infeksi dan oedema
DX V : Resiko infeksi berhubungan
dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap
patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan infeksi tidak
terjadi.
NOC 1: Deteksi Infeksi
Kriteria Hasil:
1. Mengukur tanda dan gejala yang
mengindikasikan infeksi
2. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
3. Mampu mengidentifikasi potensial resiko
NOC 2: Pengendalian Infeksi
Kriteria Hasil:
1. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi
2. Mampu memonitor faktor resiko dari
lingkungan
3. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko
infeksi
4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi
resiko
Ket Skala:
1 = Selalu menunjukkan
2 = Sering menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Jarang menunjukkan
5 = Tidak pernah menunjukkan
NIC: Teaching diases proses
6) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
7) Sediakan informasi tentang kondisi pasien
8) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
9) Gambaran tanda dan gejala penyakit
10) Instruksikan pasien untuk melaporkan
kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan.
- EVALUASI
Pre operasi
DX
|
KRITERIA HASIL
|
KETERANGAN
SKALA
|
I
|
NOC: Inkontinensi urine
1. Bebas dari kebocoran urine diantara
berkemih. (4 )
2. Kandung kemih kosong sempurna. (4)
3. Tidak ada sisa setelah buang air >
100-200cc. (4)
4. Asupan cairan dalam rentang yang
diharapkan.(4 )
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
II
|
NOC 1: Level Nyeri
1. Laporkan frekuensi nyeri (4)
2. Kaji frekuensi nyeri. (4)
3. Lamanya nyeri berlangsung (4)
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri (4)
5. Perubahan TTV (4)
NOC 2: Kontrol Nyeri
1. Mengenal faktor penyebab (4)
2. Gunakan tindakan pencegahan(4)
3. Gunakan tindakan non analgetik(4)
4. Gunakan analgetik yang tepat(4)
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
III
|
NOC 1: Deteksi Infeksi
1. Mengukur tanda dan gejala yang
mengindikasikan infeksi (4)
2. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
(4)
3. Mampu mengidentifikasi potensial resiko(4)
NOC 2: Pengendalian Infeksi
1. Pengetahuan tentang adanya resiko
infeksi(4)
2. Mampu memonitor faktor resiko dari
lingkungan
3.
Membuat
strategi untuk mengendalikan resiko infeksi. (4)
4.
3.
Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko (4)
5.
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
IV
|
NOC: Control Cemas
1. Monitor Intensitas kecemasan (4)
2. Menurunkanstimulasi lingkungan ketika
cemas (4)
3. Menggunakan strategi koping efektif (4)
4. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
(4)
5. Menggunakan teknik relaksasi untuk
menurunkan cemas (4)
|
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
|
V
|
NOC: Pengetahuan: proses penyakit.
1. Mengenal tentang penyakit (4)
2. Menjelaskan proses penyakit(4)
3. Menjelaskan penyebab/faktor yang
berhubungan 4
4. Menjelaskan faktor resiko(4)
5. Menjelaskan komplikasi dari penyakit(4)
6. Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit(4)
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
Pasca operasi
DX
|
KRITERIA HASIL
|
KETERANGAN
SKALA
|
I
|
NOC : Fluid
balance
1. Mempertahankan urine output sesuai
dengan usia 4
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam
batas normal(4)
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi,
elastisitas turgor kulit baik. (4)
4. Membran mukosa lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan. (4)
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
II
|
NOC 1: Level Nyeri
1. Laporkan frekuensi nyeri (4)
2. Kaji frekuensi nyeri(4)
3. Lamanya nyeri berlangsung(4)
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri(4)
5. Perubahan TTV(4)
NOC 2: Kontrol Nyeri
1. Mengenal faktor penyebab(4)
2. Gunakan tindakan pencegahan(4)
3. Gunakan tindakan non analgetik(4)
4. Gunakan analgetik yang tepat(4)
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
III
|
NOC: Mobility level
1. Keseimbangan penampilan (5)
2. Memposisikan tubuh(5)
3. Gerakan otot(5)
4. Gerakan sendi(5)
5. Ambulansi jalan(5)
|
1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dapat melakukan sendiri dengan bantuan alat
5 = Mandiri
|
IV
|
NOC: Integritas Jaringan: kulit dan membran
mukosa
1. Sensasi normal(4)
2. Elastisitas normal(4)
3. Warna(4)
4. Tekstur(4)
5. Jaringan bebas lesi(4)
6. Adanya pertumbuhan rambut dikulit(4)
7. Kulit utuh(4)
|
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang-kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi
|
V
|
NOC 1: Deteksi Infeksi
1. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan
Infeksi(4)
2. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan(4)
3. Mampu mengidentifikasi potensial resiko(4)
NOC 2: Pengendalian Infeksi
1. Pengetahuan tentang adanya resiko
infeksi(4)
2. Mampu memonitor faktor resiko dari
lingkungan.4
3. Membuat strategi untuk mengendalikan
resiko infeksi. (4)
4.
4.
Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko(4)
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,
L. J., 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Alih Bahasa Monica
Ester, EGC, Jakarta.
Corwin,
E. J., 2000, Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P., EGC, Jakarta.
Doenges,
M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., 1999, Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien,
Edisi 3, Alih Bahasa I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati, EGC, Jakarta.
Engram,
B, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
Jhonson,
Marion, dkk. 2000. NOC. Jakarta: Morsby.
Mansjoer,
A., dkk, 2000, Kapita SelektaKedokteran, Edisi
Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
McCloskey,
Cjoane, dkk. 1995.NIC. Jakarta: Morsby.
NANDA,
2005, Panduan Diagnosa Keperawatan. Nanda 2005-2006, Editor Budi
Santoso, Prima Medika, Jakarta.
Potter,
P. A., & Perry, A. G., 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Prose.c, dan Praktik, EGC, Jakarta.
Price,
S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Purnomo,
B. B., 2000, Dasar-dasar Urologi, CV Info Medika, Jakarta.
Sjamsuhidajat,
R., & de Jong, W., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Smeltzer,
S. C., & Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner
& Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B., Edisi 8, EGC, Jakarta
No comments:
Write komentar