oleh
Banten adalah provinsi baru yang terus tumbuh dan berkembang. Letaknya yang strategis di Pulau Jawa menjadikan Banten diberkahi dengan geostrategis yang luar biasa, di samping potensinya yang juga berlimpah. Karenanya 'gelar' Gerbang Investasi sepertinya tak berlebihan mengingat kedua alasan tersebut, di samping gerbang utama dalam arti yang sebenarnya memang terdapat di Banten, yaitu Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Letaknya yang sangat dekat dengan Jakarta, membuat Banten mendapat luapan berkah dari Ibukota yang sudah terlalu overloaded. Banten pun tumbuh menjadi daerah industri, perdagangan dan jasa yang menjadi penyangga Ibukota, menjadi bagian integral dari kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Karenanya Banten menjadi primadona bagi para pencari kerja di ketiga sektor ini dalam 30 tahun terakhir. Banten telah menjadi salah satu daerah dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi karena urbanisasi dan imigrasi, baik yang permanen maupun komuter. Banten benar-benar menjadi tanah harapan bagi penduduk usia produktif di seluruh Indonesia, yang menstimuli 'eksodus' ke daerah yang telah sangat dikenal dunia sejak abad ke-15. Sebuah daerah kaya yang menjanjikan kesejahteraan lahir karena keberlimpahan potensi alamnya sekaligus ketenteraman batin karena kekayaan spiritualnya, 'land of hope'. Itulah Banten adanya, negeri cantik jelita, nan elok dipandang mata dan sangat menjanjikan harapan akan masa depan yang paripurna.
Tapi eits, tunggu dulu! Orang bijak mengatakan "don't judge the book from its cover". Karena jangan-jangan yang elok dipandang itu hanyalah fatamorgana. Jangan-jangan yang tampak jelita itu karena tebal kosmetik dan aksesorisnya. Dan jangan-jangan yang tampak cantik itu hanya luarnya saja, tetapi buruk hatinya.
Artikel ini sengaja ditulis untuk membantu kita berkaca. Mungkin juga dapat sedikit menghibur dari stres dan kepenatan kita yang seharian diliputi kemarahan dan sakit pinggang karena harus berkonsentrasi penuh menghindari lubang-lubang di jalan raya yang dari hari ke hari makin besar dan sulit dihindari. Karenanya jangan terlalu serius pasang "kuda-kuda" untuk melakukan pembenaran-pembenaran. Santai saja, dan nikmati artikel ini, insya Allah hati kecil kita akan tersenyum bahkan tertawa menerima secara positif kenyataan buruk yang sehari-hari kita akrabi selama ini.
Susah
Kalau sehari-hari kita naik kuda, mungkin hidup jadi tak begitu susah. Mengapa? Karena kuda gak butuh jalan mulus dan rata. Sementara menurut data, saat ini lebih dari 60% jalan provinsi kita rusak. Tahun 2010 bahkan lebih parah. Dari 889 km jalan provinsi, tercatat 79%-nya rusak. Laju kerusakan yang lebih tinggi dibanding kapasitas untuk memperbaiki makin memperburuk keadaan. APBD 2011 misalnya, target penurunan jalan rusak ringan hanya 12,5%, rusak sedang 0,19%, dan rusak berat hanya 0,5%, padahal APBD 2011 meningkat fantastis dari Rp.2,4 menjadi Rp.3,4 triliun. Akibatnya, menurut perkiraan para pelaku pariwisata di Banten, kerugian yang mereka derita mencapai Rp.2 miliar per bulan.
