Post-Modern
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur.
Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai prodesun. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Setiap pendekatan dalam penelitian merupakan cara untuk memahami sesuatu, yang dalam ilmu sosial dan humaniora menurut Prof. H. Judistira K. Garna, Ph.D. (1999:59) adalah untuk memahami gejala-gejala sosial, gejala kehidupan kita sendiri ataupun orang lain. Pendekatan itu juga adalah upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi dukungan akan kebenaran yang relatif, yang sebagai suatu model biasanya dikenal dengan paradigma. Penelitian melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif memberikan dua macam paradigma yang perlu diperhatikan.
Positivisme menekankan akan pentingnya mencari fakta dan penyebab dari gejala-gejala sosial dengan kurang memperhatikan tingkah laku subyektif individu yang dapat dimasukkan dalam kategori tertentu, yang dari anggapan itu tampak bahwa positivisme melatarbalakangi pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan akan pentingnya pemahaman tingkah laku menurut pola berpikir dan bertindak subyek kajian, karena itu paradigma alamiah atau naturalistik, mewarnai pendekatan kualitatif. Positivisme ialah pandangan filosofis yang dicirikan oleh suatu evaluasi yang positif dari ilmu dan metoda ilmiah, yang dengan demikian telah memberi dampak pada etika, agama, politik, dan filsafat serta metoda ilmiah, sehingga mempersiapkan suatu rasionalitas baru untuk melaksanakan atau operasional ilmu.
Penelitian yang kualitatif berakar dari data, dan teori berkaitan dengan pendekatan tersebut diartikan sebagai aturan dan kaidah untuk menjelaskan proporsisi atau perangkat proposisi yang dapat diformalisasikan secara deskriptif atau secara proporsional. Dua kepentingan akan terpenuhi, yaitu teori substantif disusun bagi keperluan empirik, dan teori formal bagi keperluan pengembangan. Penyusunan teori itu dilakukan melalui upaya kategorisasi dan relasi logik antara unsur-unsur dalam membina integrasi yang berlaku: analisis banding dapat dilakukan antara unsur satu dengan unsur lainnya, dan teori formal selain menguji teori formal lainnya, juga untuk analisis hasil penelitian.
Unsur-unsur berkaitan satu sama lainnya dalam melakukan fungsi menurut pola kebudayaan dari masyarakat yang diteliti, karena itu pendekatan emik dianggap penting dan tak perlu ditarik suatu generalisasi sebelum keseluruhan analisis itu selesai. Data uraian tentang data akan tampak, yang bukan sebaliknya berupa bangunan analisis yang diterapkan pada data. Atas asumsi bahwasanya tingkah laku yang terpolakan itu adalah menurut runtutan tindakan warga masyarakat yang menjadi obyek kajian, maka gaya analisis struktural memberikan keleluasan uraian dari kajian empirik. Ilmu-ilmu sosial tidak berubah bentuk, karena yang berubah adalah paradigma-paradigmanya, selain itu dilihat dari epistemologinya masih mengacu kepada peningkatan ilmu-ilmu sosial, meneliti fakta sosial dalam semua bentuk, dan mencari asal perjalanan institusi sosial dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Penggunaan metode kuantitatif, positivistik dan asumsi telah ditolak oleh peneliti kualitatif generasi yang terikat dan mendukung aliran poststruktural, postmodern yang sensitif. Para peneliti berargumentasi bahwa metode positivistik bukan jalan menceritakan kisah tentang masyarakat atau dunia sosial. Mereka juga bukan yang utama atau tidak lebih buruk dari metode yang lain, merka hanya dikatakan sebagai suatu perbedaan dari semacam kisah yang dimiliki.
Para ahli dari kelompok critical theory, constructivist dan aliran postmodern menolak kriteria positivis dan postpositivist sebagai pekerjaan yang layak. Mereka melihat bahwa kriteria itu tidak sesuai untuk kegiatan lapangan dan isinya merupakan reproduksi kriteria yang selalu memiliki macam kepastian dari sains, padahal sains itu bisu dan penuh kekerasan. Peneliti justru melihat bahwa kegiatan evaluasi kerja mengandung emosi, tanggapan pribadi, kebusukan pada etika, political praxis, teks kekerasan dan dialog dengan subjek. Sebaliknya positivistik menggunakan kelemahan di atas untuk bertahan diri dengan argumentasi bahwa mereka adalah sains yang baik, bebas dari bias individual dan subjektivitas; sebagai catatan bebas mereka melihat postmodern sebagai suatu serangan terhadap pikiran dan kebenaran.
No comments:
Write komentarSilahkan isi komentar Anda disini