Wednesday, December 22, 2010

SUATU PAGI DI CIANGSANA

 

 
SUATU PAGI DI CIANGSANA
Nurzahara Amalia



Idul adha, merupakan hari istimewa bagi umat muslim. Hari kemenangan tersebut selayaknya dijadikan sebagai refleksi bagi setiap insan untuk meningkatkan iman taqwa dan melakukan perubahan sikap ke arah yang lebih baik. Ternyata titah ini tidak disadari oleh semua orang. Sehingga hari kemenangan umat islam hanya sebagai formalitas sesaat. Setelahnya, maksiat kembali diperbuat.

Di suatu pagi yang masih gulita, dua hari pasca Idul Adha, Jum’at (19/11) sekira pukul 04.00 WIB, warga Ciangsana, Kecamatan Bojong Kulur, Kabupaten Bogor dikagetkan atas penemuan mayat yang tergeletak di depan sekolah Bina Pendidikan, Ciangsana.

Cucuran darah kental mengalir deras dari setiap bekas bacokan golok dari si pelaku. Sekujur badan penuh luka sayatan. Mata sebelah kanan korban hilang dan isi kepala tumpah berserakan. Tragis! Siapapun yang melihat mungkin akan mual bahkan tidak berani melihatnya. Di samping korban, motor bernomor polisi F 2546 F6 tergeletak utuh.

Menurut saksi mata Supiadi (28) yang pertama kali menemukan mayat tersebut menyataan, pada pagi buta itu dia hendak berangkat ke Bandung untuk suatu urusan. Dia terkejut bukan kepalang setelah melihat sosok mayat korban mutilasi tersebut. Reflek dia teriak meminta bantuan warga. Tidak butuh waktu lama, warga yang dikagetkan teriakan Supiadi berhamburan menghampirinya. Saya termasuk dalam kerumunan tersebut. Kaget setengah mati saat saya mendengar ada mayat di lokasi yang tidak jauh dari tempat saya tinggal. Meski mata masih bersahabat dengan mimpi, saya paksakan untuk melek karena turut menjadi bagian yang dikagetkan oleh teriakan Supiadi.

“Saya akan menuju gang dewa untuk menunggu taksi, saat saya sedang jalan, melihat motor tergeletak di pinggir jalan. Saya kira ada kecelakaan motor, ternyata setelah di dekati ada mayat,” ujar Supiadi.

“Saya kaget dan bingung apa yang harus saya lakukan, sementara saat itu di jalan tersebut masih sepi. Akhirnya saya teriak minta tolong,” lanjut pria warga Ciangsana ini.


Warga histeris melihat peristiwa sadis tersebut. Seseorang diantara kerumunan itu menelpon polisi dari Polsek Ciangsana. Lima belas menit kemudian polisi tiba di lokasi tempat kejadian perkara (TKP). Garis kuning polisi pun melingkar di wilayah tersebut. Selang tiga puluh menit sebuah ambulan datang dan membawa korban ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bekasi untuk diotopsi.

Meski pun korban sudah dilarikan ke rumah sakit, warga masih berada tetap di lokasi kejadian. Melihat-lihat sekeliling lokasi yang menjadi tempat akhir menutup mata si korban. Tidak ada bagian tubuh, misalnya mata korban yang hilang di lokasi tersebut. Warga pun asik menduga-duga kejadian. Ada yang mengatakan ini adalah benar-benar ingin memutilasi korban atas dasar dendam, ada yang mengatakan mengincar motor, Di antara warga Ciangsana, tidak ada yang mengenal korban.

Menurut Kepala Polsek Ciangsana, Budianto mengatakan, kejadian tersebut diduga pelaku berjumlah dua orang yang ingin mengambil motor korban. Setelah menemukan tempat yang tepat, yaitu sepi dari keramaian, pelaku melakukan aksi mutilasi. Namun karena terburu-buru pelaku sampai tidak berhasil membawa lari motor korban.

