oleh Romo Gandung Ismanto pada 03 Agustus 2010 jam 15:16
Rencana Pembangunan Rumah Dinas Gubernur menuai kritik dari masyarakat. Dari sejumlah berita di media cetak lokal, ada 3 hal yang mendorong munculnya polemik dari rencana tersebut, yaitu: (1) terkait dengan anggarannya yang dinilai fantastis, yang mencapai Rp.16,14 Milyar dan secara multiyear yang akan dibebankan kepada APBD 2010 dan 2011; (2) terkait dengan lokasi pembangunannya yang akan menggusur aula Setda yang dinilai masih memiliki nilai ekonomis tinggi dan karenanya dianggap sebagai kebijakan yang inefisien dan pemborosan anggaran; dan (3) terkait dengan rencana implementasinya yang dinilai tidak tepat waktu, tidak sensitif terhadap problematika yang dihadapi masyarakat, dan tidak terlalu mendesak sebagai prioritas pembangunan saat ini.
Dalam konteks legal, Kepala Daerah memiliki hak untuk memperoleh rumah dinas, termasuk dengan cara menyewa sebagaimana yang selama ini dilakukan. Hak Kepala Daerah ini diatur dalam PP Nomor 109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sekedar catatan, pemenuhan kebutuhan rumah dinas Gubernur selama ini telah dipenuhi dengan cara sewa dengan anggaran sebesar Rp.250 juta/tahun. Pada tahun 2007-2008, Wakil Gubernur telah terlebih dahulu dibangunkan rumah dinas di bilangan pusat kota Serang dengan nilai mencapai Rp.8,8 M.
Dalam perspektif ekonomi politik, menurut ekonom Dahnil Anzhar, penetapan waktu pelaksanaan pembangunan dinilai kurang tepat, karena tidak terlalu urgen disamping cenderung mengabaikan azas prioritas dan peluang alokasi biaya (oppurtunity cost) yang hilang dalam alokasi anggaran publik. Bila ini dipaksakan, akan muncul stigma karakter Pemprov yang tidak peka, inefisien, dan tidak akan mendorong insentif pengembangan bisnis dan ekonomi sehingga secara psikologis akan berdampak pada meningkatnya resistensi terhadap masuknya peluang investasi di Banten.
Namun demikian, di sisi lain pembangunan rumah jabatan gubernur juga dianggap urgen karena tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, namun juga sebagai tempat kegiatan-kegiatan kenegaraan, menerima tamu negara, dll. Apalagi Provinsi lain seluruhnya telah memiliki rumah jabatan gubernur, sementara Banten telah selama 10 tahun "bersabar" dan menunda pembangunannya sebagai bentuk empati dan konsistensi terhadap permasalahan yang lebih prioritas.
Pada akhirnya, beberapa catatan penting nampaknya patut kita cermati dari "sudut pandang" kemarin, yaitu:
pertama, soal besaran anggaran sebenarnya tidak terlalu berlebihan karena dana sebesar Rp.16 M tersebut tidak seluruhnya dipergunakan untuk pembangunan rumah dinas tersebut, melainkan juga untuk penataan kawasan pendopo sebagai benda cagar budaya yang harus dijaga kelestariannya. Dan komitmen ini telah sangat jelas ditegaskan oleh pemerintah;
kedua, lokasinya yang akan menggusur aula setda sangat disayangkan oleh banyak pihak karena alasan pemborosan anggaran serta pupusnya harapan sebagian besar masyarakat agar Pendopo Karesidenan dapat dimanfaatkan sebagai museum ataupun taman budaya yang dapat menjadi ikon kebudayaan Banten sekaligus etalase Banten yang dapat menjadi obyek wisata strategis di Ibukota.
ketiga, kritik terkait besaran anggaran sebenarnya bukan muncul karena angka 16 M-nya, karena bila dibandingkan dengan DKI anggaran rumah dinasnya mencapai 28 M, Papua Barat 22 M, Kaltim 35 M, dll. Namun lebih karena transparansi dan akuntabilitas anggaran Pemprov selama ini memang dinilai publik sangat rendah. Dan stigma ini wajar karena belum lama publik telah "dicekoki" fakta menyedihkan temuan BPK dalam LHP-nya terhadap implementasi APBD Provinsi Banten tahun 2009 yang masih bermasalah. Apalagi yang bermasalah adalah SKPD yang sama setiap tahunnya;
Keempat, kalau soal empati terhadap kemiskinan yang masih menjadi wajah Banten, sepertinya akan sangat subyektif walaupun ini tidak dapat dibantah. Ya, faktanya kemampuan berempati pemerintah hari ini memang berada pada titik nadir, baik pusat maupun daerah. Mengapa? Karena Pemilu sudah selesai. Coba ini muncul menjelang Pemilu, pasti banyak wajah "pahlawan kesiangan" yang mendekat dan sangat tegas berani membela rakyatnya. Lihat saja penanganan sejumlah fakta ledakan tabung gas yang amat "lelet" dan saling lempar tanggung jawab. Padahal kata JK, kalau serius sebulan selesai kok. Bayangkan kalau ini terjadi menjelang Pemilu, pasti Calon Presidennya datang ke rumah korban, bukan korbannya yang bersusah payah datang ke Istana. Begitu juga soal Janda Pahlawan kemarin, pasti semua calon presiden berebut datang menebar empati ke rumah mereka, bukan mereka yang harus tertatih-tatih "mepe" di depan istana sekedar menunggu rombongan presiden melewati mereka dan berkenan menyambangi mereka walau sekejap.
Tapi jangan khawatir, masyarakat Banten hanya perlu sabar sedikit karena sebentar lagi tahun 2011. Ada apa di 2011? 2011 kan ada Pemilukada lagi. Jadi dapat dipastikan 2011 adalah tahun empati, tahun sinterklas, tahun pahlawan, dan tahun kedermawanan. Ayo kita buktikan!
Artikel Terkait:
No comments:
Write komentar