Soal kerugian ternyata tidak cuma dialami pelaku pariwisata, pelaku bisnis transportasi juga profit margin-nya berkurang karena biaya
operasi dan perawatan yang meningkat. Kerusakan dan kecelakaan pun meningkat karena pembawaan sopir yang jadi mudah marah karena kelelahan dan sakit pinggang. Tukang bakso juga harus siap merugi karena peluangnya makin kecil untuk selamat saat melewati jalan yang rusak, seperti tukang bakso yang Saya lihat saat gerobaknya terguling kemarin. Sebagian kaum perempuan juga khawatir sehingga sebagian dari mereka berencana menunda kehamilan, sebagian lagi bahkan menunda pernikahan karena jalan yang tak bersahabat tersebut. Mengapa? Mungkin mereka percaya bahwa peluang untuk hamil sehat dan selamat di Banten makin kecil karena buruknya jalan di wilayah ini. Dan, mungkin juga ini yang menjadi sebab masih tingginya kematian ibu dan bayi di Banten yang masih di atas 200/100 ribu dan 30/1000 kelahiran hidup. Entahlah, yang pasti karena jalan yang buruk ini sebagian orang jadi merugi dibuatnya.
Tapi tunggu dulu, ternyata tidak semua orang merugi dengan jalan yang buruk ini. Mengapa? Pertama, karena jalan buruk ternyata bisa jadi identitas daerah. Lho kok bisa? Jawabnya sederhana, karena menurut 'survey' 99 dari 100 orang yang berkendara dari daerah lain segera menyadari telah masuk wilayah Banten karena guncangan yang dialaminya telah bisa diukur dengan 'skala richter'. Karenanya, Banten sangat dikenal oleh banyak orang, bukan? Hmm, iya juga! Kedua, menurut sumber informal dari sejumlah teman di luar daerah, Banten ternyata surga bagi para wisatawan setelah Bali. Tentu Saya tak habis pikir dengan fakta ini, kok bisa? Setelah dijelaskan baru saya paham, ternyata jalan-jalan di Banten yang sangat buruk menjadi surga bagi para off-roader yang menyukai tantangan. Mereka bahkan berencana menambahkan rute rally Paris-Dakkar menjadi "Paris-Dakkar-Gunung Kencana". Hmmm, benar juga ya! Kalau begini, jangan-jangan kritik banyak orang selama ini salah total, karena sebenarnya konsep pariwisata yang dikembangkan di Banten bukanlah tourism yang menawarkan kenyamanan melainkan adventure yang lebih memompa adrenalin. Atau jangan-jangan sebagian besar ruling
elite saat ini hobby-nya off-road sehingga makin rusak jalan tentu makin menggairahkan mereka. Atau mungkin, karena menurut pemerintah orang Banten sudah sejahtera, sebagian besar mereka mengalami masalah dengan berat badannya sehingga butuh vibrasi ekstra sepanjang pergi dan pulang beraktivitas sehari-hari untuk menurunkan berat badannya, dan membiarkan jalan rusak adalah solusi praktis yang murah meriah. Entahlah, yang pasti jalan kita memang faktanya rusak, serusak pihak berwenang yang lebih mementingkan kekuasannya dengan membiarkannya tetap rusak. Hmmmmm, jadi serius lagi deh urusannya.
Susah Lagi
Bagi orang yang percaya statistik, tinggal di Banten itu sangat menakutkan. Mengapa? Karena menurut Menteri Kesehatan RI, berobat di Banten itu paling susah! Pasalnya, pertama Banten adalah provinsi dengan jumlah puskesmas terrendah di Indonesia, yang hanya 2 puskesmas/100 ribu penduduk. Artinya? Bayangkan kalau 10%nya saja berobat dalam 5 hari kerja, berarti ada 1000 pasien per hari yang antri di puskesmas. Hmmm, sanggup gak? Kedua, masih menurut Ibu Menkes, Banten juga adalah provinsi dengan jumlah dokter paling sedikit di Indonesia, yang hanya 3,54 per 100 ribu jiwa. Artinya setiap 1 dokter melayani 28.249 pasien. Bayangkan bila dari jumlah itu 10%-nya saja berobat dalam 5 hari kerja, berarti ada sekitar 564 pasien yang harus dilayani oleh setiap dokter tiap harinya. Pantaslah bila menurut Ibu Menkes banyak (86%) orang Banten yang lebih memilih berobat ke dukun dan ke paraji untuk melahirkan, karena gak tahan ngantri di klinik dan puskesmas, apalagi biayanya mahal. Ketiga, tinggal di Banten juga berarti harus siap menghadapi penyakit dan kematian. Karena Banten adalah provinsi tertinggi di Indonesia prevalensi penyakit cacingan (60,7%), ditambah hanya 27,5% saja warga Banten yang memiliki akses terhadap air minum sehat dan aman, dan ini tercatat sebagai provinsi terrendah di Indonesia. Dan karena ini pula Banten dicatat oleh Ibu Menkes sebagai provinsi denganp persentase Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terrendah ke-2 secara nasional setelah Papua Barat. Jadi wajar bila pada setiap 100 ribu kelahiran ada 200 ibu yang meninggal. Demikian juga bayi, yang 3%-nya pasti meninggal sebelum usia 5 tahun. Jadi, siapa yang masih berani tinggal di Banten?
Lagi-lagi Susah
Banten yang kaya ternyata tidak menjanjikan kesejahteraan. Hmmm, apalagi nih! Kali ini bukan Ibu Menkes yang membuktikan, tapi BPS. Buktinya? Pertama, cari kerja di Banten itu susah. Dalam 10 tahun terakhir pengangguran meningkat dari 10,32% menjadi 14,13%; tambahan angkatan kerja baru yang mencapai 115.543 orang per tahun tidak sebanding dengan kesempatan kerja yang hanya tersedia rata-rata sebanyak 99.976 orang per tahun. Penganggur yang sekarang mencapai 726.377 orang tidak akan dapat teratasi dengan struktur perekonomian daerah yang 'njomplang' antara Utara dan Selatan-nya, dan antar sektornya. LPE saat ini (5,64%) hanya mampu menyerap 106.920 tenaga kerja saja, artinya peluang untuk bisa bekerja hanya 1 dari setiap 7 orang. Kedua, LPE saat ini hanya mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,18% yang berarti 99,82% orang miskin harus bersabar untuk tetap dalam kemiskinan. Ketiga, tinggal di Ibukota Provinsi yang katanya serba enak dan lengkap fasilitasnya pun ternyata tak seindah mitosnya, karena biaya hidup di Kota Serang ternyata paling tinggi dibanding kab/kota se-Banten, mencapai Rp3.135.503/bulan. Padahal Tangerang yang tergolong metropolitan biaya hidupnya hanya Rp.2.881.407. Dan keempat, yang paling harus bersabar dari semua kondisi ini adalah warga Banten yang tinggal di Selatan, karena faktanya kemajuan yang ada selama ini hanya dinikmati oleh warga Banten yang tinggal di Utara. Data BPS menunjukkan bahwa setiap 1% kenaikan LPE justru meningkatkan ketimpangan wilayah sebesar 0,19%. Artinya, kalau Utara makin sejahtera maka warga di Selatan dipastikan akan makin terpuruk. Hmmm, nasib-nasib!
Buat Apa Susah
"Buat apa susah? susah itu tak ada gunanya". Sepenggal lirik lagu ini mungkin ada benarnya. Senada maknanya dengan "gitu aja kok repot" kata (alm) Gus Dur. Karenanya hidup kita yang sudah susah jangan disikapi dengan susah karena hanya akan makin membuat susah. Tetapi di sisi lain rakyat tidak boleh susah untuk menghukum siapapun yang telah membuat hidup mereka serba susah. Kalau ini bisa dilakukan, maka susah itu tentu ada gunanya. Kata orang bijak, "belajar dari kesusahan agar tidak susah adalah bijaksana. Sebaliknya hidup susah yang tidak jadi pelajaran adalah bencana". Karena itu, tak usah susah-susah, pilih saja calon yang tidak bikin hidup kita susah pada Pilgub mendatang. Insya Allah yang susah akan menjadi mudah, yang susah akan sudah. Gak susah kan?