Thursday, November 28, 2013

Posisi Pancasila Sebagai Dasar Negara Perlu Direvitalisasi

November 28th, 2013  

Serang,FESBUK  BANTEN News (278/11/2013)  - Praktik pemerintahan yang berbeda dari setiap rezim dalam memaknai Pancasila dituding sebagai salah satu penyebab menurunnya diksusi Pancasila. Posisi Pancasila sebagai dasar negara perlu kembai direvitalisasi. Hal itu terungkap dalam dialog kebangsaan dengan tema Pancasila Dasar Negara Bukan Pilar yang diselengarakan Komando Resimen Mahasiswa Mahabanten di Auditorium IAIN SMH Banten, Rabu (27/11). 
Dari kiri, dr Mufti Ali, Moderator, Gandung Ismanto, ABdul Malik (Rektor Unsera).(pipisandy)
Dari kiri, dr Mufti Ali, Moderator, Gandung Ismanto, ABdul Malik (Rektor Unsera).(pipisandy)


Pada masa Soekarano, demokrasi liberal dipraktikan di Indonesia melalui UUD 1950. Sistem pemerintahan presidensial diubah menjadi parlementer. Pemilu 1955 digelar diikuti oleh banyak partai. Pemilu itu diakui adalah pemilu yang paling demokratis sebelum 1999. Namun, demikian praktik demokrasi liberal menyebabkan instabilitas politik. “Ini memaksa Soekarno mengeluarkan dekrit 1959 untuk membubarkan parlemen,” Papar Gandung Ismanto.

Orde baru berkuasa Pancasila dipraktikan dalam gagasan welfare state (negara kesejahteraan). Alhasil, negara mengambil peran dominan dalam kehidupan berbangsa, sehingga membuat civil society lemah. “Otoritarian dibangun dan difigurkan melalui Soeharto,”kata Gandung.

Pun, reformasi bergulir Pancasila oleh MPR dijadikan Pilar negara, bukan dasar negara. Kedua istilah itu sering bertukar, tapi memiliki pemahaman dan makna berbeda. Menurutnya secara akademis analogi yang tepat untuk hal fundamental bagi bangsa yang akan membentuk negara adalah ‘dasar’ bukan ‘pilar’. “Karena ahli bahasa akan menanyakan kalau Pancasila itu ‘pilar’ maka dasarnya apa? Sedangkan UUD 45 itu pengembangan dari Pancasila sebagai ‘dasar’ negara,” papar Gandung. Diperlukan revitalisasi Pancasila yang sedang mengalami defisit diskusi. “Dibutuhkan praktik kehidupan Pancasila, bukan hanya menghafal,” ujar Gandung.

Anomali
Gandung menilai, era reformasi justeru semakin terlihat anomali Pancasila sebagai dasar negara. Anomali itu dapat dilihat dari carut marut tata kehidupan bangsa dan negara. “Gejala kapitalisasi dan liberalisasi politik yang massif, sehingga Indonesia kehilangan identitas kebangsaan. Demokrasi liberal itu diikuti oleh suatu parasit namanya Kapitalisme. Artinya, kontestasi pemilu hanya dapat diikuti oleh kaum plutokrat yang diterjemahkan orang-orang kaya,” katanya.

Bahkan, liberalisasi poltik menghasilkan sistem politik oligarki, aristokrasi, dan dinasti. “Kondisi bangsa yang belum cukup siap menerima demokrasi liberal atau dalam bahasa saya belum ada domestikasi demokrasi. Demokrasi harus disesuaikan dengan karakter bangsa,” kata Gandung.

Sementara Kepala Bantenologi IAIN SMH Banten Mufti Ali mengatakan, hal yang paling mungkin untuk kembali mendekatkan Pancasila di masyarakat, terutama perguruan tinggi dengan cara menerapkan disiplin ilmu dengan semangat Pancasila. “Di UGM (Universitas Gajah Mada,red) ini dilakukan, seperti ada mata kuliah ekonomi Pancasila dan sebagainya,” jelasnya.

Mufti Ali menambahkan, agar mahasiswa selalu melakukan re-interpretasi terhadap Pancasila. “Jangan hanya hafal, tapi mahasiswa harus mampu menjelaskan. Jangan ada kesan penataran dalam Pancasila,” harapnya.

Dekan FISIP Universitas Serang Raya Abdul Malik melihat bahwa Pancasila mendapat tantangan yang luar biasa sebagai dasar negara. “Sebagai ideologi Pancasila harus tahan di tengah pergesekan ideologi lain seperti kapitalisme yang mencengkram masyarakat kita,” katanya.

Ketua Pelaksana Dialog Rahmat menginginkan agar jangan sampai mahasiswa menutup mata terhadap kondisi ini. “Mahasiswa harus peka dan memahami lebih mendalam persoalan menyangkut Pancasila. Jangan sampai kalah oleh publik,” harapnya. (pipisandy/LLJ)

Sumber: Facebook Banten News