Manajemen PNS Perlu Direformasi
MANAJEMEN pegawai negeri sipil (PNS) sudah selayaknya diubah total karena sistem yang dewasa ini berlaku kurang mendorong mereka bersikap profesional. Reformasi manajemen PNS seyogianya menjadi bagian dari program pemulihan ekonomi, mengingat kualitas aparat akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi.Undang-Undang (UU) Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian yang dikeluarkan di masa Pemerintahan BJ Habibie sebetulnya sudah meletakkan dasar bagi sistem merit.
Namun, berbagai prasyarat (prerequisites) yang diperlukan untuk memberlakukan manajemen kepegawaian berdasarkan merit, seperti klasifikasi dan persyaratan jabatan, penilaian prestasi yang obyektif, mekanisme promosi yang didasarkan pada prestasi dan penggajian yang didasarkan pada beban kerja dan tanggung jawab, sampai hari ini belum berhasil diciptakan.
Tidak jelas siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas keterlambatan ini, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Kepala Badan Kepegawaian Nasional, atau Ketua Lembaga Administrasi Negara. Maklum, uraian tugas dan fungsi ketiga instansi itu agak mirip.
Tidak adanya klasifikasi dan persyaratan jabatan menyebabkan pengembangan pegawai menjadi tidak terencana secara baik. Pengadaan pegawai baru lebih didasarkan pada ketersediaan dana untuk belanja pegawai di APBN, bukan kebutuhan nyata. Kebutuhan pegawai per jenis keahlian sulit dihitung, sehingga kualifikasi pegawai yang akan direkrut akhirnya hanya ditetapkan secara global.
Akibatnya terjadi ketidak sesuaian antara jenis keahlian pegawai yang ada dengan keahlian yang dibutuhkan. Ketidaksesuaian itu sering dijadikan alasan para pimpinan instansi pemerintah untuk melakukan rekrutmen baru atau mengontrak tenaga honorer, meski banyak di antara pegawai yang ada di instansinya setengah dan bahkan sepenuhnya menganggur. Tidak heran bila sebagian besar anggaran pemerintah dihabiskan untuk belanja pegawai.
MASALAH lain yang juga amat menggangu kinerja birokrasi pemerintah, adalah penempatan pegawai dalam jabatan yang tidak didasarkan pada kompetensi. Persyaratan jabatan struktural yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 100 Tahun 2000 lebih menitikberatkan pada persyaratan administratif, seperti pangkat terendah, Daftar Urutan Kepangkatan (DUK), dan Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3).
Masalahnya, di lingkungan PNS, pangkat tidak selalu mencerminkan kompetensi atau prestasi, karena pangkat ditetapkan berdasar ijazah tertinggi yang dimiliki pegawai serta masa kerja di pemerintahan. Sebagai contoh, tamatan SD diberi pangkat awal I/a, tamatan SLTA II/a, dan tamatan S1 III/a, dengan tidak membedakan jenis keahlian yang mereka miliki. Setelah itu, setiap empat tahun, pangkat mereka naik ke jenjang lebih tinggi sampai ke pangkat puncak, atau pangkat tertinggi yang dapat dicapainya.
Secara teoritis, kenaikan pangkat diberikan kepada pegawai yang berprestasi baik. Namun, sudah menjadi rahasia umum, pengukuran prestasi pegawai melalui DP3 amat tidak obyektif. Kriteria yang digunakan, seperti kesetiaan kepada UUD 1945 dan Pancasila, sama sekali tidak ada kaitannya dengan prestasi yang dicapai oleh pegawai yang dinilai. Selain itu, banyak pula pimpinan yang dengan sengaja memberi nilai tinggi kepada bawahannya dengan maksud untuk tidak menghambat kenaikan pangkat mereka. Akhirnya, kenaikan pangkat, yang diikuti kenaikan gaji, gagal berfungsi sebagai motivator untuk memacu prestasi.
Pemberlakukan PP No 99/ 2000, yang memberi peluang untuk PNS yang menduduki jabatan struktural untuk memperoleh beberapa kali kenaikan pangkat pilihan (dipercepat), dalam jangka waktu relatif pendek, semakin memperjauh hubungan antara pangkat dan kompetensi. Karena itu, pangkat sebaiknya tidak lagi dijadikan persyaratan utama dalam pengangkatan pegawai dalam jabatan struktural karena pangkat tidak merefleksikan kemampuan pegawai.
Kenaikan pangkat yang super kilat, selain membawa peningkatan anggaran belanja pegawai, juga menyebabkan ketidakadilan antara pegawai yang mendapat kenaikan pangkat pilihan dengan yang harus menunggu kenaikan reguler. Dewasa ini banyak pejabat yang pangkatnya menjadi sama dengan anak buahnya, bahkan dilampaui staf yang lebih yunior. Padahal, prestasi pegawai yang mendapat kenaikan pangkat pilihan belum tentu lebih baik dari prestasi pegawai lainnya. PP No 99/2000 juga kurang memacu PNS mengikuti pendidikan lebih lanjut karena dengan tetap ada di kantor, pangkat yang bersangkutan akan lebih cepat naik, meski kompetensi yang dimiliki tetap. Sementara itu, pendidikan tambahan, yang sebenarnya lebih berarti bagi peningkatan kompetensi, kurang dihargai. PP ini banyak dikritik, namun sampai hari ini masih tetap diberlakukan.
***
SELAIN pangkat, peringkat pegawai dalam DUK pun sebaiknya juga dihapus dari daftar persyaratan untuk menduduki jabatan struktural, mengingat peringkat itu disusun antara lain berdasar pangkat dan umur. Bukti bahwa pegawai lebih senior dari segi umur dan pangkat tidak selalu lebih kompeten dapat ditemukan dimana-mana. Aneh juga bila Kantor Menteri Negara Pendayaguaan Aparatur Negara masih akan menganjurkan penggunaan DUK.
Akhir-akhir ini beberapa departemen dan pemerintah daerah telah memperkenalkan fit and proper test dalam menentukan siapa yang berhak menempati jabatan struktural. Namun, instrument yang digunakan masih bersifat umum sehingga kurang mencerminkan kemampuan pegawai di bidang yang spesifik. Selain itu, juga ada indikasi, tes itu disalahgunakan dan dijadikan alat untuk melengserkan orang-orang tertentu dari jabatan struktural. Sistem remunerasi yang berlaku juga kurang mencerminkan keadilan. Menurut UU No 43/1999, tingkat gaji ditetapkan sesuai beban tugas dan tanggung jawab. Kenyataannya, gaji ditetapkan berdasar pangkat, dan pangkat tidak terkait dengan beban tugas dan tanggung jawab. Akibatnya terjadi ketidakadilan.
Seorang juru tik dapat saja menerima gaji lebih tinggi dari seorang petugas pengatur lalu lintas udara di bandara internasional karena juru tik itu sudah lama bekerja. Padahal, untuk menjadi pengatur lalu lintas udara di bandara, pegawai itu harus terampil menggunakan peralatan yang rumit, mampu membuat keputusan dengan cepat dan tepat dan mempunyai kesehatan prima. Taruhannya adalah nyawa manusia. Sementara itu persyaratan untuk menjadi juru tik tidak terlalu sulit dan tanggung jawabnya relatif kecil.
Ketidakadilan juga terjadi antara pegawai yang menduduki jabatan struktural (dirjen, direktur, kepala biro, kepala bagian, kepala dinas) dengan yang menduduki jabatan fungsional (peneliti, pengajar, perekayasa, instruktur, dan lain-lain). Tunjangan jabatan struktural yang jauh lebih besar dari tunjangan jabatan fungsional juga telah menimbulkan persaingan kurang sehat dalam memperebutkan jabatan struktural. Bahkan ketidakadilan pun terjadi antarbesaran tunjangan berbagai jabatan fungsional yang ada.
***
KRISIS ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memaksa pemerintah untuk menerapkan kebijakan minus growth, dalam arti jumlah rekrutmen baru tidak melebihi jumlah PNS yang pensiun secara alami. Namun, jumlah PNS yang memasuki usia pensiun setiap tahun tidak begitu besar. Sementara itu, pemerintah kelihatannya masih enggan melaksanakan kebijakan pensiun dini. Sebaliknya, usia batas pensiun untuk bidang tertentu malah diusulkan diperpanjang. Kebijakan seperti ini tentu menyulitkan peremajaan pegawai, khususnya untuk tenaga-tenaga teknis. Dalam jangka panjang keadaan seperti ini akan berdampak negatif terhadap kinerja birokrasi.
Melihat persoalan yang ada, perubahan total terhadap manajemen PNS mutlak diperlukan. Sayang, masalah ini kurang mendapat sorotan dari pihak-pihak di luar birokrasi, meski ikut dicantumkan dalam LOI antara Pemerintah RI dan IMF. Pelaksanaannya akhirnya akan sangat tergantung pada interes dari menteri serta pejabat lainnya yang bertanggung jawab di bidang PAN. Semoga mereka semua termasuk dalam kelompok pendukung perubahan.
* Ida Gumelar, pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
No comments:
Write komentar