Monday, January 17, 2011

PERAN PANCASILA

 


 PERAN PANCASILA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bangsa dalam keadaan seperti sekarang ini, sesungguhnya sangat memerlukan sesuatu yang bisa dipegangi bersama. Pancasila yang selama ini dijadikan sebagai dasar negara adalah telah terbukti bisa berhasil memenuhi kebutuan itu. Berdebat tentang kapan lahirnya Pancasila, jelas akan menguras energi yang tidak sedikit.  Pro dan kontra akan selalu terjadi. Padahal, bangsa pada saat sekarang ini sudah terlalu kaya perdebatan dan  perbedaan pendapat.
     Pada saat sekarang, bangsa  ini Justru memerlukan jawaban,  bagaimana  agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di depan mata, yang tidak kecil dan ringan. Menyadari  hal itu, bukan berdebat tentang hari lahirnya Pancasila  yang dibutuhkan, melainkan bagaimana menghayati dan mengamalkannya sepenuh hati.
Bangsa yang sedemikian majemuk, baik dari sudut agama, suku, bahasa, tempat tinggal, adat istiadat dan lain sebagainya memerlukan tali pemersatu yang tangguh. Dari sudut agama, bangsa ini sebagian menganut Islam, Kristen, katholik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Mereka tentu menganggap dan bahkan berkeyakinan, bahwa dengan agama yang  mereka anut, kehidupannya menjadi selamat, baik di dunia maupun di akhirat.
Kaum muslimin misalnya, berkeyakinan bahwa hanya dengan Islam sajalah, mereka akan menemukan keselamatan dan kebahagiaan. Begitu pula penganut agama lainnya. Terkait dengan keyakinan keagamaan, siapapun  tidak bisa dipaksa. Jangankan memaksa seseorang agar mengubah keyakinannya, sedangkan sebatas memaksa penganut Islam agar selalu sholat subuh berjamaáh di masjid saja misalnya,  juga tidak mudah. Akibatnya,  tidak sedikit masjid yang pada waktu subuh sepi jama’ah. Kiranya hal itu sama dialami oleh penganut agama lainnya. Pemuka Kristen atau Katolik, misalnya,  tidak mudah memaksa umatnya selalu ke gereja. Demikian pula penganut Hindu,  tidak mudah dipaksa agar selalu ke Pura dan seterusnya.

Melalui Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, agama apapun yang dianut, seluruh warga negara berpegang dan menjalankan agamanya masing-masing. Sekalipun agama mereka berbeda-beda, namun semua merasa hidup dalam satu rumah besar, yaitu yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik  Indonesia. Mereka secara bebas memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing, tanpa ada gangguan dari dan oleh siapapun.
Demikian pula selanjutnya terhadap sila-sila lainnya dari Pancasila itu. Selama ini probem  mendasar terkait  Pancasila bukan lagi terletak pada upaya membangun kesepakatan tentang dasar negara itu, melainkan pada bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Pansacila sudah disepakati sebagai dasar negara, dan bahkan disebut-sebut telah berada pada titik final, sehingga tidak boleh siapapun memperdebatkan lagi.

Problem implementasi itu tidak saja pada pengamalan sila pertama, tetapi juga pada sila-sila lainnya. Tatkala sila kedua menyatakan bahwa, kemanusiaan yang adil dan beradab, maka orang mempertanyakan sejauh mana keadilan itu telah berhasil diwujudkan, sementara  di sana-sini masih disaksikan harga manusia masih terasa sedemikian rendah dan diperlakukan secara tidak jujur dan tidak adil. Mempermainkan harkat dan martabat manusia dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Padahal semestinya, dengan falsafah Pancasila, harkat dan martabat manusia harus dijunjung setinggi-tingginya.
Persatuan yang sedemikian indah terdengar, dan dalam Pancasila disebut sebagai sila yang ketiga, ternyata juga belum diimplementasikan oleh semua secara memadai. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, perbedaan itu justru harus menjadi kekuatan untuk menyatukan, dan bukan dijadikan alasan untuk berpecah dan bercerai berai. Semangat bersatu menjadi sangat penting bagi  bangsa yang beraneka ragam dari berbagai sudut dan aspeknya ini.
Namun pada kenyataannya, kebersamaan untuk meraih persatuan, kadang masih dikalahkan oleh alasan-alasan teknis dan sepele. Misalnya, hanya alasan  remunerasi atau pemberian

penghargaan,  di antara berbagai kementerian, lembaga atau instansi  dibeda-bedakan, sehingga kebijakan itu melahirkan kesenjangan yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Sila ke empat dari Pancasila, yang berbunyi kerakyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan perwakilan,  dalam implementasinya, ternyata tidak semakin mendekat pada konsep idealnya, melainkan justru semakin menjauh. Dalam pemilihan pimpinan daerah, wilayah dan bahkan secara nasional, tidak lagi menggunakan perwakilan, melainkan dilakukan secara langsung. Padahal dengan cara itu, pelaksanaannya selama ini, selain menguras biaya yang sangat mahal, juga selalu menelan korban yang tidak sedikit. Kita saksikan, di berbagai tempat terjadi kerusuhan, konflik, pertikaian yang selalu membawa korban, baik jiwa maupun harta.
Nasib yang sama atau serupa juga terjadi pada  sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita berbicara keadilan, tetapi sehari-hari, kita saksikan justru sebaliknya, yaitu ketidak adanya keadilan. Kesenjangan di berbagai kehidupan, baik eknomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lain merupakan pemandangan yang tidak lagi melahirkan sensitifitas atau keprihatinan bagi kebanyakan orang,  disebabkan oleh karena hal itu sudah menjadi biasa dan terbiasa. Keadilan justru kadang dianggap aneh, karena tidak terbiasa.

1.2 Tujuan
Keadaan seperti itu bukan berarti Pancasila menjadi tidak penting, melainkan justru sebaliknya. Pancasila seharusnya bukan saja dijadikan sebagai jargon, doktrin, slogan, atau apalah namanya, melainkan seharusnya dijadikan sebagai cita-cita, pandangan hidup, dan juga tipe ideal bagi bangsa ini. Pada tanggal 1 Juni 2010 hari ini, mestinya  diperingati sebagai lahirnya atau sebagai apa, tetapi saya tetap melihat dan berpandangan,  harus dijadikan sebagai momentum untuk membangun kulitas bangsa yang semakin unggul dan beradab.
Maka diharapkan agar para pembaca dapat mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

 
    
    
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Apakah Pancasila Masih Relevan?
Setiap tahun di saat datang peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni, banyak kalangan selalu bertanya “Apakah Pancasila masih relevan?” Ini adalah pertanyaan yang tidak sederhana. Kalau setiap orang diminta membuat uraian dari sudut pandang dan pengalaman masing-masing, penjelasan yang muncul mungkin akan sebanyak jumlah kepala orang. Tetapi saya akan menduga bentuk jawabannya hanya ada dua; Ya dan Tidak! Baiklah saya mulai dengan kemungkinan penjelasan kenapa Tidak. Kenapa Pancasila dianggap tidak relevan?
Jangan Salah! Ini tidak ada hubungannya dengan sikap anti-Pancasila. Benar, mungkin saja, sebagian orang Indonesia ada yang terang-terangan menolak Pancasila, tetapi orang-orang ini tidak mewakili pandangan mayoritas. Ada indikasi untuk percaya bahwa banyak orang Indonesia tidak memiliki pandangan negatif terhadap Pancasila. Sebagian sebabnya tentu saja karena fakta bahwa Pancasila sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Lebih dari itu, Pancasila juga membuat Indonesia ada, dan besar kemungkinan dapat membantu bangsa yang majemuk ini tetap bertahan dan berkembang sampai waktu yang lama. Pengetahuan sejarah dapat menyadarkan generasi sekarang tentang besarnya jasa para pendiri negara, terutama Bung Karno, yang telah mewariskan gagasan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi apa makna yang lebih dalam dari sejarah Pancasila?
Masih menjadi pertanyaan menarik, kenapa pidato Pancasila Soekarno 1 Juni 1945 dan bukan alternatif lain yang waktu itu juga ditawarkan dalam sidang BPUPKI yang akhirnya diterima dan bahkan mendapat sambutan tepuk tangan sangat meriah dari para anggota sidang? Pada hemat saya itu terjadi bukan terutama karena lima sila dari Pancasila, yang memang menarik, atau karena keterampilan berpidato Bung Karno, yang diakui sangat memukau. Sebab, jangan lupa, Bung Karno tidak hanya berbicara Pancasila dalam pengertian sebagai lima sila. Dia juga menawarkan kepada para anggota sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 bahwa kelima sila bisa diperas menjadi tiga sila, yang disebutnya sebagai trisila, dan bahkan, menurut Bung Karno, jika masih dipandang terlalu banyak, trisila itu juga bisa diperas menjadi satu saja, yaitu eka sila, berupa Gotong Royong. Karena itu, penjelasan paling masuk akal dari pertanyaan mengapa usulan Pancasila Bung Karno yang akhirnya diterima adalah karena waktu itu Bung Karno mempraktekkan dengan sempurna apa yang dalam istilah filsafat politik kontemporer disebut sebagai nalar-publik (public reason).
Praktek nalar publik selalu mengandung sedikitnya tiga pengertian (bandingkan Rawls, 2002). Pertama, ada kriteria kesetaraan dan kebebasan yang sama, artinya pelakunya menyadari bahwa dirinya adalah anggota dari warga negara yang bebas (free) dan setara (equal), dan menganggap orang lain juga bebas dan setara. Kedua, ada kriteria resiprositas, artinya ketika si pelaku mengajukan usulan kepada pihak lain dalam rangka menentukan persyaratan untuk kerjasama (yang dalam konteks sejarah BPUPKI adalah kerjasama dalam membentuk sebuah negara merdeka yang baru) yang pertama-tama dipertimbangkan adalah bahwa usulannya akan masuk akal di mata orang lain, yang juga merupakan warga negara yang bebas dan setara, sehingga mereka menerima kesepakatan bukan karena dominasi atau manipulasi, atau karena tekanan paksa akibat posisi sosial dan politik yang lebih rendah (inferior). Dan ketiga, ada kriteria kebaikan bersama, artinya pokok masalah (subject) yang dibicarakan dalam usulan kerjasama itu adalah tentang kebaikan bersama (public good) atau keadilan politik fundamental, yang mempermasalahkan dua hal, yaitu inti penting konstitusi (constitutional essentials) dan masalah keadilan dasar.
Sejarah lahirnya Pancasila adalah contoh sempurna dari penerapan nalar publik itu. Sebab berbeda dengan proposal lain yang juga diusulkan dalam sidang BPUPKI pada 1945, Pancasila Soekarno merupakan sintesis dari berbagai pengaruh pemikiran yang disajikan sedemikian rupa, tetapi bukannya dengan menafikan, usulannya dirumuskan dalam pengertian yang menjunjung tinggi pengertian kebebasan dan kesetaraan, resiprositas, dan kebaikan bersama. Inilah rahasianya mengapa Pancasila Sukarno yang akhirnya diterima dengan suara bulat, meskipun dalam konstitusi rumusan itu kemudian mengalami perubahan urutan dan modifikasi. Kini, kembali pada pertanyaan awal kita, mengapa ada anggapan bahwa Pancasila tidak relevan,

jawabannya bisa dijelaskan dengan kalimat negatif, yaitu karena makna Pancasila yang paling mendasar dan sangat penting sebagai nalar publik sudah semakin sulit dikenali. Orang melihat banyak ajaran yang baik dan luhur dari Pancasila tetapi semua itu tidak ada hubungannya dengan realitas hidup mereka sehari-hari.
Di masa pemerintah Orde Baru, yang berkuasa hampir selama 32 tahun, telah dilakukan usaha untuk menempa identitas ideologis yang secara historis otentik sekaligus berbeda dengan identitas ideologis regim Sukarno, yaitu dengan cara mengklaim kembali dan membentuk ulang Pancasila. Namun, negara Pancasila yang dikembangkan oleh regim Orde Baru lebih bertitik tolak dari ajaran Integralisme atau Organisisme yang sesungguhnya berasal dari usulan Supomo pada sidang BPUPK tahun 1945, dan bukan dikembangkan berdasarkan Pancasila sesuai dengan makna awalnya, yaitu sebagai nalar publik. Sementara nalar publik pada dasarnya sejalan dengan demokrasi konstitusional dengan kriteria berupa persamaan dan kesetaraan, resiprositas, dan orientasi pada kebaikan bersama, ajaran integralism memiliki konsepsi tentang negara yang hampir bertolak belakang dengan konsepsi yang dikenal dalam pengertian demokrasi konstitusional. Kita tahu, dalam perdebatan pembentukan negara, baik BPUPK maupun PPKI, telah terjadi pertarungan antara berbagai pengaruh pemikiran ini.
Integralisme mengajarkan konsepsi tentang negara yang menolak pemisahan negara dan masyarakat sipil, dan juga menolak doktrin politik modern seperti pemisahan kekuasaan (separation of power) dan pengawasan dan keseimbangan (check and balances) dalam kekuasaan. Implikasi dari Pancasila yang dipahami dalam pengertian integralisme sangat jelas. Doktrin Orde Baru mengatakan bahwa demokrasi Pancasila tidak mengenal oposisi, sebab sebagaimana keyakinan integralisme, pemerintah pada dasarnya akan selalu baik hati, dan tidak pernah menyengsarakan rakyatnya. Tidak boleh ada pandangan yang membedakan antara pemerintah dan rakyat, dan karena itu sistem politik harus dikembangkan sedemikian rupa untuk memastikan masyarakat sipil di bawah kontrol negara. Pancasila sebagai nalar publik lebih dekat dengan demokrasi konstitusional, ketimbang dengan ajaran organisisme atau integralisme. Pandangan dasar tentang negara dalam demokrasi konstitusional adalah bahwa kekuasaan

dimanapun bisa bersalah guna. Para pendukung demokrasi konstitusional meyakini bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula. Maka tentu saja sangat berbahaya jika satu orang diberi kekuasaan sekaligus untuk membuat hukum, melaksanakan hukum, dan mengadili pelaksanaan hukum.
Orang semacam ini memiliki kekuasaan absolut, dan dia nyaris menjalankan fungsi seperti yang dijalankan Tuhan atau Dewa. Padahal manusia bukan Tuhan atau Dewa, dan juga bukan malaikat yang selalu baik, patuh pada perintah Tuhan dan tidak pernah lupa. Karena itu demokrasi konstitusional menyarankan bahwa dalam merancang sebuah pemerintahan yang diatur oleh manusia terhadap manusia, kesulitan terbesar akan terletak dalam dua hal, pertama, bagaimana memberikan kemungkinan pemerintah mengontrol yang diperintah, dan kedua, bagaimana menentukan kewajiban pemerintah untuk mengontrol dirinya sendiri. Ketika praktek bernegara, dalam negara yang mengakui berdasarkan Pancasila, tidak banyak memperhatikan persyaratan untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar bisa mengontrol dirinya sendiri, maka hal ini pasti menimbulkan skeptisisme dan bahkan sinisme yang meluas tentang relevansi Pancasila untuk mengatur kehidupan bersama. Tetapi, persoalan politik akhirnya juga berhubungan dengan masalah ekonomi.
Di masa Orde Baru diajarkan secara luas baik dalam penataran P4 maupun dalam buku-buku pelajaran di sekolah bahwa bahwa ekonomi Pancasila adalah khas, Indonesia menolak sistem ekonomi komando, yang menentukan bahwa negara mengontrol baik produksi maupun distribusi, tetapi Indonesia juga menolak ekonomi pasar bebas yang pada intinya menyerahkan semua transaksi ekonomi pada pihak swasta dan negara hanya menjadi semacam wasit. Di telinga, ini terdengar seperti rumusan yang ideal. Dalam praktek, situasinya sangat berbeda. Bukan pada tempatnya di sini untuk menjelaskan secara panjang lebar kenapa ada perbedaan antara yang ideal dan kenyataan yang dihadapi. Poin yang ingin saya katakan adalah bahwa anggapan tentang Pancasila yang tidak relevan kemungkinan juga terkait dengan ketidakjelasan pemahaman banyak pemimpin kita menyangkut hubungan antara Pancasila dengan masalah ekonomi. Dalam praktek, tidak ada negara yang murni menganut ekonomi pasar bebas, atau murni menganut sistem ekonomi komando.
    
Kecenderungan globalisasi dan interdependensi dunia dewasa ini juga memperlihatkan beragam aktor dan kekuatan saling berinteraksi dengan cara yang sangat cepat dan tak dapat dikendalikan. Pancasila, dan juga banyak masyarakat di seluruh dunia sama-sama mendambakan tatanan kehidupan yang lebih adil dan bermartabat. Cara kita menterjemahkan keadilan dan martabat dalam kehidupan kongkrit politik dan ekonomi menentukan seperti apa bentuk negara Pancasila yang kita bayangkan. Karena itu salah satu masalah yang terkait dengan pertanyaan tentang apakah Pancasila masih relevan, juga terletak pada kemampuan kita menafsirkan kembali arti Pancasila dan terutama menterjemahkan dengan lebih baik hubungan antara negara dan masyarakat sipil atau rakyatnya.
Di bawah Orde Baru, Pancasila diyakini sebagai sistem ideologi dan sistem nilai yang komprehensif, lengkap dan menyeluruh, mengatur bukan hanya kehidupan publik dan politik, tetapi juga kehidupan privat. Akibatnya, Pancasila juga dikembangkan dalam bentuk usaha menjabarkan nilai-nilai yang terdapat dalam masing-masing sila Pancasila (dengan cara mencongkel-congkelnya, menurut Almarhum Profesor Umar Kayam), seperti yang pernah kita temui dalam butir-butir P4. Nilai-nilai inilah yang kemudian dicoba disosialisasikan ke masyarakat oleh negara. Ke depan, pemahaman tentang moral Pancasila semacam ini perlu dikaji ulang, mengingat kenyataan bahwa negara sering tidak mampu, dan kalaupun mampu biasanya menuntut harga dan resiko mahal yang harus dibayar ketika mencoba menentukan berbagai kebenaran metafisik (misalnya apakah dibalik realitas ini sesungguhnya roh atau materi), yang sesungguhnya lebih baik diserahkan pada pilihan privat dan menjadi hak warga negara untuk menentukannya sendiri secara bebas.
Kembali pada pertanyaan tentang apakah Pancasila masih relevan, karena itu orang juga bisa dengan sangat optimis memberikan jawaban Ya, karena kita memang harus menyelesaikan berbagai masalah mendasar politik, ekonomi dan moral yang sedang kita hadapi dengan cara yang lebih cerdas, namun pendekatannya bukan dengan mengulang Pancasila seperti yang pernah dikembangkan oleh regim Orde Baru, karena visi politik, ekonomi, dan moral Orde Baru nampaknya tidak memadai untuk menjawab relevansi Pancasila untuk masa kini.

Jadi, kemungkinan cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan Pancasila sebagai nalar-publik yang merupakan makna penting dan mendasar dari sejarah lahirnya Pancasila yang sudah lama terlupakan.
2.2 Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup di dalam ruhnya terkandung nilai-nilai (values) atau norma yaitu kaidah yang mengandung nilai. Nilai yang dimaksud di sini ialah sifat, keadaan, atau kualitas dari sesuatau yang berguna bagi manusia baik secara lahir maupun secara batin. Jadi nilai adalah kualitas yang melekat pada suatu objek, akan tetapi bukan objek itu sendiri. Nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat bersifat universal, yaitu sesuatu yang diyakini baik bagi umat manusia di seluruh dunia. Namun sebaliknya nilai yang terkandung di dalam Pancasila dapat pula bersifat kontekstual, artinya merupakan ciri khas bagi bangsa Indonbesia atau mempunyai sifat mengikat bagi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia adalah pandangan hidup yang berkembang dalam sosio-budaya bangsa Indonesia, yang mengandung nilai dasar dan puncak (sari-sari) budaya bangsa. Dalam nilai tersebut terkandung cita-cita manusia (bangsa Indonesia) yang merupakan das Sollen (yang ingin dicapai atau seharusnya dicapai). Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai yang berguna dan diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara disebut pula ideologi bangsa Indonesia atau ideologi nasional.
2.3 Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara digali dari pandangan hidup masyarakat (rakyat) Indonesia. Dengan adanya kesatuan tekad untuk membangun masa depan bersama dengan mendirikan negara, maka suku-suku bangsa yang mendiami “tanah Indonesia” ini memutuskan untuk  menjadi bangsa Indonesia. Pandangan hidup masyarakat yang telah membulat menjadi kehendak dan tekad tersebut jadilah pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa mengandung kristalisasi nilai dari sejarah kehidupan bangsa yang mencerminkan dimensi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Pandangan hidup bangsa juga dapat merupakan kristalisasi nilai-nilai yang disepakati sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila sebagai filsafat bangsa, pandangan hidup, dan ideologi nasional merupakan refleksi budaya bangsa Indonesia yang mengandung pandangan hidup, kesadaran, cita hukum dan cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang dipadatkan dan dimurnikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal dan tahun tersebut. Dengan demikian sejak saat itu Pancasila telah dikukuhkan oleh para bapak pendiri negara sebagai dasar negara, yang mempunyai kedudukan yuridis-konstitusional yang tinggi dan kuat.
Dasar negara sebagai pandangan hidup negara Republik Indonesia diproyeksikan kembali kepada pandangan hidup bangsa, pandangan hidup masyarakat, bahkan kepada pandangan hidup pribadi (sebagai  rakyat atau warga negara Indonesia) sehingga dapat berwujud sebagai sikap dan peri laku dan perbuatan sehari-hari.
Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana telah dikemukakan digali dan dikristalisasikan dari pandangan hidup bangsa yang pluralistik (majemuk) baik dalam kemajemukan ras, suku, bahasa maupun agama dan kepercayaan yang dianut. Hanya dasar negara Pancasila yang dapat mengayomi kemajemukan tersebut.
2.4 Norma Moral dan Norma Pembangunan
Sebagaimana telah dijelaskan, hakikat Pancasila adalah nilai-nilai. Nilai tersebut masih ada pada tataran yang abstrak. Masyarakat pada umumnya menginginkan hal-hal yang abstrak tersebut dapat dikenali dalam kehidupan sehari-hari, bukan sesuatu yang di awang-awang dan tidak membumi. Nilai-nilai Pancasila harus dapat menjadi tuntunan sikap dan peri laku sehari-hari bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam kehidupan berkeluarga.
Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat diinternalisasi dan selanjutnya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks konkretisasi nilai-nilai inilah selanjutnya muncul diskursus tentang norma-norma sebagai pengejawantahan nilai-nilai Pancasila secara nyata.
Selain norma hukum, dikenal pula norma non hukum seperti: norma agama, kesusilaan dan sopan santun. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat pula dikatakan bahwa di samping klasifikasi norma-norma seperti tersebut di atas sebenarnya ada pula norma moral dan norma pembangunan. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dapat diwujudkan dalam sikap, peri laku dan perbuatan dalam pembentukan jiwa dan kepribadian bangsa. Pembentukan bangsa atau pembangunan bangsa dalam arti luas mencakup pembangunan jasmani dan pembangunan ruhani bangsa atau pembangunan lahiriah bangsa dan pembangunan watak bangsa (nation and character building).
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh MPR pada masa lalu sebenarnya itulah norma pembangunan bagi bangsa Indonesia, yang wajib dilaksanakan oleh Presiden sebagai mandataris MPR. Sekarang rencana pembangunan jangka pendek (RPJP) dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) sebagai norma pembangunan bangsa Indonesia seharusnya juga mengacu pada nilai-nilai Pancasila.  Sehingga RPJP dan RPJM menjadi norma pembangunan bangsa Indonesia.
2.5  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia serta merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa kita, yang telah dapat mengatasi percobaan dan ujian sejarah, sehingga kita meyakini sedalam-dalamnya akan keampuhan dan kesaktiannya.
Guna melestarikan keampuhan dan kesaktian Pancasila itu perlu diusahakan secara nyata dan terus-menerus penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara, serta setiap lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, baik di pusat maupun daerah. Dan lebih dari itu, kita yakin bahwa Pancasila itulah yang dapat memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbing kita semua dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Untuk itu Pancasila harus kita amalkan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.
Pancasila menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila harus manusiawi, artinya merupakan pedoman yang memang mungkin dilaksanakan oleh manusia biasa. Agar Pancasila dapat diamalkan secara manusiawi, maka pedoman pengamalannya juga harusa bertolak dari kodrat manusia, khususnya dari arti dan kedudukan manusia dengan manusia lainnya.
 “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” dinamakan “Ekaprasetia Pancakarsa”. Ekaprasetia Pancakarsa berasal dari bahasa Sansekerta. Secara harfiah “eka” berarti satu/tunggal, “prasetia” berarti janji/tekad, “panca” berarti lima dan “karsa” berarti kehendak yang kuat.
Dengan demikian “Ekaprasetia Pancakarsa” berarti tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak dalam kelima Sila Pancasila. Dikatakan tekad yang tunggal karena tekad itu sangat kuat dan tidak tergoyahkan lagi.
Ekaprasetia Pancakarsa memberi petunjuk-petunjuk nyata dan jelas wujud pengamalan kelima Sila dari Pancasila sebagai berikut :

A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2) Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepad orang lain.
B. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
1) Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia.
2) Saling mencintai sesama manusia.
3) Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4) Tidak sewenang-wenang terhadap orang lain.
5) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
6) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7) Berani membela kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

C. Sila Persatuan Indonesia
1) Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3) Cinta tanah air dan bangsa.
4) Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
D. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
1) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4) Musayawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5) Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
6) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
7) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
1) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yan mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2) Bersikap adil.
3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4) Menghormati hak-hak orang lain.
5) Suka memberi pertolongan terhadap orang lain.
6) Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain..
7) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
Suka bekerja keras.
9) Menghargai hasil karya orang lain.
10) Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila harus manusiawi, artinya merupakan pedoman yang memang mungkin dilaksanakan oleh manusia biasa. Agar Pancasila dapat diamalkan secara manusiawi, maka pedoman pengamalannya juga harusa bertolak dari kodrat manusia, khususnya dari arti dan kedudukan manusia dengan manusia lainnya.
3.2 Saran
Guna melestarikan keampuhan dan kesaktian Pancasila itu perlu diusahakan secara nyata dan terus-menerus penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara, serta setiap lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, baik di pusat maupun daerah. Dan lebih dari itu, kita yakin bahwa Pancasila itulah yang dapat memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbing kita semua dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Untuk itu Pancasila harus kita amalkan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.


DAFTAR PUSTAKA
Muhlisin, Sujiyanto. 2007. Praktik Belajar Kewarganegaraan. Jakarta: Ganeca

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning