Wednesday, December 22, 2010

PERAN SERTA DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN INDONESIA DALAM PARTAI POLITIK DAN LEGILATIF 1999-2001

 


PERAN SERTA DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN INDONESIA DALAM PARTAI POLITIK DAN LEGILATIF 1999-2001
 

Oleh
ANI ROSTIANI
072638

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
SERANG
2008


I. Pengantar
Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional, yang sekaligus merupakan peringatan atas penegakan hak-hak sipil dan politik perempuan, CETRO, Kaukus Perempuan Politik Indonesia, dan Kaukus Parlemen Indonesia bekerjasama dalam menyusun evaluasi dan laporan perkembangan keterwakilan perempuan Indonesia dalam partai politik dan lembaga legislatif. Evaluasi ini menjadi sebuah catatan kritis terhadap komitmen bangsa Indonesia dalam penegakan demokrasi dimana perempuan yang memiliki jumlah mayoritas harus berperan signifikan di dalamnya. Beberapa hal penting berkaitan dengan keterwakilan politik perempuan yang menjadi laporan adalah: evaluasi Pemilu 1999, evaluasi partai politik, dan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif. Selain memberikan catatan kritis, laporan ini juga akan memaparkan beberapa perkembangan positif dan rekomendasi bagi peningkatan keterwakilan perempuan di Indonesia. Pemaparan berikut merupakan bentuk executive summary dari laporan utuh yang akan dipublikasikan tanggal 15 Maret 2002 mendatang. Bentuk executive summary ini akan lebih memudahkan dalam pembacaan dan pemahaman data dan fakta yang berhasil dikumpulkan.

II. Evaluasi Pemilu 1999
Pemilih Perempuan
Angka pemilih perempuan pada Pemilu 1999 diperkirakan sejumlah 57% dari seluruh pemilih, namun demikian tidak ditemukan data yang lengkap dan menyeluruh yang dapat memberi informasi mengenai jumlah dan latar belakang perempuan menjadi pemilih pada Pemilihan Umum (Pemilu 1999).
v Pencalonan Perempuan sebagai Anggota Legislatif
Dari hasil studi kualitatif yang dilakukan oleh Divisi Peremp uan dan Pemilu CETRO (2001), ternyata seringkali terjadi pelanggaran dalam menetapkan calon tetap anggota legislatif oleh elit-elit partai politik yang diskriminatif terhadap perempuan. Kasus yang umumnya terjadi adalah , perempuan yang daerah pemilihannya sudah memenangkan suara pada Pemilu lalu harus mengalah pada keputusan Partai politik yang menempatkan orang lain (lakilaki) sebagai calon tetap anggota legislatif.
v Perwakilan Perempuan
Tingkat keterwakilan perempuan baik sebagai anggota partai politik maupun anggota parlemen (DPR) serta institusi formal politik lainnya di tingkat pusat maupun daerah belum memberikan harapan yang baik bagi keterwakilan perempuan di dalam politik formal Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam tabel berikut :

III. Tingkat Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif
A. Keterwakilan Perempuan di DPR RI

Sumber: Sekretariat DPR, 2001. Diolah kembali oleh Divisi Perempuan dan Pemilu
CETRO.
 Data pada tabel 2 menunjukkan tingkat representasi perempuan Indonesia pada saat ini hanya 9% dari total jumlah wakil rakyat di DPR-RI. Tingkat keterwakilan ini adalah yang terendah sejak pemilu tahun 1987.
v Penurunan keterwakilan perempuan dalam arena politik formal, dimana kebijakan nasional yang akan mempengaruhi kehidupan seluruh bangsa ini ditentukan, terjadi secara bertahap dalam tiga pemilu terakhir. Tabel di atas memperlihatkan tahapan penurunan tersebut: dari 13% pada pemilu 1987 menjadi 12,5% pada pemilu 1992, turun lagi menjadi 10,8% dalam pemilu 1997, dan akhirnya hanya mencapai 9% pada pemilu 1999. Dengan tingkat keterwakilan ini maka Indonesia ada pada peringkat 83 dalam hal Keterwakilan Perempuan di Legislatif menurut IPU. (Maret 2002).

