Tuesday, May 10, 2011

Membaca Masa Depan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

 




Pendahuluan

Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, salah satu inovasi dibuat oleh pemerintah. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mendiknas (Permen) No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan juga Permen no.23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab juga disebut Kurikulum 2006 diluncur, menyempurnakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dalam KTSP ini, pemerintah pusat melalui Badan Standar Pendidikan Nasional (BSNP) hanya menetapkan standar isi dan kompetensi lulusan. Sehingga, KTSP lebih berfungsi sebagai kurikulum operasional sekolah yang dikembangkan dari standar BSNP dengan prinsip diversifikasi.

Munculnya KTSP sebagai sebuah inovasi untuk lebih memberikan ruang keleluasan penuh kepada setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar harus diapresiasi, meski tidak menutup kemungkinan masih ada rasa apatis dengan terobosan ini. Nampaknya, munculnya rasa apatis lebih dikarenakan cepatnya peralihan dari Kurikulum 2004 atau KBK kepada KTSP. Sebagian kalangan menafsirkan peralihan ini sebagai gagalnya kurikulum 2004. Tidak hanya itu, kelahiran KTSP lebih menegaskan sisi trial and error pemerintah dalam kebijakan pendidikan. Namun bagi sebagian kalangan yang lain, KTSP ini adalah langkah yang wajar. Perubahan dan dinamika dalam dunia inovasi pendidikan sesungguhnya hal yang biasa sebagai respons aktif terhadap perubahan jaman, sebab yang terpenting adalah bagaimana agar kualitas pendidikan Indonesia dapat meningkat dan sejajar dengan negara-negara Barat.


Masa Depan KTSP

Ada beberapa catatan yang perlu dicermati dalam KTSP ini. Pertama, dalam KTSP guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan pemerintah menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus guru harus menentukan sendiri metode pembelajarannya agar proses belajar mengajar tercipta secara efektif. Dalam realitasnya, guru di Indonesia banyak yang berasal dari sekolah non keguruan. Apabila ia lulusan pendidikan keguruan pun, bukan hal yang mudah untuk mengembangkan kurikulum sendiri. Walhasil, KTSP hanya berhenti ditahap dokumen, sedangkan aplikasinya kembali mengikuti buku-buku teks yang sangat mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah dan daerah tersebut. Masalah ini tidak hanya bisa diselesaikan hanya oleh seminar atau pelatihan menyusun KTSP saja, melainkan dari sejak awal harus disosialisasikan kepada guru bahwa KTSP sesungguhnya merupakan produk kebijakan pemerintah yang mengakomodasi semangat reformasi dan perubahan dalam pendidikan nasional. Disamping itu, dalam proses perjalanannya, guru harus dibiasakan untuk dapat mengembangkan kurikulum sendiri, metode pembelajarannya sendiri bahkan tidak menutup kemungkinan membuat buku ajar sendiri. Dari sinilah kreativitas itu akan muncul.

Nampaknya penyiapan sumber daya guru yang profesional sangat sinergis dengan implementasi KTSP ini. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk melakukan sertifikasi, pendidikan profesi keguruan dan uji kompetensi untuk mewujudkan sumber daya guru yang berkualitas sangatlah urgen. Disamping itu, pemahaman bahwa pendidikan tidak saja hanya sekadar transfer of knowledge, tapi juga transfer of personality harus senantiasa ada dalam diri guru.

Kedua, munculnya pelajaran muatan lokal (mulok) menjadi fenomena tersendiri dalam KTSP ini. Satu sisi, mulok ini merupakan pengakuan terhadap keragaman kondisi dan budaya di setiap daerah oleh pemerintah pusat, tapi disisi lain sekolah cenderung mengikuti saran dari pemerintah daerah mengenai mata pelajaran apa yang harus diajarkan dalam mulok ini. Padahal, secara wewenang penetapan mulok seharusnya berada di tingkat satuan pendidikan dalam hal ini sekolah, bukan dinas pemerintah daerah. Walhasil, terdapat beberapa kerancuan dalam implementasi mulok ini. Sebagai contoh, Propinsi Jawa Barat mewajibkan bahasa Sunda sebagai salah satu muatan lokal Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagi SMA yang siswanya berasal dari Bandung dan bersuku Sunda, nampaknya hal itu tidak menjadi masalah. Namun bagaimana dengan sekolah yang banyak dihuni oleh siswa yang bersuku luar Sunda, seperti sekolah-sekolah pembauran misalnya. Dapat dipastikan pelajaran bahasa Sunda akan menjadi pelajaran yang sangat sulit bagi para siswanya melebihi bahasa Inggris. Apalagi yang diajarkan memang bahasa Sunda sebagai alat komunikasi.

Sebaiknya muatan lokal dipahami dari pendekatan kebutuhan siswa per- sekolah yang tentunya bisa berbeda dengan sekolah lain. Bisa jadi sekolah A menjadikan bahasa Sunda sebagai muloknya, namun sekolah B tidak. Sekolah B barangkali lebih memilih mulok bahasa asing seperti Jepang atau Mandarin yang berbeda dengan sekolah A.

Ketiga, KTSP masih menyimpan kontradiksi dengan kebijakan Ujian Nasional (UN). Sebagaimana telah diulas bahwa KTSP sangat berorientasi pada sekolah hal ini dibuktikan dengan hanya dimuatnya dua kolom, yakni kolom standar kompetensi dan kompetensi dasar. Berbeda dengan Kurikulum 1994 atau Kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. Konsekuensinya, materi pokok dalam KTSP yang dikembangkan sekolah akan sangat beragam. Perbedaan materi mungkin terjadi antarsekolah yang berada dalam satu kota, bahkan kecamatan baik muatan maupun kedalaman materinya. Di sisi lain, butir soal UN akan mengukur muatan tertentu dan kedalaman materi yang relatif sama di seluruh Indonesia. Kalaupun berbeda, cakupannya hanya sampai tingkat propinsi dan kota/kabupaten. Hal ini karena menyusun soal UN yang merangkum berbagai perbedaan muatan dan kedalaman materi sehingga menjadi paket tes yang reliable, valid, dan adil sangatlah sulit. Oleh sebab itu, perlu kiranya pemerintah mereformasi berbagai kebijakan pelaksanaan UN agar sejalan dengan KTSP.

Idealnya, apabila sekolah telah memberlakukan KTSP, maka mereka berhak menilai keberhasilan pelaksanaannya; apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut sudah dicapai oleh peserta didiknya. Model penilaian ini salah satunya melalui ujian sekolah. Hasil ujian sekolah menjadi alat bagi sekolah untuk meluluskan peserta didiknya, baik naik kelas maupun lulus satuan pendidikan. Oleh karena itu, UN sebaiknya berfungsi untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan untuk pemetaan mutu pendidikan.


Penutup

Jika pemerintah dapat secara konsisten menjalankan KTSP dengan memberikan ruang penuh kepada sekolah untuk mengembangkan diri dan berkreativitas, maka KTSP dapat menjadi salah satu inovasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Namun apabila pemerintah masih bersikukuh terhadap beberapa kebijakannya, seperti ujian nasional sebagai standar kelulusan, bisa jadi KTSP kembali akan banyak digugat gara-gara banyak peserta didik yang tidak lulus ujian nasional.

Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan
Buat halaman ini dalam format PDF
Cetak halaman ini

Senin, 11 Mei 2009
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
 
Sedangkan ayat (4) menugaskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
 
Aturan yang termuat dalam Ayat (4) tersebut menunjukkan betapa penting dan betapa prioritasnya bidang pendidikan di bumi nusantara ini. Sebanyak 20 persen atau seperlima anggaran pemerintah pusat dan seperlima anggaran pemerintah daerah harus dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan.
 
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara kita menempatkan pendidikan pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia masa depan.
 
Dalam upaya meningkatan aksesibilitas dan mutu pendidikan nasional, sejak beberapa tahun lalu pemerintah telah mengucurkan bantuan dana pembangunan pendidikan  dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan.
 
Capaian Kinerja Depdiknas
 
Sebagaimana disinggung diatas bahwa pendidikan merupakan program pemerintah yang paling prioritas. Capaian kinerja Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) selama Kabinet Indonesia Bersatu, antara lain, dapat digambarkan dalam tabel ”Capaian Kinerja 2005 – 2008 dan Target 2009” dibawah ini.
 
Tabel tersebut menunjukkan bahwa realisasi dari sejumlah program mampu melebihi target. Misalnya, Angka Partisipasi Murni untuk SD/MI/SDLB/Paket A pada tahun 2008 telah mencapai 95,14%. Angka ini telah melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 2009, yaitu 95,00%. Demikian juga dengan rata-rata nilai ujian nasional untuk SD dan SLTA yang dicapai siswa pada tahun 2008, yaitu secara berturut-turut sebesar 7,03 dan 7,17. Angka ini telah melampaui target yang ditetapkan pada tahun 2009, yaitu secara berturut-turut sebesar 5,50 dan 7,00. Guru yang memenuhi kualifikasi S-1/D-4 pada tahun 2009 ditargetkan sebanyak 40,00%, namun angka ini telah terlewati pada tahun 2008 dengan capaian sebesar 47,04%.
 
 110509table1.jpg
 
Selain indikator yang tertera dalam tabel, Departemen Pendidikan Nasional juga melaporkan sejumlah indikator lain yang menunjukkan hasil yang menggembiarakan juga telah dicapai. Misalnya, pencapaian target rintisan sekolah madrasah yang bertaraf internasional yang mencapai 1.043 sekolah pada tahun 2008. Perolehan medali emas pada berbagai olimpiade internasional juga membanggakan karena pelajar Indonesia meraih 117 medali emas dalam berbagai kompetisi tingkat dunia pada tahun 2008. Perguruan tinggi berkelas dunia dengan ukuran 100 besar Asia atau 500 besar dunia selalu melampaui target dengan baik. Pada tahun 2008, Universitas Indonesia naik peringkat dari 395 pada 2007 menjadi 287, Institut Tenologi Bandung naik ke peringkat 315 dari semula 369, sedangkan Universitas Gadjah Mada naik ke peringkat 316 dari 360.
 
Untuk tahun 2010, Depdiknas telah membuat beberapa Rancangan Kegiatan Prioritas, mencakup peningkatan kualitas Dikdas 9 tahun yang merata; peningkatan akses, kualitas dan relevansi pendidikan menengah dan tinggi; peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan non formal serta peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan pendidik.
 
Semoga dengan peningkatan anggaran pendidikan, sumber daya manusia Indonesia akan semakin meningkat daya saing nya
 
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PELAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK CERDAS ISTIMEWA
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan tentang perlunya memberikan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi dan kecerdasan istimewa. Hal ini dilakukan agar potensi yang ada pada peserta didik dapat berkembang secara optimal dan pada gilirannya memberikan mereka dapat tumbuh menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri,
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa telah dilakukan sejak tahun 1974 Pemberian beasiswa bagi peserta didik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi keluarganya. Sementara itu pelayanan dalam bentuk percepatan belajar/akselerasi telah dirintis pada tahun 1998 dengan melakukan ujicoba pelayanan pendidikan bagi anak berpotensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam pada 2 sekolah swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah swasta di Jawa Barat yang mendapat arahan dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan, kebijakan pemerintah mengenai pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi dan/atau bakat istimewa terus mengalami penyempurnaan. Hal tersebut dilakukan agar pelayanan yang diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan mengarah pada berkembangnya potensi mereka. Pemikiran di atas ditunjang dari hasil penelitian tentang program percepatan belajar terhadap 20 SMA Unggulan di 16 propinsi di Indonesia yang menyimpulkan bahwa program ini dianggap tidak cukup memberikan dampak positif pada peserta didik berbakat untuk mengembangkan potensi intelektual yang tinggi. Salah satu faktor penyebabnya adalah data yang menunjukkan 25,3% peserta didik SMA Unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata dan hanya 9,7% yang tergolong anak memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Hawadi, dkk., 1998).
Temuan tersebut tentu saja sangat memprihatinkan karena dengan kemampuan intelektual yang terbatas, peserta didik “dipaksa” untuk mengikuti program yang menuntut kerja intelektual yang tinggi. Hal-hal semacam ini yang seringkali menimbulkan implikasi negatif terhadap program akselerasi yang dilakukan, karena peserta didik tidak lagi memperoleh kenyamanan dalam mengikuti pendidikan tetapi berada dalam situasi yang terkekang dan terpaksa. Di sisi lain, guru yang mengajar di program akselerasi relatif tidak disiapkan untuk mengajar peserta didik cerdas istimewa. Hal ini mengakibatkan layanan yang diberikan guru tidak membantu berkembangnya potensi intelektual peserta didik.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, pada tahun anggaran 2007, Direktorat Pembinaan SLB melakukan serangkaian diskusi dan workshop yang melibatkan para psikolog, akademisi, pendidik, dan pengelola program akselerasi untuk melakukan penyempurnaan konsep dan pedoman dengan memperhatikan berbagai kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP no. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan serta berbagai aturan pemerintah lainnya yang terkait. Beberapa poin penting dari hasil penyempurnaan tersebut, akan disajikan secara ringkas pada bagian berikut ini.
Dari aspek kesiswaan, tes yang digunakan untuk merekrut siswa baru program akselerasi menggunakan tiga komponen yaitu: tes IQ, kreativitas, dan task commitment. Khusus mengenai tes IQ, skala minimal yang ditetapkan oleh para psikolog adalah 130 atau pada tingkatan very superior. Untuk tes IQ, para psikolog telah merekomendasikan beberapa jenis alat tes antara lain: Wechsler Intelligence Scale for Children, Stanford Binet atau Culture Fair Intelligence Test Skala 2A/2B.
Dari aspek kurikulum, pendidikan untuk anak cerdas istimewa membutuhkan diferensiasi kurikulum yaitu memberikan tugas dan kegiatan belajar yang berbeda dari rata-rata anak seusianya sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Diferensiasi kurikulum bagi peserta didik cerdas istimewa dapat dilakukan melalui tiga jalur: enrichment (pengayaan) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan perluasan materi kurikulum, extension (pendalaman) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan investigasi bidang studi secara lebih mendalam, dan acceleration (percepatan) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan untuk menyelesaikan materi belajar dalam waktu yang lebih singkat (Davis dan Rimm, 1998).
Pengayaan berarti memperkaya, memperluas, dan mengembangkan: pengetahuan/informasi, pemahaman, aplikasi dan integrasi, proses berpikir, strategi dan keterampilan, tampilan fisik, sikap terhadap pemikiran abstrak tingkat tinggi dan/atau kinerja pada suatu tingkat kompleksitas sesuai tingkat perkembangan peserta didik (Davis dan Rimm, 1998). Kegiatan pengayaan dapat dilakukan dalam beberapa bentuk seperti studi ekskursi, topik-topik pilihan, projek individual ataupun kelompok, serta penelitian. Kegiatan pendalaman dapat dilakukan dalam bentuk pembelajaran berbasis ICT, pusat-pusat pembelajaran (learning centre) sesuai bidang studi, kontrak pembelajaran mandiri, mentoring, kompetisi bidang studi, ataupun pembelajaran berbasis sumber daya belajar (resource based learning).
Dalam pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik cerdas istimewa tidak cukup hanya dengan dimenukan dengan standar isi maupun standar kompetensi yang saat ini ada. Istilah standar mengacu pada pengertian threshold atau minimal, Mengingat peserta didik yang akan diajar adalah peserta didik cerdas istimewa, terasa janggal apabila harus disajikan dengan menu materi /isi pelajaran yang standar yang merupakan threshold bagi peserta didik regular yang kecerdasannya sedang/normal (Supriyanto, 2007)
Dalam pandangan konstruktivistik pembelajaran harus kontekstual dan memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan pengalaman pembelajarannya. Atas dasar itu pembelajaran yang baik harus dirancang berbasis pada kontek sosial sekolah, konteks peserta didik serta konteks kompetensi yang dituju. Oleh Johnson (2002) dipertegas bahwa pembelajaran yang kontektual harus dirancang sesuai dengan karakter peserta didik. Apabila peserta didik yang dihadapi memiliki kunggulan maka pembelajaran harus dirancang dengan keunggulan dalam isi maupun dalam prosesnya.
Peserta didik dengan kecerdasan istimewa yang mempunyai kelebihan dalam kecepatan menyelesaikan tugas, mempunyai tingkat keunggulan dalam abtraksi berfikir memerlukan perancangan pembelajaran yang lebih cepat dan lebih unggul dalam tantangan berfikir (Renzulli, 1991). Persoalan yang kemudian muncul terkait dengan pelayanan pembelajaran bagi peserta didik cerdas istimewa bagi guru adalah bagaimana mengolah standar Isi (Kepmendiknas 22) untuk dimodifikasi menjadi isi yang sesuai dengan keunggulan peserta didik cerdas istimewa dan meningkatkan tantangan taraf berfikir yang cocok dengan peserta didik yang cerdas tersebut.
Penetapan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik cerdas istimewa membawa konskwensi kepada guru untuk memodifikasi kegiatan pembelajaran bagi peserta didik reguler ke corak kegiatan pembelajaran yang menuntut corak berfikir tingkat tinggi. Pola kegiatan pembelajaran yang demikian luas cakupan dimensinya tidak cukup menggunakan pola one way traffic, sehingga pola seperti pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) maupun mengutamakan produk/proyek lebih banyak digunakan. Sebagai konskwensi dari pemilihan tipe problem solving yang demikian selanjutnya mengharuskan guru untuk menetapkan bobot materi juga harus bertipe setidaknya C-4 (analisis) dan jika dimungkinkan sampai C-6 (evaluasi) yang mendorong peserta didik berfikir tingkat tinggi dan kritis. Untuk menunjang itu guru tidak mungkin asal memindahkan materi dalam buku paket tetapi harus menseleksi materi dari buku bahkan harus mencari rujukan lain yang lebih berbobot. Sudah saatnya dalam konteks ini guru meninggalkan cara memilih materi pelajaran dengan bertumpu pada buku paket.
Berdasarkan konsep-konsep di atas, seyogyanya mengajar pada kelas peserta didik cerdas istimewa tidak hanya menambahkan dengan penggunaan teknologi informasi dan kominikasi (ICT) tetapi harus pula ditingkatkan bobot materi pelajaran dan bobot kegiatan pembelajaran, sebab tanpa itu sesungguhnya guru telah memberlakukan menu pembelajaran dengan materi yang tidak sesuai dengan karakter mereka yang berkemampuan diatas rerata peserta didik. Disinilah diperlukan guru yang berkedudukan sebagai agen pembelajaran dan profesional. Pembelajaran untuk peserta didik cerdas istimewa memerlukan bentuk pelaksanaan yang multi dimensi agar semua potensi yang istimewa dapat dikembangkan.
Dalam upaya mengembangkan kurikulum dan pembelajaran untuk pendidikan bagi anak cerdas istimewa, Direktorat PSLB telah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi yang memiliki fakultas MIPA dan psikologi. Perguruan tinggi tersebut didorong untuk memberikan pendampingan bagi sekolah-sekolah yang menyelenggarakan program akselerasi dalam mengembangkan kemampuan belajar siswa maupun guru yang mengajar di program tersebut.
Di sisi lain, proses pembelajaran yang dilakukan untuk peserta didik bekecerdasan istimewa tetap mengusung nilai-nilai inklusivisitas. Artinya peserta didik cerdas istimewa dimungkinkan untuk bergabung dengan peserta didik program reguler untuk mata pelajaran-mata pelajaran tertentu. Hal ini perlu dilakukan agar peserta didik cerdas istimewa tidak merasa sebagai sebuah kelompok eksklusif yang dapat menimbulkan rasa percaya diri yang berlebihan (superiority complex). Sementara itu peran guru bimbingan dan konseling (BK) juga ditingkatkan dalam upaya mengoptimalkan potensi kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Upaya ini dilakukan agar penyelenggaraan progam akselerasi tidak hanya menekankan pada perkembangan intelektual, tetapi harus memperhatikan perkembangan emosional dan sosial anak yang seirama dengan perkembangan keremajaannya. Selain itu program BK diharapkan dapat mencegah dan mengatasi potensi-potensi negatif yang dapat terjadi dalam proses percepatan belajar. Upaya ini dilakukan dengan membangun kerjasama dengan psikolog pendidikan dan perkembangan dari fakultas/jurusan psikologi di beberapa perguruan tinggi yang telah menjalin MoU dengan Direktorat PSLB.
Dari aspek kelembagaan dan manajemen sekolah, orientasi yang dikembangkan oleh Direktorat PSLB adalah pemberdayaan manajemen penyelenggara program akselerasi. Sekolah penyelenggara diwajibkan untuk memiliki kepala/manajer program akselerasi yang tidak dirangkap oleh kepala sekolah. Hal ini dilakukan agar penyelenggaraan program berlangsung secara efektif dan pengembangan program dilakukan secara berkesinambungan. Sebagaimana diketahui secara kelembagaan, sekolah/madrasah penyelenggara program akselerasi berada di bawah pembinaan direktorat teknis sesuai dengan jenjang sekolah yang bersangkutan. Sedangkan Direktorat PSLB memberikan pembinaan pada penyelenggaraan programnya.
Sekolah-sekolah yang telah menjadi penyelenggara maupun yang ingin merintis pelayanan bagi peserta didik cerdas istimewa diharapkan untuk melakukan pemetaan (mapping) yang menggambarkan populasi anak cerdas istimewa di lingkungan sekolah tersebut. Dengan demikian, penyelenggaraan program akan terjaga kontinuitasnya dengan adanya jumlah input yang terjamin berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penyelenggaraan program yang mengikutsertakan calon siswa yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria. Oleh karena itu, kebijakan yang dikembangkan oleh Direktorat PSLB bukan meningkatkan kuantitas sekolah penyelenggara program layanan bagi anak cerdas istimewa, tetapi mendorong peningkatan kualitas. Namun demikian, peluang untuk membuka program layanan bagi anak cerdas istimewa dalam bentuk kelas di sekolah reguler maupun sekolah khusus tetap dibuka dengan mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan.
Demikianlah beberapa hal-hal yang perlu menjadi perhatian bagi sekolah, orang tua maupun pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan bagi anak cerdas istimewa. Diharapkan diwaktu-waktu mendatang, efektivitas penyelenggaraan program ini semacam ini terus meningkat dan pada gilirannya dapat mewujudkan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

No comments:
Write komentar

E-learning

Produk Rekomendasi