Lanjutan...
BAB VI
TARAF KESEJAHTERAAN DAN POLA KONSUMSI
Setiap pembangunan yang dilaksanakan pada akhirnya selalu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbicara masalah kesejahteraan masyarakat, hal yang paling mudah untuk diingat adalah tingkat pendapatan masyarakat. Tingkat pendapatan masyarakat tentunya ada yang tinggi, sedang dan ada juga yang rendah. Biasanya sasaran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah mengangkat pendapatan masyarakat yang masih rendah agar pendapatannya meningkat.
Masyarakat atau penduduk dengan tingkat pendapatan yang rendah umumnya dikategorikan sebagai penduduk miskin karena dengan rendahnya pendapatan maka mereka belum mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Standar kebutuhan hidup layak tersebut diterjemahkan sebagai suatu jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2.100 kalori sehari, ditambah sejumlah pengeluaran untuk bukan makanan seperti perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Jumlah uang tersebut kemudian dikatakan sebagai batas garis kemiskinan.
Tinggi rendahnya angka jumlah penduduk miskin di suatu wilayah mencerminkan tingkat pendapatan penduduk pada wilayah tersebut. Tingginya jumlah penduduk miskin mengindikasikan rendahnya tingkat pendapatan penduduk. Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat di suatu wilayah/daerah tertentu.
Disamping meningkatnya tingkat pendapatan, hal lain yang juga mengindikasikan tingkat kesejahteraan rakyat adalah bagaimana distribusi atau pemerataan pendapatan tersebut di berbagai lapisan masyarakat. Indikator distribusi pendapatan yang dihitung dengan menggunakan pendekatan pengeluaran, dapat memberikan petunjuk mengenai aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.
6.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Kondisi masyarakat saat ini sangat rentan terhadap masalah kemiskinan. Gejolak sosial di bidang politik, buruknya keamanan, rusaknya distribusi barang dan jasa serta gejolak ekonomi makro bisa menjadi pemicu lonjakan angka kemiskinan. Di sisi lain buruknya akses pendidikan, kesehatan dan lingkungan bisa membuat mereka yang semula berada di atas garis kemiskinan terperosok ke dalam kategori penduduk miskin. Artinya masih banyak penduduk yang hidupnya hanya sedikit berada di atas garis kemiskinan (Hampir Miskin). Kelompok ini pun amat rentan terhadap perubahan harga. Oleh karena itu upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara komprenhensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat dan dilaksanakan secara lintas sektoral.
Jumlah penduduk miskin menurut hasil perhitungan BPS di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2006 masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 167.725 jiwa atau 14,92 persen penduduk kabupaten Pandeglang berada di bawah garis kemiskinan yang besarnya Rp.157.385 per kapita per bulan. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya dimana data sebelum krisis yaitu pada tahun 1993 sebesar 13,35 persen, 1996 sebesar 11,94 dan tahun 2005 sebesar 13,64 persen. Dalam kurun waktu 1993-2006 seperti yang disajikan pada tabel 6.1, pada tahun 2000 merupakan angka tertinggi baik jumlah maupun persentase penduduk miskin di kabupaten Pandeglang yaitu sebesar 198.983 jiwa atau sekitar 19,80 persen.
Tabel 6.1
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
di Kabupaten Pandeglang, Tahun 1993-2006
Tahun | Penduduk Miskin (Jiwa) | Persentase Penduduk Miskin | Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) |
(1) | (2) | (3) | (4) |
1993 | 120.050 | 13,35 | 20.158 |
1996 | 111.577 | 11,94 | 32.159 |
1999 | 180.700 | 18,70 | 75.500 |
2000 | 198.983 | 19,80 | 84.725 |
2001 | 178.636 | 15,61 | 98.350 |
2002 | 157.291 | 15,11 | 105.402 |
2003 | 166.600 | 15,40 | 124.303 |
2004 | 151.500 | 13,77 | 133.300 |
2005 | 150.966 | 13,64 | 146.630 |
2006*) | 167.725 | 14,92 | 157.385 |
Sumber : Susenas Tahun 2006
*) Angka Sementara
Grafik 6.1
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
di Kabupaten Pandeglang, Tahun 1999-2006
6.2. Pola Konsumsi
Disamping tingkat pendapatan, tingkat kesejahteraan penduduk secara umum dapat juga dapat dilihat dari pola konsumsi yang dilakukan oleh penduduk. Pola konsumsi secara umum dibagi menjadi konsumsi makanan dan non makanan. Apabila rata-rata pengeluaran konsumsi makanan penduduk lebih besar dari pendapatannya,hal ini sebagai dampak dari masih rendahnya tingkat pendapatan masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Sebaliknya apabila persentase rata-rata konsumsi bukan makanan lebih besar atau meningkat, hal ini menunjukan indikasi bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat sudah baik/meningkat.
Dari hasil Susenas tahun 2006, menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat Pandeglang untuk makanan masih lebih besar dibandingkan konsumsi bukan makanan, yaitu 66,45 persen untuk makanan dan 33,55 persen untuk bukan makanan. Hal ini terjadi karena pendapatan yang diterima oleh masyarakat masih pada level untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehingga konsumsi terhadap makanan besar. Bila pendapatan yang diterima cukup besar maka masyarakat tidak hanya berfikir untuk membeli kebutuhan pokok saja (makanan) namun juga berfikir untuk membeli kebutuhan sekunder dan tersier seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan yang pada umumnya termasuk dalam kelompok bukan makanan.
Rata-rata pengeluaran perkapita perbulan penduduk Pandeglang tahun 2006 sebesar Rp. 199.697,- yang terdiri dari Rp. 132.707,- untuk konsumsi makanan dan Rp. 66.990,- untuk konsumsi bukan makanan. Dari konsumsi makanan pengeluaran terbesar adalah untuk konsumsi padi-padian (makanan pokok) dan Tembakau atau sirih (Rokok). Sedangkan dari konsumsi bukan makanan pengeluaran terbesar adalah untuk konsumsi perumahan serta barang dan jasa.
Dari pola konsumsi di atas menunjukkan bahwa pengeluaran yang dilakukan penduduk Pandeglang masih berfokus pada kebutuhan primer seperti bahan makanan pokok. Namun ada hal yang menarik, ternyata pengeluaran untuk rokok jauh lebih besar dari pengeluaran untuk pendidikan maupun kesehatan. Seringkali ketidakmampuan orangtua untuk menyekolahkan anak dikaitkan dengan ketidakmampuan dalam hal keuangan, di sisi lain untuk konsumsi tembakau atau rokok cukup besar. Dengan demikian kalau konsumsi rokok dikurangi, mungkin masalah keuangan untuk menyekolahkan anak sedikit bisa teratasi.
Tabel 6.2
Pengeluaran Rata-rata per Kapita per Bulan
Penduduk Kabupaten Pandeglang, Tahun 2005-2006
Konsumsi | Pengeluaran (Rp.) | Persentase (Persen) | ||
2005 | 2006*) | 2005 | 2006*) | |
(1) | [2] | [3] | [4] | [5] |
Makanan
| 129.677 28.904 23.110 77.663 | 132.707 38.421 23.344 70.932 | 65,94 14,70 11,75 39,49 | 66,45 19,24 11,69 35,52 |
Bukan Makanan
| 66.976 36.540 12.687 3.165 14.584 | 66.990 35.726 15.057 4.913 11.303 | 34,06 18,58 6,45 1,61 7,42 | 33,55 17,89 7,54 2,46 5,66 |
Total | 196.653 | 199.697 | 100,00 | 100,00 |
Sumber: Susenas 2005-2006
*) Angka Sementara
No comments:
Write komentar