Penyebaran anggota perempuan di dewan dalam komisi-komisi masih merefleksikan pola pembagian kerja tradisional antara laki-laki dan perempuan:
- Prosentase anggota perempuan terbesar terdapat di Komisi VII (yang antara lain membahas masalah kesejahteraan rakyat, termasuk pemberdayaan perempuan).
- Prosentase dan jumlah perempuan terbesar kedua ada pada Komisi VI yang membidangi agama, pendidikan dan kebudayaan
v Di Komisi-komisi lain prosentase dan jumlah anggota perempuan sangat jauh dari memadai (rata-rata di bawah 10%). Dalam Komisi dengan jumlah anggota terbesarnya,jumlah perempuan paling kecil, tetapi dalam komisi yang jumlah anggotanya paling kecil wakil perempuannya paling besar. Pada Komisi II, yang jumlah anggotanya terbesar di antara semua komisi, jumlah anggota perempuannya bahkan paling sedikit. Minimnya jumlah perempuan pada komisi ini bisa disebabkan karena :
1. bidang ini membahas masalah-masalah politik, yang sering dianggap bukan bidang perempuan.
2. jadwal kegiatan yang sangat padat dan seringkali menuntut pembahasan hingga dini hari sehingga. Jadwal sedemikian memperkecil kesempatan perempuan untuk dapat aktif mengikuti seluruh kegiatan komisi (wawancara dengan beberapa anggota parlemen perempuan, 2001).


3. Jumlah anggota perempuan yang terbesar berasal dari fraksi FPDIP dan Golkar, dua partai yang memperoleh suara terbesar pada pemilu 1999. Tetapi dilihat dari tingkat prosentasenya maka FPDKB mempunyai tingkat prosentase wakil perempuan yang tertinggi (20% dari seluruh anggota FPDKB). Semua fraksi yang memiliki lebih dari satu anggota perempuan mempunyai wakil perempuan pada Komisi VII. FPBB dan FPDKB yang hanya memiliki satu anggota perempuan menempatkan mereka di komisi II dan IV. FPDIP yang mempunyai anggota perempuan terbesar atau FTNI/POLRI sebagai fraksi yang secara khusus berkepentingan dalam bidang HANKAM tidak memiliki wakil perempuan di Komisi yang membidangi HANKAM, cuma FPDKB yang hanya mempunyai satu anggota perempuan meletakkan anggota ini pada Komisi tersebut.
v Golkar menempatkan anggota perempuannya hampir merata di semua Komisi, kecuali komisi IX. PDIP sebagai partai mayoritas dengan jumlah anggota perempuan terbesar di DPR tidak memiliki wakil perempuan di setiap komisi. Tidak ada perempuan yang duduk di level kepemimpinan pada lembaga tersebut. Pada level komisi Golkar, PPP, dan PDKB mempunyai wakil perempuan pada posisi Ketua dan Wakil Ketua Komisi.
v Catatan: menurut informasi penempatan anggota perempuan dalam komisikomisi di DPR umumnya ditentukan oleh pimpinan fraksi masing-masing. Kebanyakan anggota parlemen perempuan ini tidak memilih sendiri komisi yang dianggap sesuai dengan kompetensinya. Kecenderungan yang sama juga terlihat dari keanggotaan di dalam Panitia AdHoc (PAH) ataupun Badan Pekerja di MPR.
v Pada saat ini di dalam PAH I, yang membahas tentang amandemen UUD, hanya
terdapat 1 orang (2%) pe empuan dari 46 anggota. Sebelum ini terdapat 2 anggota perempuan, satu mengundurkan diri. PAH I.
v Dalam PAH II keterwakilan perempuan lebih tinggi daripada di PAH I, berjumlah
orang (17,3%) perempuan dari 52 anggota.
v Dengan tingkat keterwakilan yang sedemikian ini dapat dipastikan bahwa suara perempuan yang merepresentasikan nilai, aspirasi, kepentingan, dan prioritas lebih dari separuh warganegara di negeri ini tidak akan mewarnai perubahan konstitusi yang dihasilkan.

B. Produk Perundang-undangan yang Relevan dengan Isu Gender yang
Telah dan Akan Dihasilkan
Minimnya angka keterwakilan perempuan ini pasti mempunyai pengaruh terhadap produk kerja lembaga ini, dan ini tercermin dari berbagai kebijakan yang telah atau akan ditetapkan oleh DPR. Memasuki tahun ketiga masa kerjanya DPR, sejak disahkannya pada tahun 1999, DPR telah menghasilkan 56 UU. Beberapa RUU yang isunya mengenai perempuan yang telah atau akan dihasilkan tercatat sebagai berikut:
v Hanya ada satu (1) produk perundang-undangan yang telah dihasilkan yang isinya secara eksplisit menyangkut dan mengatur persoalan perempuan, yaitu, pengesahan Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Kerja Anak.
v Ada dua RUU yang isinya secara langsung berkaitan dengan isu perempuan, yaitu: RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan RUU Pencegahan dan Perlindungan terhadap Perdagangan anak dan perempuan. Hingga saat ini belum ditentukan waktu pembahasannya.
v RUU lain yang mempunyai klausul-klausul khusus tentang perempuan diantaranya adalah: RUU Propenas, RUU Kepolisian RI (keduanya telah ditetapkan sebagai UU) RUU Tenaga Kerja, RUU Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan RUU Politik, semuanya belum dibahas.


IV. Evaluasi Partai Politik
A. Landasan Legal Formal Partai
Dari seluruh partai politik di Indonesia tidak ada satupun yang mencantumkan ketentuan tentang hak dan kesempatan untuk perempuan dalam aturan dasarnya (AD/AT). Dalam hal keanggotaan, kebanyakan partai politik mencantumkan kriteria yang sangat umum misalnya WNI, telah berusia 17 tahun atau sudah menikah, bisa membaca dan menulis, bersedia aktif mengikuti kegiatan partai, memenuhi dan tunduk pada AD/ART partai dan aturan serta kebijakan politik partai. Begitu juga dalam pasal-pasal yang mengatur pengambilan keputusan, kepengurusan, dan lain-lain, tidak ada yang secara spesifik menyebutkan aturan tentang hak dan kesempatan
perempuan. Satu-satunya poin tentang perempuan yang disebutkan dalam AD/ART partai-partai besar ini adalah aturan yang mengatur tentang Usaha oleh PAN (Bab IV AD PAN), yakni pasal 14 yang menyebutkan sebagai berikut: “Mengusahakan persamaan hak perempuan secara proporsional sebagai insan yang harus dihormati dengan memberikan kesempatan yang sama di mata hukum, sosial, ekonomi dan politik”.

Tidak dicantumkannya hak dan kesempatan bagi perempuan secara eksplisit dalam berbagai aturan pokok partai-partai tersebut menjadi salah satu alasan yang memungkinkan keterpinggiran peran perempuan dalam partai.

B. Pandangan dan Kebijakan Partai politik terhadap Peran Politik
Perempuan
· Hampir seluruh partai politik yang mengikuti pemilu 1999 menyatakan tidak setuju terhadap pemberlakuan kuota (Almanak Partai Politik Indonesia, Yayasan API, 1999). Umumnya partai-partai secara halus maupun tegas menentang diberlakukannya kebijakan kuota bagi perempuan. Sedikit sekali dari partai-partai tersebut yang setuju diberlakukannya kuota bagi perempuan, sementara sebagian kecil lainnya bahkan tidak menunjukkan sikapnya sama sekali.

Sumber: API, 1999. Diolah kembali oleh Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO
Lebih rinci lagi, studi API memperlihatkan bahwa semua partai yang memenangkan kursi dalam pemilu 1999 dan sekarang memiliki perwakilan di MPR/DPR termasuk dalam kelompok yang tidak setuju atau tidak menyatakan sikapnya terhadap kuota bagi perempuan. Sebaliknya, partai-partai kecil yang perolehan suaranya sangat sedikit dalam pemilu yang lalu mempunyai sikap positif mengenai kuota. Di antara sebagian kecil dari partai-partai yang tidak menyatakan sikap mereka tentang isu kuota berada di MPR/DPR saat ini, mereka adalah PDI-P, Partai Keadilan, PKP dan Partai Cinta Kasih. · Berdasarkan hasil studi kualitatif yang dilakukan Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO terhadap perempuan dalam partai politik (2001), peluang yang dapat dicapai perempuan untuk menyampaikan aspirasinya dalam lembaga politik formal sangat kecil. Hal ini juga didukung oleh studi API tentang pandangan partai atas struktur kesempatan politik yang dimiliki perempuan pada saat ini di pusat pengambilan keputusan.

Partai politik umumnya dapat melihat dan mengakui kecilnya peran perempuan mengenai peran politik perempuan dalam lembaga-lembaga negara pada saat ini. Studi API menunjukkan, lebih dari separuh (atau 52,1%) partai-partai berpendapat bahwa peran politik perempuan masih kurang dalam lembaga-lembaga negara. Hanya 1 partai (Partai Keadilan, dari 48 partai) yang berpendapat bahwa peran politik perempuan sudah besar, dan 4 partai (PPP, PDKB, PSII, PNI Front Marhaenis) yang berpandangan peran politik perempuan sudah cukup (lihat tabel 9).

Sumber: API, 1999. Diolah kembali oleh Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO

Faktor masuknya perempuan menjadi calon anggota legislatif banyak ditentukan oleh basis dari mana mereka berasal, bagaimana mereka dididik dalam partai dan bagaimana prosedur pemilihan calon lewat parpol. Sistim kepartaian yang terlembaga, struktur organisasi yang mempunyai peraturan yang jelas, transparan dan stabil, ideologi partai yang lebih progresif serta peran aktivis perempuan dalam partai , menurut penelitian berkorelasi dengan peningkatan keterwakilan perempuan (IFES, 2001).

VII. Indonesia dalam Perkembangan Keterwakilan Perempuan di Dunia
A. Perkembangan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen dan Posisi Indonesia dalam Perbandingan Dengan Negara Lain
Data statistik tentang kecenderungan perempuan dalam kehidupan publik yang dikeluarkan oleh United Nations Statistics Division memperlihatkan tren dan statistik perempuan dalam parlemen dan pemerintahan di 190 negara dalam tiga periode terakhir (tahun 1987, 1995, dan 2001). Secara umum terjadi perkembangan positif dalam representasi perempuan di parlemen negara-negara di dunia. Sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam kelompok negara-negara yang menunjukkan perkembangan positif ini. Dalam Pemilu 1999, yang dianggap paling demokratis dalam 6 pemilu terakhir, ternyata keterwakilan perempuan mengalami penurunan.

Perkembangan di 190 negara di Dunia (1995 dan 2001)
v Secara umum terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di dunia.
v Peningkatan representasi perempuan terjadi di 112 negara.
v Penurunan representasi perempuan terjadi di 28 negara.
v 9 negara tidak mempunyai wakil perempuan di parlemen.
v 20 negara tidak mempunyai data representasi perempuan (2001).
v 10 Negara (5 negara di Skandinavia, Jerman, Belanda, New Zaeland,  
     Mozambique dan Afrika Selatan) memiliki 30-43% wakil perempuan di parlemen   
     (2001).
v Dengan tingkat keterwakilan perempuan yang ada sekarang maka Indonesia
     menurut data IPU (Maret 2002), berada dalam nomor urut 83 (dari 179 negara)

Perkembangan di 45 Negara di Asia
v Peningkatan representasi perempuan terjadi di 20 negara
v Penurunan terjadi di 3 negara (Srilangka, Irak dan Indonesia)
v 2 negara (Kuwait dan UAE) tidak mempunyai wakil perempuan di parlemen
v 9 negara tidak mempunyai data keterwakilan perempuan (th.2001)
v 5 negara (China, Korea Selatan, Laos, Turkmenistan dan Vietnam) memiliki 20-
     26% wakil perempuan di parlemen
v 9 negara memiliki 10-19% wakil perempuan di parlemen
v 20 negara memiliki 1-9% wakil perempuan di parlemen

