Thursday, November 28, 2013

Pulang Ke Rumah Mertua di Istana Kaibon

Anakmu tak betah bu tinggal di Kerisidenan Serang, situasi disini biasa aja, warganya banyak yang pergi kesawah dan ke ladang dengan komunitas Tionghoa yang begitu banyak terutama di daerah pasar Turi, sedangkan teman untuk bermain saya tidak ada, gak kaya di daerah ibu ku warganya ramah-ramah terutama warga pesisir di Daerah Karang Hantu yang sangat ramai dengan perahu besar hingga kecil hilir mudik ke pantai yang luas, sejak kepindahaan aku ke Serang kurang lebih jaraknya 30 KM, ya terpaksa aku ke sini untuk istriku karena ia mersa kurang betah di daerah pusat pemerintahn Banten, sebenaranya ibunya  menyuruh aku dan istriku untuk tinggal di Kaibon, dengan tuntutan istriku bahwa ia ingin melepas kehidupan dari ibunya di Kaibon dan kebetulan aku punya sebidang tanah dan usaha tembikar di daerah Pisang Mas, jarak tempat usaha dan rumah kami yang baru tidak terlalu jauh sih, Saat itu kerisidenan masih belum seramai saat ini.

sebenarnya hati nurai ku ingin tinggal bersama mertua ku, karena sejak dulu cita-cita aku ingin paham ilmu pemerintah dan perang, terutama menggunakn Keris dan Tombak, apa daya istriku begitu melas ingin pisah rumah dengan ibunya, ya mau nolak gimana sedangkan saat itu ia lagi hamil 2 bulan mungkin ngidam kali ya. ya dengan lapangan dada dan dengan rasa cinta kepada istriku, ku relakan cita-citaku tak tergapai.

sejak kepindahaan kami ke Serang, kehidupan mulai tersa betah dan sederhana dengan berbagai keanekaragaman warganya, mulai dari kaum pedagang Tionghoa dan penduduk asli Pandeglang yang logatnya beda dengan kami saat itu, suku sunda berasal kebanyakan dari Pandeglang terutama daerah Cadasari dan Mandalawangi.

Berselang 7 bulan saat mau kelahiran istriku yang mungkin sudah bulannya, saya cemas dan bimbang sedangkan gak ngerti soal kelahiran, dukun beranak sangat lah jauh , dengan jarak hampir 5 KM aku berlari menjemput dukun beranak agar membantu kelahiran astriku melahirkan saat itu delman jarang sekali lewat, ya terpaksa jalan kaki, dengan rasa cemas aku berbicara pada Dukun Branak: "Mbok cepet dikin takut sing kalen nih istriku, udah sakit dari subuh", kata si Mbok Dukun, "ye nih khan tugas Gusti yan kita harus bersha sebaik mungkin, in juga si Mbok agak dicepetin nak, maklum agak lambat mboknya udah tuaa'.

Tidak berselang lama kami pun sampai di rumah, duh dengan kesakitan menjerit2 istriku langsung ditolng oleh mbak dukun, nah tidak bersalang lama akhirnya anak kami lahir juga, nah alhamdulilah anak kami laki-laki, wah dengan rasa bangga anak ku laki-laki akan ku jadikan prajut kerjaan yang perkasa untuk menggantikan cita-cita aku yang tak kesampean nih. hahhaha, dengan rasa bersykur, alhamdulilah proses kelahiran istriku bejkalan lancar sehat ibunya dan anknya pun sehat muntok.

sejak kelahiran anak kami, berselang sebulan saya berbicara pada istriku, Nur kita khan dah unya ank laki-laki yang gagah kita pulang dulu ke ibu kamu ya, mungkin bangga ibumu kepada kita yang memberikan cucu gagah ganteng sperti ayahnya ini, siapa tahu dia akan mengangkat anak kita jadi pangeran di Kaibon.

Dengan rasa bagga kami pun berniat ke Ibu Mertua di Kaibon, perjalanan kami sangat melelahkan karena kenapa jalan yang masih berpasir dengan batu kerikil yang cukup merepotkan kereta delman yang kami tunggangi. sebabnya Ibu mertua ingin memberikan fasilitas keraton ke Anaknya Nur Salamh Al Tirtayasa. akan tetapi dia menolak karena menghormati aku sebagai orang biasa agar dia ikut  ke dalam kehidupanku yang biasa ini, hingga dia maksa untuk meninggalkan Kaibon.

Tampak dari kejauhan gerbang Kaibon nampak, tapi saya heran ko ada asap yang mengepul sebesar ya, ada apa gerangan sedangkan di keraton jarang menyalakan api yang sangat besar. Dengan meyuruh agar kecepatan kereta delman kami dipercepat untuk sampai tujuan. sesekali ku lihat istriku sambil mengendong anak kami dengan sangat cemas. dan sesampainya di pintu gerbang Keraton Kaibon ibu mertua ku kami gak percaya, Kaibon telah dibakar oleh Belanda pada pagi hari dengan tertegun aku dan istriku mengais, bahwa apa salah kami kepada Belanda yang sangat ramah kepada mereka. ada beberap prajurit keprcayaan Mertua ku, aku kesana sambil bertanya: "kenapa ini saudaraku?, Dia menyahut, "kerjaan pusat di Titayasa kalah hingga petinggi kerajaan mangungsi dan kami bertekuk lutu ke mereka, Mesjid, Keraton Baginda dan semuanya dibakar mereka.

Pupus sudah harapan kami untuk memperkenalkan cucu kebanggaanku kepadanya, kini pupus harapan untuk bertemu meryua ia telah meninggal terbakar beserta pengawalnya di Keraton, betapa bejatnya Belanda tersebut. hati dan jiwa kami sangat terpukul. hingga kebencian ku memuncak pada mereka sangat kesumat.

Saya dan istriku turut mengungsi sesuai nasihat Ky Rasyid ke Puncak Pandeglang daerah yang diapit 4 gunung kebanggan Banten yaitu Daerah  Mandalawangi, untuk menghilangkan jejak kaki dari intaian Belanda karena keturunan kerajaan sangat mereka buru hal ini terkait dengan Istriku salah satu pewaris kuat tahta Kerjaan Banten. yang kelak tak mungkin meneruskan keajyaan Banten di masa mendatang karena hegemoni Belanda begitu Besar hingga ke pelosok Banten dan kami memilih menyembunyikan  identitas sebagai pewaris tahta kerajaan Banten generasi ke 3 sebagai petani seperti warga lainnya. karena kami anggap Mandalawangi sebagai surga khayangan kami yang baru di Banten.   


Keraton Kaibon Kini


Pintu gerbang, tempat kesukaan kami bercengkrama dengan prajurit



Latar di dalam Keraton, tempat kami belajar bela diri dan taktik perang, sekaligus menggoda puri-putri raja hehehe


Latar Bagian seletan tempat bermain, yang kini tempat buat latihan Bola aduh,,


Nih Bangun Utama sebagi Aula sekaligus tempat ibadah solat berjamaah warga Keraton, yang kini beratapkan langit


SW-Lintas Babad dan Cerita