Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Metodelogi Penelitian Administrasi (MPA)
oleh
Endi Sutrisna
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Good governance yang diharapkan masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan sangat dibutuhkan melalaui perjuangan, melalui reformasi yang diperjuangkan oleh seluruh lapisan masyarakat membawa perubahan dalam kehidupan politik nasional maupun di daerah. Salah satu agenda reformasi tersebut adalah adanya desentralisasi keuangan dan otonomi daerah. Berdasarkan ketetapan MPR nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan otonomi daerah yaitu: Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Pada sistem pemerintahan khususnya pemerintah daerah perubahan yang terjadi adalah berupa pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Saat ini otonomi daerah ditantang kesiapannya baik secara kelembagaan, sumber daya manusia dan teknologi untuk dapat mewujudkan otonomi dan desentralisasi secara nyata, bertanggung jawab dan dinamis. Oleh karena itu pemerintah daerah dituntut untuk melakukan reformasi kelembagaan di lingkungan mereka dengan melibatkan masyarakat.
Di bidang sistem keuangan pemerintah pusat dan daerah, implikasi kedua undang-undang tersebut adalah perlunya dilakukan reformasi anggaran. Sistem pembiayaan, sistem akuntansi, sistem pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah, serta sistem manajemen keuangan daerah dan transparansi anggaran dari proses penyusunan sampai laporan pertanggungjawaban anggaran.
Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah pengelolaan uang rakyat (public money) dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) secara transparan, efektif, efisien, terarah, terencana, terpadu dan bertanggung jawab agar tercipta akuntabilitas publik dan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah. Selain itu dampak yang kemudian muncul dalam rangka otonomi daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah untuk menciptakan good governance sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintahan dengan mengedepankan akuntabilitas, transparansi serta partisipasi masyarakat sebagai bagian dari mitra Pemerintah Daerah.
Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Serang Tahun 2008-2025 yang menetapkan bahwa visi pembangunan jangka panjang Kota Serang adalah “Terdepan Sebagai Pusat Pendidikan, Jasa dan Perdagangan Menuju Kota Serang SMART 2025”, sebagai wujud implementasi amanat kebijakan perundang-undangan dan pembangunan maka diperlukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Serang Tahun 2008-2013 dengan visi “ Terwujudnya Landasan Kota Serang Yang Global dan Berwawasan Lingkungan Yang Madani“. RPJMD dalam penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahaan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Kota Serang memiliki 25 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tiap-tiap SPKD menyusun Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (RENSTRA SKPD) yang berpedoman pada RPJMD Kota Serang Tahun 2008-2013. (BPEDA Kota Serang, 2009 : I.2-I.11).
Perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kota Serang harus sesuai dengan prinsip-prinsip good governance prinsip-prinsip itu meliputi partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli dan stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. (LAN, 2006:6) Dalam proses perencanaan anggaran memerlukan kajian dan perencanaan yang efektif dan terukur untuk menjawab kebutuhan masyarakat Kota Serang yang berdiri pada tahun 2007 berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang pada tanggal 10 Agustus 2007 dengan luas wilayah 266,74 km² dan jumlah penduduk tahun 2009 berjumlah 524.704 jiwa. terdiri dari 6 Kecamatan (Kecamatan Serang, Kecamatan Cipocokjaya, Kecamatan Taktakan, Kecamatan Kasemen, Kecamatan Curug, dan Kecamatan Walantaka), serta 20 Kelurahan dan 46 Desa. (BPEDA Kota Serang, 2009 : II.1).
Sebagai kota yang baru berdiri melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang, Pemerintah Kota Serang harus memiliki perencanaan yang menjawab kebutuhan masyarakat dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran dan belanja daerah. Pada APBD Tahun 2009 Kota Serang memiliki APBD sebesar Rp. 236.410.282.612,00.. (http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=35903). Angka ini masih minim melihat aset ekonomi dan jumlah penduduk Kota Serang yang cukup potensial sebagai daerah maju di Provinsi Banten, dalam hal pentingya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi anggaran dalam rangka mengawal Pemerintah Kota Serang baik dalam proses penyusunan maupun dalam pengalokasian anggaran.
Merujuk pada hasil penelitian Leo Agustino (2007) mengenai Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance Government) di Provinsi Banten, tingkat transparansi Propinsi Banten sebesar 0,33 dari skala 1.00 indikator tersebut melingkupi indikator kebijakan publik dan transparansi anggaran. Angka tersebut menunjukan bahwa tingkat transparansi di Propinsi Banten sangat kecil, tingkat ideal dalam Tata Pemerintahan yang baik adalah sebesar 0,50-0,99 dari skala 1.00. Dari data tersebut Peneliti menyimpulkan bahwa tingkat transparansi tersebut memiliki generalisir terhadap tingkat transparansi pemerintahan di bawahnya, yaitu pemerintah Kabupaten dan Kota di wilayah Propinsi Banten, tak terkecuali Pemerintah Kota Serang.
Transparansi kebijakan publik harus diberikan oleh pemerintah daerah kepada rakyat dengan mudah, dapat diakses baik dalam proses penyusunan maupun laporan pertanggungjawaban sebagai bagian dari semangat good governance. Tingkat transparansi dan akuntabilitas Pemerintah Kota Serang dikategorikan kurang, hal ini ditunjukan dengan sulitnya akses data dan informasi yang didapatkan masyarakat baik secara konvensional maupun secara online/ internet dan masih banyaknya anggapan PNS Kota Serang bahwa dokumen APBD masih tabu untuk diketahui oleh masyarakat umum, terutama sejak komposisi APBD Kota Serang 2009 tidak seimbang, yang menjelaskan dari total APBD sebesar Rp. 236,4 miliar, alokasi belanja publik hanya Rp 56,9 miliar atau 24%, sementara belanja aparatur jauh lebih besar senilai Rp 179,5 miliar atau 76%. Ini menunjukkan perencanaan anggaran belum mencerminkan keberpihakan pada kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat yang mendambakan perubahan setelah adanya pemekaran Kota Serang. (http://www.radarbanten.com/ mod.php?mod= publisher &op=viewarticle&artid=4226).
Transparansi perencanaan dan penyusunan anggaran kepada masyarakat sangat penting dan dibutuhkan didalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah arah kebijakan pemerintah daerah yang diwujudkan dalam langkah-langkah nyata pembangunan daerah. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian ”Persepsi Pemerintah Kota Serang Tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 ”.
1.2. Identifkasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Kurangnya pemahaman PNS di Pemerintahan Kota Serang tentang transparansi dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
2. Kurangnya keterbukaan Pemerintah Kota Serang kepada masyarakat dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
1.3. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan untuk memperoleh pokok masalah secara mendalam, maka Penulis menentukan ruang lingkup masalah. Adapun pembatasan masalah penelitian difokuskan pada masalah mengenai “ Persepsi Pemerintah Kota Serang tentang transparansi dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2009.”
1.4. Perumusan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab rumusan masalah penelitian tersebut di atas mengenai Persepsi Pemerintah Kota Serang tentang transparansi dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Tahun Anggaran 2009?
1.5. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah diatas, maka peneliti mempunyai tujuan penelitian untuk mengetahui Persepsi Pemerintah Kota Serang tentang transparansi dalam penyusunan APBD Tahun Anggaran 2009.
1.6. Manfaat Penelitian
Dari judul penelitian Persepsi Pemerintah Kota serang tentang transparansi dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2009. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti, baik secara teoritis maupun secara praktis.
Secara lebih detail penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
- Secara teoritis
a. Mengembangkan teori yang sudah diperoleh selama dalam perkuliahan,
b. Memberikan manfaat terhadap pengembangan transparansi terutama pengembangan transaparansi di sektor anggaran dan belanja daerah,
c. Meningkatkan pemahaman peneliti di bidang ilmu pengetahuan yang berkonsentasi di bidang kebijakan dan pelayanan publik.
- Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Serang dalam pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam meningkatkan peran DPRD dan masyarakat dalam pengawasan anggaran (APBD) dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance) dan prorakyat.
1.7. Sistematika Penulisan
Dalam rangka penyusunan penelitian ini, penulis menyajikan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi pengertian persepsi, transparansi, pengertian anggaran, pengertian keuangan daerah (APBD), kerangka berfikir menggambarkan alur atau pikir, hipotesis penelitian dan teori-teori terkait dengan penelitian.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi penejelasan mengenai Populasi dan sampel penelitian, Sumber dan teknik pengumpulan data, teknik analisis data, tempat dan waktu penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Persepsi
Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan, sedangkan menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan.
Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera. (Chaplin, 1989: 358).
Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209).
Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri.
Memperjelas teori yang dipakai dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori yang dikemukakan oleh Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.
2.1.1 Faktor-Faktor Pembentukan Persepsi
Proses pembentukan persepsi tidak begitu saja tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhinya yang dijelaskan oleh Feigi (dalam Yusuf, 1991: 108) sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan "interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Menurut Asngari (1984: 12-13) pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam atau dahulu memegang peranan yang penting.
2.2 Definisi Transparansi
Tranparansi menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) adalah kondisi keterbukaan seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Menurut peneliti transparansi dapat diartikan prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaannya, proses penyusunan anggaran dan pengalokasiannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Menurut MTI, prinsip transparansi memiliki 2 aspek, (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi.
Transparansi atau keterbukaan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakat sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Secara jelas terakomodasikan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari kolusi korupsi dan nepotisme.
UU Nomor. 22 Tahun 1999 misalnya mengatur hal keterbukaan pertanggungjawaban ini pada pasal 45 ayat 1 dan pasal 46 ayat 1. Bahkan dalam UU nomor 28 Tahun 1999 ditegaskan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi mengenai pemerintahan yang tentunya termasuk tentang keuangan. Informasi dimaksud mestinya dihasilkan dari suatu sistem akuntansi yang sesuai.
Transparansi merupakan salah satu prinsip good governance. Mardiasmo (2003) menyebutkan bahwa, kerangka konseptual dalam membangun transparansi dan akuntabilitas organisasi sektor publik dibutuhkan empat komponen yang terdiri dari : 1) Adanya sistem pelaporan keuangan; 2) Adanya sistem pengukuran kinerja; 3) Dilakukannya auditing sektor publik; dan 4) Berfungsinya saluran akuntabilitas publik (channel of accountability).
Menurut Mardiasmo (2003) Anggaran yang disusun oleh pihak eksekutif dikatakan transparan jika memenuhi beberapa kriteria berikut :
1. Terdapat pengumuman kebijakan anggaran.
2. Tersedia dokumen anggaran dan mudah diakses.
3. Tersedia laporan pertanggungjawaban (Kepala Daerah) yang tepat waktu
4. Terakomodasinya suara/usulan rakyat.
5. Terdapat sistem pemberian informasi kepada publik.
Dalam hal ini penulis lebih mendukung teori yang dikemukakan oleh MTI dalam penelitian ini, dalam penjelasan MTI mengenai transparansi merupakan kondisi keterbukaan seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau oleh masyarakat ataupun kelompok yang berkepentingan dalam proses pemerintahan dan anggaran.
2.3 Definisi Anggaran
Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD. APBD disusun berdasarkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) APBD yang telah ditetapkan bersama dengan DPRD. Arah Kebijakan umum APBD disusun setelah melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada Rencana Strategis Daerah dan/atau dokumen perencanaan daerah lainnya yang ditetapkan Daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasional di bidang keuangan daerah oleh Menteri Dalam Negeri.
Menurut Glenn A. Welsch (1995) menyebutkan bahwa anggaran adalah suatu bentuk statement daripada rencana dan kebijaksanaan manajemen yang dipakai dalam suatu periode tertentu sebagai petunjuk / blue print dalam periode tersebut. Serta menurut M. Marsono (1998) memberikan definisi bahwa Anggaran
adalah suatu rencana pekerjaan yang pada suatu pihak mengandung jumlah pengeluaran yang setinggi-tingginya yang mungkin diperlukan untuk membiayai kepentingan negara pada suatu masa depan, dan pihak lain perkiraan pendapatan (penerimaan) yang mungkin akan dapat diterima dalam masa tersebut.
Dari berbagai definisi tersebut diatas dapat disimpulkan pengertian anggaran sebagai berikut :
1. Merupakan informasi atau pernyataan.
2. Rencana atau rancangan kebijaksanaan bidang keuangan.
3. Dari suatu pemerintah, organisasi atau badan usaha.
4. Untuk suatu periode waktu tertentu (umumnya 1 tahun)
5. Merupakan perkiraan penerimaan dan pengeluaran daerah
Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah daerah, menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran dimasa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Melihat pentingnya anggaran dalam proses pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintah, maka penulis dalam penelitian ini mengambil teori berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD.
2.3.1. Fungsi Anggaran
Anggaran memiliki beberapa fungsi utama (Mardiasmo,2003) yaitu :
1. Sebagai Alat Perencanaan.
Anggaran merupakan alat untuk mencapai visi dan misi organsasi. Anggaran digunakan untuk merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan. Kemudian untuk merencanakan berbagai program dan kegiatan serta merencanakan alternatif sumber pembiayaan.
2. Alat Pengendalian.
Anggaran digunakan untuk mengendalikan (membatasi kekuasaan) eksekutif, mengawasi kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program karena anggaran memberikan rencana detail atas pendapatan (penerimaan) dan pengeluaran pemerintah sehingga pembelanjaan yang dilakukan dapat diketahui dan dipertanggungjawabkan kepada publik.
3. Alat Kebijakan Fiskal.
Anggaran digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah. Anggaran juga digunakan untuk mendorong, memfasilitasi dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
4. Alat Politik.
Anggaran merupakan dokumen publik sebagai komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik.
5. Alat Koordinasi dan Komunikasi.
Penyusunan anggaran memerlukan koordinasi dan komunikasi dari seluruh unit kerja sehingga apabila terjadi inkonsistensi suatu unit kerja dapat dideteksi secara cepat.
6. Alat Penilaian Kinerja.
Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran.
7. Alat Motivasi.
Anggaran hendaknya bersifat menantang tetapi dapat dicapai (challenging but attainable) atau menuntut tetapi dapat diwujudkan (demanding but achiveable) sebagai motivasi bagi seluruh pegawai agar dapat bekerja secara ekonomis, efektif dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi.
2.3.2 Fungsi Penting Anggaran Bagi Pemerintah Daerah
Anggaran bagi Pemerintah Daerah memiliki fungsi penting dalam penyelanggaraan Pemerintahan, fungsi-fungsi tersebut sebagai berikut:
1. Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial ekonomi, menjamin kesinambungan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas.
3. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik.
2.4 Definisi Keuangan Daerah
Definisi keuangan daerah dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2004 pasal 1, tentang Keuangan Negara menjelaskan, bahwa keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengetian APBD dalam konteks UU Keuangan Negara pasal 1 ayat (8) adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sedangkan dalam pasal 1 PP No. 105 Tahun 2000 pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka APBD. Pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara serta segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban tersebut yang dapat dinilai dengan uang (Revrisond Baswir,1999).
Berdasarkan pengertian keuangan negara tersebut diatas, maka pengertian keuangan daerah pada dasarnya sama dengan pengertian keuangan negara dimana “negara” dianalogikan dengan “daerah”. Hanya saja dalam konteks ini keuangan daerah adalah semua hak-hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang. Demikian pula sesuatu baik uang maupun barang yang dapat menjadi kekayaan daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak-hak kewajiban tersebut dan tentunya dalam batas-batas kewenangan daerah (Ichsan, 1997).
2.4.1 Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja
Dalam menyusun ABK perlu diperhatikan prinsip-prinsip penganggaran, aktivitas utama dalam penyusunan ABK, peranan legislatif, siklus perencanaan anggaran daerah, struktur APBD. (Guntur Simanjuntak dkk. 2005 : 37-42).
2.4.1.1 Prinsip-Prinsip Penganggaran
1) Transparansi dan akuntabilitas anggaran
APBD harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
2) Disiplin anggaran
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia anggarannya dalam APBD/perubahan APBD.
3) Keadilan anggaran
Pemerintah daerah wajib mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan karena pendapatan daerah pada hakekatnya diperoleh melalui peran serta masyarakat.
4) Efisiensi dan efektifitas anggaran
Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu pelaksanaan, dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat.
5) Disusun dengan pendekatan kinerja
APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output/outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi kerja yang terkait.
Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan diatas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran sebagai berikut :
1. Penerapan Pendekatan Penganggaran Dengan Perspektif Jangka Menengah
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian di masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan baru dalam penganggaran tahunan agar tetap dimungkinkan, tetapi pada saat yang sama harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah. Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan analisis apakah perlu melakukan perubahan terhadap kebijakan yang ada, termasuk menghentikan program-program yang tidak efektif, agar kebijakan-kebijakan baru dapat diakomodasikan.
2. Penerapan Penganggaran Secara Terpadu
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan instansi pemerintah disusun secara terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja.
Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat penting untuk mempertimbangkan secara simultan biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat investasi maupun biaya yang bersifat operasional.
3. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah.
Rencana kerja dan anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga atau SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
2.4.1.2. Aktivitas Utama dalam Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja
Aktivitas utama dalam penyusunan ABK adalah mendapatkan data Kuantitatif dan membuat keputusan penganggarannya. Proses mendapatkan data kuantitatif bertujuan untuk memperoleh informasi dan pengertian tentang berbagai program yang menghasilkan output dan outcome yang diharapkan. Perolehan dan penyajian data kuantitatif juga akan menjelaskan bagaimana manfaat setiap program bagi rencana strategis. Sedangkan proses pengambilan keputusannya melibatkan setiap level dari manajemen pemerintahan. Pemilihan dan prioritas program yang akan dianggarkan tersebut akan sangat tergantung pada data tentang target kinerja yang diharapkan dapat dicapai.
2.4.1.3. Peranan Legislatif dalam Penyusunan Anggaran
Alokasi anggaran setiap program di masing masing unit kerja pada akhirnya sangat dipengaruhi oleh kesepakatan antara legislatif dan eksekutif. Prioritas dan pilihan pengalokasian anggaran pada tiap unit kerja dihasilkan setelah melalui koordinasi diantara bagian dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam usaha mencapai kesepakatan, seringkali keterkaitan antara kinerja dan alokasi anggaran menjadi fleksibel dan longgar namun dengan adanya ASB, alokasi anggaran menjadi lebih rasional. Berdasarkan kesepakatan tersebut pada akhirnya akan ditetapkanlah Perda APBD.
2.4.1.4. Siklus Perencanaan Anggaran Daerah
Perencanaan anggaran daerah secara keseluruhan yang mencakup penyusunan Kebijakan Umum APBD sampai dengan disusunnya Rancangan APBD terdiri dari beberapa tahapan proses perencanaan anggaran daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 serta Undang-Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004, tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pemerintah daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sebagai landasan penyusunan rancangan APBD paling lambat pada pertengahan bulan Juni tahun berjalan. Kebijakan umum APBD tersebut berpedoman pada RKPD. Proses penyusunan RKPD tersebut dilakukan antara lain dengan melaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang selain diikuti oleh unsur-unsur pemerintahan juga mengikutsertakan dan/atau menyerap aspirasi masyarakat terkait, antara lain asosiasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemuka adat, pemuka agama, dan kalangan dunia usaha.
2) DPRD kemudian membahas kebijakan umum APBD yang disampaikan oleh pemerintah daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
3) Berdasarkan Kebijakan Umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, pemerintah daerah bersama DPRD membahas prioritas danplafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap SKPD.
4) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun RKA-SKPD tahun berikutnya dengan mengacu pada prioritas dan plafon anggaran sementara
yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah bersama DPRD.
5) RKA-SKPD tersebut kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
6) Hasil pembahasan RKA-SKPD disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan perda tentang APBD tahun berikutnya.
7) Pemerintah daerah mengajukan rancangan perda tentang APBD disertai dengan penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.
8) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai rancangan perda tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
Tahapan penganggaran di atas dapat diringkas dengan bagan seperti di bawah ini :
Gambar 2.1
Alur Perencanaan Anggaran Daerah
Proses Penyusunan Rancangan APBD
Selain Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 serta Undang-Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004, Draft Revisi Kepmendagri 29 Tahun 2002 juga menguraikan tahapan proses penganggaran, dalam rangka penetapan APBD perlu disiapkan formulir-formulir yang digunakan dalam penyusunan RKA-SKPD yang bersangkutan.
Draft Revisi Kepmendagri 29 Tahun 2002 menyajikan formulir-formulir tersebut sebagai berikut :
- RKA SKPD 1 : Merupakan ringkasan dari RKA SKPD 2 yang berupa ringkasan dari penggabungan seluruh jumlah kelompok dan jenis belanja langsung yang diisi dalam setiap formulir RKA SKPD 5, RKA SKPD 3, RKA SKPD 4, dan RKA SKPD 6
- RKA SKPD 2 : Merupakan formulir rekapitulasi dari seluruh program dan kegiatan SKPD yang dikutip dari setiap formulir SKPD 5
- RKA SKPD 3 : Merupakan formulir untuk menyusun rencana pendapatan atau penerimaan SKPD dalam TA yang direncanakan.
- RKA SKPD 4 : Merupakan formulir untuk menyusun rencana kebutuhan belanja tidak langsung SKPD dalam TA yang direncanakan
- RKA SKPD 5 : Merupakan formulir yang digunakan untuk merencanakan belanja langsung dari setiap kegiatan yang diprogramkan.
- RKA SKPD 6 : Merupakan formulir ringkasan pembiayaan daerah yang sumber datanya berasal dari ringkasan jumlah menurut kelompok dan jenis pengeluaran pembiayaan yang diisi dalam formulir RKA SKPD 8
- RKA SKPD 7 : Formulir ini tidak diisi oleh SKPD lainnya, kecuali oleh sekretariat daerah apabila satuan kerja pengelolan keuangan daerah merupakan bagian dari unit kerja sekretariat daerah.
- RKA SKPD 8 : Formulir ini tidak diisi oleh SKPD lainnya, kecuali oleh sekretariat daerah apabila satuan kerja pengelolan keuangan daerah merupakan bagian dari unit kerja sekretariat daerah.
2.4.1.5. Struktur APBD
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Draft Standar Akuntansi Pemerintahan, struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari :
1) Anggaran Pendapatan
2) Anggaran Belanja
3) Pembiayaan
4) Tranfer
Selanjutnya Draft Standar Akuntansi Pemerintahan telah menyusun bentuk Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (LRA) yang membandingkan antara anggaran dan realisasi APBD dengan rincian sebagai berikut :
• Pendapatan
- Pendapatan Asli Daerah
• Pendapatan Pajak Daerah
• Pendapatan Retribusi Daerah
• Pendapatan Bagian Laba BUMD dan Investasi Lainnya
• Pendapatan Asli Daerah Lainnya
- Pendapatan Transfer
• Transfer Pemerintah Pusat - Dana perimbangan
o Dana Alokasi Umum
o Dana Alokasi Khusus
o Dana Bagi Hasil Pajak
o Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
• Transfer Pemerintah Pusat - Lainnya
o Dana Otonomi Khusus
o Dana Penyesuaian
• Transfer Pemerintah Provinsi
o Pendapatan Bagi Hasil Pajak
o Pendapatan Bagi Hasil Lainnya
- Pendapatan Lain-Lain yang Sah
• Pendapatan Hibah
• Pendapatan Dana Darurat
• Pendapatan Lainnya
• Belanja
- Belanja Operasi
• Belanja Pegawai
• Belanja Barang dan Jasa
• Bunga
• Subsidi
• Bantuan Sosial
• Hibah
- Belanja Modal
• Belanja Tanah
• Belanja Peralatan dan Mesin
• Belanja Gedung dan Bangunan
• Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan
• Belanja Aset Tetap Lainnya
• Belanja Aset Lainnya
- Belanja Tak Tersangka
• Transfer
- Transfer/Bagi Hasil Pendapatan ke Kabupaten/Kota atau Desa
• Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota/Desa
• Bagi Hasil Retribusi ke Desa
• Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota/Desa
• Pembiayaan
- Penerimaan Pembiayaan
• Penggunaan SiLPA
• Penjualan Aset Daerah yang Dipisahkan
• Penjualan Investasi Lainnya
• Pinjaman dari Pemerintah Pusat
• Pinjaman dari Pemerintah Daerah Otonom Lainnya
• Pinjaman dari Perusahaan Negara/Daerah
• Pinjaman dari Bank/Lembaga Keuangan
• Pinjaman Dalam Negeri Lainnya
• Pinjaman Luar Negeri
• Pencairan Dana Cadangan
- Pengeluaran Pembiayaan
• Pembayaran Pokok Pinjaman kepada Pemerintah Pusat
• Pembayaran Pokok Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Otonom Lainnya
• Pembayaran Pokok Pinjaman kepada Perusahaan Negara/Daerah
• Pembayaran Pokok Pinjaman kepada Bank/Lembaga Keuangan
• Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri Lainnya
• Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri
• Penyertaan Modal Pemerintah
• Pemberian Pinjaman Jangka Panjang
• Pembentukan Dana Cadangan
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 20 (5), belanja daerah dirinci menurut Organisasi, Fungsi, dan Jenis Belanja. Oleh karena itu, pemerintah daerah dapat membuat LRA dengan tiga klasifikasi belanja yaitu LRA yang merinci unsur belanja berdasarkan Organisasi, Fungsi dan Jenis Belanja. Klasifikasi belanja seperti yang telah dirinci di atas adalah menurut jenis belanja, sedangkan klasifikasi menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah. Klasifikasi fungsi diuraikan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 16 (4) antara lain sebagai berikut :
1) Pelayanan Umum
2) Ketertiban dan Keamanan
3) Ekonomi
4) Lingkungan Hidup
5) Perumahan dan Fasilitas Umum
6) Kesehatan
7) Pariwisata dan Budaya
8) Pendidikan
9) Perlindungan Sosial
2.5. Proses Penyusunan APBD Pemerintah Kota Serang
Dalam penyusunan APBD Kota Serang anggaran tahun 2009. Anggaran tahunan dimulai dengan penjaringan aspirasi masyarakat melalui forum Musrenbang untuk mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang akan dihadapi dan upaya untuk mengatasinya. Berdasarkan dokumen perencanaan pembangunan yang berupa rencana kerja pemerintah daerah kemudian DPRD bersama dengan Walikota mensepakati Arah dan Kebijakan Umum (AKU) APBD tahun anggaran 2009 dan menetapkan strategi dan prioritas APBD tahun anggaran 2009. Berdasarkan instruksi penyusunan anggaran berbasis kinerja. Satuan Kerja pengguna anggaran menyusun usulan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dan disampaikan kepada Panitia Anggaran Eksekutif (PAE) dan Panitia Anggaran Legislatif (PAL). DPRD melakukan serangkaian pertemuan dengan masyarakat (public hearing) dan kepala satuan kerja agar pokok-pokok pikiran DPRD tahun anggaran 2009 benar-benar merefleksikan kebijakan penyelenggaraan pemerintah yang transparan dan akuntabel.
Pemerintah Kota melalui Panitia Anggaran Eksekutif mengkaji dan menilai rencana anggaran yang diusulkan masing-masing satuan kerja, apakah usulan mereka telah memenuhi tujuan dan sasaran yang telah digariskan. Kemudian Panitia Anggaran Eksekutif menyusun rancangan APBD tahun 2009 untuk dipertimbangkan oleh Walikota. Selanjutnya Walikota akan menyerahkan Rancangan APBD tersebut kepada DPRD. Rancangan APBD tersebut kemudian dibahas bersama antara Panitia Anggaran Eksekutif (PAE) dan Panitia Anggaran Legislatif (PAL) sambil tetap mempertimbangkan masukan dari masyarakat.
Kemudian setelah selesai dibahas dan disetujui untuk menjadi Rancangan APBD Kota Serang. RAPBD tersebut disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Setelah dievaluasi oleh Gubernur maka Walikota kemudian menetapkan RAPBD tersebut menjadi Peraturan Daerah (PERDA) tentang APBD.
Gambar 2.2.
Alur Perencanaan Program menurut UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan Penganggaran menurut UU Keuangan Negara
2.6 Kerangka Berfikir
Penelitian ini diawali dengan melihat permasalah-permasalahan yang terdapat pada latar belakang masalah. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan Persepsi Pemerintah Kota Serang Tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009. Dengan adanya teori-teori tersebut tentunya akan memberikan dampak terhadap pencapaian penerapan Good Governance di Kota Serang dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD yang diimbangi oleh peran serta masyarakat.
Gambar 2.4
2.7 Hipotesis
Hipotesis merupakan hasil dari refleksi peneliti berdasarkan kajian pustaka dan landasan teori yang digunakannya sebagai dasar argumentasi. Pada penelitian ini, hipotesis dipakai adalah :
Ho : Tidak terdapat Persepsi Pemerintah Kota Serang tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009.
Ha : Terdapat Persepsi Pemerintah Kota Serang tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009.
Hipotesis yaitu dugaan sementara peneliti untuk menjawab rumusan masalah yang dibuat. Dalam penelitian ini Peneliti menggunakan rumusan masalah deskriptif maka hipotesisnya juga deskriptif.
Dalam penelitian ini terdapat dua hipotesis, yaitu sebagai berikut:
Hipotesis Nol (Ho) : Tidak terdapat Persepsi Pemerintah Kota Serang tentang transparansi dalam penyusunan APBD Tahun 2009.
Hipotesis Alternatif (Ha) : Terdapat Pesepsi Pemerintah Kota Serang tentang transparansi dalam penyusunan APBD Tahun 2009.
Dari uraian hipotesis di atas, dapat dijabarkan sebagai berikut:
Hipotesis Nol (Ho) dari penelitian ini adalah Persepsi Pemerintah Kota Serang Tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 adalah sangat baik (sama dengan) 100%.
Ho: = 100%
Hipotesis Alternatif (Ha) dari penelitian ini adalah Persepsi Pemerintah Kota Serang Tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 adalah persepsi tidak ada sama sekali (tidak sama dengan) 100%.
Ha: ≠100%
Dalam penelitian ini, peneliti menyusun hipotesis tersebut berdasarkan pada data di lapangan lalu melakukan pembagian skala interval, yaitu yang dinyatakan dengan :
1. Persepsi bernilai 0% hingga 24,9% berarti tidak ada (TA)
2. Persepsi bernilai 49,9% berarti sangat kurang (SK)
3. Persepsi bernilai 50 hingga 74,9% berarti kurang (K)
4. Persepsi bernilai 75% hingga 99,9% berarti baik (B)
5. persepsi bernilai 100% dikatakan sangat baik (SB)
Dari pokok permasalahan penelitian ini, maka dapat ditarik suatu hipotesis dan penelitian mengenai Persepsi Pemerintah Kota Serang Tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 adalah persepsi sangat kurang artinya tidak sampai 100% baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan APBD 2009.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai langkah-langkah atau cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2005: 1). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif deskriptif. Hal ini dikarenakan untuk menjaga nilai keobjektifan hasil penelitian. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2005: 11).
Dalam penelitian ini peneliti meneliti (variabel mandiri), yaitu variabel mandiri Persepsi Pemerintah Kota Serang Tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009.
Untuk memperoleh secara maksimal sampel yang representatif yang tidak didasari oleh keinginan peneliti, maka peneliti dalam menentukan sampel penelitian mengambil sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel, istilah lain dari sample jenuh adalah sensus. Alasan peneliti mengambil sampel jenuh karena jumlah populasi yang dijadikan sampel sedikit yaitu berjumlah 72 responden.
3.2 Instrumen Penelitian
Intrumen penelitian merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh penelitian dalam kegiatan mengumpulkan data, agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan mudah diolah. Instrumen penelitian bertujuan untuk menjelaskan tentang proses penyusunan dan jenis alat pengumpul data yang digunakan. Proses pengumpulan data dan teknik penentuan kualitas instrumen (validitas dan realibilitasnya).
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2005:119). Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian. Dalam penelitian mengenai Persepsi Pemerintah Kota Serang Tentang Transparansi Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 yang menjadi variabel yaitu persepsi. Secara umum menurut Feigi dalam ( Yusup, 1991: 108) menggambarkan kriteri-kriteria persepsi yaitu :
1. Stimulus
2. Seleksi
3. Interaksi
4. Interpretasi
5. closer
Tabel 3.1
Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
Variabel | Dimensi | Indikator | No Item Pertanyaan |
Persepsi Pemerintah Kota Serang tentang transparansi dalam penyusunan APBD 2009 | Stimulus | 1. Motivasi yang dilakukan 2. Informasi dan penyuluhan 3. Prosedur transparansi | 1,2,3 |
Seleksi | 1. Motivasi yang sesuai 2. Manfaat transparansi 3. Transparansi merupakan hak publik | 4,5,6 | |
Interaksi | 1. Pegawai yang terlibat dalam penyusunan APBD 2. Kemudahan dalam memberikan informasi 3. Informasi yang memadai dan terstruktur | 7,8,9 | |
Interpretasi | 1. Keterlibatan pegawai bawahan 2. Kesadaran akan hak 3. Inisiatif informasi yang disampaikan secara aktif | 10,11,12 | |
Closer | 1. Dasar hukum yang perlu diperhatikan 2. Akses informasi dan data secara online 3. Kemudahan informasi kepada publik bagian dari pemerintahan yang baik | 13,14,15 |
Adapun untuk teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya:
1. Kuesioner (angket) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.
2. Wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas atau bersifat insidental. Wawancara dilakukan kepada Pejabat Pengambil Kebijakan di tiap SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Serang.
3. Studi dokumentasi. Pengumpulan data diperoleh melalui pengumpulan peraturan, Undang-Undang, laporan-laporan, catatan serta dokumen-dokumen yang relevan mengenai masalah penelitian ini.
4. Studi literatur atau studi kepustakaan. Pengumpulan data diperoleh dari berbagai referensi yang relevan mengenai penelitian ini berdasarkan buku teks maupun jurnal ilmiah.
5. Pengamatan/observasi. Dalam penelitian ini pengamatan/observasi yang dilakukan adalah nonpartisipan, dimana peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen.
3.2.1 Skala Likert
Formulasi definisi operasional ini menggunakan teknik skoring. Teknik skoring dalam penelitian ini adalah “skala likert” yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2005). Adapun tujuan utama dari operasional variabel adalah untuk mempermudah bagi penyusunan daftar pernyataan (kuisioner) secara terstruktur.
Melalui skala likert, variabel yang diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, untuk selanjutnya dijadikan titik tolak dalam menyusun item-item yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Hasil jawaban di setiap item instrument yang menggunakan skala likert, akan mempunyai gradiasi sangat positif sampai sangat negative yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Sangat Tidak Setuju (STS) : diberi skor 1
2) Tidak Setuju (TS) : diberi skor 2
3) Ragu-Ragu (RR) : diberi skor 3
4) Setuju (S) : diberi skor 4
5) Sangat Setuju (SS) : diberi skor 5
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2005:90). Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2005:91).
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi sasaran (target population) adalah Kepala Dinas, Kepala Bagian dan Kepala Subbagian di Tiap SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Serang, untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.2
Populasi Penelitian Berdasarkan Pejabat Pengambil Kebijakan
Di Lingkungan Pemerintah Kota Serang
No. | Unit Kerja/Badan | Populasi |
1 | Sekretariat Kota | 4 Orang |
2 | Inspektorat Kota | 4 Orang |
3 | Dinas Kependudukan, Pencatatan Sipil, Sosial dan Tenaga Kerja | 4 Orang |
4 | Dinas Kesehatan | 4 Orang |
5 | Dinas Pekerjaan Umum | 4 Orang |
6 | Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, dan Kebudayaan | 4 Orang |
7 | Dinas Pendidikan | 4 Orang |
8 | Dinas Pengelolaan Keuangan | 4 Orang |
9 | Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika | 4 Orang |
10 | Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi | 4 Orang |
11 | Dinas Pertanian | 4 Orang |
12 | Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal | 4 Orang |
13 | Badan Kepegawaian Daerah | 4 Orang |
14 | Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB | 4 Orang |
15 | Badan Perencanaan Pembangunan Daerah | 4 Orang |
16 | Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat | 4 Orang |
17 | Kantor Lingkungan Hidup Daerah | 4 Orang |
18 | Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah | 4 Orang |
19 | Kantor Satuan Pamong Praja | 4 Orang |
20 | Kecamatan Serang | 4 Orang |
21 | Kecamatan Cipocok Jaya | 4 Orang |
22 | Kecamatan Curug | 4 Orang |
23 | Kecamatan Kasemen | 4 Orang |
24 | Kecamatan Taktakan | 4 Orang |
25 | Kecamatan Walantaka | 4 Orang |
| Jumlah | 100 Orang |
No comments:
Write komentar