Wednesday, December 22, 2010

GENDER DALAM HUKUM ADAT

 


GENDER DALAM HUKUM ADAT
Oleh
Ni Nyoman Sukerti
Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK


The national government of Indonesia is committed to legal gender equality by the 1945 Indoensia Constitution, article 27 (1), and the ratification of the Convention for Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) in 1984. However, customary law still prevailing in many regions in Indoneia often perpetuates deeply rooted discrimination based on gender until today. Examples of  such discrimination are to found in Minagkabau, Java, and Bali where inheritance is regulated by gender biased customary law. Appropriate development policies and education may bring about a legal culture and practice that upholds legal gender equality.


Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa masalah gender sudah sering diwacanakan dan dibahas oleh pemerhati  masalah gender dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya  baik pada tingkat lokal, maupun pada tingkat nasional  bahkan pada tingkat inetrnasional.  Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui  dan tidak mengerti apa sebenarnya  gender    tersebut ?.  Karena tidak mengerti apa itu gender maka banyak orang beranggapan  bahwa apabila  orang mengatakan  gender itu adalah sebagai usaha dari kaum perempuan untuk menunut harta warisan. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek hukum  adat, pidana, pajak, perdata, tata negara), aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Istilah  “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah  hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah
 

1). Astiti,   2000; “Jender Dalam Hukum Adat”, Makalah,   h. 1.

oleh masyarakat sendiri, oleh karena itu, sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu, dan dapat pula berbeda dari  tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing2).

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum ( baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum hukum adat ).  Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Hubungan yang sub-ordinasi tersebut  dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia  karena hubungan yang sub-ordinasi tidak saja dialami oleh  masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga dialami  oleh masyarakat negara-negara yang sudah  maju seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya.  Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia.  Keadaan seperti ini  sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya  kaum femins berjuang  untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari  keadaan yang sub-ordinasi tersebut.
 

2). Mansour Fakih, 1996;  Analisis Gender & Transformasi Sosial,  Pustaka Pelajar, Yogyakarta,   h. 8.
 Di Indonesia sebenarnya  perjuangan kaum feminis untuk menuntut kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A. Kartini. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Kartini tersebut mendapat pengakuan yang tersirat  pada Pasal 27  (1) U U D, 45  yang berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Di samping itu berbagai produk perundang-undangan yang telah dibentuk sebagai realisasi tuntutan persamaan  hak dan kedudukan perempuan dengan laki-laki, antara lain U U No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan),  U U No. 7 Tahun 1984  tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan   U U No. 13 Tahun 2003 ( Undang-Undang Ketenagakerjaan ). Di antara produk perundang-undangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan segala bentuk diskrimisati terhadap perempuan adalah U U No. 7 Thaun 1984, walaupun sudah diratifikasi akan tetapi kedudukan sub-ordinasi terhadap perempuan dalam kenyataannya  masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang hukum adat, khususnya dalam  hukum kewarisan di mana  Hazairin, sudah pernah menggagas untuk membentuk hukum adat waris nasional yang bersifat bilateral, demikian juga ada gagasan dalam seminar hukum adat di Yogyakarta tahun 1975 untuk membentuk hukum kekeluargaan nasional yang parental, akan tetapi sampai sekarang gagasan tersebut belum terwujud. Oleh karena demikian di Indonesia masih berlaku hukum adat waris yang beraneka ragam sesuai dengan sisitem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Indonesia.
Atas dasar latar belakang tersebut yang menjadi  permasalahan  adalah apakah ada isu gender dalam hukum adat ?

Isu Jender Dalam hukum Adat  (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan Dan      Hukum Waris)
Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.
Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana,  tata negara,  kekeluargaan,  perdata, perkawinan dan waris. Dalam tulisan ini yang akan dibahas dalam kaitan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris.
Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan  atau kekerabatan yakni :
1.     Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ( ayah ), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lalin-lain.
2.     Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis  perempuan ( ibu ), sistem  ini dianut di Sumatra Barat ( daerah terpencil ).
3.     Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ( ayah ) dan perempuan ( ibu ), sistem ini dianut  Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya3).
Walaupun di Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan  yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan  tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki.
Sistem kekerabatan  matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua. Sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum  perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya, dan sebagai penerus keturunan serta  dalam hukum waris juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat di mana pada sistem kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis perempuan ( ibu ) akan tetapi kekuasaan bukan berada di tangan perempuan namun tetap berada di tangan laki-laki, hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi mamak kepala waris adalah dijabat oleh laki-laki yakni laki-laki tertua. Oleh karenanya  dalam  sistem 
 

3). Sri Widoyatiwiratmo Soekito, 1989;  Anak Dan Wanita Dalam Hukum,   LP3ES , Jakarta, h. 58-59.
kekerabatan matrilinial kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki maka jelas terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam sistem kekerabatan patrilinial  yang dianut oleh masyarakat Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama kelaurga karena dalam perkawinan jujur (pada umumnya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat.
Pada masyarakat patrilinial di Bali dikenal lembaga “sentana rajeg” di mana anak perempuan dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya  dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Contoh dalam sebuah keluarga tidak dikaruniai anak laki-laki. Dan yang lebih patal adalah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dapat dipakai alasan bagi suami untuk melakukan poligami. Dalam kaitan dengan hal itu hukum adat memang membolehkan adanya poligami sedang jumlah wanita yang boleh dikawin tidak terbatas4) , sehingga   untuk  menghindari
 

4).  Nani Soewondo, 1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia,  Jakarta,  h. 47.
adanya poligami maka ditempuh upaya merubah kedudukan anak perempuan melalui perkawinan nyeburin.
Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status  dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki tetapi  terbatas hanya dalam kaitan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedangkan dalam hal yang lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat (ayah laki) tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya.
Anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg sudah tentu berbeda dengan kedudukan anak perempuan pada umumnya, oleh karena demikian justru dengan adanya lembaga sentana rajeg ini malahan memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan. Disamping  itu  dengan adanya proses perkawinan nyeburin untuk memberikan status yang sama terhadap  anak perempuan  dengan status anak laki-laki malah justru memperkuat dan mengajegkan  sistem kekerabatan patrilinial yang menempatkan laki-laki pada posisi dan kedudukan yang sangat tinggi dan pada akhirnya tetap terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam masyarakat Bali yang mengenal lembaga sentana rajeg, perlu dipertanyakan apakah  kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg ?. kenyataannya belum tentu bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan tersebut.  Hal ini seperti telah diuraikan diatas di mana dalam sebuah keluarga yang mempunyai anak  perempuan yang berstatus sentana rajeg, di mana yang mewakili keluarga sebagai anggota banjar,  anggota desa adat,  rapat-rapat keluarga, adalah tetap laki-laki yang kawin dengan anak perempuan yang berstatus sentana rajeg tersebut bukan perempuan yang berstatus sentana rajeg. Karena laki-laki yang mewakili sebagai anggota keluarga dalam segala urusan keluarga maka laki-lakilah  yang ikut dalam segala pengambilan keputusan, maka laki-lakilah kembali yang memegang peranan atau tetaplah kekuasaan berada di tangan laki-laki. Jadi tetap terjadi sub-ordinasi terhadap perempuan dan terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan  parental seperti yang dianut oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya pada prinsipnya menempatkan kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan adalah  sama  dalam  hal mewaris.  Semua anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama yaitu  sama-sama sebagai ahli waris. Apabila diperhatikan lebih jauh dalam pembagian harta warisan justru terdapat sub-ordinasi dan dikriminasi terhadap anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1  yang dalam istilah adat dikenal dengan isilah “sepikul segendong”. Kalau dilihat dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat tetap berada di tangan laki-laki oleh karena demikian idiologi patriarki tetap nampak pada masyarakat yang parental. Oleh karena demikian dalam masyarakat yang parental tetap terdapat bias gender.

Isu Jender Dalam  Perundang-Undangan
Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan  perjuangannya kemudian mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu  tersirat dalam Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu  belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.
Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi  akan tetapi di sisi lain membolehkan  bagi suami untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin  
Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang  dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Mencermati  ketentuan Pasal 1  tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita   adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan,  dan lain-lainnya.

Salah satu produk peraturan perundang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan adalah U U No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini sudah berlaku kurang lebih 30 tahun dan  banyak mengandung kelemahan karena bersifat diskriminatif  dan bias gender terhadap perempuan.
Undang-Undang ini terdiri dari 67 pasal, dari 67 pasal  ada beberapa pasal yang secara nyata bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan.  Adapun pasal-pasal dimaksud antara lain :
1.     Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami.
2.     Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan dan          19 tahun bagi laki-laki.
3.     Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120 hari dan janda cerai 90 hari.
4.     Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.
5.     Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan istri sangat lemah dan sub-ordinasi.
6.     Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri/wanita  diposisikan lemah dan sub-ordinasi.
7.     Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.
Mencermati ketentuan pasal-pasal tersebut diatas adalah jelas telah terjadi ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender terhadap  perempuan karena perempuan selalu diposisikan pada posisi yang lemah dan sub-ordinasi sehingga tetap terjadi diskriminasi terhadap  kaum perempuan.
Di samping itu undang-undang yang bias gender  adalah undang-undang perpajakan di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa perempuan yang telah bersuami tidak sebagai wajib pajak.  Akan tetapi kalau diperhatikan kenyataannya  banyak perempuan  dalam hal ini istri  yang berpenghasilan lebih banyak dari pada suami dan ini juga akibat adanya pengaruh budaya patriarki.
Oleh karena demikian dalam hukum pajakpun telah terjadi ketidakadilan hukum dan ketidak adilan gender di dalamnya
Dalam kaitan itu Yanti Muchtar menguraikan bahwa telah terjadi bias gender dan hukum dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) oleh karena dalam penggunaan alat-alat keluarga berencana ( KB ) lebih banyak memakai organ tubuh perempuan sebagai obyek bila dibandingakan dengan organ tubuh laki-laki5).
Hal tersebut  disebabkan adanya pengaruh  budaya  patriarki yang mempengaruhi segala  aktifitas laki-laki baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat  termasuk dalam aktifitasnya membuat aturan-aturan hukum. Oleh karena yang membuat peraturan hukum itu adalah  masyarakat ( laki-laki ) maka sering produk yang dihasilkan tidak menunjukan kesetaraan dan keadilan gender.




 

5).Yati Muchtar, 2001; “Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14, , h.12-13.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa mencerminkan bias gender dalam hubungannya terutama terkait dengan sistem kekerabatan dan perkawinan serta pewarisan yang masih berlaku dewasa ini. Ketiga hal tersebut menunjukan adanya perbedaan di satu tempat dengan di tempat lainnya, tergantung dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Disamping adanya perbedaan, terdapat pula adanya persamaan terutama yang menyangkut kekuasaan dalam pengambilan keputusan, ini nampak sama yaitu tetap berada di tangan laki-laki. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh budaya partiarki yang bersifat universal yang bersifat turun temurun.
Secara umum kedudukan perempuann dalam hukum adat masih mencerminkan sub-ordinasi dan bias gender terhadap perempuan. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum negara juga mencerminkan ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender seperti Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perpajakan.
Keadaan yang sub-ordinasi terhadap perempuan dapat berubah seiring dengan kemajuan jaman dan  majunya tingkat pendidikan suatu masyarakat. disamping perubahan itu  dapat juga  terjadi melalui proses kesadaran masyarakat yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan jender, melalui pendidikan,  peraturan perundang-undangan yang adil hukum dan gender. Sehingga  kesetaraan dan keadilan hukum dan keadilan gender dapat terwujud.   


DAFTAR PUSTAKA

Astiti, T.I.P., 2000; “Jender Dalam Hukum Adat” Makalah.
Fakih, Mansour, 1996; Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Muchtar, Yati, 2001; “Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14.
Soewondo, Nani, 1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat,  Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekito, Sri Widoyatiwiratmo, 1989; Anak Dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta.
Undang-Undang Dasar, 1945; Apollo, Surabaya.
Undan-Undang No. 1 Tahun 1974 dan P P No. 9 Tahun 1975; Karya Anda, Surabaya.
Undang-Undang No. 7  Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi  Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Permpuan, Kantor Mentri Negara Urusan Peranan Wanita, Jakarta, 1993.

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi