Monday, April 25, 2011

STRATEGI MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH


NAMA   : ENDI SUTRISNA
NIM       : 072645
KELAS : 6A
MK        : SPKD

STRATEGI MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH

A. Pendapatan Asli Daerah
Pengertian Pendapatan Daerah. Menurut Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pendapatan daerah merupakan semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 

Menurut Undang-Undang No.32 tahun 2004  tentang Pemerintah Daerah, sumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a.  Pendapatan asli daerah, yaitu:
1)  Hasil pajak daerah
2)  Hasil retribusi daerah
3) Hasil perusahaan milik daerah,hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
4)  Lain-lain pendapatan daerah yang sah
b.  Dana perimbangan, terdiri dari:
1)  Dana bagi hasil yang barsumber dari pajak dan sumber daya alam
2)  Dana alokasi umum
3)  Dana alokasi khusus
c.  Pinjaman daerah
d.  Lain-lain penerimaan daerah yang sah

Selanjutnya didalam penjelasan atas Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dimaksud dengan PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundan-undangan yang berlaku.


B. Sumber Pendapatan Asli Daerah
Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang dimaksud dengan PAD adalah pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. 

Sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab, penyelenggaraan pemerataan dan pembangunan daerah secara bertahap akan semakin banyak diserahkan kepada daerah. Berbagai kebijaksanaan keuangan daerah yang diambil diarahkan untuk semakin meningkatkan kemampuan dalam membiayai  urusan penyelenggaraan pemerataan dan pembangunan daerahnya.
Secara garis besar kebijaksanaan mencakup beberapa komponen utama yaitu:
a.  Kebijaksanaan di bidang penerimaan 
     Yaitu untuk mendorong kemampuan daerah yang semaksimal mungkin dalam membiayai urusan rumah tangganya sendiri
b.  Kebijaksanaan di bidang pengeluaran
     Berorientasi pada prinsip desentralisasi dalam perencanaan, penyusunan program, serta pengambilan keputusan dalam memilih Negara dan proyek daerah serta pelaksanaannya.
c. Peningkatan kemampuan organisasi pemerintah daerah termasuk kemampuan personil dan struktur organisasinya.

PAD sebagai bagian dari pendapatan daerah termuat dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, terdiri dari:
a.  Hasil pajak daerah
Menurut Undang-Undang No.34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan  perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemda dan pengembangan daerah.
b.  Hasil retribusi daerah 
Menurut Undang-Undang No.34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, retribusi daerah adalah pungutan  daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oeh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi daerah merupakan salah satu sumber penerimaan yang dapat dipungut terus menerus mengingat pengeluaran pemerintah daerah adalah untuk anggaran rutin dan anggaran pembangunan selalu meningkat.

c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang dimaksud hasil perusahaan daerah  adalah bagian keuntungan atau laba bersih perusahaan daerah yang berupa pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah, baik bagi perusahaan daerah yang modalnya untuk seluruhnya terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan maupun bagi perusahaan daerah yang modalnya sebagian terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan.
Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah. 

d.  Lain-lain PAD yang sah
Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004  tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, lain-lain PAD yang sah bersumber dari:
1)  Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan 
2)  Jasa giro
3)  Pendapatan bunga 
4)  Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing 
5)  Komisi, potongan, maupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau jasa oleh daerah.

C. Startegi Meningkatkan PAD
PAD merupakan ujung timbak dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah, berbagai kegiatan pemerintahan baik tugas pokok maupun tugas pembantuan harus diimbangi oleh adanya PAD, sebagai media penggerak program pemerintah daerah. Agar keberadaan PAD berjalan lancar, maka jumlah pendapatan minimal seimbang dengan pengeluaran artinya tidak besar pasak daripada tiang, oleh karena itu Pemerintah Daerah harus mempunyai strategi dalam pengelolaan PAD terutama dalam meningkatkan pendapatan asli daerahnya, strategi meningkatkan PAD dapat dilakukan melalui strategi sebagai beikut:

1. Kebijakan dari Pemerintah Pusat
Dari beberapa gambaran kondisi elemen pembentuk PAD di Indonesia seperti yang diuraikan di atas, sekiranya harapan di era otonomi untuk mencapai kemandirin daerah ternyata masih merupakan mimpi indah yang masih harus dibangun kembali oleh bangsa Indonesia. Banyak realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa daerah seperti kebingungan di dalam menyikapi tuntutan otonomi. Filosofi dasar otonomi untuk mendekatkan pelayanan kepada tingkat pemerintahan paling bawah justru disikapi sebaliknya. Untuk beberapa daerah yang terbilang siap secara sumber daya alam maupun sumber daya manusia, otonomi benar – benar menjadi arena pembuktian bahwasanya mereka sanggup untuk mengelola daerahnya sendiri dengan mengurangi campur tangan pusat. Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di Indonesia belum memiliki prasyarat kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka justru tenggelam di dalam euforia otonomi itu sendiri.

Banyak kebijakan yang bersifat merugikan dan sangat prematur hanya demi mengejar otonomi versi mereka. Karenanya peran pusat dirasa masih sangat diperlukan dewasa ini. Hanya saja ada beberapa elaborasi dan penyesuaian di beberapa aspek sehingga peran pemerintah itu nantinya juga tetap berada dikoridor hukum, selaras dengan napas otonomi daerah. Peran tersebut antara lain berupa penciptaan kondisi yang kondusif bagi perkembangan pajak dan retribusi dengan tetap memperhatikan landasan hukum yang sudah disepakati bersama. Kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah pusat dapat dibagi menjadi kebijakan dari sisi penciptaan pajak baik ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak dan retribusi serta kebijakan dari sisi penggunaannya.  


2. Kebijakan dari sisi penciptaan
1.  Penyerahan beberapa pajak dan retribusi yang masih dipegang oleh Pusat kepada Daerah dengan tetap mempertimbangkan faktor efisiensi ekonomi, mobilitas obyek pajak serta fungsi stabilitasi dan distribusi pajak itu sendiri. Adapun pajak-pajak tersebut antara lain :
    PBB dan BPHTB dapat dialihkan ke Daerah dimana Daerah diberi wewenang untuk menetapkan dasar penggenaan pajak dan tarif sampai batas tertentu meskipun adminstrasinya masih dilakukan oleh Pusat.
  Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi yang sekarang dibagi hasilkan, dapat dialihkan
      dalam bentuk piggy back dimana Daerah seyogyanya diberikan wewenang untuk mengenakan opsen sampai batas tertentu di bawah wewenang penuh Pemerintah Kab/Kota.

2.  Memberikan batas toleransi maksimum terhadap pembatalan penciptaan pajak dan retribusi baru oleh Daerah selama kurun waktu tertentu. Misalnya jika selama 1 tahun Daerah telah mencapai batas toleransi jumlah Perda yang dibatalkan maka Daerah tersebut tidak dapat mengajukan permohonan Perda penciptaan pajak dan retribusi baru. Ini juga terkait dengan usulan revisi UU No. 34 tahun 2000 butir yang memberikan kesempatan Daerah untuk menciptakan jenis pajak dan retribusi baru. 
3. Memperluas basis penerimaan pajak melalui identifikasi pembayar pajak baru/potensial serta meningkatkan efisiensi dan penekanan biaya pemungutan. Diharapkan biaya pengenaan pajak jangan sampai melebihi dana yang dapat diserap dari pajak itu sendiri.


3. Kebijakan dari sisi pemberdayaan BUMD
1. Pemberdayaan BUMD sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan daerah dapat   ditempuh melalui strategi :
  Reformasi Misi BUMD : 
a. BUMD sebagai salah satu pelaku ekonomi daerah dapat mendayagunakan aset daerah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat;
b. BUMD adalah penyedia pelayanan umum yang menjaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas pelayanan;
c. BUMD mampu berperan sebagai pendukung perekonomian daerah dengan memberikan kontribusi kepada APBD, baik dalam bentuk pajak maupun deviden dan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah melalui multiplier effect yang tercipta dari kegiatan bisnis yang efisien seperti bertambahnya lapangan kerja dan kepedulian social;
d. BUMD mampu berperan sebagai countervailing power terhadap kekuatan ekonomi yang ada melalui pola kemitraan. Diharapkan berbagai perusahaan swasta dalam dan luar negeri berminat melakukan kerjasama dengan BUMD terpilih untuk selanjutnya membentuk Joint Venture/Joint Operation Company (JV/OC).

  Restrukturisasi BUMD
Langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan kesehatan BUMD, yaitu    tindakan yang ditujukan untuk membuat setiap BUMD menghasilkan laba termasuk mengubah mekanisme pengendalian oleh Pemerintah Daerah yang semula kontrol secara langsung melalui berbagai bentuk perizinan, aturan, dan petunjuk menjadi kontrol yang berorientasi kepada hasil. Artinya Pemerintah Daerah selaku pemegang saham hanya menentukan  target kuantitatif dan kualitatif yang menjadi performance indicator yang harus dicapai oleh manajemen, misalnya Return On Equity (ROE) tertentu yang didasarkan kepada benchmarking kinerja yang sesuai dengan perusahaan sejenis;Pengkajian secara komprehensif terhadap keberadaan BUMD, karena selama ini BUMD dianggap kurang tepat bila disebut sebagai lembaga korporasi, khususnya, dikaitkan dengan upaya pemberdayaan BUMD agar dapat menjadi salah satu sumber keuangan daerah;
Restrukturisasi BUMD dengan prinsip Good Corporate Governance dapat dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok yaitu :
a.  Kelompok BUMD PDAM dimana tersedia berbagai pilihan restrukturisasi Perusahaan yang dapat dilakukan tergantung permasalahan yang dihadapi dan potensi yang tersedia;
b.  Kelompok BUMD Non PDAM, dapat diselesaikan secara kasus per kasus dengan berbagai pilihan sesuai dengan visi pengelolaan BUMD yang bersangkutan.

  Profitisasi BUMD
Profitisasi BUMD dalam rangka menghasilkan  keuntungan atau laba serta memberikan
kontribusi pada Pemerintah Daerah yaitu dapat dilakukan sebagai berikut : 
a.Melakukan proses penyehatan perusahaan secara menyeluruh dengan meningkatkan kompetensi manajemen dan kualitas Sumber Daya Manusia;
b.Mengarahkan BUMD untuk dapat berbisnis secara terfokus dan terspesialisasi dengan pengelolaan yang bersih, transparan dan professional;
c.Bagi BUMD yang misi utama untuk pelayanan publik dan pelayanan sosial, diberikan sasaran kuantitatif dan kualitatif tertentu;
d.Memberdayakan Direksi dan Badan Pengawas yang dipilih dan bekerja berdasarkan
   profesionalisme melalui proses fit and proper test;
e.Merumuskan kebijakan yang diarahkan kepada tarif yang wajar, kenaikan harga produk (minimal menyesuaikan dengan inflasi, tarif listrik, BBM, dan lain-lain) untuk menghindarkan biaya produksi yang jauh lebih mahal, sehingga profit dapat diraih.

  Privatisasi BUMD
Privatisasi utamanya bertujuan agar BUMD terbebaskan dari intervensi langsung birokrasi dan dapat mewujudkan pengelolaan bisnis yang efisien, profesional dan transparan. Diharapkan setelah melalui tahapan restrukturisasi, pihak perusahaan swasta akan berminat mengembangkan usaha dengan cara melakukan aliansi strategis dengan BUMD, dan bila memungkinkan untuk BUMD yang sehat dan memiliki prospek bisnis dapat menawarkan penjualan saham melalui Pasar Modal yang didahului Initial Public Offering (IPO). Penataan dan penyehatan BUMD yang usahanya bersinggungan dengan kepentingan umum dan bergerak dalam penyediaan fasilitas publik ditujukan agar pengelolaan usahanya menjadi lebih efisien,  transparan, profesional. Hubungan kemitraan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta, dan BUMD, serta antara usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional. Bagi BUMD yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk privatisasi melalui pasar modal.   

BUMD infrastruktur tentunya harus dikelola secara profesional sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan dan mampu menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan berbagai pihak operator swasta dan Pemerintah Daerah. Aliansi Stragis dengan operator swasta sangat dibutuhkan untuk mengisi peluang usaha telekomunikasi yang kompetitif pada segmen pasar tertentu. Sebagai konsekuensi logis implementasi otonomi daerah, maka peranan Pemerintah Daerah sebagai salah satu stakeholder mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam penentuan arah kebijakan publik di daerahnya. Untuk itu perlu dikaji lebih mendalam pengembangan kerjasama Pemerintah Daerah dengan pihak swasta, baik langsung maupun melalui BUMD dalam dalam rangka menjalin hubungan kemitraan yang saling menguntungkan. Untuk memelihara sense of belonging, daerah/BUMD dan masyarakat dapat diberi peluang untuk memiliki sebagian saham BUMN tertentu yang berusaha di daerahnya sehingga merasa ikut memiliki dan turut bertanggung jawab atas keberhasilan usahanya. Dalam upaya optimalisasi sumber-sumber pembiayaan dan investasi bagi daerah otonom, diperlukan dukungan pemerintah dalam berbagai bentuk pembinaan dan pengawasan di berbagai bidang.




4. Kebijakan Dari Sisi Penggunaan
1.  Meningkatkan mekanisme kontrol dari masyarakat dan LSM terhadap pelaksanaan pengelolaan keuangan Daerah sebagai wujud nyata pelaksanaan asas transparansi dan akuntabilitas fiskal.
2.  Memberikan arahan yang jelas tentang alokasi anggaran terhadap sumber - sumber penerimaan baik PAD maupun transfer pusat. Adapun peran pusat hanya sekedar memberikan arahan tentang hal yang seyogyanya dilakukan oleh Daerah. Semua keputusan tentang mekanisme pelaksanaan alokasi anggaran sepenuhnya menjadi kewenangan daerah sesuai dengan nafas otonomi itu sendiri. Adapun aturan alokasi tersebut misalnya: PAD sampai prosentase tertentu digunakan untuk pembayaran gaji pokok aparat Daerah dengan memberikan standar yang sama di seluruh Indonesia. Untuk beberapa Daerah yang memiliki PAD tinggi dan kelebihan setelah digunakan untuk pembayaran gaji pokok dapat dimanfaatkan sebagai kekayaan Daerah. Sementara DAU  yang diterima sampai prosentase tertentu digunakan untuk dana operasional (tunjangan) aparat Daerah, pelayanan publik yang bersifat intangible serta proyek pembangunan jangka pendek. Sementara DAK diarahkan untuk mensukseskan program nasional yang bersifat prioritas serta pencapaian Standar Pelayanan Minimal di masing-masing Daerah. Sementara untuk proyek pembangunan Daerah jangka panjang diarahkan pada sumber dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan melalui Propinsi dan Menteri Teknis. 


Referensi
Ismail,Tjip “ Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”, Jakarta 2002.
Ismail,Munawar “Pendapatan Asli Daerah dalam Otonomi Daerah”, 2002.
Hoessein, Bhenyamin “Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otda”, 2002.