Posisi Indonesia dalam Perkembangan Tersebut
v Indonesia termasuk dalam katagori 28 negara yang mengalami penurunan jumlah wakil perempuannya dalam parlemen.
v Indonesia salah satu dari 76 negara dimana representasi perempuan di parlemen berkisar di antara 0-9% .
v Indonesia berada pada urutan 19 atau 20 (dari 45 negara) di Asia, berada dalam satu kelas dengan Iraq. Indonesia sedikit lebih baik dari kebanyakan negaranegara di Timur Tengah dan Selatan, kecuali Syria, Israel, Siprus dan India. Di Asia Tenggara dan Timur representasi perempuan Indonesia di parlemen lebih tinggi daripada di Singapore dan Korea Selatan, tetapi lebih rendah daripada Malaysia dan Thailand, dan jauh tertinggal dari Vietnam, Laos, Korea Utara dan Cina.

B. Urgensi Diterapkannya Kebijakan Affirmative Action
v Secara demografis jumlah penduduk perempuan di Indonesia lebih besar daripada jumlah penduduk laki-laki; demikian juga pemilih perempuan jumlahnya lebih besar daripada pemilih laki-laki. Pada saat ini representasi perempuan bahkan menurun sehingga tidak proporsional dengan jumlah penduduk dan pemilih perempuan yang ada. Dengan demikian jika laki-laki over-represented maka perempuan under-represented di arena perpolitikan formal di Indonesia.
v Tuntutan demokrasi modern, agar komposisi anggota lembaga perwakilan yang terpilih merefleksikan komposisi masyarakat yang diwakilinya, menunjukkan perlunya representasi langsung dan keberadaan perempuan di arena pengambilan keputusan publik, bukan sekedar disuarakannya aspirasi dan kepentingan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
v Partai politik merupakan lembaga yang menjadi penghubung antara rakyat dengan negara. Partai politik juga merupakan saluran penting lewat mana wakilwakil rakyat dapat diseleksi dan terpilih masuk ke dalam lembaga perwakilan. Namun memasuki tahun ketiga setelah pemilu 1999 terjadi penurunan drastis tingkat kepercayaan rakyat pada partai politik dan wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif pada saat ini (lihat hasil polling Kompas dan LP3ES mengenai kinerja parpol dan wakil rakyat di DPR).
v Partai politik, pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat sangat didominisai oleh laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan agenda politik dan terlalu mendominasi perpolitikan pada saat ini. Sementara itu banyak keprihatinan, nilai, kepentingan, aspirasi dan prioritas perempuan yang membentuk lebih dari separuh warganegara dan penduduk di negeri ini diabaikan. Nilai, aspirasi, kepentingan, keprihatinan, dan prioritas perempuan yang berbeda dari laki-laki perlu lebih disuarakan untuk mengimbangi dominasi nilai, aspirasi, kepentingan dan prioritas laki-laki dalam perpolitikan di negeri ini pada saat ini.
v Dalam budaya dan praktek politik yang sangat patriakis, tanpa penerapan kebijakan afirmatif maka pemilihan umum hanya akan melanggengkan dominasi laki-laki di arena politik. Telah terbukti jika jumlah representasi perempuan di arena politik dan dalam proses pengambilan keputusan signifikan maka perempuan bisa membuat perbedaan dan mereka bisa mempengaruhi keputusan atau kebijakan yang diambil.
v Studi tentang tingkah laku minoritas menunjukkan diperlukan minimum adanya 30% wakil kelompok agar sebuah kelompok dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan atau kebijakan atau membuat aliansi-aliansi diantara berbagai kelompok. Di dalam wilayah publik yang didominasi laki-laki jika jumlah perempuan ada di bawah angka strategis 30% tersebut maka perempuan akan sekedar menjadi dekorasi politik, atau berubah menjadi atau seperti laki -laki.

C. Kesimpulan dan saran
Partai politik adalah salah satu instrumen penting dan pemilihan umum merupakan mekanisme yang terbaik untuk melaksanakan demokrasi perwakilan pada saat ini. Namun masih banyak kekurangan yang masih harus diperbaiki agar idealisme dan cita-cita demokrasi dapat diwujudkan. Dalam mewujudkan masyarakat demokratis yang menghormati hak-hak, kebebasan, keadilan, dan kesetaraan di antara semua warga dan kelompok-kelompok dalam masyarakat maka representasi warga atau kelompok secara langsung dalam arena pengambilan keputusan harus diperhitungkan disamping mempertimbangkan aspirasi atau kepentingan kelompok tersebut di dalam proses pembuatan keputusan.

Dengan pemahaman sedemikian maka aspirasi, kepentingan, kebutuhan, atau prioritas perempuan tidak dapat sekedar diperhitungkan dalam dalam proses pengambilan keputusan (oleh para pembuat keputusan), perempuan harus merepresentasikan dirinya sendiri dan menyuarakan aspirasi, kepentingan, kebutuhan dan prioritasnya sendiri di dalam arena pengambilan keputusan. Untuk itu perempuan harus diintegrasikan ke dalam politik dan bersama -sama dengan para politisi laki-laki ikut mendefinisikan realitas politik. Pengintegrasian perempuan ke dalam politik mempunyai konsekwensi organisatoris dan program Dalam hal organisatoris maka partai harus
1.  Membukakan kesempatan yang sama pada perempuan untuk secara aktif
     berperanserta di wilayah publik melalui partai.
2. Mempromosikan program-program yang dapat menarik pemilih perempuan, merekrut serta meningkatkan kemampuan memimpin dan berpolitik kader-kader perempuan partai, mendorong kader perempuan partai untuk posisi-posisi kepemimpinan dalam partai dan menominasikan calon legislatif (Caleg) perempuan partai untuk ikut dalam pemilu.

Dalam hal program maka partai harus:
1. Memperhitungkan masalah yang terkait dengan keberlangsungan dan aktivitas dalam keluarga atau di wilayah domestik, serta hubungan antara gender dan kekuasaan.
2. memperbaiki program dan kebijakan partai berkenaan dengan isu-isu yang relevan dengan perempuan seperti soal persamaan kesempatan antar laki-laki dan perempuan, hak reproduksi, hal yang terkait dengan kegiatan pemeliharaan seperti anak-anak atau kelompok yang lemah dan tidak berdaya, lingkungan hidup dan alam.
Tindakan affirmative harus dilaksanakan untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan peranserta perempuan dalam politik dan mendongkrak kontribusi perempuan di wilayah publik. Penerapan tindakan affirmative dapat dilakukan melalui Undang Partai Politik dan Undang-undang Pemilihan Umum.
Tindakan affirmative yang diusulkan
v Penegakkan demokratisasi internal partai melalui penyeleksian kepemimpinan dan  
    kader dalam organisasi partai:
-  Kepengurusan partai politik harus menyertakan minimal 30% kandidat perempuan
   dalam pencalonan pengurus di tiap tingkatan
-  Mekanisme pemilihan pengurus partai politik di tiap tingkatan harus dicantumkan  
    secara jelas dalam AD/ART Partai politik
-  Kriteria kandidat pengurus harus berdasarkan prinsip adil, terukur dan transparan

v Alokasi dan seleksi calon legislatif (Caleg) partai untuk pemilihan umum
-  Pencalonan Caleg untuk Pemilu di masing-masing tingkatan harus menyertakan
   minimal 30% kandidat perempuan dalam DCT
-  Menggunakan metode zigzag dalam meletakkan Caleg laki-laki dan perempuan
   dalam DCT
- Kriteria untuk menyeleksi kandidat harus berdasarkan prinsip adil gender, terukur
   dan transparan
- Kriteria Caleg dan mekanisme pencalonan Caleg harus dicantumkan secara jelas di  
   dalam AD/ART partai politik
- Memperbolehkan kandidat independen untuk menjadi Caleg dalam Pemilu.
v Menerapkan sistem pemilu yang memungkinkan terjadinya peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan misalnya sistem proporsional Satau campuran sistem proporsional.


Sumber:
Website :
http://www.Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.co.id
Literatur :
Handayaningrat Soewarno. 1994. Pengantar Studi Ilmu Adminstrasi Negara dan Manajemen. Jakarta: Haji Masagung
hal-14

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi