oleh Romo Gandung Ismanto pada 26 Agustus 2010 jam 9:25
Rencana mengubah sistem pemilihan Gubernur terus bergulir, Kemendagri bahkan sangat serius melakukan evaluasi dan menggodok rencana ini untuk diusulkan dalam RUU tersendiri yang akan disampaikan kepada DPR. Seiring dengan itu, polemik pun mengiringi wacana tersebut. Sejumlah dukungan dan penolakan datang dari berbagai elemen masyarakat, asosiasi DPRD Provinsi, partai politik dan elit-elitnya, hingga organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Nahdatul Ulama misalnya, merupakan ormas keagamaan yang pertama kali mewacanakan isu ini, yang dilatarbelakangi oleh gejala perpecahan ummat, khususnya di kalangan Nahdatul Ulama, sepanjang sejarah pelaksanaan Pilkada langsung di berbagai daerah.
Beberapa kalangan menilai bahwa rencana ini adalah kemunduran karena Indonesia pernah melaksanakan sistem serupa selama lebih dari 30 tahun yang kemudian menghasilkan demokrasi yang terkebiri. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah justru lahir sebagai antitesis dari kegagalan model demokrasi ala UU No.5/1974. Secara makro UU No.32/2004 bahkan sejalan dengan semangat desentralisasi yang menjadi ruh dan amanat reformasi, terlepas dari kenyataan adanya sejumlah kelemahan dalam UU tersebut, misalnya soal penataan kewenangan antara Gubernur dan Bupati/Walikota dalam hierarki kewenangan dan pemerintahan yang jelas.
Di samping itu, terdapat kenyataan yang tidak dapat dipungkiri selama penyelenggaraan Pilkada yang telah berlangsung sejak tahun 2005, antara lain: (1) mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada, baik di tingkat penyelenggara maupun calon kepala daerah. Mahalnya biaya Pilkada ini tidak berkorelasi dengan besaan kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sangat terbatas dalam konteks otonomi daerah yang berpusat di kabupaten/kota. Mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada juga sangat membebani anggaran daerah yang harusnya dapat lebih banyak diperuntukkan bagi pembangunan, pelayananan publik, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; (2) Dalam konteks politik pemerintahan dalam negeri, Pemerintah Provinsi akan lebih banyak menjalankan peran sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan tidak menjadi daerah otonom yang menjalankan fungsi otonomi daerah guna menghindari kecenderungan terjadinya federalisme bila otonomi daerah dititikberatkan di provinsi; (3) potensi konflik horizontal yang sangat tinggi dan membahayakan stabilitas nasional juga menjadi salah satu alasan. Menurut catatan misalnya, pada tahun 2010 ini akan diselenggarakan Pemilukada sebanyak 246 kali di wilayah provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. Dari 180 Pemilukada yang telah berlangsung, tercatat 146-nya atau lebih dari 80%-nya berujung di sengketa di Mahkamah Konstitusi. Catatan ini paling tidak menggambarkan kerawanan yang bersifat laten dari setiapkali Pemilukada di selenggarakan. Potensi konflik juga senantiasa terjadi karena lemahnya sistem administrasi kependudukan di daerah yang menjadi dasar dari penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat; (4) Maraknya praktek politik uang menggambarkan kegagalan model demokrasi langsung sebagaimana selama ini dilaksanakan melalui Pemilukada. Pragmatisme masyarakat yang makin menjadi-jadi ini nampaknya juga menjadi salah satu alasan rencana Kemendagri tersebut.
Keempat argumentasi di atas nampaknya cukup meyakinkan memang, terutama bila kita melihatnya dari perspektif kekinian yang terbatas, tanpa membandingkannya dengan pengalaman di masa lalu yang umumnya cenderung dilupakan atau pengalaman model demokrasi di daerah lain dan atau di negara lain yang dapat menjawab 4 (empat) permasalahan mendasar dalam model Pemilukada seperti yang saat ini kita jalani.
Soal mahalnya biaya penyelenggaraan maupun biaya yang dikeluarkan calon-calon kepala daerah misalnya, harusnya tidak menjadi persoalan bila Pemerintah memiliki keberanian untuk merasionalisasi masa jabatan kepala daerah sehingga Pemilukada di suatu Provinsi dapat diselenggarakan secara bersama-sama dengan Pemilukada di kabupaten/kota di Provinsi tersebut, sehingga biaya penyelenggaraan dapat menjadi lebih efisien. Argumentasinya sangat faktual, karena pos pembiayaan terbesar dari setiap penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada adalah untuk membiayai para penyelenggaranya. Artinya, negara hanya harus membayar satu kali saja kepada penyelenggara Pemilukada untuk menyelenggarakan lebih dari lima Pemilukada secara serempak di Provinsi tersebut. Sementara soal modal para calon kepala daerah yang sangat besar harusnya dapat diatasi bilamana partai politik sungguh-sungguh menjalankan peran pendidikan politiknya bagi masyarakat. Artinya, besarnya modal yang harus dikeluarkan calon saat ini pada dasarnya merupakan kutukan bagi partai dan calon-calon kepala daerah, karena mereka-lah yang sebenarnya menciptakan masyarakat untuk berperilaku seperti itu.
Soal gagalnya Pemilukada melahirkan pemimpin ideal yang merepresentasi aspirasi dan hatinurani masyarakat harusnya dapat diatasi bila partai politik dapat lebih selektif dalam merekrut calon pemimpin daerah dengan mengedepankan kapasitas, kredibilitas, dan jejak rekamnya. Bukan sekedar figur populer dari kalangan artis ataupun figur dengan kemampuan finansial yang luar biasa. Peran pemerintah pun nampaknya diperlukan guna menyempurnakan sistem seleksi dan persyaratan calon kepala daerah yang selama ini sangat tidak terukur.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD memang tidak melanggar UUD 1945, karena UUD tidak mengharuskan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. UUD hanya mewajibkan pemilihan kepala daerah secara demokratis. Artinya pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak dapat dinilai sebagai tidak demokratis, apalagi disebut melanggar UUD 1945.
Namun demikian, rencana ini nampaknya perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif karena sejumlah konsekuensi yang harus pula diperhitungkan dampaknya, antara lain: (1) revisi sejumlah UU terkait yang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti: UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta, dan UU Penyelenggara Pemilu beserta sejumlah peraturan pelaksanaannya; (2) social cost yang harus dibayar sebagai dampak dari lemahnya legitimasi gubernur; dan (3) pentingnya mengantisipasi praktik money politics yang jauh lebih mudah terjadi di ruang tertutup dan di antara para anggota dewan yang terbatas.; (4) kemungkinan munculnya anarkhisme masyarakat yang merasa hak-hak politik dan demokrasinya dirampas kembali oleh pemerintah, atau mungkin apatisme yang dapat berdampak pada berkurangnya derajat demokrasi lokal.
Kearifan untuk mengkajinya secara obyektif untuk kepentingan bangsa dan negara mutlak menjadi kata kunci dalam mencari solusi terbaik. Dan petaka sepertinya akan senantiasa mengintai bila pemerintah tidak dapat membebaskan dari dari kepentingan-kepentingan politik sesaat yang mensponsori rencana ini dan atau justru frustasi dengan dinamika politik lokal yang tidak menguntungkannya sehingga melakukan trial and error dalam menata politik dan demokrasi lokal kita yang baru berusia 5-6 tahun ini. Wallahualam…
Artikel Terkait:
Beberapa kalangan menilai bahwa rencana ini adalah kemunduran karena Indonesia pernah melaksanakan sistem serupa selama lebih dari 30 tahun yang kemudian menghasilkan demokrasi yang terkebiri. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah justru lahir sebagai antitesis dari kegagalan model demokrasi ala UU No.5/1974. Secara makro UU No.32/2004 bahkan sejalan dengan semangat desentralisasi yang menjadi ruh dan amanat reformasi, terlepas dari kenyataan adanya sejumlah kelemahan dalam UU tersebut, misalnya soal penataan kewenangan antara Gubernur dan Bupati/Walikota dalam hierarki kewenangan dan pemerintahan yang jelas.
Di samping itu, terdapat kenyataan yang tidak dapat dipungkiri selama penyelenggaraan Pilkada yang telah berlangsung sejak tahun 2005, antara lain: (1) mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada, baik di tingkat penyelenggara maupun calon kepala daerah. Mahalnya biaya Pilkada ini tidak berkorelasi dengan besaan kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sangat terbatas dalam konteks otonomi daerah yang berpusat di kabupaten/kota. Mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada juga sangat membebani anggaran daerah yang harusnya dapat lebih banyak diperuntukkan bagi pembangunan, pelayananan publik, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; (2) Dalam konteks politik pemerintahan dalam negeri, Pemerintah Provinsi akan lebih banyak menjalankan peran sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan tidak menjadi daerah otonom yang menjalankan fungsi otonomi daerah guna menghindari kecenderungan terjadinya federalisme bila otonomi daerah dititikberatkan di provinsi; (3) potensi konflik horizontal yang sangat tinggi dan membahayakan stabilitas nasional juga menjadi salah satu alasan. Menurut catatan misalnya, pada tahun 2010 ini akan diselenggarakan Pemilukada sebanyak 246 kali di wilayah provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. Dari 180 Pemilukada yang telah berlangsung, tercatat 146-nya atau lebih dari 80%-nya berujung di sengketa di Mahkamah Konstitusi. Catatan ini paling tidak menggambarkan kerawanan yang bersifat laten dari setiapkali Pemilukada di selenggarakan. Potensi konflik juga senantiasa terjadi karena lemahnya sistem administrasi kependudukan di daerah yang menjadi dasar dari penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat; (4) Maraknya praktek politik uang menggambarkan kegagalan model demokrasi langsung sebagaimana selama ini dilaksanakan melalui Pemilukada. Pragmatisme masyarakat yang makin menjadi-jadi ini nampaknya juga menjadi salah satu alasan rencana Kemendagri tersebut.
Keempat argumentasi di atas nampaknya cukup meyakinkan memang, terutama bila kita melihatnya dari perspektif kekinian yang terbatas, tanpa membandingkannya dengan pengalaman di masa lalu yang umumnya cenderung dilupakan atau pengalaman model demokrasi di daerah lain dan atau di negara lain yang dapat menjawab 4 (empat) permasalahan mendasar dalam model Pemilukada seperti yang saat ini kita jalani.
Soal mahalnya biaya penyelenggaraan maupun biaya yang dikeluarkan calon-calon kepala daerah misalnya, harusnya tidak menjadi persoalan bila Pemerintah memiliki keberanian untuk merasionalisasi masa jabatan kepala daerah sehingga Pemilukada di suatu Provinsi dapat diselenggarakan secara bersama-sama dengan Pemilukada di kabupaten/kota di Provinsi tersebut, sehingga biaya penyelenggaraan dapat menjadi lebih efisien. Argumentasinya sangat faktual, karena pos pembiayaan terbesar dari setiap penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada adalah untuk membiayai para penyelenggaranya. Artinya, negara hanya harus membayar satu kali saja kepada penyelenggara Pemilukada untuk menyelenggarakan lebih dari lima Pemilukada secara serempak di Provinsi tersebut. Sementara soal modal para calon kepala daerah yang sangat besar harusnya dapat diatasi bilamana partai politik sungguh-sungguh menjalankan peran pendidikan politiknya bagi masyarakat. Artinya, besarnya modal yang harus dikeluarkan calon saat ini pada dasarnya merupakan kutukan bagi partai dan calon-calon kepala daerah, karena mereka-lah yang sebenarnya menciptakan masyarakat untuk berperilaku seperti itu.
Soal gagalnya Pemilukada melahirkan pemimpin ideal yang merepresentasi aspirasi dan hatinurani masyarakat harusnya dapat diatasi bila partai politik dapat lebih selektif dalam merekrut calon pemimpin daerah dengan mengedepankan kapasitas, kredibilitas, dan jejak rekamnya. Bukan sekedar figur populer dari kalangan artis ataupun figur dengan kemampuan finansial yang luar biasa. Peran pemerintah pun nampaknya diperlukan guna menyempurnakan sistem seleksi dan persyaratan calon kepala daerah yang selama ini sangat tidak terukur.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD memang tidak melanggar UUD 1945, karena UUD tidak mengharuskan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. UUD hanya mewajibkan pemilihan kepala daerah secara demokratis. Artinya pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak dapat dinilai sebagai tidak demokratis, apalagi disebut melanggar UUD 1945.
Namun demikian, rencana ini nampaknya perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif karena sejumlah konsekuensi yang harus pula diperhitungkan dampaknya, antara lain: (1) revisi sejumlah UU terkait yang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti: UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta, dan UU Penyelenggara Pemilu beserta sejumlah peraturan pelaksanaannya; (2) social cost yang harus dibayar sebagai dampak dari lemahnya legitimasi gubernur; dan (3) pentingnya mengantisipasi praktik money politics yang jauh lebih mudah terjadi di ruang tertutup dan di antara para anggota dewan yang terbatas.; (4) kemungkinan munculnya anarkhisme masyarakat yang merasa hak-hak politik dan demokrasinya dirampas kembali oleh pemerintah, atau mungkin apatisme yang dapat berdampak pada berkurangnya derajat demokrasi lokal.
Kearifan untuk mengkajinya secara obyektif untuk kepentingan bangsa dan negara mutlak menjadi kata kunci dalam mencari solusi terbaik. Dan petaka sepertinya akan senantiasa mengintai bila pemerintah tidak dapat membebaskan dari dari kepentingan-kepentingan politik sesaat yang mensponsori rencana ini dan atau justru frustasi dengan dinamika politik lokal yang tidak menguntungkannya sehingga melakukan trial and error dalam menata politik dan demokrasi lokal kita yang baru berusia 5-6 tahun ini. Wallahualam…
Artikel Terkait:
1. Dibalik LKPJ Gubernur Tahun 2010
2.Untukmu Warga Glinseng
3.Bencana Demokrasi di Pandeglang
4. Pembangunan Banten Masih Lamban
5. Biar Angka Yang Bicara (#)
6. Soal Usulan Boleh Bawa Keluarga Saat Kunker DPRD Banten
7. Refleksi Satu Dasawarsa Provinsi Banten
8. Memahami Polemik Rencana Pilgub oleh DPRD: Catatan "SUDUT PANDANG" edisi 23 Agustus 2010
9. Kabupaten Cilangkahan: One Step A Head, Catatan "Sudut Pandang" Edisi 16 Agustus 2010
10. Memahami Hakikat Kemerdekaan
11. Refleksi HUT Kota Serang ke-3, Catatan "Sudut Pandang" edisi 9 Agustus 2010
12. Robohnya SDN Katulisan Cikeusal: Kado Pelantikan Bupati Serang
13. Urgensi Pembangunan Rumah Dinas Gubernur Banten, catatan "sudut pandang" 2 Agustus 2010
No comments:
Write komentar