Oleh Romo Gandung Ismanto pada 20 November 2010 jam 8:40
Pendahuluan
Sungguh, apa yang dialami masyarakat Pandeglang pasca putusan MK bagi Saya adalah sebuah bencana, sama parahnya dengan bencana yang terjadi di Wasior, Mentawai, dan Merapi. Karenanya kita patut prihatin dan berempati atas bencana yang terjadi tersebut. Bedanya hanya pada dimensi korbannya, yang satu kerugiannya bersifat materil karena hilangnya harta dan nyawa manusia, sedangkan di pandeglang kerugiannya di samping materil juga hilangnya kedaulatan rakyat karena dianulirnya pilihan mereka yang telah menelan biaya besar itu untuk diulang kembali. Dan demi pendidikan politik yang sehat, Saya memberanikan diri untuk menawarkan pemikiran ini sebagai bentuk empati dan kecintaan Saya terhadap masyarakat Pandeglang, sehingga mereka mampu menyadari bahwa demokrasi yang sangat mahal itu hanya dapat berbuah maslahat bila semua pihak yang terlibat didalamnya jujur dan amanah dalam melaksanakannya. Bila tidak, demokrasi pasti akan menjadi bencana bagi masyarakatnya.
Apa yang dialami masyarakat Pandeglang saat ini adalah fakta kesekian kali bencana demokrasi yang banyak terjadi selama ini, tidak hanya di Banten tapi juga umumnya di Indonesia. Bencana kerusakan sendi-sendi demokrasi dan kehidupan politik akibat tergadaikannya kedaulatan rakyat yang hakiki oleh kekuatan kapital. Bencana karena demokrasi kita tidak lagi mampu menjamin sirkulasi elit yang alamiah, tidak mampu melahirkan pemimpin berwatak baik, berkualitas, kompeten, dan memiliki integritas tinggi. Bencana karena demokrasi yang dibajak sejumlah elit lokal itu ternyata hanya melahirkan aristokrasi dan atau oligarki baru! Sayangnya rakyat tak jua tersadar dari bencana dahsyat yang skalanya telah mencapai angka 9,9 skala kerusakan ini.
Atas pemahaman filosofis itulah tulisan ini dibuat, dengan empati yang dalam atas bencana demokrasi yang telah terjadi, dan tentu tanpa bermaksud sedikit pun untuk mendiskreditkan apalagi merendahkan masyarakat Pandeglang. Semoga niat baik ini juga dapat diterima dengan baik dan menghasilkan kebaikan bagi semua.
Dilema
Terus terang, secara personal, subyektif dan emosional, Saya termasuk orang yang tidak terlalu bergembira dengan putusan MK yang memutus agar pemungutan suara diulang di seluruh TPS. Namun Saya pun orang yang sangat dapat memahami dalil atau pertimbangan hukum yang digunakan MK untuk memutuskan perkara ini. Saya adalah orang yang percaya hasil survey yang kredibel, bukan survey abal-abal, namun Saya juga percaya perilaku korup elit politik kita pada umumnya dalam setiap Pemilu dan Pemilukada yang tak banyak berubah. Perilaku yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan. Dan karena hal ini maka sesungguhnya saya pun sangat marah dengan putusan MK ini yang memenangkan dalil-dalil pemohon yang sebenarnya sangat lazim dilakukan di masa lalunya bersama kelompok politiknya. Inilah yang oleh masyarakat awam disebut sebagai “maling teriak maling” hingga praktis masyarakat menjadi bingung siapa sesungguhnya maling yang sebenarnya. Apalagi faktanya MK dapat membuktikan perilaku super licik pemohon yang menghadirkan bukti palsu berupa ribuan surat suara bertanda coblos pada foto mereka yang sengaja dibuang ke sungai seolah-olah surat suara yang asli. Sungguh memalukan!
Dalam konteks inilah rasionalitas Saya ‘dipaksa’ untuk mengapresiasi putusan MK yang ‘berhasil’ mengambil jalan tengah yang adil bagi para pihak, kendati tidak adil bagi masyarakat dalam konteks “sia-sianya” biaya demokrasi yang telah menghabiskan Rp.13,5miliar. Mengapa Saya sebut dengan jalan tengah yang adil? Karena hakikat Pemilu pada dasarnya adalah mencari persetujuan rakyat terbanyak melalui pemungutan suara, karenanya keadilan dalam demokrasi menjadi tidak mutlak sifatnya. Demokrasi memaknai adil bila mampu memberikan “the greatest happiness for the greatest numbers”, bukan “the greatest happiness for all”. Dan karena tujuan itu maka besarnya biaya pemilukada dalam konteks ini sama sekali tidak berkaitan dengan tujuannya, karena anggaran adalah konsekuensi dari upaya mencapai keputusan final yang adil dalam konteks sistem demokrasi yang kita ‘imani’ saat ini. Oleh karena itu, mempertentangkan mahalnya biaya proses demokrasi dengan kemanfaatannya bila digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik adalah sesuatu yang absurd, tidak terukur, dan incomparable karena ukuran keduanya memang berbeda.
Namun demikian, Saya pun dapat memahami “kemarahan” rakyat yang merasa Rp.13,5miliar itu sia-sia karena “ketidakbecusan” semua pihak yang terlibat dalam Pemilukada. Ya, “tidak becus”. Pemerintah dan pemda yang tidak becus dalam mengurusi persoalan pendataan penduduk sehingga hampir selalu menjadi akar persoalan dari pemilu ke pemilu. KPU yang diisi oleh orang bermental “pegawai” dan pengangguran yang mencari pekerjaan, bukan aktor demokrasi dan intelektual. Juga Panwaslu yang cuma sekedar cari tambahan penghasilan selama enam bulanan sehingga tidak kritis dan kreatif dalam mencari celah untuk berperan secara signifikan di tengah keterbatasan kewenangannya. Birokrasi yang korup dan berpihak, ulama yang tidak mampu menjadi pencerah masyarakat bahkan terperangkap menjadi tim-tim sukses pasangan calon bermental “busuk”. Intelektual yang hanya menjadi tukang bayaran partai dan pasangan calon, parpol yang hanya jualan perahu setiap kali pemilukada datang, gubernur yang kurang arif dalam memposisikan diri dan kekuasaannya, parpol dan pasangan calon yang terus menerus membodohi rakyatnya, serta rakyat yang mudah dibohongi oleh janji palsu dan sedikit uang recehan.
Bila itu semua kita sadari, lalu siapa yang sebenarnya mensia-siakan uang Rp.13,5miliar tersebut? Jawabnya tentu kita semua! Sekali lagi, ini salah kita semua! Kita semua tidak becus dalam menjalani dan memaknai demokrasi. Kita semua tidak siap untuk hidup berdemokrasi. Dan kita semua tidak memiliki kedewasaan untuk memahami hakikat dan konsekuensi dari hidup berdemokrasi.
Pelajaran Mahal
“Experience is the only basis for knowledge and wisdom.” Apa yang dikemukakan Dewey tersebut nampaknya penad betul dengan apa yang kita alami saat ini. Bahkan sejalan dengan adagium lokal bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Sayangnya, kita hafal betul dengan pepatah itu namun sangat sedikit dari kita yang mampu memaknainya secara nyata.
Suka atau tidak suka, MK sudah mengambil keputusan. Dan tidak ada dalam sejarahnya putusan MK – dan lembaga peradilan lainnya - itu ditolak atau tidak dilaksanakan karena sifatnya yang final and bending, bahkan dalam kondisi seburuk apapun putusannya tersebut. Ketidakpatuhan pada hukum pada akhirnya hanya akan menciptakan kekacauan dan ketidakpastian yang makin panjang. Penolakan pun hanya akan makin memperburuk citra pandeglang dan masyarakat Banten yang selama ini distigma sebagai daerah tertinggal dan terbelakang serta identik dengan kekerasan. Bupati pun harus lebih arif berkomentar soal ini agar rakyat pendukungnya tidak terprovokasi. Bupati harus mampu menekan ‘libido’ berkuasanya dan mengerem pernyataannya yang hampir selalu menyebut putusan MK tersebut sarat dengan rekayasa dari para saksi dan bukti palsu. Karena bagaimana pun ia adalah salah satu kandidat dalam Pemilukada. Mengapa begitu? Karena masyarakat kebanyakan belum dapat secara tepat membedakan kapan statemen itu muncul sebagai Bupati dan kapan sebagai kandidat bupati. Kesalahan dalam bersikap pada situasi ‘genting’ seperti ini akan dapat dimaknai berbeda dan akan makin menambah runyam suasana.
Karenanya sekali lagi, suka atau tidak suka, inilah realitas politik yang kita hadapi. Realitas yang tidak mungkin dibatalkan sebagaimana tidak mungkinnya kita memundurkan kembali jarum jam yang kodratnya terus bergerak tanpa dapat dihalangi oleh apa dan siapapun. Hanya dengan kebijaksanaan dan kepala dingin kita dapat mencegah meluasnya kerusakan demokrasi dan politik kita. Dan hanya dengan itu kita dapat menjamin kepastian dan iklim kondusif guna terselenggaranya pemungutan suara ulang yang benar-benar jujur dan adil. Dan hanya dengan ini kita dapat menjamin agar biaya mahal yang digunakan nanti tidak kembali menjadi sia-sia karena ketidakbecusan kita semua tersebut.
Yang pasti, putusan MK ini harus disikapi secara arif sebagai sebuah pelajaran, walaupun sangat mahal harganya. Pelajaran bagi kita semua untuk tidak main-main dan mempermainkan kedaulatan rakyat. Pelajaran bagi pemerintah untuk dapat berdiri di atas semua golongan. Pelajaran bagi elit dan pimpinan politik untuk tidak menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya. Pelajaran bagi masyarakat Pandeglang dan Banten pada umumnya untuk membebaskan diri dari kekuasaan yang selama ini membodohi mereka, menipu dan memperalat mereka atas nama demokrasi. Dan tentu pelajaran bagi kita semua untuk mengamini pepatah bijak orang-orang tua kita dulu bahwa “sepandai-pandai tupai melompat, sesekali pasti jatuh jua”, serta “sepandai-pandai menyimpan bangkai, busuknya pasti tercium juga!”
Terkait dengan kebuntuan demokrasi karena kendala biaya, perlu keberanian untuk melakukan terobosan dengan membebankan biaya pemungutan suara ulang yang diperkirakan mencapai Rp.9,8miliar itu kepada enam pasang calon yang ada. Tetapi, ini harus dibicarakan dengan para calon tersebut, dengan difasilitasi oleh KPUD, didasari oleh itikad baik menjalankan putusan MK serta untuk tidak terus menerus menyakiti dan membebani masyarakat yang haknya atas APBD menjadi berkurang karena pemilukada yang tak kunjung selesai. Karenanya tidak boleh ada paksaan. Pertanyaannya sekarang, mengapa ‘terobosan’ seperti ini patut ditawarkan? Jawabnya sederhana, (1) karena APBD Pandeglang tidak lagi mampu menanggung beban biaya sebesar itu; (2) kalaupun mampu, pemungutan suara yang diperkirakan akan dilaksanakan pada pertengahan desember tahun ini akan mempersulit mekanisme pembiayaannya karena sudah berada di akhir tahun anggaran. Pun demikian bila pemungutan suaranya dilakukan di awal bulan Januari 2011; dan (3) tradisi seperti ini telah menjadi kearifan lokal dalam sistem pemilihan kepala desa di Banten khususnya, sehingga dipastikan tidak akan bermasalah secara hukum. Bila ini dapat dilakukan, paling tidak dapat menjadi kebanggaan masyarakat Pandeglang karena menjadi pelopor tradisi baru di tengah kebuntuan demokrasi lokal kita. Dan bukan tidak mungkin, model seperti ini juga akan diikuti oleh daerah lainnya di masa depan; (4) Kapasitas dana tak terduga (TT) Pemprov yang diharapkan dapat menutupi kekurangan dana dimaksud menurut perkiraan Saya tidak cukup besar. Paling banter Rp.5miliaran, itu pun tidak akan diijinkan untuk digunakan seluruhnya karena dana TT dimaksud esensinya hanya untuk penanganan bencana, apalagi saat ini negara kita sedang siaga dengan fenomena bencana alam yang hampir merata terjadi di sejumlah daerah.
Titik Kritis
Pemungutan suara ulang membutuhkan prakondisi yang kondusif agar dapat terlaksana secara jujur dan adil. Kondusifitas berupa pulihnya kepercayaan rakyat bahwa re-voting nanti benar-benar menjadi penyelesaian final dan tidak lagi sia-sia. Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan yang mampu mewujudkan prakondisi tersebut, pasca berakhirnya masa jabatan Bupati beberapa hari mendatang. Terkait dengan hal ini, maka keberadaan Penjabat Bupati akan menjadi titik krusial yang akan menentukan proses, hasil, dan konsekuensi dari re-voting nanti. Saya setuju dengan wacana agar putra daerah diutamakan menjadi penjabat bupati, namun harusnya itu hanya menjadi pertimbangan sekunder. Netralitas, kompetensi, dan profesionalitas harusnya lebih diutamakan karena memang situasi saat ini menghendakinya.
Karenanya, Gubernur harus belajar dari keberhasilan Penjabat Kota Serang yang mampu menjaga posisinya benar-benar di tengah semua pihak, mengakomodasi, dan mengayomi semua elemen masyarakat. Figur seperti inilah yang sangat dibutuhkan oleh Pandeglang saat ini. Bila gubernur gagal mewujudkannya, dan justru memilih Penjabat yang dikenal sebagai loyalisnya, maka dipastikan akan muncul prasangka-prasangka yang dapat menyebabkan situasi menjadi tidak kondusif.
Gubernur juga harus belajar dari penunjukkan Penjabat Walikota Tangerang Selatan yang cukup mendapatkan reaksi resistensi dari masyarakat, karena distigma sebagai loyalis yang membawa kepentingan gubernur dalam Pemilukada bulan ini (11/10). Bila figur seperti di Tangsel dipaksakan di Pandeglang, Saya khawatir pemungutan suara ulang nanti akan melahirkan bencana demokrasi berikutnya. Dan tentu ini sangat tidak kita harapkan.
Penunjukan Sekda sebagai Plt. Bupati memang sudah benar dalam konteks konvensi ketatanegaraan kita, namun tidak tepat secara kontekstual karena berpotensi menjadi masalah baru di Pandeglang. Mengapa? Karena menurut MK, Sekda adalah part of problem yang menyebabkan diputuskannya re-voting. Sikapnya yang tidak mampu berdiri di tengah-tengah dikhawatirkan justru akan membenamkan Pandeglang pada bencana demokrasi yang lebih parah. Tentu ini hanyalah sinyalemen, karena kita tentu masih bisa berharap bahwa yang bersangkutan dapat benar-benar belajar dari kesalahannya kemarin.
Rakyat Harus Memberi Hukuman
Rakyat perlu dan wajib menggunakan kedaulatannya untuk menghukum semua pihak yang tidak becus dalam mengikuti pemilukada. Menghukum KPU agar lebih serius dan tegas dalam menyelenggarakan pemungutan suara ulang agar benar-benar jujur dan adil, menghukum Sekda agar cukup “sadina” saja di kursinya karena konon kebijakannya yang ngawur itu telah menjadi salah satu alasan hukum lahirnya putusan MK.
Menghukum WANI yang terlalu “wani” mencontoh senior-seniornya yang beretika politik buruk. Menghukum IRAMA yang telah merusak demokrasi kita sehingga menjadi sangat tidak berirama dan tak sedap dipandang mata. Menghukum Panwas karena tidak awas, menghukum bupati karena tidak dapat memposisikan diri, dan menghukum gubernur karena tidak bisa menjadi teladan bagi rakyatnya. Akhirnya, sebaik-baik hukuman yang harus diberikan oleh rakyat adalah hukuman kepada pasangan calon yang nyata-nyata banyak melakukan pelanggaran dan menjadi penyebab utama kekisruhan ini.
Keduanya harus dihukum dengan cara tidak memilih mereka pada pemungutan suara ulang nanti. Bila perlu, para ulama ‘turun gunung’ memfatwakan jalan tengah agar tidak memilih keduanya karena berpotensi membawa kemudharatan lebih besar daripada kemaslahatannya. Kenapa tidak?. Karena Pandeglang sangat perlu untuk segera mengakhiri era lama di bawah bayang-bayang kekuasaan yang gagal mensejahterakan rakyatnya. Pandeglang juga sangat butuh untuk tidak jatuh pada rejim baru yang merupakan perpanjangan tangan rejim daerah lain yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Dan Pandeglang sudah sangat butuh untuk segera mengakhiri jaman kegelapannya guna menatap masa depannya yang lebih baik dengan cara memilih calon alternatif lainnya yang “tidak memiliki dosa sejarah”. 4 pasang calon alternatif ini kita paksa untuk bisa melakukan rekonsiliasi, me-recovery, sekaligus memimpin percepatan pembangunan di wilayah yang konon masih tertinggal ini. Jangan beri mereka ‘cek kosong’, tapi disumpah oleh para ulama di alun-alun pandeglang untuk selalu mengutamakan kepentingan rakyat sebagai kontrak politiknya.
Akhirnya, karena pilihan ini adalah ibarat memakan buah simalakama, kenapa tidak memakan empat buah lainnya – karena tidak mungkin membeli buah di pasar berbeda - yang walaupun belum diketahui rasanya, namun paling tidak, jauh lebih sedikit ‘pahitnya’ dibandingkan dua buah lain yang cantik penampilannya namun telah terbukti pahit isinya. Hanya dengan cara ini rakyat bisa memperbaiki kesalahannya karena telah menyia-nyiakan kedaulatan selama ini, serta menatap masa depannya yang baru, lepas dari bayang-bayang masa lalu yang suram. Semoga..
Penulis adalah pemerhati politik, yang mencintai Banten dengan sepenuh jiwa.
Artikel Terkait:
No comments:
Write komentar