Friday, January 7, 2011

MANAJEMEN KONFLIK


MANAJEMEN KONFLIK
NTN

  1. PEMAHAMAN TENTANG KONFLIK
Dalam kehidupan sehari-hari sudah sering kita lihat gejala-gejala konflik. Misalnya konflik antara dua kawan, antara orang tua dan anak, antara suami dengan isteri, antar kelompok etnis, antar kelompok agama, antara buruh dengan majikan, bahkan antar buruh, dsb.

Apabila kita mengamati gejala-gejala konflik seperti disebutkan, dengan cepat dapat dikenal adanya konflik antar individu dan konflik antar kelompok. Dari fakta ini konflik sebetulnya merupakan hal yang biasa karena setiap individu atau kelompok tidak dapat melepaskan dirinya dari individu atau kelompk lainnya. Sementara itu, individu atau kelompok mempunyai kepentingan, minat yang berbeda sehingga perbedaan pendapat, baik yang menyangkut tentang tujuan yang hendak dicapai, maupun yang menyangkut cara mencapai akan selalu terjadi.

Konflik adalah bagian yang wajar dari sebuah masyarakat yang sehat, tetapi yang menjadi perhatian penting adalah bagaimana konflik yang terjadi dapat terkelola menjadi sebuah potensi positif bagi perubahan. Tahap akhir dari sebuah konflik mungkin merupakan fase yang paling menyulitkan terjadinya transformasi dalam sebuah proses yang sangat sulit. Menciptakan solusi-solusi yang komprehensif dan tahan lama atas sebuah konflik yang terjadi menjadi keharusan.

Meskipun konflik-konflik yang terjadi tampak berbeda satu sama lain pada dasarnya ada kesamaan isu, yaitu kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Apabila konflik dipahami seperti diuraikan diatas, maka manajemen konflik harus dilihat, pertamakali konflik yang terjadi tersebut sampai pada tindakan yang mana, kemudian diikuti dengan mengidentifikasi sebab-sebab konflik yang terjadi kemudian disusun perencanaan intervensi seperti apa yang perlu dilakukan, agar konflik menjadi unsur dinamis dalam kehidupan sosial.

Fungsi-fungsi manajemen dirumuskan sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, pengawasan dan evaluasi. Namun yang perlu ditekankan adalah fungsi-fungsi manajemen seperti disebutkan tersebut untuk apa?

Dalam hal ini, yang perlu dipikirkan adalah bahwa apakah manajemen konflik dimaksudkan untuk mengatasi konflik yang sudah berbentuk tindakan-tindakan yang merugikan (diskriminasi, penyerangan phisik dan pemusnahan atau juga sebagai perubah kondisi yang memungkinkan berpeluang untuk terjadinya konflik?.

1.1.        Konflik dalam Lingkup Sosiologi
Pendekatan sosiologis dalam mengupas konflik yang dimaksudkan disini adalah bahwa konflik merupakan bagian kajian dari sosiologi dimana objek ilmu sosiologi adalah masyarakat dengan segala aspek-aspeknya. Dalam pendekatan ini masyarakat selalu berada dalam suatu sistem sosial. Jika masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem sosial, maka seluruh bagian-bagian dari masyarakat atau fakta sosial yang ada satu sama lain mempunyai hubungan yang sifatnya saling ketergantungan (interdependensi). Suatu sistem terbentuk jika fakta-fakta sosial yang tadinya tidak berhubungan lalu menjadi berkaitan sehingga perubahan pada fakta sosial yang satu akan mempengaruhi fakta sosial lainnya yang juga berada dalam sistem tersebut. Dalam hal ini hubungan antar individu yang saling tergantung dapat juga dianggap sebagai suatu proses pembentukan sistem.

Pendekatan sosiologis terhadap konflik ini didasarkan pada pandangan yang didasarkan pada fakta sosial bahwa:
·         Sistem masyarakat itu selalu mengalami perubahan. Yang dimaksudkan sebagai perubahan disini dibedakan antara “perubahan di dalam sistem” (change within the society), yaitu perubahan struktur dalam suatu sistem dan “perubahan dari” (change of the society), yaitu perubahan bentuk lama ke bentuk yang baru.
·         Setiap masyarakat selalu menunjukan adanya gejala konflik dan diskonsensus (ketidaksesuaian). Kekuatan yang menimbulkan perubahan dalam masyarakat, yaitu konflik sosial. Dengan demikian konflik sosial ini cenderung terjadi dimana-mana dan cenderung di setiap tempat. Untuk itu ada pandangan bahwa jika tidak ada konflik dalam masyarakat itu perlu diherankan dan merupakan hal yang tidak normal. Untuk itu, apabila tidak ada konflik harus dicari apa sebabnya. Untuk itu, konflik tidak perlu diartikan sebagai kekerasan, adanya korban, dsb. Dalam lingkup ini konflik memang harus dikelola sehingga menjadi faktor dinamis dalam kehidupan sosial masyarakat.
·         Setiap elemen dalam masyarakat menunjang atau mempunyai kontribusi bagi terjadinya perubahan sosial. Dalam pengertian ini diakui masyarakat terdiri dari individu-individu, kelompk-kelompok, kelas yang masing-masing mempunyai kebutuhan, minat dan tujuan yang berbeda-beda.
·         Setiap masyarakat terbangun atas perbedaan-perbedaan antara anggota-anggotanya. Dalam artian ini dikatakan bahwa masyarakat atau organisasi sosial dapat dipertahankan, bukan karena adanya konsensus melainkan karena adanya perbedaan-perbedaan

Apabila keempat pandangan tadi dikaitkan dengan adanya dua jenis masyarakat yaitu kolektif dan masyarakat individual, maka masyarakat dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi stabilitas (kolektif) dan dari sisi perubahan dan konflik (individual).

Selanjutnya pendekatan sosiologis atas konflik memunculkan adanya berbagai jenis konflik:
·         Konflik distribusi. Konflik ini timbul karena adanya perbedaan pendapat mengenai distribusi yang wajar dari barang-barang yang terbatas pada kelompok yang berada dalam konflik. Barang-barang disini tidak hanya dalam artian ekonomi seperti makanan, pakaian, rumah, kendaraan dll, tetapi juga dalam artian politik, seperti pembagian kekuasaan/kursi dalam parlemen. Konflik ini memiliki muatan isu tentang ketidakadilan.
·         Konflik identitas. Konflik ini timbul diakibatkan oleh identitas atau konsep apapun yang oleh sebuah komunitas dianggap sebagai identitas fundamental dan yang menyatukan mereka sebagai sebuah kelompok, dan karena hal ini mereka merasa berkewajiban untuk ikut mempertajam konflik untuk melindungi identitasnya. Seperti perang antar etnis, perang antar agama dll. Biasanya konflik ini dicirikan dengan adanya mobilisasi besar-besaran dalam kelompok-kelompok komunal yang didasarkan pada ras, suku, agama, kultur, bahasan, dsb.

1.2.        Konflik dalam Lingkup Demokrasi
Isu sentral dari konflik dalam lingkup demokrasi adalah peranan penting yang dimainkan oleh struktural politik demokratis yang sesuai dalam memajukan penyelesaian yang bertahan lama bagi konflik internal. Adalah sangat penting untuk memahami bahwa tak ada satupun model demokrasi yang sederhana. Mereka yang ingin membangun penyelesaian yang berkelanjutan  bagi suatu konflik seringkali melewatkan pentingnya untuk membuat pilihan institusional yang sesuai dengan sistem pemerintahan. Jarang mereka memiliki akses informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang didasari informasi mengenai institusi mana yang akan cocok dengan kebutuhan khusus mereka.

Pilihan akan institusi demokratis yang sesuai – bentuk-bentuk devolusi dan otonomi, rancangan sistem pemilihan umum, badan legislatif, struktur judicial, dan seterusnya – yang dirancang dan dikembangkan melalui proses negosiasi secara jujur dan adil, merupakan fondasi vital dalam membangun penyelesaian yang damai dan bertahan pada konflik yang paling alot sekalipun.

Demokrasi, seperti juga sistem politik lainnya, bukan tanpa kekurangan dalam dunia yang tidak sempurna ini. Tetapi dalam ketiadaan alternatif yang lebih baik, pengalaman dari seluruh dunia meyakinkan kita bahwa struktur demokratis, dalam kemungkinannya yang tak terhingga, bisa menawarkan sarana penanganan damai bagi konflik yang mengakar melalui kerangka kerja yang saling terbuka, adil dan dapat dipercaya. Sistem demokratis dalam pemerintahan memiliki derajat legitimasi, kemampuan saling terbuka, fleksibilitas dan kapasitas untuk beradaptasi terus menerus yang memunkinkan konflik dikelola secara damai.

Konflik bisa berdampak negatif maupun berdampak positif. Konflik adalah interaksi dari beberapa keinginan dan tujuan yang berbeda dan berlawanan yang didalamnya perselisihan bisa diproses, akan tetapi tidak secara pasti diselesaikan. Dalam hal ini ada kebutuhan untuk bergeser menjauh dari berpikir mengenai penyelesaian konflik menjadi mengelola konflik.      


  1. KATEGORI KONFLIK
Konflik yang selama ini terjadi dapat dikategorikan sebagai berikut :
a.    Konflik yang berhubungan dengan tujuan organisasi
Yaitu fungsional suatu konflik yang sifatnya konstruktif karena mendukung tercapainya tujuan organisasi. Lawannya adalah konflik disfungsional yang mempunyai sifat destruktif karena menghambat bahkan dapat merusak tujuan organisasi. Persoalannya adalah bagaimana caranya konflik yang disfungsional menjadi fungsional?

b.    Konflik yang berhubungan dengan posisi pelaku, yang dibagi menjadi :
·         Konflik Vertikal adalah konflik “kelas” (contoh : orang kaya konflik dengan orang miskin, atau negara konflik dengan masyarakat).
·         Konflik Horisontal adalah konflik yang “sekelas” atau sederajat (contoh : konflik antar warga).
·         Konflik Diagonal adalah konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi (contoh : konflik di Aceh, yaitu tidak adilnya alokasi sumber daya ekonomi oleh pemerintah pusat).

c.    Konflik yang berhubungan dengan sifat dari pelaku, yang dibagi menjadi :
·         Konflik yang bersifat terbuka yaitu konflik yang diketahui oleh publik (contoh : konflik dalam tubuh Komnas HAM).
·         Konflik yang bersifat tertutup yaitu konflik yang diketahui oleh pihak yang terlibat saja (contoh : konflik suami – isteri).

d.     Konflik yang berhubungan dengan waktu, dibagi menjadi
·         Konflik sesaat atau spontan yaitu konflik yang dipicu oleh persoalan kesalahpahaman yang kemudian setelah dijelaskan konfliknya dapa diselesaikan.
·         Konflik berkelanjutan adalah suatu konflik yang berlangsung sangat lama dan sangat sulit untuk diselesaikan, penyelesaiannya harus melalui tahapan yang cukup rumit.

e.    Konflik yang berhubungan dengan pengendalian, dibagi menjadi :
·         Konflik terkendali, yaitu individu atau kelompok yang terlibat dengan mudah mengendalikannya.
·         Konflik tidak terkendali, yaitu para pihak yang terlibat tidak dapat dengan mudah dapat mengendalikan konflik, akibatnya konflik makin meluas dan tidak terselesaikan.
f.     Konflik  yang berhubungan dengan sistematika
·         Konflik Sistematis yaitu konflik yag mempunyai karakter direncanakan, mempunyai tujuan, terorganisir dan melakukan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT).
·         Konflik Non-Sistematis yaitu konflik yang mempunyai karakter spontanitas, tidak terorganisir dan mempunyai tujuan tertentu.

g.    Konflik yang berhubungan dengan aktivitas manusia di dalam masyarakat,
Yaitu konflik ekonomi, konflik politik, konflik budaya, konflik pertahanan, konflik antar agama)







  1. POLA-POLA KONFLIK










 





















  1. TEORI-TEORI PENYEBAB KONFLIK
Adapun teori-teori sebagai penyebab terjadinya konflik adalah ;

No
Teori
Penyebab Konflik
Upaya-upaya yang dilakukan terhadap sasaran yang Ingin Dicapai
1
Hubungan Masyarakat
a.      Polarisasi yang terus menerus
b.      Ketidakpercayaan
c.      Permusuhan antar kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat
a.      Meningkatkan komunikasi dan pengertian diantara kelompok yang bertikai
b.      Mengupayakan toleransi dalam menerima keragaman
2
Negosiasi
a.     Posisi yang tidak selaras
b.    Perbedaan pandangan tentang konflik
a.     Membantu memisahkan perasaan pribadi dengan masalah lainnya
b.    Memberdayakan untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan dan posisi yang telah ditentukan
3
Kebutuhan Manusia
Tidak terpenuhinya atau dihalanginya kebutuhan dasar manusia
a.     Membantu melakukan identifikasi kepada pihak yang sedang berkonflik
b.    Mengupayakan secara bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi
c.     Menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu
d.    Agar pihak yang berkonflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak
4
Identitas
Identitas merasa terancam yang sering berakar pada penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan
a.     Fasilitasi (lokakarya, dialog) pihak yang berkonflik untuk mengidentifikasi ancaman ketakutan yang mereka rasakan
b.    Membangun empati dan rekonsiliasi antar mereka
c.     Membangun kesepakatan bersama dengan mengakui identitas semua pihak
5
Kesepahaman Budaya
Ketidakcocokan dalam cara berkomunikasi diantar budaya yang berbeda
a.     Menambah pengetahuan budaya pihak yang berkonflik
b.    Mengurangi stereotif negatif yang mereka miliki tentang pihak lain
c.     Meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya
6
Transformasi Konflik
a.     Ketidaksetaraan sosial, ekonomi, politik
b.    Ketidakadilan sosial, ekonomi, politik
a.     Merubah struktur yang menjadi penyebab ketidaksetaraan dan ketidakadilan
b.    Mengembangkan proses pemberdayaan untuk keadilan, perdamaian dan rekonsiliasi serta pengakuan
c.     Meningkatkan hubungan dalam jangka panjang diantara pihak yang berkonflik



  1. MENGANALISIS KONFLIK

Ada tiga pendekatan bagi aktor untuk menganalisis konflik mereka, yaitu :
a.    Adversial; melihat konflik sebagai “kita lawan mereka”, kalah atau menang, semua atau tidak sama sekali.
b.    Reflektif; melihat ke dalam dan merefleksikan kepedihan dan kesakitan yang telah ditimbulkan oleh konflik dan mempertimbangkan hal terbaik untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.
c.    Integratif; melihat kepada baik diri sendiri maupun kebutuhan untuk memahami pandangan lawan


  1. PEMETAAN KONFLIK

6.1          Faktor-faktor Analisis
a.    AKTOR
Siapakah berbagai aktor, internal dan eksternal, dalam konflik ?
·         Kelompok identitas apa saja yang terlibat? Bagaimana mereka mendefinisikan diri mereka sendiri, dan apa saja ciri utama yang membentuk identitas mereka?
·         Siapakah pemimpin yang sesungguhnya dalam kelompok ini? Apakah mereka politisi, prajurit, pimpinan agama, intelektual, dan sebagainya? Tekanan apa yang mereka terima dari pendukung dan pengikut mereka?
·         Bagaimana cara kelompok identitas ini dimobilisir? Bagaimana mereka mencapai kebutuhan sebagai suatu komunitas (misalnya partai politik, kelompok paramiliter, tentara, serikat buruh, dsb)? Persekutuan apa yang mereka bentuk? Kepentingan apa yang mereka miliki (eksternal, regional, global)? Tekanan apa yang mereka terima?
·         Faksi-faksi apa saja yang ada di antara pihak-pihak ini?
·         Apakah ada pengacau (kelompok yang menentang proses perdamaian)? Ancaman sebesar apa yang mereka wakili? Apa sumber daya yang ada untuk berhadapan dengan mereka?
·         Apakah ada kelompok isu tunggal (mereka yang mewakili opini yang kuat mengenai aspek tertentu dalam konflik)? Apakah ada aktor yang secara geografis tetap internal, akan tetapi disingkirkan dari, atau menentang konflik ini (misalnya, kelompok perdamaian, kepentingan bisnis, dsb)?
·         Siapa saja aktor-aktor eksternal (pemerintah, negara, blok regional, dsb)? Kepentingan luar dan kelompok apa yang mempengaruhi konflik ini?
  
b.    ISU
Isu apa yang terlibat dalam konflik
·         Isu apa yang muncul mengenai distribusi sumber daya ekonomi, sosial dan politik?
·         Bagaimana konflik ini dalam wacana politik?
·         Apakah terjadi diskriminasi dalam proses distribusi?

c.    FAKTOR PENYEBAB
Apa kebutuhan pihak-pihak ini? Apakah ketakutan mereka?
·         Apa yang medorong masing-masing pihak? (misalnya, apakah mereka benar-benar ingin memisahkan diri, atau ini hanya ekspresi dari kebutuhan yang lebih luas akan keamanan)?
·         Apa yang mereka takutkan dalam situasi sekarang ini? Apa ketakutan masing-masing kelompok akan kelompok-kelompok yang lain?

d.    LINGKUP
Bagaimana besarnya akibat konflik, baik didalam maupun diluar daerah konflik?
·         Bagaimana lingkup konflik dalam efeknya bagi penduduk? Bagian mana yang paling menderita, dan mengapa? Apakah beberapa bagian dari negara tetap tak terjamah, dan mengapa?
·         Apa implikasi konflik bagi negara lain? Bagi aliansi regional dan gelonal?
·         Siapa yang terpengaruh oleh keberlanjutan konflik, dan siapa yang mungkin terpengaruh oleh penyelesaiannya?

e.    USAHA YANG PERNAH DILAKUKAN DALAM PENYELESAIAN
Bagaimana sejarah usaha-usaha penyelesaian konflik ini?
·         Struktur apa yang sudah dicoba? Mengapa mereka gagal? Apa kekurangannya ada hubungannya dengan siapa yang menyusun penyelesaian, atau dengan penerapannya, atau apa yang dikandungnya?
·         Adakah pola yang bisa diidentifikasikan dalam usaha ke arah penyelesaian sebelumnya?

f.     FASE DAN INTENSITAS
Apakah mungkin untuk mengidentifikasi fase-fase konflik?
·         Apakah konflik ini memiliki fase-fase yang khas, contohnya seperti percobaan-percobaan untuk membangun bentuk-bentuk pemerintahan yang khusus, pola kekerasan atau pengaruh luar?
·         Apakah intensitas konflik meningkat seiring dengan waktu?

g.    PERIMBANGAN KEKUATAN
Bagamana sifat dan besarnya perimbangan kekuatan antara pihak-pihak itu?
·         Siapa yang lebih kuat? Siapa yang lebih banyak mendapat dukungan? (persepsi pihak-pihak lain mengenai kekuatan mereka dan perkiraan mereka sendiri mengenai “perimbangan” kekuatan diantara mereka sendiri sangat penting).
·         Apakah perimbangan ini berubah seiring waktu, ataukah tetap konstan?
·         Apakah posisi dominan satu pihak berkelanjutan?
·         Apakah mungkin salah satu pihak bisa keluar sebagai pemenang dalam waktu dekat?

h.    KAPASITAS DAN SUMBER DAYA
Apa kapasitas dan sumber daya pihak-pihak yang sekarang ada?
·         Apakah sumber daya yang ada berubah dari pihak satu kepada yang lainnya sejalan dengan waktu? Apakah hal itu akan berubah sejalan dengan waktu dekat? Apakah sumber-sumber itu internal atau eksternal
·         Bagaimana situasi finansial pihak-pihak yang berbeda?
·         Apa sumber daya yang dibutuhkan untuk mengadakan negosiasi yang efektif?

i.      KEADAAN HUBUNGAN
Bagaimana sifat hubungan antara pihak-pihak yang bertikai?
·         Bagaimana sifat hubungan antara para pemimpin?
·         Bagaimana pandangan mereka satu sama lain?
·         Dari mana mereka mendapatkan informasi mengenai satu sama lain? Seberapa akurat informasi mereka?
·         Saluran komunikasi yang ada diantara kelompok-kelompok ini?
·         Bagaimanakah, kalau ada, sederajat kepercayaan yang ada?

6.2          Lensa Analisis
Ada tiga elemen yang bisa menimbulkan konflik
a.    Keadaan
Keadaan menunjuk pada posisi obyektif yang bisa menyebabkan konflik. Contoh, kalau salah satu kelompok memiliki akses terhadap sumber daya alam di suatu tempat, suatu negara dipecah dengan cara tertentu yang menguntungkan satu kelompok atau kelompok lainnya. Pada akhirnya, kelompok-kelompok yang terlibat menemukan bahwa keadaan telah menyeret mereka ke dalam konflik.
b.    Tingkah laku
Berhubungan dengan tindakan manusia. Satu kelompok bertindak secara agresif terhadap kelompok lainnya; pembunuhan pada salah satu kelompok, diskriminasi. Pada akhirnya tingkah laku keduanya akan berujung pada peperangan. Karenanya tingkah laku yang terlibat, baik aksi maupun reaksi, menghasilkan kenteks bagi sebuah konflik.
c.    Sikap
Disini, kita berbicara tentang sikap dan persepsi kelompok, khsususnya citra mereka tentang, dan sikap terhadap satu sama lain. Contoh keperrcayaan bahwa kelompok mereka lebih berharga dari pada kelompok kami, bahwa kepercayaan mereka melanggar acuan moral, atau secara umum mereka lebih berbahaya dari kita.

  1. STRATEGI DALAM MANAJEMEN KONFLIK
Berdasarkan sumber yang ditulis dalam buku “The Management Conflict Interpretations and Interests in Comparative Perspective” oleh Marc Howard Ross, manajemen konflik dapat dilakukan dengan pendekatan teori struktural dan teori psikokultural. Teori struktural memandang bahwa perbedaan kepentingan sulit untuk dijembatani sehingga diperlukan tindakan unilateral atau bantuan pihak ketiga sebagai perantara pihak-pihak yang bertikai. Dari teori ini, muncullah strategi yang dikenal sebagai strategi Self-Help dan strategi Third Party Decision Making. Sedangkan teori psikokultural memfokuskan pada proses yang bisa mengubah persepsi, atau mempengaruhi hubungan antara kedua pihak yang bertikai. Jadi teori ini memandang bahwa kepentingan-kepentingan antar pihak lebih bersifat subyektif dan dapat diubah. Dari teori ini diturunkanlah suatu strategi yang dikenal sebagai strategi Joint Problem Solving.
1. Self-Help Strategy
Strategi self-help adalah tindakan individu atau kelompok yang saling mengajukan kepentingan-kepentingan mereka dalam keadaan dimana tidak terdapat koordinasi. Metode ini seringkali dipakai ketika satu pihak menggunakan berbagai tindakan pembalasan untuk melawan pihak lain. Tindakan ini bisa menghancurkan atau bahkan merusak diri sendiri. Kadang-kadang terjadi juga tindakan unilateral dimana pihak yang kuat memaksakan kehendaknya pada pihak yang lebih lemah. Tapi strategi self-help bisa juga bermanfaat dan bersifat membangun, misalnya dalam bentuk pengunduran diri, avoidance, noncompliance, atau tindakan independen. Pada bentuk-bentuk strategi tersebut, dalam situasi dimana tidak terdapat persamaan kekuasaaan, strategi self-hep menawarkan pilihan-pilihan yang cukup penting bagi pihak yang lemah. Pihak yang lemah menilai dan mempertimbangkan pilihan-pilihan tersebut dengan melihat apakah ada kemungkinan menggunakan strategi joint-problem solving atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga untuk mengembangkan solusi yang konstruktif.
Strategi self-help jarang sekali terlihat sebagai tindakan yang konstruktif, karena seringkali hanya memandang satu-sisi yang memancing respon dari pihak yang terkena dampak dari tindakan sepihak tersebut, dan respon ini biasanya adalah respon yang negatif. Tapi tidak selalu demikian, kita juga harus melihat konteks dimana tindakan self-help tersebut diambil, dan memilah bentuk-bentuk self-help yang berbeda. Meskipun pada akhirnya self-help mungkin terlihat destruktif, namun bila strategi ini kemudian dapat digunakan sebagai langkah menuju strategi lain, atau bila ini memang merupakan suatu usaha yang bisa dilakukan oleh pihak yang lemah untuk memperkuat situasinya atau untuk mencari sekutu, biasanya pemikiran dalam penggunaan strategi ini lebih seimbang, tidak terlalu sepihak. 
a. Exit
Pada saa-saat tertentu, exit merupakan tindakan self-help yang paling efektif untuk memperkuat pihak yang lemah dalam menghadapi lawan yang kuat. Exit merupakan suatu tindakan oleh sekelompok orang yang merasa sebagai pihak yang lemah, membentuk sistem masyarakat yang lebih sederhana agar dalam sistem tersebut mereka bisa menyusun kekuatan baru untuk melakukan perlawanan. Exit selalu diikuti dengan voice (yang merupakan hasil). Semakin kecil kemungkinan melakukan exit, semakin kecil pulalah voice yang bisa dihasilkan oleh golongan masyarakat tersebut. Menurut hipotesanya yang keluar dari analisa Ross (1988) mengenai partisipasi politik dalam masyarakat pra industri, sesuai dengan data, keterlibatan masyarakat dalam politik akan menurun bila kompleksitas politik masyarakat meningkat. Karena sikap politis ini menurun, maka partisipasi yang muncul harus dikurangi agar keadaan lebih seimbang. Untuk membatasi partisipasi, ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu:
·         Meningkatkan konsentrasi kekuasaan ke lebih sedikit pihak dan lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung.
·         Menetapkan batas yang lebih tegas terhadap mobilitas individual yang ada dalam masyarakat pra industri yang lebih kompleks, dimana sumberdaya ekonomi lebih besar dan tidak terlalu mobile, lahan kurang tersedia, dan batas-batas antar kelompok lebih permanen.
b. Avoidance
Avoidance merupakan suatu tindakan tidak mengangkat isu-isu jika berhadapan dengan lawan yang kuat, atau dengan kelompok masyarakat yang memperlihatkan sikap bertentangan. Tindakan ini diambil karena pihak yang lemah merasa bahwa jika mereka bertindak, pengorbanan yang harus mereka berikan akan lebih besar daripada hasil yang mungkin diperoleh. Sehingga mereka lebih memilih tidak bertindak. Jadi keputusan mereka untuk tidak melakukan tindakan bukan karena mereka sudah merasa puas dengan situasi yang ada, melainkan karena mereka mempertimbangan kerugian dan keuntungan yang akan diperoleh. Avoidance bisa terjadi karena adanya perbedaan kekuasaan antara pihak-pihak yang berselisih. Pihak yang lebih lemah bisa melihat bahwa mereka tidak akan menang bila masalah mereka dipertandingkan dengan masalah yang dibawa oleh pihak yang lebih kuat. Selain itu, avoidance juga bisa terjadi karena masalah-masalah yang dimiliki oleh pihak yang lemah tidak cukup penting, sehingga mereka merasa tidak perlu melakukan sesuatu yang beresiko tinggi hanya untuk sesuatu yang tidak terlalu berharga untuk diperjuangkan
c. Noncompliance
Noncompliance adalah suatu kejadian dimana salah satu pihak menolak untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan oleh pihak lain. Maksudnya, bila kita tidak setuju dengan tindakan pihak lain, agar tidak menimbulkan konflik, maka kita tidak mendukung tindakan tersebut, tetapi juga tidak mengganggunya. Noncompliance seringkali berakibat tidak terlalu baik, dan kadang merugikan dalam situasi dimana tidak terdapat batas yang tegas pada kekuasaan seseorang, sehingga kekuasaan sangat terkonsentrasi di tangannya, karena sikap noncompliance ini seolah memberi jalan pada orang atau kelompok tersebut untuk leluasa melakukan apa pun yang mereka inginkan. Tetapi meskipun dalam situasi demikian, Sharp menyatakan bahwa strategi ini bisa jadi sangat efektif. Mungkin kita memang tidak bisa membuat pihak lain merubah atau membatalkan tindakannya, tapi setidaknya dengan strategi ini kita bisa membuat pihak lain harus berkorban lebih besar dari tindakan mereka. Pada kasus dimana masyarakat terbagi-bagi dalam internal komunitasnya, strategi ini dapat bermanfaat dalam menarik perhatian terhadap masalah, menggerakkan para pendukung, dan sebagai langkah pertama untuk menggunakan joint-problem solving atau stretegi pengambilan keputusan oleh pihak ketiga.
d. Tindakan Unilateral
Tindakan unilateral yaitu tindakan sepihak yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk mengambil langkah lebih jauh atas sesuatu yang dipandang sebagai kepentingannya. Biasanya, tindakan unilateral memiliki kemungkinan adanya pertempuran. Memang tidak semua tindakan unilateral bersifat keras, meskipun demikian pada tahapannya tindakan ini seringkali diakhiri dengan adanya pertempuran. Misalnya pada kasus pemindahan tanda batas wilayah oleh sekelompok masyarakat, penyelundupan persediaan air, atau peningkatan biaya penggunaan air dan jalan, pada lahiriahnya tidak terlihat sebagai tindakan anarkis, tapi tindakan-tindakan ini dapat mengundang respon yang mengarah pada pertempuran.
Keterbatasan Strategi Self-Help
Keterbatasan penting dalam strategi self-help adalah makna tindakan yang diambil seringkali bersifat ambigu. Seperti sudah dijelaskan di awal, strategi self help merupakan tindakan yang dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak lain, sehingga respon dari pihak lawan kadang tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Tindakan unilateral, meskipun sudah dilakukan dengan komunikasi yang jelas mengenai kehendak yang diinginkan oleh pihak yang melakukan tindakan unilateral tersebut, tetap bisa menimbulkan kesalahan interpretasi. Banyak kritikan baru-baru ini, didasarkan pada argumentasi bahwa tindakan yang jelas bagi satu pihak seringkali ditafsirkan dengan sangat berbeda oleh pihak lain. Keterbatasan dalam metode ini secara umum adalah, strategi self-help jarang membawa ke arah tercapainya hasil manajemen konflik yang konstruktif. Namun untuk kasus tertentu, bila terdapat kepuasan bagi mereka yang melakukan tindakan self help, atau bila strategi ini dimanfaatkan sebagai suatu langkah menuju prosedur manajemen konflik yang lain, maka strategi ini mungkin dapat memberikan kontribusi bagi terciptanya hasil yang konstruktif.
2. Joint Problem Solving
Joint problem solving merupakan strategi manajemen konflik dalam bentuk tindakan bersama antara pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan masalah mereka. Strategi ini bisa berupa tawar-menawar langsung antara kedua pihak, seperti juga dalam pengambilan keputusan melalui bantuan pihak ketiga, misalnya dengan mediasi, arbitrasi, atau negosiasi.
Ciri-ciri strategi joint problem solving ditandai dengan adanya kontrol terhadap pihak-pihak yang bertikai oleh seluruh pihak, termasuk pihak ketiga bila mereka melibatkannya. Contoh joint problem solving dapat kita lihat misalnya pada proses pengambilan keputusan ekonomi oleh dua pihak dalam kompetisi pasar, dimana pada kenyataan di lapangan komunikasi langsung sangat sedikit terjadi. Penjual menawarkan barang dan jasa, dan pembeli memilih satu dari mereka. Dalam proses tersebut, harga suatu barang akan meningkat sedangkan untuk barang lain menurun. Dari pertukaran ini dapat ditarik dua asumsi inti dari model pegambilan keputusan ekonomi:
1.    Penerimaan secara implisit akan adanya legitimasi peraturan yang mengatur transaksi
2.    Kecenderungan untuk memaksimalkan kepentingan individual, yang menguntungkan masyarakat melalui efisiensinya.
Metode-metode yang terdapat dalam strategi joint problem solving yaitu dengan cara identifikasi kepentingan, pembobotan kepentingan, bantuan dan dorongan dari pihak ketiga, komunikasi efektif, dan pembuatan kesepakatan antar kedua pihak untuk tetap menjaga perdamaian. Berikut akan dijelaskan masing-masing metode tersebut secara lebih rinci.
a. Identifikasi Kepentingan
Tidak seperti model pasar, dimana kepentingan antara pihak telah jelas, identifikasi kepentingan dalam perselisihan sosial dan politik bisa jadi sangat kompleks. Misalnya pada kasus perselisihan sederhana antara dua lingkungan yang dibatasi hak milik atau pemanfaatan lahan, serta masalah pemeliharaan jalan umum. Meskipun perselisihan yang berkembang dari isu-isu ini mungkin sudah cukup jelas, tapi sangat mungkin pula akan terjadi keluhan-keluhan tambahan, yang sebagian jelas, sebagian lagi samar-samar.
Salah satu dari rintangan serius dalam resolusi konflik adalah ketidakmampuan dari pihak-pihak yang berselisih untuk menterjemahkan keluhan-keluhan yang samar ke dalam tuntutan konkrit yang bisa dimengerti oleh pihak lain sehingga mereka bisa memberikan respon. Persepsi mengenai ancaman, penyalahgunaan, atau eksploitasi, biasanya terjadi dalam konflik kelompok, seperti misalnya dalam kelompok antar etnis. Sebelum pihak-pihak ini menterjemahkan keluhan-keluhannya ke dalam bentuk tuntutan yang lebih konkrit, peluang untuk proses yang efektif sangat rendah.
b. Pembobotan Kepentingan
Meskipun suatu kepentingan sudah teridentifikasi secara eksplisit, setiap pihak mungkin saja menyertakan berbagai nilai yang berbeda terhadap pihak lain. Pembobotan kepentingan ini bisa membantu khususnya dalam mencari solusi yang lebih terintegrasi. Misalnya pada contoh perselisihan lahan antara L dan W. Secara umum mereka kelihatannya hanya berselisih soal batas tanah, namun kemudian mereka segera menyadari bahwa perselisihan mereka juga menyangkut masalah hak atas air dari mata air pada lahan tsb. L ingin memagari lahannya yang besar karena ia berniat menggunakan tanahnya untuk peternakan. Sedangkan bagi W, keinginan L untuk memagari lahan tersebut menyangkut juga masalah akses air ke mata air di daerah yang akan dipagari oleh L, dan ini lebih menjadi fokus perhatiannya. Mengetahui apa masalah yang urgent bagi pihak yang berselisih merupakan hal penting untuk dapat mengembangkan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. 
c. Bantuan dan Dorongan Dari Pihak Ketiga
Proses agar solusi dapat diterima tidaklah mudah, bahkan bisa jadi sangat-sangat kompleks. Contohnya negosiasi mengenai pertanyaan-pertanyaan seputar Hukum Laut, yang terjadi lebih dari satu dekade terakhir ini, merupakan masalah yang multi pihak dan multi isu. Pada situasi lain, misalnya perselisihan klasik dalam masyarakat, bisa jadi isu-isu yang ada kelihatannya sederhana, padahal sebenarnya sangat rumit, karena seluruh usaha-usaha untuk mencapai solusi terhalang.
Pihak-pihak dalam konflik seringkali membutuhkan bantuan dari pihak ketiga, yang bisa memberikan latar dimana para pihak yang berselisih dapat bertemu, dan latar tersebut sesuai dengan persetujuan dan permintaan kedua pihak. Pihak ketiga ini diharapkan dapat memicu timbulnya komunikasi (kadang-kadang berperan sebagai utusan yang menyampaikan pesan antara pihak-pihak yang berselisih), membuat usulan prosedur, menterjemahkan keluhan-keluhan ke dalam pernyataan konkrit, membantu pihak-pihak yang berselisih mendefinisikan masalah mereka, menyusun agenda, membuat saran-saran terhadap isu-isu substantif, dan memberikan alternatif solusi yang integratif.
Meskipun solusi yang integratif diusahakan dan dibuat oleh pihak ketiga, namun kekuasaan untuk menolak dan menerima hasilnya diserahkan pada pihak yang berselisih. Sebagai konsekuensinya, pihak ketiga hendaknya hanya melakukan intervensi seperlunya saja, tidak lebih, dan secepat mungkin segera menarik diri. Kapan dan bilamana mereka harus menarik diri sebagian besar tergantung oleh komunikasi alamiah antar pihak yang berselisih, dan tingkat kepercayaan dan empati yang mereka bangun satu sama lain. Sasaran dari pihak ketiga tidak sesederhana hanya mencari solusi yang bisa diterapkan, tetapi mereka juga harus memikirkan cara untuk menerapkan solusi itu, supaya pihak yang berselisih merasa solusi tersebut untuk mereka, bukan untuk pihak ketiga.
d. Komunikasi Efektif
Pihak yang berselisih tidak secara langsung berbicara kepada pihak lawan untuk mencari solusi, tapi mereka harus berkomunikasi secara efektif. Sebagai contoh, pejabat pemerintahan Iran dan Uni Sovyet tidak pernah berdiskusi secara langsung. Tapi Aljazair berbicara pada kedua pihak ini, menyampaikan pesan-pesan penting untuk mencapai persetujuan yang konstruktif. Pada mulanya, Amerika tidak begitu jelas mengenai tuntutan yang diberikan oleh Iran, karena tuntutan mereka terlalu umum, sehingga Amerika tidak tahu tindakan apa yang harus diambil agar mereka bisa mendapat respon dari Iran. Demikian pula Iran tidak mengerti apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Amerika untuk membebaskan tentara-tentara mereka yang ditawan oleh Iran. Dalam peperangan yang berlangsung salama 14 bulan, setelah tercapai komunikasi yang efektif, hanya dalam waktu 6 minggu saja mereka berhasil mencapai solusi yang integratif, setelah Iran mengetahui bahwa Amerika menawarkan sebagian aset negaranya sebagai pengganti pembebasan tawanan perang mereka.
Komunikasi yang efektif meliputi pertukaran informasi yang diperlukan oleh pihak yang bersengketa untuk bisa menghasilkan solusi yang integratif. Komunikasi efektif memiliki elemen lain yang juga cukup penting, yaitu pertukaran informasi mengenai hal-hal yang mungkin pada awalnya tidak terlalu relevan dengan masalah yang diperselisihkan, namun memiliki kontribusi terhadap keputusan yang integratif.
e. Percayaan Bahwa Pihak Lawan Akan Memelihara Kesepakatan
Pihak-pihak yang berselisih tidak harus menyukai satu sama lain, tapi mereka harus percaya bahwa penyelesaian yang terpelihara dapat ditegakkan untuk mereka. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan struktur pinalti yang harus dibayar bila salah satu pihak melanggar persetujuan. Pendekatan kedua yaitu dengan menciptakan situasi dimana hubungan saling menguntungkan untuk melanjutkan kerjasama cukup tinggi, sehingga kedua pihak tidak terpikir dan tidak merasa perlu untuk melanggar persetujuan. Hal ini sering disebut juga dengan “komitmen kerjasama”. Artinya, pihak yang berseteru, siap mendukung, menegakkan prosedur, dan mendirikan lembaga, memberikan obligasi bagi pihak ketiga, dan tekanan situasi mungkin dapat menarik satu pihak agar terikat pada hubungan kerjasama. Pada dasarnya hal ini sangatlah sulit. Meskipun terdapat perasaan emosional terhadap pihak lain, atau dirasakan adanya kebutuhan dari hubungan tersebut, belum menjamin kesinambungan bisa berlangsung.  
3. Third Party Decision Making
Strategi pengambilan keputusan oleh pihak ketiga terjadi pada saat pihak ketiga, sebagai perwakilan dari komunitas yang lebih besar, membuat keputusan yang mengikat perselisihan, dengan mengacu ke norma yang dianut bersama. Pada strategi ini, kontrol terhadap pelaksanaan hasil keputusan tidak lagi diserahkan kepada pihak yang berselisih. Bahkan mungkin sebagian besar pihak ketiga yang mengambil keputusan berperan sebagai pengatur, membuat aturan-aturan yang tegas untuk membuat keputusan-keputusan yang pasti. Literatur mengenai manajemen konflik dengan metode third party decision party ini lebih banyak memperhatikan tentang adjudikasi sebagai bagian dari proses legal. Di sini pihak-pihak yang bertikai, baik individu, grup, atau kelompok masyarakat, membawa perselisihan mereka ke pihak ketiga yang akan menetapkan keputusan yang mengikat (pengadilan).
Tentu saja, pelaksanaanya tidak semudah itu. Untuk satu hal, mungkin mudah saja untuk membawa kasus ke pengadilan, mengambil langkah permulaan untuk bisa memprovokasi tindakan unilateral, atau mendukung terciptanya joint problem solving. Pada kenyataannya, di Amerika Serikat dan juga di negara lain, hanya sebagian kecil terjadi kasus penduduk yang membawa masalahnya ke pengadilan.
Untuk beberapa alasan, mungkin saja pihak ketiga merupakan pihak yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik, karena biasanya mereka memiliki pengetahuan atau keahlian khusus. Namun apabila kemampuan pihak ketiga sendiri kurang dapat diandalkan, atau mungkin mereka memiliki kepentingan politis tersendiri dalam melakukan intervensi tersebut, solusi masalah yang integratif atau manajemen konflik yang konstruktif tetap akan sulit dicapai.

Kelemahan-Kelemahan Strategi Manajemen Konflik
  • Strategi self-help menekankan pada kepentingan tiap pihak, tapi hampir mengabaikan kepentingan gabungan (joint interest). Mereka memperhatikan peranan interpretasi subyektif dari suatu tindakan hanya karena hal ini memiliki sedikit relevansi dengan perilaku yang dimotivasi kepentingan.
§  Joint problem solving seringkali gagal, khususnya bila yang terlibat adalah komunitas yang besar, karena kurang melihat peranan yang esensial pada perbedaan kepentingan yang terdapat dalam konflik, dan terlalu menekankan pada pentingnya menciptakan persepsi intergrup antara pihak-pihak yang berselisih melalui kontak antar personal.
§  Pengambilan keputusan oleh pihak ketiga kadang kurang tepat karena kegagalannya dalam menempatkan kenyataan psikokultural atau mungkin metode ini memberikan solusi pada pihak yang berselisih tanpa memperhatikan hal mendasar dari konflik itu sendiri.
 CRITICAL REVIEW
Tiga strategi dalam manajemen konflik yang telah diuraikan di atas seluruhnya menggambarkan teori sosialkultural dan psikokultural konflik dengan cara yang berbeda dan selektif. Menganalisa hubungan antar ketiga konflik tersebut secara eksplisit dapat membantu kita untuk memahami asumsi-asumsi yang digunakan dalam masing-masing metode, dan memahami bagaimana metode-metode ini mamandang penyebab-penyebab konflik sebagai sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan.
SELF-HELP
Metode self-help menekankan bahwa persaingan kepentingan merupakan pembentuk utama dari tindakan yang diambil. Metode ini menyatakan bahwa kelompok atau individu yang tidak mempertahankan kepentingannya akan menderita. Kesuksesan metode ini tergantung dari pemikiran strategis dan maksimasi sumberdaya. Pilihan-pilihan tindakan unilateral, exit, noncompliance, dan avoidance, didasarkan kepada kerugian dan keuntungan yang diperoleh pada waktu tertentu. Perspektif semacam ini akan mengakibatkan timbulnya pandangan yang sempit atau fix oleh salah satu pihak terhadap kenyataan, karena mereka terlalu terpaku pada kepentingan pribadi. Selain itu, dengan membiarkan pihak lain mewujudkan kepentingannya, akan menyebabkan lawan semakin merajalela, karena tidak ada kontrol yang menghalangi mereka dalam melaksanakan kepentingannya. Hubungan antar pihak pun bersifat antagonis.
Bila kita menganalisa lebih lanjut mengenai strategi self-help ini, maka kita bisa melihat bahwa self-help merupakan strategi manajemen konflik yang sebenarnya hanya meredam konflik. Hal ini berdasarkan ciri-ciri self help sebagai berikut :
·         Self help biasanya terjadi pada kondisi dimana terdapat ketidaksetaraan dalam kekuasaan. Oleh sebab itu strategi ini dipilih oleh pihak yang lemah karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan menang menghadapi pihak lawan apabila mereka menggunakan cara-cara seperti join interest.
·         Self-help merupakan tindakan yang dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak lain. Dengan kata lain tindakan ini mengabaikan pertentangan yang ada antara kedua pihak, sehingga tetap ada potensi untuk timbulnya konflik apabila perbedaan ini di lain waktu memberikan pengaruh negatif bagi salah satu pihak.
Jadi dalam strategi self-help, perbedaan kepentingan tetap ada, hanya saja konflik dicegah dengan membuat pihak-pihak yang berbeda kepentingan tersebut tidak saling berperang. Dengan kata lain strategi self-help tidak mensolusikan perbedaan kepentingan itu sendiri. Karena hanya meredam konflik, self help hanya bersifat sementara, dalam arti hanya berlaku pada saat inequality power tetap ada. Bila terjadi sesuatu yang mengubah bentuk kekuasaan, ada kemungkinan untuk timbulnya konflik yang lebih besar.
JOINT PROBLEM SOLVING
Joint problem solving, sebaliknya dari metode self-help, menekankan pada peranan persepsi dan interpretasi yang menciptakan konflik, dan kebutuhan untuk mengganti elemen subyektif ini dalam rangka menciptakan suasana dimana pemecahan masalah yang integratif dapat terjadi. Metode ini tidak menyangkal adanya perbedaan-perbedaan kepentingan, akan tetapi pendekatan joint problem solving biasanya lebih mendorong pihak yang berselisih untuk tidak terlalu mementingkan diri sendiri. Mereka harus bisa memandang kedudukan mereka dalam konflik yang lebih mendasar, atau memandang mereka sebagai korban perselisihan sama halnya dengan memandang mereka sebagai penyebab perselisihan tersebut. Untuk mencari solusi terhadap perbedaan kepentingan, pemisahan kepentingan dari tiap pihak dapat dilakukan. Namun untuk ke depannya, dalam usaha mewujudkan keharmonisan untuk hidup bersama, mereka harus memberikan penekanan yang lebih besar pada hal-hal tadi. Sehingga, kepentingan akan terlihat sebagai sesuatu yang fleksibel, penyelesaian kepentingan akan tergantung pada bagaimana pihak-pihak tersebut memandang satu sama lain. Jika persepsi yang antagonis dapat dihilangkan, mungkin selanjutnya dapat diikuti pula dengan menjembatani perbedaan kepentingan yang ada, sehingga pada akhirnya akan dihasilkan solusi yang integratif.
THIRD PARTY DECISION MAKING
Pengambilan keputusan oleh pihak ketiga dijalankan dengan asumsi bahwa perbedaan kepentingan adalah sesuatu yang nyata. Metode ini memandang bahwa perbedaan kepentingan kurang fleksibel daripada yang dinyatakan dalam joint problem solving. Dan strategi ini menganggap bahwa strategi self help terlalu sederhana mengatasi perbedaan tersebut tanpa berusaha mensolusikannya. Metode ini tidak terlalu memperhatikan pada bagaimana para pihak yang berselisih memandang satu sama lain seperti dalam metode joint problem solving, karena pihak luar, sebagai wakil dari masyarakat yang lebih luas dan dapat diterima keberadaannya oleh kedua pihak, memberikan keputusan terhadap keluhan pihak-pihak yang bertikai, dan memberikan semacam peradilan dengan kekuasaan. Metode ini lebih memfokuskan pada perilaku masa lalu daripada tindakan masa depan, meskipun kadang-kadang hal ini dilakukan juga. Dan metode ini terutama lebih diarahkan pada perbedaan substantif antar berbagai pihak daripada elemen subyektif konflik.
Kesimpulan
Pembahasan dalam tulisan ini menggambarkan bahwa strategi-strategi manajemen konflik self-help, joint problem solving, dan third party decision making, menempatkan faktor struktural dan psikokultural sebagai penyebab perselisihan, dengan cara yang berbeda. Dalam hal ini, mungkin bisa ditarik kesimpulan bahwa agar manajemen konflik bisa efektif, semestinya tidak hanya memandang baik kepentingan-kepentingan aktual dari pihak-pihak yang berselisih, tetapi juga interpretasi psikokultural dari pihak-pihak tersebut. Dengan cara ini solusi yang dapat diterima oleh semua pihak lebih mungkin dicapai.

No comments:

Post a Comment

Silahkan isi komentar Anda disini