Thursday, December 16, 2010

DIVERSITAS GENETIK PLASMODIUM FALCIPARUM DI DAERAH ENDEMI MALARIA SUMATERA BARAT

 


DIVERSITAS GENETIK PLASMODIUM FALCIPARUM
DI DAERAH ENDEMI MALARIA SUMATERA BARAT

Nuzulia Irawati dan Yanwirasti

Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Jl. Perintis Kemerdekaan Padang, Sumatera Barat

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik Plasmodium falciparum penyebab malaria pada daerah-daerah endemi di Sumatera Barat. Secara khusus, terget yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui variasi genetik yang akan menjadi dasar penyusunan pola  penatalaksanaan malaria di Sumatera Barat. Sampel darah diambil dari pasien malaria yang berobat ke RSUD Solok Selatan, RSUD Pesisir Selatan, dan RSUD Mentawai. Selanjutnya dilakukan pemisahan DNA dengan menggunakan Saponin/Chelex 100. Selanjutnya diamplifikasi menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan dielektroforesa untuk mengetahui fragmen DNA. Keragaman genetik P.falciparum telah dianalisa melalui proses amplifikasi dengan PCR terhadap daerah polimorfik pada gen MSP1. Tiga tipe alel yang ditemukan pada blok 2 MSP1 adalah K1, Mad20 dan RO33. Fragmen yang dideteksi dari tipe alel K1 memperlihatkan ukuran 290 bp, tipe alel Mad20 berukuran 238 dan tipe alel RO33 berukuran 190 bp. Alel yang paling banyak dijumpai adalah alel K1 (63%) dan Mad20 (26%) sedangkan RO33 dijumpai 11%.
Kata Kunci : P.falciparum, MSP1, alel K1 Mad20 dan RO33,


PENDAHULUAN

 Plasmodium falciparum adalah sejenis protozoa obligat intra seluler penyebab malaria yang telah menginfeksi manusia hampir merata di seluruh dunia termasuk di Indonesia dengan banyak daerah endemi yang sudah berlangsung sejak lama dan setiap tahun dilaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB) malaria, menyebabkan puluhan korban meninggal penyakit ini (WHO, 2000).
Sulitnya penanganan malaria disebabkan karena secara genetik ia mudah bermutasi menghadapi berbagai penekanan faktor eksternal membentuk strain baru yang antara lain lebih resisten terhadap obat malaria. Perbedaan lokasi geografis merupakan salah satu faktor eksternal yang mengakibatkan terbentuknya variasi genetik yang juga berbeda seperti perbedaan respon terhadap lingkungan. Oleh karena itu, penanganan malaria memerlukan pola penatalaksanaan malaria yang spesifik sesuai dengan variasi gen P.falciparum penyebab malaria pada masing-masing daerah endemi.
Variasi genetik P.falciparum penyebab malaria pada suatu daerah endemi dapat diidentifikasi menggunakan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Prasyarat yang harus tersedia untuk keperluan tersebut adalah adanya primer spesifik yang digunakan sebagai titik awal amplifikasi fragmen target yang berasal dari komponen genetik (DNA) secara akurat. Primer dimaksud dapat dikembangkan dari fragmen spesifik yang merupakan penciri khusus P.falciparum pada daerah endemi malaria.
Malaria merupakan penyakit yang telah menginfeksi manusia hampir merata di seluruh dunia terutama di negara-negara beriklim tropis seperti Asia, Afrika dan Amerika tengah dan selatan. Sebanyak 300 hingga 500 juta manusia terinfeksi setiap tahun dan satu hingga dua juta diantaranya meninggal dunia karena penyakit ini.
Di Indonesia, malaria merupakan penyakit yang tidak asing lagi karena hampir di semua pulau terdapat daerah endemi yang sudah berlangsung sejak lama. Setiap tahun dilaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB) malaria yang menyebabkan puluhan korban meninggal dunia. Masalah malaria semakin rumit setelah adanya kajian tentang pengaruh global warming menyebabkan peningkatan kasus malaria sampai 300 % pada tahun 2015, yang disebabkan karena bertambah pendeknya siklus hidup nyamuk vektor sehingga transmisi malaria meningkat sangat cepat (International Research of Malaria, 2008).
Menurut data Pemberantasan Penyakit Menular Depkes RI tahun 2006, propinsi Sumatera Barat masih termasuk Low Incidence Area dengan angka AMI (Annual Malria Incidence) sebesar 0,88 %, namun beberapa daerah dikenal sebagai daerah endemis malaria yaitu Mentawai, Pesisir Selatan, Pasaman, Sawahlunto Sijunjung dan Solok Selatan.
Dalam rangka mencapai target pembangunan kesehatan ”Indonesia Sehat 2010”, berbagai cara telah dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan, mulai dari pencegahan, pemberantasan vektor dan pengobatan penderta malaria, tetapi malaria tetap saja menjadi permasalahan kesehatan yang utama. Walaupun ada laporan program penanganan malaria yang behasil menurunkan kasus malaria, namun penurunan ini tidak berlangsung lama, bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Departemen Kesehatan, 2006).
Permasalahan utama penanggulangan malaria ini diantaranya adalah karena mudahnya gen P.falciparum bermutasi membentuk variasi baru, sehingga penanganannya menjadi sulit. Sulitnya penangan antara lain disebabkan karena munculnya variasi P.falciparum yang resisten terhadap obat. Disamping itu, mutasi juga mempersulit mendisain vaksin yang efektif memberi perlindungan terhadap penyakit malaria (Harijanto, 2000).
Hasil penelitian Nuzulia (2004) menunjukkan bahwa 84% penderita malaria di Pesisir Selatan sudah resisten terhadap Khloroquin.
P. falciparum adalah jasad hidup seluler yang tergolong eukaryota. Parasit ini terdiri dari satu sel yang selalu mengalami perubahan-perubahan berupa pertumbuhan dan perubahan fungsi akibat adanya proses diferensiasi. (Syaifudin, 2008).
Hasil riset terbaru yang dipublikasikan menyatakan, parasit malaria Plasmodium falciparum terlihat terus mengubah bentuk protein yang ditinggalkannya pada sel yang terinfeksi. Perubahan genetik P.falciparum terjadi antara lain akibat penekanan oleh lingkungan secara fisika ataupun kimia. Perkawinan gamet jantan dan betina juga dapat memunculkan strain dengan variasi genetik yang berbeda. Cara ini ternyata cukup menyulitkan sistem kekebalan tubuh manusia karena sistem kekebalan tubuh manusia tidak memproduksi antibodi yang dapat melawan serangan protein itu sebelum parasit malaria berubah penampilan lagi (Isbagio, 2005).
Secara genetik, P.falciparum mempunyai struktur gen spesifik yang unik karena mempunyai komposisi DNA yang lebih dari 80 persen terdiri dari basa A (adenine) dan T (thymine). Gen ini dapat dengan mudah dan cepat bermutasi menghadapi berbagai penekanan seperti penyesuaian terhadap tubuh inang, treatment pengobatan atau perobahan lingkungan eksternal lainnya. Struktur gen yang mudah bermutasi membentuk strain baru telah menyebabkan penanganan penyakit malaria seperti pola pengobatan dan disain vaksin menjadi sulit dilakukan (Gardner, 2000).
Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sampai saat ini sudah ditemukan sebanyak 14 strain P. falciparum di seluruh dunia dan jumlah ini akan terus bertambah sesuai dengan perubahan faktor eksternal sebagai pemicu terjadinya mutasi gen. Disamping itu perkawinan gamet jantan dan betina dapat pula menimbulkan rekombinasi sehingga terbentuk variasi genetik baru. Selain perbedaan berbasiskan waktu, strain P.falciparum yang menginfeksi manusia pada suatu tempat juga akan berbeda dengan yang ditemukan ditempat lainya (Farouk, 2005).
Dari hasil pembacaan keseluruhan sekuen genom diketahui P falciparum memiliki sekurangnya 5.300 gen penyandi protein. Gen-gen tersebut mengkode protein-protein yang berfungsi dalam proses metabolisme, fungsi transpor materi organik dari dan ke dalam sel, fungsi dasar kehidupan seperti replikasi-perbaikan-rekombinasi DNA yang disebut sebagai gen house-keeping, dan sebagainya (Gardner, 2002).
Keragaman adalah suatu bentuk variasi genetic yang terjadi dalam suatu populasi yang dapat disebabkan antara lain oleh mutasi dan rekombinasi. Mutasi pada suatu nukleotida, misalnya, dapat menyebabkan terjadinya variasi struktur atau urutan nukleotida suatu gen yang menimbulkan pola baru dan memunculkan sifat baru. Keragaman yang terjadi pada gen-gen P.falciparum juga diekspresikan sebagai protein-protein permukaan merozoit (MSP) (Safitri, 1997).
Merozoit merupakan salah satu stadium ekstraseluler dari siklus hidup P.falciparum. Merozoit menginfeksi sel darah merah melalui interaksi protein-protein yang terdapat pada permukaannya. Salah satu protein permukaan merozoit yang terlibat dalam peristiwa invasi terhadap sel darah merah manusia adalah merozoit surface protein 1 (MSP1). Protein permukaan merozoit lainnya yang terasosiasi bersama MSP1 yang menempel pada membran plasma meliputi adalah MSP2, MSP4, MSP5, MSP8 dan MSP10, dan protein-protein yang mudah larut seperti MSP3, MSP10, MSP7 dan ABRA/MSP9, serine rich antigen (SERA) serta antigen S. Protein-protein tersebut bergabung membentuk filamen pada permukaan membran Merozoit. MSP1  tersedia sangat banyak dibanding jumlah protein permukaan merozoit lainnya sehingga menjadi salah satu alasan bagi banyak peneliti memilih MSP1 untuk dikarakterisasi terutama sebagai bahan penelitian polimorfisme dan candidat vaksin malaria (Topolska, 2004).
MSP1 juga disebut sebagai P195, PMMSA atau MSA 1 (Pemegang  et al., 1992). MSP1 dihasilkan dari proses proteolitik sebuah prekursor 190-200 kDa (190-kDa glycosylphosphatidylinositol) (Kauth et al., 2003). Fungsinya belum diketahui dengan pasti, tapi ia sangat berperan dalam peristiwa invasi merozoit terhadap sel darah merah. Pada saat sporulasi, merozoit akan dilepas ke dalam pembuluh darah inang untuk menginvasi sel darah merah inang. Pada fase ini, MSP1 bertindak sebagai antigen yang dapat menimbulkan reaksi imun menyebabkan terjadinya demam pada tubuh inang yang terinfeksi malaria. Jika merozoit berhasil memasuki sel darah merah, selubung protein permukaan akan dilepas sehingga MSP1 tidak terdeteksi keberadaannya di dalam sel darah merah. Sifat antigenik MSP1 dapat dijadikan dasar disain vaksin malaria karena secara cepat akan menimbulkan reaksi imun pada tubuh inang (Christian, 2003).
Hasil penelitian Ferreira et al., (1998) di beberapa negara Brasil, Tanzania dan Vietnam, menunjukkan bahwa terdapat keanekaragaman genetik MSP1 pada setiap daerah endemi malaria. Adanya perbedaan lingkungan eksternal merupakan faktor utama penyebab terjadinya keragaman pada gen MSP1. Akibatnya terbentuk perbedaan genetik MSP1 P.falciparum antara masing-masing daerah endemi malaria. Di Brazil ditemukan MSP1 dengan 10 variasi alel, di Vietnam 23 variasi alel dan di Tanzania dijumpai 13 variasi alel. Bervariasinya alel MSP1 diatas disebabkan karena mutasi substitusi, insersi dan delesi dapat terjadi secara bersamaan.
Polimorfisme yang terdapat pada sejumlah gen seperti MSP1 yang mensintesa protein antigen tersebut dapat dipakai sebagai marker genetik untuk menentukan perbedaan genetik dari P.falciparum dan guna mempelajari sekuen nukleotida sebagai kandidat vaksin (Longacre, 2006).
Kemajuan pesat dibidang teknik molekuler telah memudahkan studi keragaman genetik yang dapat diisolasi langsung dari pasien. Variasi gen MSP1 P. falciparum penyebab malaria pada suatu daerah endemi dapat diidentifikasi menggunakan mesin Polymerase Chain Reaktion (PCR) yang dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1983. Teknologi ini mampu menggandakan satu molekul DNA menjadi milyaran kali secara in vitro, memberikan peluang untuk pengembangan suatu sistem diagnosis baru yang lebih sensitif dan akurat. Teknologi ini sudah terbukti pada berbagai aplikasi di bidang lain (Innis et al, 1989).
Prasyarat yang harus tersedia untuk keperluan tersebut adalah adanya primer spesifik yang digunakan sebagai titik start dalam mengamplifikasi fragmen target yang berasal dari komponen genetik (DNA) secara akurat. Primer dimaksud dapat dikembangkan dari fragmen spesifik yang merupakan penciri khusus P. falciparum pada daerah endemi malaria (Jamsari, 2007).
Untuk mencapai maksud tersebut maka sistem yang dikembangkan dengan mengadopsi keunggulan teknolgi amplifikasi DNA secara in vitro yang menggunakan mekanisme reaksi berantai enzim Polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR), yaitu suatu metode enzimatis untuk melipat gandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini sangat sensitif sehingga dapat untuk melipatgandakan satu molekul DNA sampai 200.000 kali dalam waktu singkat dengan menggunakan komponen dalam jumlah yang sangat sedikit (Innis, 1998).
Propinsi Sumatera Barat adalah salah satu daerah endemi malaria di Indonesia. Pada tahun 2004 – 2007 ditemukan kasus malaria pada 13 daerah tingkat II, dan kasus yang tinggi ditemukan di Mentawai, Pasaman Barat dan Pesisir Selatan, dengan jumlah penderita malaria klinis ± 4600 orang. Pada tahun 2008, terjadi penyebaran kasus malaria pada 15 daerah, dengan penderita terbanyak di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Pasaman Barat dan Pesisir Selatan dengan jumlah penderita mencapai ± 6.650 orang malaria klinis (Depkes, 2008).
 Sampai saat ini belum ada penelitian tentang biomolekuler P.falciparum terutama tentang variasi gen MSP1 yang merupakan protein permukaan merozoit yang paling antigenik dan sangat berpotensi untuk dijadikan alternatif calon vaksin malaria. Dengan mengetahui variasi gen MSP1, dapat dikembangkan disain calon vaksin malaria yang spesifik untuk masing-masing daerah endemi malaria di Sumatera Barat. Disamping itu, juga dapat dilakukan diagnosa pasti malaria pada suatu daerah endemi sehingga penanganan malaria lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian dengan judul “Studi Keragaman Struktur Gen MSP1 P.falciparum Dibeberapa Daerah Endemi Malaria Pegunungan dan pantai Sumatera Barat”. Berdasarkan geografis daerah ini dapat dibagi atas daerah pantai dan daerah pegunungan yaitu Kabupaten Pesisir Selatan di daerah pantai Kabupaten Sawahlunto di daerah pegunungan.
Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk merencanakan program pengobatan dan pemberantasan malaria yang sesuai pada setiap daerah endemi. Jika vaksin dan obat yang diberikan dilakukan secara tepat, maka upaya mengatasi malaria tidak akan lagi menjadi sia-sia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bertujuan untuk melihat struktur gen MSP1 pada penderita malaria falciparum, maka dilakukan penelitian dengan metode studi cross sectional. Sampel darah diambil dari pasien malaria yang berobat ke RSUD di daerah-daerah endemi malaria di Sumatera Barat meliputi : RSUD Solok Selatan, RSUD Pesisir Selatan dan RSUD Mentawai. Pemeriksaan Biomolekuler terhadap sampel darah yang positif P. falciparum dilakukan di Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
            Populasi penelitian meliputi semua penderita infeksi malaria falsiparum yang datang berobat ke RSUD di daerah endemi malaria Pesisir Selatan, Sawahlunto dan Kota Padang. Sampel yang diteliti adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi meliputi : (1) Penderita berusia diatas usia 12 tahun yang berobat di Puskemas-Puskesmas di daerah endemik malaria, (2) Infeksi tunggal P.  falsiparum dengan densitas parasit stadium asksual  >1000 Parasit /μl, (3) Bersedia menjadi responden dan (4) Menandatangani informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi : (1) Penderita malaria falsiparum yang sudah mendapat terapi malaria, (2) .Penderita malaria berat (3) Infeksi campur dan (4) Adanya penyakit lain yang menyebabkan demam.
            Besarnya sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan persamaan:
                        n1 = n2 = (zα√2PQ + zβ√ P1Q1 + P2Q2)2 / (P1 – P2)
n = jumlah sampel
α = tingkat kemaknaan 95%, Zα = 1,960
β = Power (80%), Zβ = 0,842
P = Proporsi keragaman struktur gen MSP1 atau keadaan yang akan dicari
P1 = Perkiraan proporsi kontrol
P2 = Proporsi efek pada kelompok tanpa faktor resiko (26%)
            Dengan menggunakan persamaan diatas didapatkan jumlah sampel sebanyak 30, dengan memperhitungkan Drop Out 10-20%.
                Sampel diambil di RSUD daerah endemik malaria dengan teknik : consecutive sampling, yaitu setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah penderita yang diperlukan terpenuhi.
Bila hasil pemeriksaan menunjukkan penderita positif malaria falciparum, maka sampel dimasukkan sebagai subjek penelitian. Hasil tersebut ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan sediaan hapusan darah tepi (HDT) tipis dan tebal (Gold Standard) oleh ahli Parasitologi dan telah didiagnosis oleh dokter spesialis penyakit dalam, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi maka dimasukkan dalam subjek penelitian. Sebelum darah diambil, subjek penelitian sudah mendapatkan informasi dan diminta persetujuan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menanda tangani formulir persetujuan tindakan medis. Setelah itu baru diambil darahnya sebanyak 2 cc guna pembuatan sediaan darah tebal.
Variabel yang akan diukur dalam penelitian tentang keragaman struktur gen  MSP1 P. falciparum  ini meliputi :1. Penderita malaria yang terinfeksi P. falciparum yang datang berobat ke RSUD Pesisir Selatan, RSUD Sawahlunto dan RSUP Dr. M. Jamil Padang daerah-daerah endemi malaria di Sumatera Barat, 2. Struktur gen MSP1 P. falciparum penyebab malaria yang berasal dari daerah-daerah endemi di Sumatera Barat, 3. Keragaman genetik P. Falciparum yang diketahui berdasarkan keragaman struktur gen MSP1, 4. Fragmen untaian nukleotida yang mengekspresikan MSP1. 5. Urutan nukleotida MSP1 P. Falciparum. 6. Variasi gen MSP1 P. Falciparum
Isolasi DNA P.falciparum menggunakan Chelex 100 sodium form dengan spesifikasi particle size 50 – 100 mesh (kering), buatan WGK Jerman. Amplifikasi DNA menggunakan Polymerase Chain Reaction. Sekuensing dilakukan menggunakan metode Polymerase Chain Termination (Sanger, et al, 1985). Kegiatan sekuensing dilakukan di PT Charoend Phokpand dengan mengirimkan 20 ng/µl.
Hasil test primer pada kegiatan tahun pertama selanjutnya diujicoba pada DNA genom seluruh koleksi isolate yang dimiliki. Diharapkan setiap primer menghasilkan fragmen spesifik yang menjadi indicator keberadaan variasi gen P.falciparum penyebab malaria. Pada system ini penanda yang menjadi target adalah penanda berbasis STS. Akan tetapi adakalanya primer yang digunakan menghasilkan produk PCR yang sama ukurannya sehingga tidak diperoleh fenomena polymorfisme. Untuk melihat perbedaan lebih lanjut maka dilakukan pemotongan fragmen secara enzimatis sesuai dengan prinsip system penanda CAPs. Enzyme-enzym retriksi yang akan digunakan tergantung kepada kondisi sekuens yang ada dengan melakukan analisis potensi titik-titik pengenal dari seluruh enzyme yang mungkin terlebih dahulu. Hal ini mungkin dilakukan mengingat sekuens fragmen tersebut sudah diketahui. Analisis dilakukan dengan menggunakan software DNAstar dan beberapa software yang tersedia secara on line di internet. Prioritas dilakukan dengan menggunakan enzyme-enzym yang murah tersedia di pasaran seperti EcoRl, PstI, Msel, Alul, Hindlll, Taql, Mbol dan BamHl.

Bahan dan Instrumen Penelitian
Bahan dan instrumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi bahan-bahan dan instrumen untuk : identifikasi parasit, isolasi dan identifikasi DNA P.falciparum, prosedur PCR dan Sekunsing. Sampel darah penderita (diambil dari ujung jari tengah) dibuat sediaan darah tebal dan tipis pada satu kaca objek. Sediaan tebal dihemolisa dan sediaan tipis difiksasi dengan metanol, lalu diwarnai dengan Giemsa 15% dalam larutan bufer pH 7,2, dicuci dengan air serta dikeringkan. Sediaan diperiksa dibawah mikroskop untuk identifikasi spesies dan hitung parasit untuk menentukan berat ringannya infeksi.
Sampel darah penderita (diambil dari vena mediana cubiti dengan antikoagulan ACD), diberi lysis buffer. Bahan untuk ekstraksi DNA Plasmodium falciparum meliputi : Buffer T.E. pH 8.0 (steril), aquabidest (steril), phenol pH  --> 8.0, phenol : chloroform  1:1 (pH-->8.0), proteinase – K 20 mg/mL dan tabung eppendorf 1,5 ml (steril). Bahan-bahan untuk PCR terdiri atas Buffer PCR, MgCl2, taq DNA Polymerase, dNTP: dATP, dCTP, dGTP, dTTP, deionized dH2O, Mineral Oil. Bahan-bahan untuk elektroforesis terdiri atas Agarose, TAE 10x, dH2O, Ethidine bromide 10 mg/mL, Loading buffer dan DNA marker. Peralatan terdiri atas Mikrosentrifuge, Mesin PCR dan Pipet (0.5 – 10 μL, 5 - 40 μL, 40 - 200 μL, 200 – 1000 μL), Tip kuning & biru (steril), Tanki Elektroforesis, Power Supply, U.V.Transilluminator dan Alat forograf (Polaroid).

Persiapan/pembuatan bahan-bahan :
Untuk melaksanakan pemeriksaan biomolekuler, terlebih dahulu disiapkan : (1). Larutan ACD (Acid Citric Dextrose) disusun atas Trisodin citrate 22 g, Citric acid 8 g, Dextrose (D-glucose) 24.5 g,  Jadikan 100 mL, sterilisasi dengan filter, (2). Larutan Buffer T.E terdiri atas : 1 M Tris Cl (pH 8.0) → (stock), 250 m EDTA (pH 8.0) → (stock), Untuk 100 mL TE Buffer (1 mL (a) + 400 μL (b) + ddH2O → 100 mL, (3). Buffer Lysis meliputi : 10 mM Tris Cl (pH 8.0), 100 mM NaCl, 1 mM Na2  EDTA (pH8.0), 0,5 % SDS (W/V) dan 0,4 mg/mL Proteinase –K, (4). Larutan TAE 10 x terdiri atas : Tris base →  48,4 g, glacial acetic acid     → 11,42 mL, 0,25 M EDTA pH 8.0, ddH2O up t → 1000 mL, (5). Loading buffer terdiri atas : Bromophenal blue → 0.075 g, Sucrose → 12.0 g dan H2O  up to 1000 mL aliquot 1 mL dalam eppendorf, dan (6). Agarose 1.5% terdiri atas : Agarose 0.75 g, TAE 10 x 5  mL, dH2O  up to 50 mL, (Mikrowave    1’ 30” Diamkan  5’ Tambahkan 5  μL Ethidin bromide & campur  Tuang dalam cetakan gel.

 Prosedur
 a. Ekstraksi DNA dengan phenol : chloroform
Sampel beku di tawing (darah dari lap yang dibekukan). Setelah mencair letakkan dalam es lalu disentrifuge 12.000 rpm 10’, kemudian buang supernatan dan tambahkan 1 (satu)  ml saporin 0,5%, campur hingga terlarut. Diamkan dalam es selama 5 menit, sentrifuge 12.000 rpm 10 menit dan buang supernatan yang terbentuk. Resuspensi pelet dengan 25 μL Lysis buffer, Vartex hingga larut. Kemudian tambahkan 100 μL dH2O, campur dan inkubasi dalam suhu kamar 4-15 j, lalu tambahkan 400 μL dH2O, campur vartex. Lysate biasanya sangat viscous. Inkubasikan dalam suhu kamar 10-15 sambil divartex beberapa kali. Tambahkan 500 μL (equal volume) Tris equillibrated phenol (pH 8.0). Vartex/gojok kuat-kuat, sentrifuge 12.000 rpm 10 menit. Ambil fase air diatasnya dan masukkan ke tabung baru. Tambahkan 400-500 μL(equal volume) phenol:chloroform soution campur dan digojok manual/dengan vartex.lalu sentrifuge 12.000 rpm 10 menit Ambil fase air diatasnya, masukkan ke tabung baru yang telah berisi 45 μL Sodium acetate 3.0M pH 5.0. Campur dengan vartex perlahan-lahan, tambahkan 2 volume (± 1mL) Ethanol absolute dingin (telah disimpan dalam -20o C) Campur dengan vartex/dibolak-balik secara manual. Simpan tabung dalam -20o C/ -70o C semalam. Esok hari sentrifuge 12.000 10menit. Buang supernatan dengan pipet hati-hati; keringkan tabung dalam suhu kamar (tutup dengan parafin) Larutkan DNA dengan 50 μL buffer T.E./ddH2O.

b. Prosedur PCR
Campuran larutan yang dibutuhkan untuk PCR terdiri atas : Buffer PCR sebanyak 5 μL, MgCl2 sebanyak 1.5 μL, dNTP sebanyak 1.0 μL, Primer Forward 0,5 μL, Primer Reverse 0,5 μL, Template sebanyak 10 μL, Taq DNA Polymerase sebanyak 1.5 μL dan ddH2O 30,5 μL/50 μL. Kondisi PCR untuk melakukan amplifikasi DNA meliputi : Denaturasi pada suhu 94o C 25”, Anealing dengan suhu 50o C 35”, Ekstensi 68o C 2’ 30” dan Jumlah siklus                     30 x.
Persiapan Elektroforesis dalam gel agarose 1,5 % terdiri atas Loading buffer 4 μL, Sampel (Produk PCR) 4 μL, Campur dengan pipet & load dalam gel, Elektroforesis di voltase konstan 100 volt dan Lihat band dengan UV, transluminator. Analisis sekuensing DNA P.falciparum Fragmen DNA hasil amplifikasi PCR disekuensing untuk  melihat susunan DNA masing-masing isolate P.falciparum. Sekuensing dilakukan menggunakan metode Sanger et al (1975) berbasis metode chain terminating inhibitor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan sampel darah malaria di RSUD Solok Selatan, RSUD Pesisir Selatan dan RSUD Mentawai diawali dengan pengambilan data tentang latar belakang sosial ekonomi pasien.
Dari hasil tabulasi dapat diketahui bahwa sebahagian besar penderita malaria berprofesi sebaga petani/peternak, sebahagian lainnya berprofesi sebagai pegawai negeri, rumah tangga, pedagang dan pelajar. Untuk lebih jelasnya latar belakang sosial ekonomi penderita malaria yang menjadi sampel penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Latar Belakang Sosial Ekonomi Penderita Malaria pada RSUD Daerah
              Endemi Sumatera Barat (Parasite count >1000)
Umur Penderita
(Tahun)
Profesi
Jumlah
%
Pegawai
Negeri
Swasta
Pedagang
Petani/
Peternak
Pelajar
Lainnya
12 – 21
21 – 42
> 42
-
3
1
3
9
5
5
14
9
4
-
-
2
2
3
14
28
18
23,3
46,7
30
Jumlah
4
17
28
4
7
60
100
Sumber : Hasil Penelitian.

Hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap sampel darah pasien malaria yang diperoleh dari tiga Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di daerah-daerah endemi malaria Sumatera Barat yaitu RSUD Solok Selatan, RSUD Pesisir Selatan dan RSUD Mentawai, berhasil diperoleh 60 sampel yang positif terinfeksi malaria falciparum, yaitu 20 sampel darah untuk setiap daerah. Kesemua sampel darah tersebut adalah sampel darah penderita malaria yang sudah diperiksa di laboratorium dengan hasil parasite count lebih dari 1000.
Dari analisa 60 sampel darah yang berasal dari penderita malaria dengan parasite count > 1000 diperoleh hasil : 23,3% (14 sampel) adalah anak usia 12 – 21 tahun, 46,7% (28 sampel) adalah orang dewasa berumur 21 – 42 tahun dan 30% (18 sampel) sisanya berasal dari penderita malaria yang berusia lebih dari 42 tahun. Hasil optimasi PCR didapatkan ; denaturasi 940 C, annealing 550 C, exstention 700 C dengan 35 siklus.
Keragaman genetik P.falciparum telah dianalisa melalui proses amplifikasi dengan PCR terhadap daerah polimorfik pada gen MSP1. Tiga tipe alel yang ditemukan pada blok 2 MSP1 adalah K1, Mad20 dan RO33. Fragmen yang dideteksi dari tipe alel K1 memperlihatkan ukuran 290 bp, tipe alel Mad20 berukuran 238 dan tipe alel RO33 berukuran 190 bp. Alel yang paling banyak dijumpai adalah alel K1 63% (N=40) dan Mad20 (26%) sedangkan RO33 dijumpai 11%. Dalam analisis gen-gen kopi tunggal seperti MSP1 hanya satu fragmen PCR diharapkan dihasilkan oleh parasit haploid. Kajian ini memperlihatkan tingginya frekuensi infeksi campuran, dengan keberadaan lebih dari satu tipe populasi parasit yang berbeda secara genetik di dalam individu yang sama.
Hasil elektroforesa terhadap DNA amplifikasi menggunakan primer OK1 OK2 memperlihatkan bahwa pada gel dijumpai band pada fragmen 190 bp (Gambar1). Fragmen ini sama dengan yang ditemukan di Kolombia dan India.

Untitled-1 copy

Gambar 1. Fragmen K1 dengan Primer OK1 OK2


OK1OK2OK3OK4 25 09 09

Gambar 3. Fragmen MAD20 dengan primer OK3 OK4

ok5ro33 191009 2
Gambar 4. Fragmen RO33 dengan primer OK5 OK6


KESIMPULAN
Dari analisa 60 sampel darah yang berasal dari penderita malaria dengan parasite count > 1000 diperoleh hasil : 23,3% (14 sampel) adalah anak usia 12 – 21 tahun, 46,7% (28 sampel) adalah orang dewasa berumur 21 – 42 tahun dan 30% (18 sampel) sisanya berasal dari penderita malaria yang berusia lebih dari 42 tahun.
Didapatkan alel K1, MAD20 dan RO33 pada daerah endemi malaria Sumatera Barat. Keragaman genetik P.falciparum telah dianalisa melalui proses amplifikasi dengan PCR terhadap daerah polimorfik pada gen MSP1. Fragmen yang dideteksi dari tipe alel K1 memperlihatkan ukuran 290 bp, tipe alel Mad20 berukuran 238 dan tipe alel RO33 berukuran 190 bp. Alel yang paling banyak dijumpai adalah alel K1 63% (N=40) dan Mad20 (26%) sedangkan RO33 dijumpai 11%.
Dalam analisis gen-gen kopi tunggal seperti MSP1 hanya satu fragmen PCR diharapkan dihasilkan oleh parasit haploid. Kajian ini memperlihatkan tingginya frekuensi infeksi campuran, dengan keberadaan lebih dari satu tipe populasi parasit yang berbeda secara genetik di dalam individu yang sama.


DAFTAR PUSTAKA.

1.            Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2004. Riset Operasional Intensifikasi  Pemberantasan penyakit menular Tahun 1998/1999-2003, Departemen  Kesehatan,  Jakarta:50-67.
2.            Departemen Kesehatan, 2005. Panduan Pos malaria Desa dan Pemberdayaannya, Ditjen  PPM&PL, Jakarta.
3.            Departemen Kesehatan, 2006. Pedoman Penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia, Ditjen PPM&PL, Jakarta.
4.            WHO, 2005. Global Malaria Control, WHO Report, Surveillance, Planning,Financing  Geneva.
5.            Kidgell, C, Volkman SK, Daily J, Borevitz JO, Plouffe D, et al. A Systemic map of genetic variation in Plasmodium falciparum http://pathogens. Plos journals.org/perlserv/?request=getdocument&doi=10.1371/journal.p.
6.            Gunawan S, Epidemiologi Malaria. Dalam : Harijanto PN (Ed). Malaria, Epidemiologi,  patogensis, manifestasi klinis & penanganan. Jakarta, EGC. 2000: 1-64.
7.            Lacount DJ, Vignali M, Chettier R, Phansalkar A, et al. A protein interaction network of the malarian parasite Plasmodium falciparum. Nature [NLMMEDLINE]  Nov 3 2005. Vol. 438, Iss. 7064; pg. 103
8.            Anthony TG, Conway DJ, Cox-Singh J, Matuon A, et al. Fragmented population structure of Plasmodium falciparum in a region of declining endemicity.    Journal of Infectious Diseases[NLM-MEDLINE]. May 1 2005. Vol. 191, Iss. 9; pg. 1558
9.            Chih DT, Heath CH, Murray RJ. Outpatient treatment of malaria in recently arrived African migrants. Medical Journal of Australia [NLM-MEDLINE]. Dec 4 2006. Vol. 185, Iss. 11-12; pg. 598
10.        Belizario VY, Pasay CJ, Bersabe MJ, de Leon WU, et al. Field evaluation of mal-aria rapid diagnostic tests for the diagnosis of P. falciparum and non-P. falciparum infections. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health [NLM-MEDLINE]. May 2005. Vol. 36, Iss. 3; pg. 552
11.        Anantrakulsil S, Maneerat Y, Wilairatana P, Krudsood S,  et al. Hematopoietic fea-tures and apoptosis in the bone marrow of severe Plasmodium falciparum-infected patients: preliminary study. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health [NLM-MEDLINE]. May 2005. Vol. 36, Iss. 3; pg. 543
12.        Beg MA, Ali SS, Haqqee R, Khan MA, et al. Rapid immunochromatography based detection of mixed species malaria infection in Pakistan. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health [NLM-MEDLINE]. May 2005. Vol. 36, Iss. 3; pg. 562
13.        Ramharter M, Grobusch MP, Kiessling G, Adegnika AA, et al. Clinical and parasito-logical characteristics of puerperal malaria. Journal of Infectious Diseases[NLM-MEDLINE]. Mar 15 2005. Vol. 191, Iss. 6;  pg. 1005
14.        Shanbag P, Juvekar M, More V, Vaidya M,  Exchange transfusion in children with severe falciparum malaria and heavy parasitemia. Annals of Tropical Paediatrics [NLM-MEDLINE]. Sep 2006. Vol. 26, Iss. 3; pg. 199
15.        Mohanty S, Patel DK, Pat SS, Mishra SK,  Adjuvant therapy in cerebral malaria. Indian Journasl of Medical Research [NLM-MEDLINE]. Sep 2006. Vol. 124, Iss. 3; pg. 245
16.        Gatton ML, Cheng Q, Plasmodium falciparum infection dynamics and transmis-sion potential following with sulfadoxine-pyrimethamine. The Journal of Antimicrobial Chemotherapy [NLM-MEDLINE]. Jul 2006. Vol. 58, ss. 1; pg. 47
17.        Susan Okie,  Betting on malaria vaccine. The New England Journal of medicine, Boston; Nov. 3 2005. Vol. 353, Iss. 18; pg. 1877, 5 pgs
18.        Cohuet A, Osta MA, Morlais I, Awono-Ambene PH. et al.  Anopheles and Plasmo-dium : from laboratory models to natural sustems in the field.  EMBO Reports [NLM-MEDLINE]. Dec 2006. Vol. 7, Iss. 12; pg. 1285
19.        Quashie NB, Akanjmori BD, Ofori-Adjei D,  Goka BQ, Kurtzahls JA,  Factors contributing to the development of anemia in Plasmodium falciparum malaria: what about drug-resistant parasitesw? Journal of Tropical Paediatrics [NLM-MEDLINE]. Aug 2006  Vol. 52, Iss. 4; pg. 254.
20.        Ordi J, Menendez C, Ismail MR, Ventura J, et al. Placental malaria is associated with cell-mediated inflammatory responses with selective absence of  natural killer  cells. Journal of Infectious Diseases[NLM-MEDLINE]. Apr 1 2001. Vol. 183, Iss. 7;  pg. 1100
21.        Meerman L, Ord R, Bousema JT, van Niekerk M, et al. Carriage of chloroquine-resistant  parasites and delay of  effective treatment increase the  risk  of severe malaria in Gambian children. Journal of Infectious Diseases[NLM-MEDLINE]. Nov 1  2005. Vol. 192, Iss. 9;  pg. 1651




1 comment:
Write komentar
  1. [url=http://vtyupdr.com]VbnTglIwAVdKsQF[/url] - CmNpMgDIwZjF , http://iluubcb.com

    ReplyDelete

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi