oleh Romo Gandung Ismanto pada 11 Oktober 2010 jam 15:07
Dalam konteks yang berbeda, saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa ini adalah bentuk kejahatan regulasi. Kejahatan yang memanfaatkan celah hukum guna melegalkan segala tindakan yang substansinya bertentangan dengan common sense dan etika sebagai penyelenggara negara. Mengapa? karena usulan ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang baik dan bebas KKN. Paling tidak ada 3 alasan yang sangat rasional. Pertama, kehadiran keluarga anggota dewan dalam kunjungan kerja, studi banding dan lain-lain sama sekali tidak memiliki relevansi dan urgensi dengan tugas-tugas sebagai anggota dewan, sehingga kehadirannya tentu sangat dapat dipertanyakan.
Kedua, sedikit atau banyak, langsung atau tidak langsung hal ini dapat membebani keuangan daerah yang berarti bertentangan dengan prinsip efisiensi yang harus selalu dikedepankan dalam pengelolaan keuangan daerah.
Ketiga, karena membebani keuangan daerah untuk hal yang tidak ada relevansinya dengan fungsi DPRD, maka berarti ia bertentangan dengan prinsip money follow function dalam pengelolaan keuangan daerah. Artinya, langsung atau tidak langsung melibatkan anggota keluarga dalam setiap kunjungan kerja DPRD sangat tidak dapat dipertanggungjawabkan secara legal, apalagi secara moral.
Sekarang masalahnya, apakah bila keikutsertaan mereka atas biaya sendiri juga diperbolehkan? Tanpa keraguan saya pun berani mengatakan bertentangan dengan etika. Mengapa? karena kalau mau jalan-jalan kenapa harus ikut numpang suami/istrinya saat kunjungan kerja, kenapa tidak berangkat sendiri saja bersama anggota keluarga yang lain ke tempat wisata yang berbeda, dan mengapa harus pada tempat yang sama dengan tempat suami/istrinya melakukan kunjungan kerja? Jawabnya pasti, tidak lain dan tidak bukan, karena ingin memanfaatkan fasilitas negara yang dimiliki dan digunakan oleh suami/istrinya, langsung ataupun tidak langsung, serta besar maupun kecil.
Pada prakteknya, staf sekretariat DPRD adalah pihak yang pasti akan kewalahan karena tidak berani menolak permintaan anggota DPRD yang meminta mereka meng-SPJ-kan agak lebih untuk membiayai keluarga anggota DPRD yang ikut. Atau memanfaatkan rabat, diskon, atau komisi yang biasanya diperoleh atas sewa hotel dan lain-lain untuk membiayai keluarga mereka yang ikut. Dan dalam konteks budaya kita yang masih ewuh pekewuh, saya yakin ini akan dan pasti terjadi, seperti yang juga selama ini telah terjadi pada sejumlah anggota DPRD yang "mencuri-curi" kesempatan mengikutsertakan kelurganya dalam kunker.
Karenanya, wacana ini harus dihentikan. Masyarakat pun harus mencegah agar jangan sampai usulan ini benar-benar disahkan sebagai kode etik yang justru tidak etis. Kedewasaan, rasionalitas, kejujuran nurani, dan sikap kenegarawanan sangat dibutuhkan guna memahami substansi permasalahan ini. Jangan sampai nantinya DPRD periode ini meninggalkan nila yang akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perwakilan rakyat.
Semoga Allah membukakan pintu hati kepada para pengambil keputusan di DPRD untuk sensitif terhadap penderitaan rakyatnya serta norma dan etika yang berlaku, walau hanya dalam jagad moral yang sangat maya.
Artikel Terkait:
No comments:
Write komentar