Wednesday, April 20, 2011

PILKADA LANGSUNG DAN OTONOMI DAERAH


PILKADA LANGSUNG DAN OTONOMI DAERAH

1.      Pilkada Langsung
1.1  Latar Belakang Pilkada
          Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana rakyat memegang peranan penting yang menentukan kesejahteraan suatu Negara.
Pada waktu sekrang ini sebagai ciri demokrasi ialah bahwa tiap-tiap keputusannya selalu bersandarkan atas dasar kelebihan suara. Golongan besar memperoleh suara terbanyak, sedangkan golongan kecil menderita kekalahan.
Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan suses.
Indonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1.      Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2.      Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3.      Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya
4.      Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.      Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.

Pilkada merupakan salah satu intrumen untuk memenuhi desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya transfer lokus kekuasaan dari pusat ke daerah. Pilkada sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui pilkada, rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus memberikan legitimasi kepada siapa yang berhak dan mampu untuk memerintah. Melalui pilkada perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Pilkada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah (legitimate).

Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah langkah strategis dalam rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika agenda desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa, maka pilkada semestinya memberikan kontribusi yang besar terhadap hal itu.

Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada langsung adalah: Pertama, pilkada diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Kedua, pilkada diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, pilkada akan memperkuat dan meningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan desentralisasi dan otonomi daerah yaitu dalam rangka pelatihan dan kepemimpinan nasional.

Hadirnya pilkada, pada awalnya, direspon oleh masyarakat dengan antusiasme yang tinggi. Antusiasme masyarakat itu berkaitan dengan terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan menentukan secara langsung kepala daerahnya. Ada deliberasi partisipasi warga dalam menentukan kepemimpinan di daerah. Antusiasme juga merupakan cerminan begitu besar harapan atau ekspektasi terhadap para kepala daerah hasil pilkada langsung. Hal itu tidak lepas dari akumulasi kekecewaan terhadap praktik pemerintahan local sebelum era pilkada langsung.

Akan tetapi setelah tiga tahun berjalan, antusiasme masyarakat terhadap proses dan hasil pilkada makin berkurang atau menurun. Hal ini bisa dilihat antara lain dari menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada. Penurunan ini sejalan dengan menurunnya keyakinan masyarakat terhadap kemampuan kepala daerah hasil pilkada langsung. Selain itu, kondisi tersebut didorong oleh kekecewaan masyarakat terhadap partai politik yang kerap kali menyodorkan calon yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat sebagai hasil dari proses pencalonan yang tidak demokratis dan kental nuansa KKN. Kekecewan itu memunculkan respon mulai dari menguatnya apatisme di kalangan masyarakat, gejala protest voters yang meluas hingga golput, serta munculnya aspirasi calon perseorangan atau calon independen.

Daripada itu, pengaturan pilkada di dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengandung sejumlah kelemahan baik dari segi sistem maupun aturan teknisnya. Paradigma UU No. 32 Tahun 2004 meletakkan pilkada sebagai domain pemerintahan daerah – bukan domain pemilu – sehingga instrument pelaksana (penyelenggara) dan peleksanaan (peraturan pelaksanaan) pilkada mengalami bias pengaruh (intervensi) pemerintah. Hal ini berimplikasi pada independensi penyelenggara dan penyelenggaraan pilkada. Padahal prinsip pemilihan langsung yang paling penting adalah penyelenggara yang independen.

Lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah merevisi ketentuan penyelenggara di dalam UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 2007 meletakkan pilkada sebagai bagian dari rejim pemilu sehingga KPU dengan independensinya bertanggung jawab menyelenggarakan pilkada. Demikian juga dalam pembentukan Badan Pengawas Pemilu (atau Panitia Pengawas di tingkat lokal), UU No. 22 Tahun 2007 mengatur pembentukan dan rincian tugasnya serta dijamin independensinya. Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 yang dituangkan dalam UU No. 14 Tahun 2008 juga telah melakukan revisi subtansial terhadap penyelenggaraan pilkada khususnya dalam mengakomodasi hadirnya calon perseorangan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut perlu diciptakan satu undang-undang tersendiri (khusus) untuk mengatur penyelenggaraan pilkada sehingga terwujud pilkada yang lebih berkualitas dan demokratis.



1.2  Landasan Teoritis
a)      Landasan Filosofis
Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal. Bahkan ‘mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang ‘berpengaruh’.7 Kedudukan yang sentral dari demokrasi ini telah meluluh-lantakkan teori-teori lainnya mengenai tatanan kekuasaan yang baik, yang pernah ditawarkan oleh kalangan filosof, ahli hukum, dan pakar ilmu politik hingga awal millenium ketiga ini. Salah satu alasan pembenar dari Demokrasi adalah karena demokrasi merupakan satu-satunya sistem pemerintahan dimana orang-orang tidak menjadi subyek yang didikte oleh sesuatu diluar dirinya, melainkan bersama-sama orang orang lain turut kedalam proses pemerintahan tersebut.

Akomodasi kehendak rakyat merupakan syarat utama bagi berjalan atau tidaknya sistem demokrasi di suatu negara. Oleh karena itu, demokrasi perwakilan yang dipakai di setiap negara harus mampu membuktikan bahwa ruang partisipasi bagi warga negara dalam membentuk suatu keputusan terbuka luas. Partisipasi politik merupakan hak istimewa rakyat. Setiap orang baik pemerintah, legislatif, yudikatif maupun masyarakat umum tidak diperkenankan untuk membatasi hak istimewa rakyat ini. Menurut John Locke, manusia pada dasarnya memiliki empat hak yang diperoleh secara alamiah yakni:
(1) hak untuk hidup;
(2) hak untuk menikmati kebebasan;
(3) hak untuk memperoleh atau memiliki sesuatu
(4) hak untuk aktif atau terlibat dalam suatu kegiatan politik.

Keempat hak dasar itu kemudian diatur di dalam Preambul Perjanjian Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dari PBB yang dirumuskan sebagai: These rights derive from the inherent dignity of the human person. Hak untuk aktif atau terlibat dalam kegiatan politik sebagai natural rights didefiniskan oleh McClosky sebagai kegiatan sukarela warga negara untuk mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa. Sama dengan McClosky, Nie dan Verba mengatakan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung mempengaruhi seleksi pejabatpejabat negara atau tindakan-tindakan yang diambil mereka.

Pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi berkaitan erat dalam subtansi maupun fungsi. Pemilu merupakan Aktualisasi nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan. Pernyataan kedaulatan rakyat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa yang harus menjalankan pemerintahan dan siapa-siapa yang harus mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, Pemilu memilih eksekutif berfungsi menjalankan pemerintahan dan memilih anggota-anggota lembaga legislatif yang mengawasi jalannya pemerintahan. Karena itu, fungsi utama pemilu bagi rakyat adalah “untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka, Ini menjadi inti praktek demokrasi modern yang secara umum dikenal sebagai demokrasi perwakilan.

Pilkada langsung merupakan ekspresi paling nyata dari kedaulatan rakyat sehingga rakyat (khususnya di daerah) tidak hanya menjadi penonton tapi ikut menentukan masa depan mereka dan daerah mereka. Melalui pilkada filosofi kedaulatan rakyat benar-benar terwujud.

Pilkada langsung adalah pemenuhan prinsip demokrasi yaitu partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik melalui hak memilih dan dipilih sebagai pejabat publik (kepala pemerintahan/kepala daerah). Sesuai dengan asas pemilihan umum di dalam konstitusi, maka undang-undang harus memastikan bahwa pemenuhan patisipasi masyarakat tersebut harus berjalan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

b)     Landasan Yuridis
Pilkada merupakan perwujudan kedaulatan rakyat seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Melalui pilkada langsung ekspresi nyata kedaulatan rakyat lebih terjamin dibanding mekanisme lainnya. Pilkada langsung juga merupakan pelaksanaan dari jaminan konstitusi terhadap hak-hak rakyat, terutama hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan. Dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 hak ini dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2) dan dalam Pasal 28 D ayat (3).

Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.

Pasal 28C
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya.

Pasal 28D
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. jaminan terhadap hak rakyat dalam menentukan seleksi pemimpin dan
partisipasi dalam pemerintahan juga dijamin dalam instrumen-intrumen hokum internasional.

c)      Landasan Sosiologis
Sosiologis pilkada adalah menumbuhkan budaya persaingan yang sehat dalam menentukan kepemimpinan sehingga pilkada yang sehat sekaligus menjadi sarana manajemen konflik di dalam masyarakat. Dinamika sosial masyarakat selalu menginginkan kepemimpinan yang berkualitas dan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi mereka. Pilkada menjadi ruang bagi mereka untuk menyelesaikan permasalahan dalam penentuan kepemimpinan.

Pilkada juga dapat dilihat dari perspektif pendidikan politik kepada masyarakat
daerah untuk memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri tanpa adanya
intervensi dari siapa pun, termasuk pemerintah pusat dan/atau elit-elit politik di
tingkat pusat.

Bagi masyarakat daerah, pilkada juga penting untuk memberikan latihan kepemimpinan (khususnya bagi calon kepala daerah) untuk mengembangkan kecakapannya dalam merumuskan kebijakan, mengatasi persoalan di masyarakat, komunikasi dengan masyarakat, serta melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan masyarakat.

*      Efisiensi dan Efektivitas Pelaksanaan Pilkada
Indonesia mengenal berbagai jenis pemilu yang diselenggarakan dalam waktu yang berbeda yaitu: Pemilu Legislatif/Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD; Pemilu Presiden/Wapres; Pemilu Kepala Daerah Provinsi, Pemilu Kepala Daerah Kabupaten dan Kota serta pemilihan kepala desa yang kini juga telah memiliki pengaturannya. Mengingat besarnya jumlah daerah, hampir setiap saat Indonesia melaksanakan pemilu. Kondisi tersebut menyebabkan energi bangsa (SDM, dana, dan tenaga) terkuras sangat besar untuk urusan politik, sehinggan menyita waktu untuk fokus pada pembangunan dan program peningkatan kesejahteraan rakyat. Apalagi konflik vertikal dan horisontal acapkali terjadi dalam sejumlah pemilihan yang digelar sehingga energi bangsa bukan hanya terserap untuk pembelajaran demokrasi dan seleksi kepemimpinan tetapi juga untuk bertikai antar sesama anak bangsa yang tidak jarang membuat banyak jatuh korban. Maka, hal ini membutuhkan pengaturan sehingga terselenggara pemilu yang lebih efektif dan efisien. Efektivitas dan efisiensi seharusnya dapat dilakukan dengan melakukan berbagai penyederhanaan dari segi prosedur, proses, pengaturan dan tahapan pelaksanaan pilkada serta penyederhanaan dari segi logistik dan keterlibatan
sumber daya penyelenggara pilkada. Tentu penyederhaan tersebut tidak menghilangkan esensi dan landasan konstitusional dari penyelenggaraan pilkada.

*      Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1.      Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.

3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negative
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
Pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) merupakan salah satu tujuan dari desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah. Desentralisasi secara garis besar mencakup dua aspek, yaitu desentralisasi administrasi dan desentralisasi politik. Berdasarkan perspektif administratif, desentralisasi didefenisikan sebagai the transfer of administrative responsibility from central to local governments. Berdasarkan perspektif administratif desentralisasi sesungguhnya kata lain dari dekonsentrasi. Dekonsentrasi sendiri menurut Parson, adalah the sharing of power between members of the same rulling group having authority respectively in different areas of the state.

CIRI utama dari pilkada yang akan berlangsung -yang sekaligus merupakan keunggulan dari semua sistem pilkada yang pernah kita jalankan- adalah terletak pada pergeseran pola pemilihan, dari model elites vote ke model popular vote yang berarti menggeser medan permainan politik dari yang semula ada di ruang tertutup ke ruang terbuka, yang dulu dipilih di ruang DPRD menjadi dipilih di ruang publik.
Inilah suatu model pemilihan yang memasuki era liberalisasi politik, karena dalam sistem pemilihan itu memungkinkan hadirnya jumlah kontestan (pasangan balon) yang banyak dalam ruang pasar pemilih yang sangat banyak pula. Di Kota Semarang tercatat, pemilihnya tidak kurang dari 1.000.000 orang, dengan empat pasangan balon, yang berarti untuk menjadi wali kota Semarang, minimal memerlukan 251.000 pemilih. Ingat, ketentuan 25 % menjadi batas ambang bagi jadi tidaknya sang calon. Pasti lebih repot bagi pasangan balon untuk bersaing dalam pilkada sekarang dibandingkan dengan dulu yang hanya memerlukan minimal 23 suara.
*      Sisi Positifnya
Pilkada dalam konteks liberalisasi politik, mengandung dua implikasi sekaligus: positif dan negatif. Menurut penulis, implikasi positif terlihat dari sistem ini yang justru memberi peluang bagi lahirnya penguatan demokratisasi lokal yang tengah berlangsung dalam pemerintahan di daerah. Bukankah Schumpeter pernah mengatakan, proses demokratisasi lokal itu terjadi manakala di daerah lahir perangkat atau pranata politik, yang memungkinkan terciptanya tiga situasi: (1) political equality, (2) local accountability, dan (3) local response.
Padahal yang pertama, political equality, pilkada dengan menggunakan sistem perwakilan sebagaimana dulu yang diatur dalam UU No 22/1999, ternyata tidak berhasil membangun suasana itu, baik suasana kesetaraan politik secara vertikal antara sang pemimpin dengan rakyatnya, maupun secara horizontal antara eksekutif dengan legislatif.
Bahkan posisi masyarakat pada kala itu menjadi "mengecil", sementara komunikasi politik di antara mereka menjadi tidak terbangun dengan sempurna. Itu semua terjadi karena posisi kepala daerah yang tidak seimbang dengan posisi DPRD. Bahkan kekuatan parlemen berhasil jauh melampaui batas kekuatan eksekutif . Akibat berikutnya, sistem check and balance menjadi sulit sekali terbangun secara sempurna, dan justru yang ada adalah hadirnya pola-pola korporatisme baru yang banyak menonjolkan aspek pemenuhan kepentingan politik daripada kepentingan publik.
Dalam konteks itu, hadirnya pilkada langsung sesungguhnya dapat memberi celah bagi lahirnya suasana kesetaraan politik secara vertikal maupun horizontal, karena pilkada langsung dapat mendorong lahirnya sistem check and balance dalam menjalankan pemerintahan di daerah secara lebih optimal.
Kedua, local accountability. Dulu akuntabilitas lokal dalam hal pengambilan keputusan politik menjadi sangat sulit diwujudkan. Bagaimana mungkin dapat mewujudkan akuntabilitas lokal, sementara keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan politik tidak dikerangkai dalam sistem yang jelas. Pemerintah daerah kala itu dapat menolak kewajiban untuk melibatkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik karena memang mekanisme pelibatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik tidak diatur dengan pasti. Begitu pula ia bisa menolak kewajiban melaporkan secara transparan kepada masyarakat akan jalannya proses pemerintahan dan proses pembangunan, sebab ia hanya memiliki kewajiban melaporkan itu semua ke hadapan DPRD sebagai institusi wakil rakyat yang diatur dalam UU, dengan sistem LPJ dan LAJ.
Tranparansi terhadap masyarakat dengan demikian tidak mendapatkan tempat yang proporsional. Menurut penulis, di titik itulah sesungguhnya letak arti pentingnya sistem pilkada langsung. Ia dapat menjadi pemecah kebekuan sistem politik yang lebih memungkinkan terbuka akuntabilitasnya secara vertikal maupun horizontal. Bukankah dengan sistem populer vote, "kontrak politik" yang ditunjukkan oleh kesediaan pemilih untuk mencoblos salah satu pasangan calon di bilik suara, sebagai perwujudan penerimaan visi, misi dan program kerja pasangan kepala daerah, mengandung konsekuensi bahwa kepala daerah harus memiliki kewajiban untuk menjaga kontrak politik itu dan mempertanggungjawabkannya kepada mereka.
Ketiga, local response. Jelaslah dalam sistem pilkada langsung senses of local response terhadap keseluruhan agenda publik dalam keputusan politik menjadi lebih mungkin teraktifkan. Itu terjadi karena kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan rakyat secara langsung mengandung konsekuensi suara rakyat harus senantiasa menjadi pertimbangan bagi setiap keputusan politik yang akan diambil. Ketertundukan pada suara rakyat adalah jaminan bagi selamatnya kontrak politik yang terbangun melalui sistem ini.

*      Sisi Negatifnya
Itulah sisi positif dari sistem pilkada langsung walau bukan berarti tidak mengandung sejumlah kelemahan. Penulis mencatat, ada sejumlah kelemahan menonjol yang bisa direnungkan sebagai bahan kewaspadaan.
Pertama, pilkada dalam era liberalisasi politik dengan kekuatan partai politik yang masih dominan, memungkinkan sekali yang bisa bertempur di sana adalah mereka yang memiliki kapital ekonomi dan politik yang kuat. Para pengusaha yang sekaligus dekat dengan partai politik, atau para incumbent yang kaya, adalah yang paling besar mendapatkan peluang masuk dalam bursa pencalonan pilkada.
Jadi, bukan figur-figur yang kompeten dalam kacamata kepemimpinan modern yang bisa masuk di sana, tetapi justru mereka yang berkategori orang-orang kaya yang berpeluang besar ikut masuk dalam bursa pilkada. Sementara orang-orang kaya itu, dulu adalah yang justru selalu menjadi bagian dari objek kebijakan pemerintah. Artinya, mereka yang selalu diatur, yang didisiplinkan dan ditata dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Tetapi sekarang, mereka adalah yang akan tampil sebagai pengatur. Sisi inilah yang merupakan salah satu aspek kelemahan yang menonjol.
Kapitalisme politik, dalam kerangka menyempurnakan kapitalisme ekonomi, kemungkinan akan menemui momentumnya, dan di kemudian hari tidak mustahil akan menjadi problem baru kita. Hal itu senada dengan teori "MPM" yang merupakan kepanjangan dari Money - Power - More Money. Teori itu mengingatkan kepada kita akan arti pentingnya pengaruh kapital dalam proyek demokrasi yang ujung-ujungnya kelas menengah yang diuntungkan. Di titik itulah kewaspadaan publik tetap harus terjaga, agar pilkada yang agak berbau kapitalistik ini tidak menimbulkan ekses bagi melunturnya interest kepala daerah ke publik.
Kedua, pilkada langsung memang bisa melahirkan problem kelembagaan baru yang di suatu titik nanti bisa menodai demokrasi lokal. Itu terjadi karena kepala daerah yang dihasilkan dari sistem pilkada langsung, posisinya akan semakin kuat, begitu pula dalam hal legitimasinya. Bukankah penelitian di beberapa negara Amerika Latin membuktikan bahwa ketika posisi eksekutif menjadi semakin kuat, justru potensial sekali kembali melahirkan otoritarianisme. Itu terjadi karena eksekutif merasa memiliki legitimasi yang sama-sama kuat dengan DPRD, sementara eksekutif tidak bisa dijatuhkan parlemen.
Itu sebabnya, menjaga keseimbangan agar otoritarianisme tidak lahir pascapilkada mesti selalu menjadi kewajiban bagi siapa pun yang menjadi bagian dari kekuatan masyarakat sipil.
2.      Otonomi Daerah
2.1 Latar Belakang OtDA
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti “keputusan sendiri” (self ruling). Otonomi mengandung pengertian kondisi atau ciri untuk tidak dikontrol oleh pihak lain atau kekuatan luar atau bentuk pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri.
Di Indonesia, otonomi daerah sebenarnya mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan pemerintahan yang cenderung ke arah disentralisasi. Namun pelaksanaannya mengalami pasang surut, sampai masa reformasi bergulir. Pada masa ini keluarlah UU No.2 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Sejak itu, penerapan otonomi daerah berjalan cepat.
Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan, moneter/fiscal, politik luar negeri dan dalam negeri serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional).
Secara substansial, otonomi daerah mirip dengan Negara federasi. Bedanya, federalisme berangkat dari pola bottom-up, artinya daerah-daerah dengan kekuasaannya masing-masing, setuju untuk bergabung dalam satu pemerintahan Negara. Dalam hal ini kedudukan antara pemerintahan pusat dan daerah cenderung sejajar. Sementara otonomi daerah, berangkat dari pola top-down, dimana satu pemerintahan pusat masih lebih tinggi dibanding pemerintah daerah.

Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru pola pemerintahan sentralistik demikian kuatnya. Diantaranya :
1.      Pemerintah sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “ sapi perahan” pemerintah pusat. Mereka lebih banyak dibebani kewajiban-kewajiban untuk menyetorkan segala potensi kekayaan alamnya ke pusat tanpa reserve, disisi lain hak-hak daerah untuk mendapatkan kue bagi pembangunan sering terabaikan.
2.      Tradisi sentralistik kekuasaan melahirkan ketimpangan antara pembangunan di pusat dan daerah, sehingga pemicu ketidakadilan dan ketidaksejahteraan di berbagai daerah, terutama yang jauh dari jangkauan pusat. Daerah yang kaya sumber daya alam tak menjamin rakyatnya sejahtera karena sumber kekayaannya disedot oleh pusat. Seperti Aceh yang memiliki potensi gas alam terbesar di dunia, rakyatnya hanya gigit jari ditengah riuhnya eksplorasi gas oleh Exxon Mobile. Rakyat Papua juga merana ditengah gelimpangan emas yang digali Freeport yang hanya meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan.
3.      Pola sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah. Misalnya menerapkan regulasi yang ketat sehingga mematikan kreatifitas daerah dalam membangun. Budaya minta petunjuk ke pusat tertanam kuat sehingga proses pembangunan di daerah berjalan lamban dan kepengurusan kepentingan rakyat terabaikan.
4.       Otonomi diharapkan menjadi freedom atas tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebagai ekspresi ketidakpercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Atas daerah buruknya penerapan sistem pemerintahan sentralistik diatas itulah maka otonomi daerah diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat. Namun benarkah otonomi daerah adalah solusi terbaik yang menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat?Bahaya di balik otonomi daerah.
Otonomi daerah bukanlah solusi, melainkan justru menimbulkan masalah baru. Regulasi yang belum mapan karena masih terjadi tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah, dimana daerah belum seluruhnya mendapat aturan pelaksana dari UU yang ada dan pemerintah yang setengah hati memberi kewenangan kepada daerah, menyebabkan kelemahan dalam penerapan otonomi daerah. Jika hal ini dibiarkan, akan semakin membahayakan bagi kelangsungan hidup rakyat Indonesia. Berikut ini diantara bahaya di balik diterapkannya otonomi daerah:
1.      Strategi demokratisasi
Diterapkannya otonomi daerah di Indonesia sejak era reformasi, tak lepas dari kepentingan asing, yakni sekularisme global. Wacana otonomi daerah (diusung Ryas Rasyid) muncul bersamaan dengan ide federalisme (diusung Amin Rais). Wacana itu mencuat berkat profokasi pihak barat. Para pakar asing menilai bahwa Negara dengan wilayah yang begitu luas dan penduduk yang sangat majemuk, seperti Indonesia haruslah meletakkan federalisme sebagai pilihan untuk mencegah terjadinya konflik kesukuan atau daerah. Namun karena istilah federalisme dikhawatirkan justru memicu berdirinya negara-negara baru di daerah-daerah, maka gagasan otonomi daerahlah yang kemudian lebih popular. Meskipun sudah dijelaskan bahwa federasi dengan otonomi daerah tipis perbedannya.



2. Kapitalisasi ekonomi
Otonomi daerah juga tak lepas dari kepentingan ekonomi kapitalis global. Di berbagai negeri, kepentingan- kepentingan swasta senantiasa mendorong terjadinya pelimpahan wewenang ke daerah. Semua ini dilakukan untuk mendorong masuknya kepentingan swasta yang nantinya diharapkan bisa memberikan devisa yang banyak bagi kas daerah dan pusat.
Otonomi daerah memungkinkan sebuah provinsi, kabupaten atau kota, menjalin kerjasama internasional secara langsung dengan pihak asing. Misalnya DKI dengan Sydney, Bogor dengan kota Nanning Cina, dan seterusnya. Bahkan pinjaman ke Bank dunia atau lembaga-lembaga donor Internasional lainnya memungkinkan dilakukan. Dengan demikian akan semakin mengokohkan kapitalisasi ekonomi daerah. Sumber daya alam di daerah tidak hanya disedot oleh pusat, bahkan langsung disedot oleh asing atas nama investasi dengan sangat mudah.

3. Ancaman disintegrasi
Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era OTDA tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui OTDA, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-kampung.

4. Rakyat jadi sapi perah
OTDA mendorong pemerintah daerah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing untuk membiayai pembangunannya sendiri, karena dana dari pusat dibatasi. Dengan batas territorial yang semakin menguat, dikejar oleh tuntutan kebutuhan untuk menarik dana bagi kas daerah, daerah tampak seperti over kreatif. Terlebih lagi daerah yang cenderung minim sumber daya alamnya, rakyat di daerah bersangkutan yang harus menanggung resiko. Pemda akhirnya menerapkan retribusi atau pajak dimana-mana sebagai sumber PAD.
5. Mengokohkan KKN ke daerah
Pelimpahan wewenang beberapa masalah dari pusat ke daerah hanya memindahkan KKN dari pusat ke daerah. KKN kini terjadi di tingkat elit daerah. OTDA memunculkan raja-raja baru di daerah, khususnya daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Mereka bergelimang harta dari hasil pengelolaan sumber daya alam dan korupsi harta yang semakin tidak terdeteksi oleh pusat atau memang hasil konspirasi dengan pemerintah pusat. Tentu rakyatlah yang menjadi korban.
2.2  Definisi Otonomi Daerah Dan Konsep Pelaksanaan OTDA
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). 
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). 
 Dasar Hukum  Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :


1. Undang-undang Dasar
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. 
2. Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. 
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal. 
 Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut : 
1.                             Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.                              Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 
3.                              Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus. 
4.                             Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota.
 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah  Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut : 
1.      Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. 
2.      Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab 
3.      Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi Terbatas. 
4.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 
5.       Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya  dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah administrasi. 
6.      Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom. 
7.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 
8.      Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah
9.       Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada  Gubernur sebagai wakil Pemerintah. 
10.   Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa  yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

*      Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia 
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini : 
1.      UU No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. 
  2. UU No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. 
   3. UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat. 
   4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja. 
   5. UU No. 8 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja 
    6.UU No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. 
   7. UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
*      Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah 
1)      Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan  dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. 
2)      Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. 
3)      Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai  dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. 
4)      Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus   disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut. 
5)      Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintah yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. 
6)      Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 
7)      Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. 
8)      Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi: 
o Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; 
o Pengaturan kepentingan administratif; 
o Pengaturan tata ruang; 
o Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan 
o Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

9)      Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas  laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10)  Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. 
11)  Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. 
12)  Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan  disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. 

Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi: 
1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) 
o Hasil pajak daerah 
o Hasil restribusi daerah 
o Hasil perusahan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
o Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro
2. DANA PERIMBANGAN 
o Dana Bagi Hasil 
o Dana Alokasi Umum (DAU) 
o Dana Alokasi Khusus 
3. PINJAMAN DAERAH 
o Pinjaman Dalam Negeri 
1. Pemerintah pusat 
2. Lembaga keuangan bank 
3. Lembaga keuangan bukan bank 
4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah) 
o Pinjaman Luar Negeri 
1.      Pinjaman bilateral 
2.      Pinjaman multilateral 
3.      Lain-lain pendapatan daerah yang sah; 
o hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya,
o penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
*      Otonomi Daerah Saat Ini
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dimana dalam undang-undang ini menjelaskan otonomi daerah dipahami sebagai hak,kewenangan dan kewajiban daera otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Prinsip otonomi daerah yang di gunakan adalah prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam system dan prinsip negara keatuan repoblik Indonesia sebagai mana yang di maksud dalam undang-undang dasar 1945.
Dalam pembagian urusan pemerintah yang di jelaskan dalam UU 32/2004 otonomi daerah dilaksanakan seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahanya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembabtu.sedangkan urusan pemerintah pusat meliputi,politik luar negri,pertahanan,keamanan,yustisi,moneter dan fiscal nasional,agama.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 32/2004 adalah :
• Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
• Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
• Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah
Otonomi daerah kebanyakan dipahami sebagai hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun demikian otonomi daerah tersebut lebih mengarah kepada kewajiban dibandingkan sebagai hak. Urusan-urusan yang menjadi urusan rumah tangga daerah ditentukan oleh pusat bukan oleh daerah sendiri, sehingga urusan yang diserahkan tersebut lebih menekankan kepada kewajiban daripada hak. Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 32/2004 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang sedit lebih baik yang pernah ada,sedangkan Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap katanya sudah cukup baik, sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang ada di daerah saat ini dan adapun yang menyatakan otonomi daerah pada saat ini hanyalah lipstick politik dari pemeritah pusat sebagai alat untuk menbendung dan meminimalisir kajadian di daerah karna ini salah satu bentuk ekspresi kekecewaan daerah terhadap pusat. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
ü  Dana Perimbangan adalah sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan daerah dalam mencapai pemberian tujuan otonomi kepada daerah, demi peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang baik.
ü  Sentralisasi adalah Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.
ü  Desentralisasi adalah Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi. Pada saat sekarang ini banyak perusahaan atau organisasi yang memilih serta menerapkan sistem desentralisasi karena dapat memperbaiki serta meningkatkan efektifitas dan produktifitas suatu organisasi.Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
ü  Tugas pembantuan, sebagai salah satu asas pemerintahan, mengandung pengertian penyertaan tugas-tugas atau program-program Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I yang diberikan untuk turut dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dimana pelaksanaannya dapat tercermin dari adanya konstribusi Pusat atau Propinsi dalam hal pembiayaan pembangunan, maka besarnya konstribusi tersebut dapat digunakan untuk mengukur besarnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentralistik.


3.KESIMPULAN
v  Pilkada Langsung
Survai Pilkada langsung ini adalah merupakan bagian kecil namun sebagai upaya merekam kecenderungan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya pada Pilkada langsung.  Berdasarkan pembahasan itulah, maka dalam bab terakhir ini, mau mendeskripsikan bahwa kehendak perubahan dalam kehidupan politik dan pemerintahan daerah, terutama dalam pemilihan kepala daerah telah bergeser kepada yang memiliki kedaulatan, yaitu rakyat.
  1. Pilkada langsung adalah merupakan model melembagakan demokrasi lokal, sebagai agenda penting dan strategis dalam membangun pemerintahan daerah yang akuntabel dan demokratis.
  2. Pemilihan kepala daerah sekaligus telah membuka ruang partisipasi politik rakyat dalam menentukan dan atau memilih figur pemimpin di daerahnya. Karena itu, merupakan perwujudan nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas penyelenggaraan kedaulatan rakyat serta mengharuskan adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah langsung kepada rakyat maka dengan demikian Pilkada dinilai lebih akuntabel dibandingkan sistem pemilihan yang dilakukan oleh DPRD.
  3. Desentralisasi dalam tataran lebih luas, bahwa pemerintahan pusat tidak hanya sekedar memberikan kewenangan terhadap pemerintahan daerah, namun juga memberikan penguatan demokrasi lokal (local democracy), di mana kedudukan dan keterlibatan warganegara dalam setiap proses dan pengambilan keputusan di tingkat lokal benar-benar berjalan signifikan. Berarti, Pilkada langsung merupakan titik awal perubahan menuju democratic governance (tata kelola pemerintahan yang demokratis).
  4.  Pilkada langsung dapat dipandang sebagai salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah untuk mendorong terjadinya  suatu tata hubungan yang seimbang dan sinergis antar seluruh pelaku pembangunan mulai dari unsur pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam kerjasama atau kemitraan dengan unsur-unsur masyarakat madani.
v  Otonomi Daerah
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
Pelaksanaan pemerintahan daerah yang seharusnya didalam prakteknya haruslah sesuai dengan asas legalitas. Pemerintah daerah harus bertindak sesuai kewenangan yang berlaku. Pemerintah daerah tidak boleh bertindak dengan menyalahgunakan wewenang dan melampaui wewenang, atau tanpa wewenang, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan Negara Sejahtera (welfare state )
4.SARAN
v  Pilkada Langsung
Bagi incumbent (calon yang sedang menjabat) diharapkan sebagai bahan pertimbangan masukan dalam menentukan program-program strategis pemerintahan dan pembangunan selanjutnya dalam mengelola kepemerintahaan yang baik yang berimplikasi terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik.

Sumber: Berbagai Sumber