“Diduga pelaku sudah mengincar korban dari jarak jauh, setelah menghabisi nyawa korban, mungkin karena pelaku buru-buru karena sudah pagi, setelah menghabisi nyawa korban, pelaku tidak sempat mengambil motor korban,” papar Budianto di TKP.

“Untuk saat ini, kami akan melakukan tindakan otopsi korban di RSUD, dan kami sudah mengarahkan anggota Polsek untuk mencari tahu siapa pelaku yang membunuh korban dan mencari tahu keluarga korban,” terang Budianto.

Hingga pagi, sekira pukul 07. 00 WIB, lokasi tersebut masih dikerumuni warga. Kali ini bukan hanya warga Ciangsana, warga lain yang kebetulan melewati lokasi tersebut sengaja berhenti dan mencari tahu apa yang terjadi di lokasi tersebut. Wajar saja warga penasaran, di dalam batas garis kuning polisi darah segar masih membekas di lokasi itu. Dugaan demi dugaan pun terlontar dari warga yang melihat. Sebagian warga menutup hidungnya dengan tisu, masker, atau baju, bau anyir darah menyengat di lokasi itu. Sesekali warga bergidik melihat darah segar itu. Ngeri. Meski demikian, tetap saja warga penasaran untuk melihat.

Peristiwa tersebut langsung geger dan merembet sehingga menjadi hot topic warga Ciangsana khususnya, juga warga Kabupaten Bogor.

Banyaknya warga yang mendatangi TKP mengakibatkan kemacetan sepanjang 2 kilometer. Aktivitas sekolah di Bina Pendidikan dan SMP 3 Gunung Putri yang berdekatan dengan lokasi kejadian tersebut menjadi terhambat. Siswa dan guru dating terlambat sehingga pembelajaran pun yang biasanya dimulai pukul 07.00 WIB menjadi pukul 07. 30 WIB.

Aisyia Tazkiya (13), siswi kelas VIII SMP 3 Gunung Putri pun termasuk siswi yang terlambat masuk kelas.

“Pas aku mau ke sekolah, di jalan mau ke sekolah tuh macet banget. Aku jadi penasaran. Ya udah deh turun dan jalan kaki ke sekolahnya. Temen-temen aku juga pada jalan kaki,” ujar Tasya. “Terus sebelum masuk gang sekolah ternyata banyak banget orang-orang kumpul, tahunya ada kecelakaan, katanya ada yang dimutilasi. Ya udah aku jadi telat masuk,” lanjut siswi warga Bumi Mutiara ini.

Lokasi yang menjadi topik utama pada hari itu pun mulai sepi pada pukul 08.00 WIB dengan menyimpan tanda tanya besar di benak warga. Demikian dengan saya. Karena motif kejadian tersebut belum juga jelas dan pasti. Identitas korban pun belum juga diketahui.

Sabtu (20/11), pukul 10.00 WIB saya hendak pergi ke Matraman untuk mengikuti launching sebuah buku yang baru terbit, buku berjudul Gilalova#2 yang diterbitkan Gong Publishing. Saat menunggui angkutan kota, sesosok ibu paruh baya tergopoh-gopoh dengan kecemasan yang terpancar jelas mendatangi lokasi yang heboh pada kemarin pagi.

Dia menangis histeris, menjerit menyebut-yebut sebuah nama; Anto. Rasa penasaran atas apa yang saya lihat muncul. Saya mendekati wanita paruh baya itu. Sontak warga yang melihatnya pun mendekati dia. Garis kuning polisi masih terpasang, kini darah tak lagi merah, melainkan hitam pekat menyatu dengan tanah. Kering.

“Kenapa bu, kenapa?” Tanya seorang bapak pada wanita itu. Ibu itu masih histeris. Seseorang lain, wanita lebih muda yang melihatnya menenangkan ibu itu dengan memberi segelas air.

“Ibu tahu siapa yang menjadi korban mutilasi di sini? Tanya wanita pemilik nama Rini itu sambil menenangkan.

“Dia sepupu saya, Anto,” ibu itu masih terisak.

“Kalau gitu, ibu ke rumah sakit saja, kata polisi korban diotopsi di RSUD,” saran Rini.

Tanpa pikir panjang ibu itu mencari angkot jurusan RSUD. Saya satu angkot dengannya. Di perjalanan, ibu itu masih terisak dengan penuh kepanikan.

“Jadi ibu baru tahu kalau sepupu ibu meninggal?” saya memberanikan diri bertanya.

“Saya baru tahu tadi pagi, teman si Anto bilang nemuin motor si Anto di kantor polisi dia bilang sepupu saya meninggal dimutilasi,” jawabnya dengan terbata-bata.

Anto adalah sepupu wanita pemilik nama Sumiyati. Orangtuanya menitipkan Anto untuk tingal bersamanya di Ciangsana. Keluarga Anto tinggal di Jawa. Sudah lima bulan Anto tinggal bersama Sumiyati di Cileungsi. Menurut Sumiyati, Anto memang tidak pulang ke rumah sehari setelah lebaran.

“Dia bilang mau main ke tempat temannya, saya nggak tahu kemana, dia juga pergi buru-buru,” paparnya.

Selama ini, menurut Sumiyati, Anto adalah anak baik dan tidak banyak bicara. Dia pun tidak pernah mendengar bahwa Anto memiliki musuh. Anto adalah anak yang ramah. Selama tinggal bersamanya, Anto memang masih berstatus pengangguran.

“Ya paling kalau ada orang yang nyuruh-nyuruh dia kerjain, kalau nggak ada yang nyuruh ya dia nganggur. Dia datang kesini juga buat nyari kerja, tapi sampai sekarang dia belum aja dapet kerjaan yang tetap,” Sumiyati masih terisak.

Anto hanya lulusan SMA. Kata Sumiyati, usianya masih 20 tahun. Keluarganya memang dari kalangan yang tingkat ekonominya rendah. Anto anak pertama di keluarganya dan memiliki

dua adik yang masih kecil. Adik pertamanya kelas 3 SMP, dan adik bungsunya masih kelas 5 SD. Untuk itu kedua orangtuanya menyuruh Anto mencari kerja di daerah lain. Sumiyati masih bersahabat dengan air mata gundahnya.

Di dalam pikirannya masih berkecamuk segala tentang Anto. Dia merasa bersalah karena tidak bisa bertanggung jawab atas amanat yang diberikan orang tua Anto kepadanya.

“Bagaimana saya harus bilang ini kepada orang tua Anto di Jawa, dia satu-satunya anak tumpuan orang tuanya,” tangisan Sumiyati menjadi bahan perhatian seisi angkot yang kami tumpangi.

Tanpa menanyakan langsung kepada Sumiyati, para penumpang tahu mengapa Sumiyati menangis histeris. Karena sebagian penumpang mengetahui kejadian kemarin pagi di depan sekolah Bina Pendidikan.

“Saya juga nggak menyangka jalan hidup sepupu saya bakal jadi gini. Baru aja kemarin lebaran, kok ada aja ya orang yang tega membunuh,” Sumiyati sedikit lebih tenang.

Ya, memang. Lebaran atau hari kemenangan yang semestinya mensucikan diri, namun bagi sebagian masyarakat hanya dijadikan sebatas tradisi maaf-maafan, setelah itu bermaksiat, lalu maaf-maafan lagi, dan terus seperti itu. Ironis! Mungkinkah karena tuntutan ekonomi yang rendah sehingga membutakan mata menggelapkan hati untuk melakukan dan menghalalkan segala cara. Idul adha, hanya kambing, sapi atau kerbau saja yang halal dimutilasi, tapi bagi pelaku yang masih buron, Idul Adha berlaku untu memutilasi manusia. 
 
 

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi