Thursday, May 26, 2011

Refleksi Satu Dasawarsa Provinsi Banten

 

oleh Romo Gandung Ismanto pada 04 Oktober 2010 jam 15:57
Pendahuluan
Tak terasa, bulan Oktober tahun ini (2010) Banten akan memasuki usianya yang kesepuluh sejak dibentuk melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 pada tanggal 17 Oktober 2000 lalu. Selama satu dasawarsa tersebut, tak terasa Banten telah mengalami dua periode pemerintahan hingga saat ini, ditambah dengan satu pemerintahan transisi di awal periode pasca terbentuknya Provinsi Banten. Dan tak terasa pula, periode kedua pemerintahan saat ini telah akan mengakhiri tahun terakhir  dari 5 tahun periode kepemimpinannya. Cukup banyak kemajuan yang telah dicapai sepanjang satu dasawarsa perjalanan Provinsi Banten tersebut, kendati tidak berarti tidak terdapat kekurangan dan kelemahan sama sekali didalamnya. Refleksi adalah cara yang bijaksana guna melihat capaian-capaian, masalah dan kelemahan-kelemahan tersebut secara obyektif dan mendasar sehingga dapat diurai dan ditemukan jalan keluar yang lebih substansial di masa mendatang. Dan sepenggal pemikiran ini sengaja penulis dedikasikan bagi seluruh masyarakat Provinsi Banten untuk dapat memahami permasalahan dirinya (self reflection) sehingga dapat dijadikan alat untuk menatap masa depannya sendiri.

Sebagai sebuah refleksi, tulisan ini berusaha menyajikan fakta dan data secara apa adanya, seimbang, dan tentu tidak bermaksud mendiskreditkan siapapun kendati nantinya para pembaca tentu tetap memiliki hak untuk mencernanya dalam perspektifnya masing-masing. Ini penting untuk penulis ingatkan di awal tulisan ini mengingat dua alasan mendasar. Pertama, karena refleksi pada hakikatnya adalah ber-muhassabah yang tentu membutuhkan kejujuran untuk melihat ke dalam dan ke belakang sehingga dapat ditemukenali segala kelemahan di dalam diri sekaligus menyadari kesalahan yang pernah dilakukan. Dan kedua, sedikit pengalaman penulis membuktikan ketidakmampuan  banyak pihak untuk mengapresiasi obyektifitas, keterbukaan, keterusterangan, dan kritik. Ya, karena disamping persoalan kepentingan (politik) dan pencitraan yang membelenggu hampir setiap rejim pemerintahan untuk obyektif dan terbuka, persoalan kejujuran nampaknya telah nyaris menjadi barang langka di negeri yang berketuhanan yang maha Esa ini yang indikasinya sangat mudah kita temukan sehari-hari. Keterbukaan masih jauh panggang daripada api, keterusterangan masih dianggap tabu, dan pengkritik justru dianggap musuh yang harus ‘dilenyapkan’ dan atau ‘disingkirkan’ jauh-jauh. Sikap opositif dianggap menentang dan harus dijauhkan karena mengganggu harmoni dan stabilitas. Dan semua dituntut untuk tidak berbeda pendapat dengan pemimpin bahkan harus sabdho pandhit ratu, padahal dunia menjadi indah karena penuh dengan warna yang beragam, dan perbedaan adalah sunatullah yang harusnya menjadi rahmat. Semoga…


Banten Hari ini
Diakui bahwa telah banyak keberhasilan yang dicapai dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Banten dalam sepuluh tahun terakhir. Dan berbicara mengenai keberhasilan, secara manusiawi nampaknya jauh lebih mudah untuk membuat daftar panjangnya ketimbang menyusun daftar kelemahan apalagi kegagalannya. Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) merupakan dokumen yang paling representatif untuk melihat sejumlah keberhasilan yang selalu diklaim setiap tahun, karena memang format LPKJ didesain untuk itu.

Sejumlah prestasi sebagaimana dilaporkan dalam LKPJ dari tahun ke tahun memang patut diapresiasi karena mengindikasikan sinyal-sinyal positif terhadap keberlangsungan pembangunan yang lebih baik selama ini, seperti: pendapatan daerah yang terus bertumbuh dan selalu melampaui target pencapaiannya tiap tahun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terus bergerak naik, angka kemiskinan dan pengangguran yang terus dapat ditekan secara progresif, serta IPM-G dan Indeks Keberdayaan Gender (IDG) yang juga terus meningkat. Termasuk juga kapasitas resillience perekonomian daerah yang masih dapat bertahan pada Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) 4,69% di tengah terpaan krisis yang cukup dahsyat pada tahun 2008 hingga 2009. Pencapaian kuantitatif ini merupakan keberhasilan yang patut diapresiasi sebagai wujud pengakuan kita terhadap kesungguhan ikhtiar Pemerintah beserta segenap jajaran birokrasi pemerintah Provinsi Banten dalam mewujudkan komitmen pengabdiannya bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat Banten.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejumlah indikator makro menunjukkan kenyataan perubahan yang lebih baik bila dibandingkan dengan Banten pada sepuluh tahun yang lalu. Angka kemiskinan misalnya, saat ini (2009) tersisa 7,64% dari total penduduk Banten, turun sangat signifikan dari angka 9,22% pada tahun 2002. IPM juga meningkat dari 66,6 pada tahun 2002 menjadi 69,8 pada tahun 2009. Angka Buta Huruf juga turun meyakinkan dari 6,22% pada tahun 2003 menjadi 4,79% pada tahun 2008. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) juga mengalami peningkatan sangat progresif dari hanya 73,7 triliun pada tahun 2004 menjadi 122, 5 triliun pada tahun 2008. Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun tercatat menunjukkan kenaikan paling progresif dari sebesar 440 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,7 triliun pada tahun 2009.

Secara fisik tanda-tanda kemajuan juga nampak dari sejumlah perubahan yang terjadi di sejumlah wilayah, seperti : bertambahnya dua daerah otonom yaitu Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan, meningkatnya aktivitas perekonomian di ibukota Provinsi yang ditandai dengan bertumbuhnya pusat-pusat perdagangan dan jasa baru, berhasilnya Provinsi Banten menyelenggarakan even nasional Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ), meningkatnya investasi dalam negeri maupun asing, penyelesaian Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), meningkatnya sejumlah fasilitas umum dan sosial, dan dan masih banyak lagi kemajuan yang direpresentasi oleh sejumlah penghargaan yang diterima oleh Pemerintah Provinsi Banten. Sekali lagi, sejumlah kemajuan tersebut adalah sinyal positif adanya geliat pembangunan daerah yang terus menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Namun demikian, sebagai masyarakat yang agamis maka sepatutnyalah pencapaian-pencapaian tersebut tidak menjadikan tinggi hati, karena itu justru dapat mendorong pada kekufuran terhadap nikmat yang telah dinikmati saat ini. Oleh karenanya, keberhasilan yang telah dicapai tersebut akan justru lebih bermakna bila mampu direfleksikan secara positif dengan sikap rendah hati serta mengakui masih adanya berbagai kelemahan dan kekurangan yang menjadi penghambat pencapaian-pencapaian tersebut. Dan bila ini mampu dilakukan bersama maka insya Allah ini merupakan manifestasi terbaik dari ungkapan rasa syukur pada Allah yang masih memberikan kemudahan kepada pemerintah dan seluruh masyarakat Banten untuk mencapai keberhasilan-keberhasilan tersebut kendati masih banyak kelemahan dan kekurangan yang belum mampu diatasi sepanjang satu dasawarsa terakhir.

Terkait dengan hal ini harus diakui pula bahwa terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang belum dapat ditangani dengan baik. Pekerjaan rumah yang justru menjadi  core problem yang melatari pemikiran dan motivasi  pembentukan Provinsi Banten. Ya, persoalan disparitas utara-selatan, kemiskinan, pengangguran, kebodohan dan ketertinggalan, serta buruknya infratruktur wilayah yang masih menjadi ‘icon’ Banten pada umumnya atau beberapa daerah di Banten pada khususnya. Inilah permasalahan mendasar yang harusnya menjadi common platform dan prioritas pembangunan di Provinsi Banten.

Sejumlah data pada tahun 2009 paling tidak dapat merepresentasi sejumlah persoalan mendasar tersebut yang juga sekaligus mengindikasikan lemahnya kinerja pemerintah dalam mencapai target pembangunan yang telah ditetapkan, misalnya: masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang masih mencapai 252 kasus/100.000 kelahiran; Angka Kematian Bayi (AKB) masih mencapai 32 kasus/1.000 kelahiran;  angka pengangguran juga masih berada jauh diatas rata-rata nasional, bahkan tertinggi di Indonesia (14,97%); IPM tahun 2009 yang hanya mencapai 69,80%, jauh dari target tahun 2009 yang harusnya mencapai 72,75% kendati belakangan targetnya direvisi menjadi 70,65%; dan Laju Pertumbuhan Ekonomi  (LPE) 2009 hanya mencapai 4,76% dari target 6,97% yang kemudian direvisi menjadi 4,69%.

Tingkat efisiensi anggaran dalam kontribusinya terhadap peningkatan/ pencapaian target-target RPJMD di atas juga dinilai sangat rendah dan cenderung irrasional. Sinyalemen ini dapat dilihat dari rasio komparatif antara besaran anggaran terhadap peningkatan yang berhasil dicapai, misalnya: untuk menaikkan IPM dari 69,50% pada tahun 2008 menjadi 69,80% pada tahun 2009 dihabiskan anggaran mencapai  Rp.268 milyar lebih, yang berarti untuk menaikkan IPM sebesar 0,1 poin telah dihabiskan anggaran mencapai Rp.89 Milyar. Angka ini tentu menggambarkan inefisiensi yang luar biasa. Inefisiensi juga nampak pada upaya untuk menurunkan AKI dari 256 pada tahun 2008 menjadi 252 pada tahun 2009 yang menghabiskan anggaran mencapai Rp.11,5 Milyar, yang berarti untuk menurunkan satu kasus AKI diperlukan rata-rata anggaran sebesar Rp.1,9 milyar. Demikian juga untuk menurunkan AKB dari 34 pada tahun 2008 menjadi 32 pada tahun 2009 yang untuk penurunan satu kasus AKB diperlukan rata-rata anggaran pada besaran yang kurang lebih sama. Angka ini akan menjadi jauh tidak efisien bila komparasinya dilakukan terhadap total anggaran yang dihabiskan untuk urusan wajib bidang kesehatan yang mencapai Rp.174,1 Milyar, yang kontribusinya sangat kecil terhadap turunnya AKI dan AKB pada tahun tersebut.

Secara makro, dalam hal penyelenggaraan urusan desentralisasi, data di atas menggambarkan belum fokusnya pemerintah provinsi pada urusan wajibnya sendiri yang berkorelasi kuat dengan pencapaian tujuan daerah, sementara dalam penyelenggaraan tugas pembantuan, pemerintah belum mengoptimalkan pemanfaatan potensi jejaring pemerintahan di tingkat kabupaten/kota hingga desa dalam melaksanakan program/kegiatan yang berkontribusi terhadap pencapaian visi Provinsi. Bahkan, nampak gejala yang cukup nyata bahwa kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah belum mengarah pada upaya mencapai target-target makro sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan belum menjadikan pencapaian atas target-target makro tersebut sebagai ukuran kinerja. Tidak tercapainya sejumlah target RPJMD selama beberapa tahun terakhir ini  merupakan bukti nyata sinyalemen tersebut yang kemudian memotivasi pemerintah provinsi untuk merevisi sejumlah target makro dalam RPJMD 2007-2012 yang bernuansa politis.

Perbandingan yang Adil
Harus diakui bahwa faktanya masyarakat Banten terlalu besar menaruh harapannya pada terbentuknya provinsi, bahwa seolah-olah dengan menjadi provinsi sendiri semua persoalan yang selama ini mereka hadapi akan dapat diselesaikan (secara otomatis). Fenomena over expectation inilah yang sering melatari cara pandang tidak adil terhadap Provinsi Banten dan pemerintahnya, yang sering dibandingkan dengan provinsi lain yang telah lama berdiri dan jauh lebih maju. Cara pandang ini pada sisi tertentu memang tidak salah bila obyek komparasinya terbatas pada waktu dan atau bidang tertentu sejauh memiliki parameter input yang sama. Tetapi membandingkannya secara keseluruhan tentu menjadi tidak fair karena Banten memiliki starting point yang berbeda dengan provinsi-provinsi yang telah lebih dahulu maju tersebut.

Oleh karenanya perbandingan yang paling adil dan mencakup keseluruhan aspek yang diharapkan masyarakat adalah  membandingkan Banten dengan provinsi lain yang seusia dengan dirinya, kendati masing-masing memiliki sumber daya yang berbeda. Untuk keperluan ini, membandingkan Banten dengan Provinsi Gorontalo dan Bangka Belitung nampaknya akan lebih banyak diterima tanpa reserve karena tidak bertentangan dengan common sense masyarakat pada umumnya.

Salah satu indikator resmi yang paling relevan untuk dibandingkan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) karena merepresentasi tujuan pembangunan yang harusnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan ini dalam konteks IPM direpresentasi oleh tiga indikator utamanya, yaitu : derajat kesehatan masyarakat yang diindikasi oleh angka harapan hidup (longevity), derajat pendidikan masyarakat yang diindikasi oleh rata-rata lama sekolah  (gross enrollment) dan angka melek huruf (adult literacy), serta kesejahteraan ekonomi masyarakat yang diindikasi oleh tingkat daya beli masyakat (gross domestic product per capita). Berdasarkan data dari sejumlah sumber resmi, berikut adalah abstraksi dari perkembangan IPM di tiga provinsi baru dimaksud.

Bila dibandingkan dengan provinsi yang seusia dengan Banten, kemajuan yang dicapai oleh Banten hari ini juga terasa sangat tidak optimal. IPM misalnya, menunjukkan sejumlah kelemahan yang perlu mendapat perhatian serius. Banten yang tahun 2002 berada pada peringkat 11 nasional dengan IPM 66,6 justru saat ini terpuruk pada peringkat 21 dengan IPM 69,8 (2009). Sementara Bangka Belitung yang pada tahun 2002 berada pada peringkat 20 dengan IPM 65,4 justru kini berhasil duduk di 10 besar dengan IPM 72,19 (2008). Sedangkan Gorontalo kendati tidak lebih baik dari Banten namun menunjukkan pencapaian yang konsisten dan menjanjikan walaupun sempat turun pada peringkat 28 pada tahun 2004. Secara agregat, sejak tahun 2002 Banten hanya berhasil meningkatkan IPM-nya sebesar 3,1 poin dari 66,6 menjadi 69,8, jauh dibawah Gorontalo yang mencapai 5,19 poin dari 64,1 menjadi 69,29, apalagi Bangka Belitung yang mencapai 6,79 poin dari 65,4 menjadi 72,19 pada tahun 2008.

Dalam hal pengentasan kemiskinan, Banten juga menunjukkan gejala yang tidak memuaskan. Secara agregat Gorontalo adalah Provinsi yang paling berhasil menurunkan angka kemiskinannya, dengan besaran 7,12 poin dari 32,13% pada tahun 2002 menjadi 25,01% pada tahun 2009, disusul Bangka Belitung sebesar 4,03 poin dari 11,62% pada tahun 2002 menjadi 7,59% pada tahun 2009. Sementara Banten hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,58 poin dalam kurun waktu yang sama (7 tahun), dari 9,22% menjadi 7,64%. Dalam hal menekan angka pengangguran, secara agregat Banten terbukti tidak mampu menurunkan angka penganggurannya secara signifikan. Sejumlah data resmi BPS tahun 2002-2009 mengindikasikan trend negatif sebesar -4,65, yang berarti adanya kecenderungan meningkatnya angka pengangguran setiap tahunnya, dari 10,32% pada tahun 2002 menjadi 14,07% pada tahun 2009. Berbeda dengan gorontalo yang dalam kurun yang waktu sama secara fantastis mampu menekan angka penganggurannya hingga 11,42 poin dari 13,17% menjadi 6,14%. Demikian juga Bangka Belitung yang berhasil menekan hingga 2,85 poin dari 8,99% pada tahun 2006 menjadi 5,89 pada tahun 2009. Perbandingan yang kurang lebih sama juga terjadi pada indikator LPE dan laju PDRB Banten yang jauh dibawah pencapaian kedua provinsi baru di atas.

Keseluruhan abstraksi permasalahan di atas secara makro menggambarkan perbedaan kualitas dan kesungguhan ikhtiar yang berbeda antar ketiganya, sehingga menghasilkan hasil yang berbeda-beda pula. Kreativitas dan inovasi nampaknya menjadi kata kunci yang paling tepat untuk mewakili keberhasilan provinsi Gorontalo dan Bangka Belitung. Di luar konteks indikator makro di atas, empat permasalahan mendasar berikut ini nampaknya juga sangat mendasar sifatnya, yang langsung atau tidak telah berdampak terhadap efektivitas pemerintahan dan pembangunan di Banten selama ini. Pertama, tidak jelasnya pembagian peran antara Gubernur dan Wakil Gubernur sehingga menyebabkan tidak optimalnya fungsi kepemimpinan daerah. Wakil Gubernur sangat nampak lebih banyak berperan dalam acara-acara seremonial semata, dan kurang berperan dalam pengambilan keputusan, koordinasi, dan pengendalian pemerintahan. Kapasitas dan pengalaman Wakil Gubernur yang sangat panjang dan paripurna belum nampak secara signifikan dalam membantu tugas-tugas Gubernur dalam memimpin dan melakukan percepatan pembangunan daerah.

Kedua, masih mengemukanya polemik bantuan keuangan provinsi kepada kabupaten/kota, yang dapat menjadi indikasi masih adanya disharmoni antarlevel pemerintahan di Provinsi Banten. Menurut catatan, polemik pada tahun 2009 bahkan cenderung memuncak yang diindikasikan dengan wacana boikot dan pertemuan khusus para kepala daerah kabupaten/kota se-Provinsi Banten. Peristiwa ini kendati untuk sementara telah dapat diselesaikan, namun masih berpotensi menjadi masalah pada masa yang akan datang sepanjang tidak ditemukan kesepahaman antar kepala daerah serta ditemukannya rumusan yang berkeadilan bagi semua pihak. Mengemukanya isu ini menjadi indikator penting yang menunjukkan disharmoni antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sehingga diyakini sangat mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di masing-masing pemerintahan. Mengemukanya kembali masalah ini juga menjadi indikasi buruknya sinergi pemerintahan dan pembangunan antar kelembagaan pemerintah di Banten.

Ketiga, adanya indikasi tidak sinkronnya hasil kerja dan rekomendasi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) dengan kehendak kepala daerah sehingga menyebabkan beberapa fakta antara lain: lambatnya pengisian sejumlah jabatan struktural yang kosong, adanya kebijakan perpanjangan masa kerja pejabat setingkat eselon II sehingga berpotensi menghambat karir PNS di bawahnya, serta adanya indikasi kurang dipatuhinya asas kelayakan dan kepatutan (merit system) dalam pengangkatan pegawai dan pejabat. Kondisi ini juga menyebabkan lambannya akselerasi pembangunan di tingkat lembaga-lembaga teknis daerah karena dipimpin oleh birokrat yang kurang cakap, sementara sejumlah birokrat yang cerdas dan berpengalaman justru tidak mendapat kesempatan untuk berkarya bagi kemajuan Banten.

Keempat, Tidak fokusnya Pemerintah Provinsi dalam mengelola urusan wajibnya sendiri serta cenderung berorientasi pada capaian-capaian yang bersifat mercusuar. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya konsistensi dalam mengimplementasikan seluruh rencana yang telah disusunnya. Tidak dilanjutkannya pelebaran jalan Serang-Pandeglang, pengurugan jalan di Pal Lima yang tidak jelas urgensinya, menjadi tuan rumah MTQ Nasional yang juga sangat tidak prioritas, pembangunan sport centre yang tidak pernah ada dalam RPJMD (sebelum direvisi), pembangunan rumah dinas Gubernur dan Wakil Gubernur yang juga sangat tidak urgen, hingga pemberian fasilitas mobil dinas bagi 80 anggota DPRD Banten dalam APBD Perubahan tahun 2010 merupakan segelintir contoh hilangnya kepekaan pemerintah terhadap permasalahan rakyat sekaligus contoh tidak fokusnya pemerintah dalam mengejar capaian-capaian pembangunan yang lebih substansial.

Keempat indikator di atas menurut penulis sangat fundamental sifatnya, karena terkait dengan kepemimpinan dan komitmennya terhadap terselengaranya pemerintahan yang baik dan pembangunan yang berkualitas guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Momentum Perubahan
Tahun 2011 nampaknya akan menjadi momentum lima tahunan yang akan mempengaruhi wajah dan arah Provinsi Banten di masa datang. Ya, Pemilukada 2011 akan kembali menawarkan kesempatan kepada setiap orang untuk memilih jalan perubahan yang diinginkannya, atau sebaliknya memilih tetap pada kondisi yang ada secara apa adanya (status quo). Bagi penulis sendiri, tahun 2011 haruslah dianggap sebagai terminal untuk mengevaluasi kembali kontrak politik yang telah terbangun pada pemilukada sebelumnya, beserta seluruh instrumen yang terkait dengannya. Namun demikian, hasil evaluasi dimaksud hendaknya tidak terjebak pada personalisasi persoalan, sehingga perubahan tidak sekedar dimaknai dengan perubahan pemimpin atau figur pemimpinnya, namun perubahan rejim beserta paradigma kepemimpinannya, serta perubahan mendasar pada mindset kepemimpinan, pendekatan, beserta platformnya. Untuk inilah penulis juga menawarkan paradigma baru yang lebih mendasar dan filosofis guna menjawab segenap persoalan di atas.
Memahami segenap kompleksitas permasalahan Provinsi Banten sebagaimana dipapar di muka, secara terbuka penulis berhipotesis bahwa sudah saatnya dilakukan perubahan paradigmatis dalam menangani permasalahan di Banten, dan tahun 2011 harus secara optimal dimanfaatkan untuk keperluan tersebut. Perubahan paradigmatis dimaksud menyangkut kebutuhan untuk melengserkan paradigma otot dari tampuk kekuasaannya di hati dan pikiran rakyat, guna memberi kesempatan kepada paradigma otak untuk membangun peradaban emasnya di Provinsi Banten. Mengapa demikian? Paling tidak ada beberapa argumentasi yang relevan untuk menjawab ini.
Pertama, secara empiris satu dasawarsa adalah waktu yang lebih dari cukup untuk membuktikan apakah hegemoni paradigma otot itu cukup mampu dan efektif untuk memajukan kualitas kehidupan masyarakatnya atau tidak. Faktanya, di usianya yang ke-10 ini, pembangunan makin distortif, prioritas makin tak jelas, dan keberpihakan tampak kehilangan empatinya. Sinyalemen ini nampak dari sejumlah fakta yang hingga kini masih sulit diterima oleh akal sehat masyarakat (common sense), misalnya: angka pengangguran dan kemiskinan kita yang tidak banyak berkurang secara signifikan justru di tengah ironi PAD Banten yang selalu meningkat signifikan setiap tahunnya, dari hanya Rp.616 M pada tahun 2003 menjadi Rp.1,5 trilyun pada tahun 2009, dan akan terus meningkat menjadi Rp.1,6 dan Rp.1,7 trilyun pada tahun 2010 dan 2011. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita yang selama 10 tahun masih di bawah rata-rata nasional bahkan selalu “ngendon” di klasemen papan bawah dari 34 Provinsi di Indonesia. Tahun lalu (2009) Banten bahkan menduduki peringkat ke-24. Angka Harapan Hidup (AHH) Banten bahkan berada pada peringkat 30 secara nasional. Angka pengangguran kita masih tergolong tinggi, mencapai 14,97% (2009) dari jumlah penduduk usia produktif, angka ini bahkan tercatat sebagai jawara di Indonesia. Angka kemiskinan masih bertahan pada angka 8,68% (2009) turun sangat tidak signifikan dari tahun 2002 yang mencapai 9,22%, itupun diiringi dengan kenyataan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan yang makin dalam dan parah. Struktur tenaga kerja kita juga masih didominasi lulusan SD yang mencapai 45,65% (2010), turun sedikit saja dibanding tahun 2002 yang mencapai 57,65%. Angka Kematian Ibu (AKI) tercatat sebagai juara ketiga terburuk di Indonesia dengan angka 252 (2009) dari 100 ribu kelahiran. Demikian juga Angka Kematian Bayi (AKB) yang mencapai 32 kasus per 1000 kelahiran hidup. Angka-angka statistik di atas secara faktual menggambarkan kegagalan pembangunan kita oleh “rejim otot” selama satu dasawarsa ini.
Kedua, selama satu dasawarsa terakhir, paradigma otot gagal dalam melakukan transformasi sosial seperti yang berhasil dilakukan oleh kaum Samurai di Jepang. Kaum Jawara yang merepresentasi paradigma otot, gagal mengubah citra kekerasan yang melekat dalam pada eksistensi historisnya menjadi jawara yang bercitra ramah, bersahabat, dan intelek. Citra jawara juga masih terlalu melekat terbatas pada kalangan tertentu, kelompok tertentu, dan indentitas lokal tertentu. Belum bertransformasi menjadi nilai kearifan lokal yang menjadi etos kerja masyarakat Banten pada umumnya, seperti halnya etos para Samurai di Jepang yang berhasil diubah sebagai nilai dan karakter sosial masyarakat Jepang yang pantang menyerah, pekerja keras, dan terpelajar. Akibatnya kaum jawara secara sosiologis masih memiliki resistensi yang cukup tinggi, dalam arti kohesivitas sosialnya yang sangat terbatas bahkan makin menstigma kuat pada kalangan tertentu dimaksud di atas. Ekspansi kaum jawara pada ranah politik dan ekonomi yang cenderung massif dan hegemonik, tidak cukup mampu mengubah wajah dan karakter dasar mereka yang identik dengan violence, bahkan menjadikan citra mereka menjadi makin buruk sebagai dampak dari praktek politik dan ekonomi mereka yang tidak meninggalkan tabiat dasarnya yang eksploitatif, tidak mencerdaskan apalagi mencerahkan.
Dampak terparah dari manuver politik dan ekonomi pardigma otot ini sangat nampak pada tersanderanya demokrasi lokal kita. Demokrasi tidak lagi mampu mengejawantahkan kehendak dan hati nurani masyarakat karena tersandera oleh politik uang yang tak kuasa dielakkan oleh masyarakat karena terperangkapnya silent majority kita itu pada kemiskinan dan kebodohan. Tersandera oleh partai politik yang menjadikan dirinya hanya sebagai alat kekuasaan dan perahu tumpangan untuk menuju kekuasaan. Tersandera oleh sistem dan proses hukum kita yang tidak mampu berkorelasi dengan rasa keadilan masyarakat. Dan tersandera oleh pemerintahan kita yang terbelenggu oleh kepentingan pragmatis kaum kapitalis hingga kehilangan kemampuannya untuk berempati terhadap amanat penderitaan rakyat. Itu sebabnya demokrasi kita yang teramat mahal itu tidak mampu merepresentasi kehendak mayoritas yang diam. Dan itu sebabnya demokrasi kita itu tidak lagi mampu menjadi wahana yang positif untuk memperbaharui kontrak sosial setiap kali momentum lima tahunan itu tiba. Demokrasi kita pada akhirnya baru sekedar berkualitas pada aras prosedurnya, namun sangat anti demokrasi pada proses dan substansinya.
Demokrasi kita bahkan gagal menjamin sirkulasi elit yang wajar dan rasional kepada masyarakatnya, dan cenderung menghasilkan kartel-kartel politik yang menghasilkan oligarki. Kekuasaan hanya tersebar pada satu kelompok utama saja, bahkan cenderung terkonsolidasi pada satu tangan. Pada titik inilah sinyalemen Edmund Burke (1771) menemukan relevansinya bahwa “the greater the power, the more dangerous the abuse”. Non-voting behaviour yang cenderung meningkat dari pemilu ke pemilu cukup menjadi indikasi meningkatnya sikap apathy masyarakat terhadap kegagalan demokrasi ini.
Ketiga, fitrah kekuasaan rejim otot cenderung menyebarkan aura menakutkan sehingga disengaja atau tidak, telah menciptakan teror secara psikologis kepada masyarakat. Akibatnya tabiat kekuasaannya menjadi cenderung tidak mencerahkan dan membebaskan. Sinyalemen ini paling tidak dapat dibuktikan secara historis pada hampir semua kekuasaan yang militeristik seperti pada jaman kekaisaran Romawi pada masa lalu misalnya, atau seperti ditampakkan oleh rejim “pretorian” di Myanmar saat ini. Indonesia juga pernah mengalami era yang sama di bawah rejim orde baru selama lebih dari 30 tahun. Pada sisi ini, tabiat kekuasaan rejim otot memiliki ciri yang sama dengan kaum militer pada masa lalu maupun era sistem politik modern, sehingga dapat diidentifikasi secara sama antar satu dan lainnya.
Berbeda dengan fitrah kekuasaannya kaum intelektual yang cenderung menyebarkan aura pencerahan yang membebaskan. Mengapa? Karena kaum intelektual ditakdirkan untuk selalu menyebarkan nilai dan pemikiran barunya di masyarakat, untuk diuji kebenarannya, dan diikuti bila nilai dan pemikiran itu dapat diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran. Semuanya melalui proses dialektika yang alamiah, sukarela, dan tanpa penaklukan. Berbeda dengan kekuasaan kaum militer yang hampir selalu diiringi dengan penaklukan satu ke penaklukan lainnya, betapapun baiknya rejim militer itu.
Inilah paradigma baru yang penulis hipotesiskan sebagai peluang untuk berubah, kecuali kita cukup puas dengan paradigma yang sudah terbukti gagal saat ini. Namun demikian, hipotesis yang penulis tawarkan di atas sama sekali tidak merujuk pada kelompok politik tertentu, baik pada sisi paradigma otot maupun otak. Rejim otot sekalipun dapat saja pada 2011 nanti mengubah haluannya untuk mengedepankan paradigma otak, atau sebaliknya. Sehingga dapat jadi muncul figur yang berparadigma otak namun berasal dari kalangan yang selama ini diidentifikasi sebagai rejim otot, ataupun sebaliknya.
Dengan demikian, hipotesis yang penulis tawarkan di atas sekali lagi lebih menekankan pada pentingnya cara pandang dan haluan baru dalam menata pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Banten karena cara pandang dan haluan lama terbukti tidak mampu menyelesaikan permasalahan secara optimistik. Karena ini menyangkut cara pandang dan haluan baru, maka ia terbuka bagi siapapun yang ingin menganutnya, tidak melekat mutlak pada figur dan atau kelompok tertentu.
Namun demikian, dalam konteks politik praktis, momentum demokrasi lokal lima tahunan hampir selalu dijadikan titik balik dari proses menuju perubahan dan kebangkitan, betapapun prakondisinya telah rusak parah dan sulit untuk direkonstruksi secara instan. Peluang ini senantiasa terbuka karena demokrasi mewajibkan adanya momentum pembaruan kontrak sosial melalui pemilu, maka pemilu senantiasa menawarkan harapan akan adanya perubahan, walau kadang butuh berapa kali pemilu untuk mewujudkannya.
Agenda untuk berubah pada 2011 nampaknya menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi masyarakat banten karena disamping fakta-fakta kegagalan pembangunan sebagaimana dipapar di atas, sejumlah riset juga menunjukkan kesimpulan yang berkorelasi dengan fakta-fakta dimaksud. Salah satu riset yang paling lengkap mengungkap wajah Banten adalah riset bertajuk ’Governance Assesment in Banten Province’ yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) yang dirilis pada awal 2007 di Jakarta. Kesimpulan utamanya sangat mengejutkan, dimana terdapat sejumlah indikator yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa Banten tengah bergerak ke arah bad governance bukan good governance. Beberapa indikator itu antara lain: indeks efektivitas pemerintahan yang hanya 0,39 (dalam skala 1); indeks inovasi pemerintah 0,42; indeks partisipasi 0,4; indeks transparansi 0,33; indeks kapasitas menyampaikan informasi 0,44; indeks kualitas Perda 0,47; indeks rule of law 0,38; indeks pengendalian korupsi 0,39; indeks kepercayaan publik 0,44; dan indeks stabilitas politik 0,6. Nyaris seluruh indikator good governance tersebut berada di bawah indeks 0,5 yang berarti dalam kondisi buruk hingga sangat buruk. Riset juga menyimpulkan 2 instansi non pemerintah yang paling tidak dipercaya yaitu: parpol (79,78%) dan asosiasi pengusaha (74,16%), di samping 2 instansi non pemerintah yang paling terpercaya yaitu: perguruan tinggi (78,65%) dan media massa (75,28%). Inilah sesungguhnya alasan-alasan empiris dan ilmiah yang mendasari tawaran penulis pada perubahan paradigmatis dimaksud di atas.
Perubahan hakiki memang tidak mungkin terwujud hanya melalui pemilu dan pergantian pemimpin, namun demikian dalam konteks politik praktis pergantian pemimpin dapat jadi menjadi simbol dari perubahan yang diharapkan itu, apalagi pergantian pemimpin itu dibarengi juga dengan pergantian rejim. Tanpa berpretensi terhadap apapun, kelompok manapun dan siapapun, Saya meyakini bahwa Pemilukada tahun 2011 di Provinsi Banten dapat menjadi jembatan emas guna mewujudkan perubahan menuju kebangkitan Banten. Paling tidak, gagasan untuk mengedepankan otak daripada otot dapat dimaknai secara nyata sebagai sebuah gerakan sosial dan gerakan politik guna menciptakan prakondisi yang memadai bagi terjadinya perubahan dimaksud.
Dalam konteks politik praktis, perubahan paradigma otot ke otak itu dapat secara ekstrem dimaknai sebagai upaya memfasilitasi tampilnya rejim baru yang berparadigma otak atau rejim lama dengan paradigma baru yang lebih berpijak pada paradigma otak. Inilah antitesis paling rasional yang layak ditawarkan kepada masyarakat karena fitrah kekuasaan rejim otak yang menebarkan aura pencerahan dan pembebasan bagi masyarakatnya, bukan aura ketakutan dan menakutkan seperti rejim otot. Paling tidak, rejim berparadigma otak akan lebih mampu memberikan jaminan terbangunnya knowledge based society, masyarakat cerdas dan terpelajar, yang dengannya dapat menjadi prakondisi menuju terbangunnya masyarakat yang sejahtera (welfare), menuju terciptanya masyarakat yang berbudaya (cultured society), serta tercapainya masyarakat yang beradab (civilized society) sebagai the end of goal-nya. Semoga…



Artikel Terkait:

1. Dibalik LKPJ Gubernur Tahun 2010

2.Untukmu Warga Glinseng

3.Bencana Demokrasi di Pandeglang

4. Pembangunan Banten Masih Lamban

5. Biar Angka Yang Bicara (#)

6. Soal Usulan Boleh Bawa Keluarga Saat Kunker DPRD Banten

7. Refleksi Satu Dasawarsa Provinsi Banten

8. Memahami Polemik Rencana Pilgub oleh DPRD: Catatan "SUDUT PANDANG" edisi 23 Agustus 2010

9. Kabupaten Cilangkahan: One Step A Head, Catatan "Sudut Pandang" Edisi 16 Agustus 2010

10. Memahami Hakikat Kemerdekaan

11. Refleksi HUT Kota Serang ke-3, Catatan "Sudut Pandang" edisi 9 Agustus 2010

12. Robohnya SDN Katulisan Cikeusal: Kado Pelantikan Bupati Serang

13. Urgensi Pembangunan Rumah Dinas Gubernur Banten, catatan "sudut pandang" 2 Agustus 2010

No comments:
Write komentar

E-learning

Produk Rekomendasi