Monday, November 8, 2010

SOSIALISASI NILAI KEBAIKAN: TINJAUAN TERHADAP PERAN ILMU, PENDIDIKAN, KELUARGA, DAN SISTEM SOSIAL DALAM MENCEGAH KORUPSI

 


 
SOSIALISASI NILAI KEBAIKAN: TINJAUAN TERHADAP PERAN ILMU, PENDIDIKAN, KELUARGA, DAN SISTEM SOSIAL
DALAM MENCEGAH KORUPSI

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu fenomena yang menonjol di Indonesia belakangan ini ialah banyaknya
kejahatan, terutama korupsi, yang dilakukan kaum terpelajar (white collar crime) yang kebetulan menduduki posisi tertentu, baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan di kalangan pengelola perusahaan milik negara. Tingginya angka koprupsi di Indonesia dalam berbagai lini kehidupan telah menempatkan Indonesia sebagai negara tingkat korupsi paling tinggi dengan skor 9,92, sedangkan skor tertinggi untuk negara paling korup sebanyak 10. Demikian hasil survai PERC (Political and Economic Risk Consultancy) sebuah lembaga survai yang berpusat di Hong Kong -- tahun 2002 dengan melakukan wawancara terhadap 1000 orang ekspatriat dari berbagai Negara Asia. Dalam karya tulis ini korupsi sebagai acuan pokok dalam pembahasan dengan berbagai pendekatan yang mengrahkan bahwa korupsi merupakan tindakan yang salah dan berbahaya yang akan mengerogoti perekonomian suatu bnagsa.

B. TUJUAN PENULISAN
Pembahasan yang dikemukakan dalam makalah ini memiliki tujuan khusus dan tujuan umum yang dimana bertujuan untuk :
a. status korupsi di indonesia di mata dunai
b. tujuan perbandingan analisi korupsi di indonesia dengan negara lain
c. perlukah aspek pendekatan pendidikan, moral dan agama terhadap pandangan korupsi
e. upaya dalammenggulangi korupsi

BAB II
SOSIALISASI NILAI KEBAIKAN: TINJAUAN TERHADAP PERANILMU, PENDIDIKAN, KELUARGA, DAN SISTEM SOSIAL
DALAM MENCEGAH KORUPSI

A. PENGANTAR
Suatu sumber front nasional2 tentang kasus korupsi masa orde baru juga menyebutkan angka korupsi yang amat fantastis yang tersebar di berbagai lembaga pemerintahan. Meskipun belum dapat dibuktikan secara hukum dan belum dapat dimajukan ke persidangan, namun fakta bahwa telah terjadi korupsi di berbagai lembaga negara dirasakan semua pihak. Survey yang dilakukan oleh suatu lembaga independen di Jakarta menyebutkan bahwa bentuk korupsi oleh berbagai penyelenggara negara di Indonesia telah dirasakan dalam bentuk pembayaran tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh rumahtangga maupun perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Disebutkan dalam survey itu bahwa Badan Pertanahan Nasional merupakan lembaga publik yang paling rawan korupsi. Lebih menyedihkan lagi bahwa jumlah suap yang dibayar berbagai perusahaan ketika melakukan berbagai kepentingan dengan lembaga publik sangat beragam, dan menunjukkan betapa lembaga publik yang selayaknya menjadi lembaga pelayanan masyarakat telah berubah menjadi lembaga yang melakukan “pemerasan terselubung” terhadap semua pihak yang memerlukan jasanya.
Tabel 1. Lembaga Publik Tempat Korupsi Paling Lazim
Tim Bank Dunia yang dipimpin Katherine Marshall – Direktur Bank Dunia untuk
wilayah Asia dan Fasifik – dalam kunjungan ke Indonesia, menggambarkan bahwa korupsi terjadi baik di sektor publik maupun sektor swasta, telah menyebar secara sistemik dan susah dibuktikan. Masyarakat akan berhadapan dengan praktek-praktek korupsi ketika mereka membutuhkan pelayanan publik. Di masa-masa mendatang, lanjut Marshall, praktek korupsi di Indonesia akan semakin buruk, yang akan berpengaruh terhadap setiap proyek pembangunan, termasuk investasi Bank Dunia dan donor lain.3 Lebih menyedihkan lagi bahwa pelaku korupsi bukan hanya dilakukan oleh eksekutif, birokrat atau petugas pelayanan publik, tetapi justru masuk ke lembaga legislative seperti DPR dan DPRD, setidaknya begitulah laporan Tempo Interaktif, 16 September 2001.
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Suap yang Dibayar oleh Perusahaan Lembaga Publik

Meski korupsi hanyalah salah satu bentuk kejahatan dari beragam bentuk kejahatan yang ada di dunia, namun paling tidak ini merupakan ukuran yang paling konkret tentang rusaknya suatu sistem normatif yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yang memang berfungsi untuk mengatur (to govern). Kehancuran suatu bangsa tentu dapat dilihat dari hancurnya sistem ketatanegaraan, sebagaimana kehancuran kekaisaran Yunani dan Romawi di Eropa. Lebih lanjut dilaporkan bahwa meski tidak terdapat hubungan yang signifikan antara korupsi4 dengan tingkat pendidikan, namun terdapat kecenderungan bahwa indeks korupsi paling tinggi dilakukan oleh mereka yang bergelar Master atau lebih tinggi.
Kondisi ini tentu amat memprihatinkan, mengingat individu yang berpendidikan tinggi diharapkan memberikan teladan moral paling tinggi. Pertanyaannya adalah: 1) apa yang seharusnya dilakukan agar kejahatan dan demoralisasi tidak semakin meluas?; 2) bagaimana sistem pendidikan dan keilmuan itu sendiri seharusnya berkembang?; 3) bagaimana peran keluarga dan sistem social kemasyarakatan dalam membentuk individu dan masyarakat yang berkarakter mulia? Berdasarkan permasalahan itu maka paper ini disusun untuk menjawab beberapa tujuan 1) Menguraikan kelemahan dan peran ilmu pengetahuan dan institusi pendidikan yang seharusnya terhadap sosialisasi nilai kebaikan. 2) Menguraikan kelemahan dan peran institusi keluarga dan sistem sosial kemayarakatan yang seharusnya bagi sosialisasi nilai kebaikan.

B. PERAN ILMU DALAM PEMAHAMAN NILAI KEBAIKAN
Mengapa manusia berpendidikan (tinggi) di dunia tidak memiliki budaya malu? “Ilmu berkembang tanpa wisdom,” tulis Paul Bond. Paul Bond mengakui kehebatan ilmu dan teknologi yang berkembang belakangan ini, khususnya industrialisasi Amerika Serikat. “Kita dapat menikmati kebebasan dan kepuasan akibat revolusi sekularisme,” tulisnya. Namun ia menyesali bahwa materialis telah menolak Tuhan, sekularis telah mengesampingkan Tuhan. Dalam bukunya yang terdiri dari 14 bab, ia mengusulkan perlunya internalisasi nilai ke dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia menegaskan: “The complete secularization of science, education, industry, and society in the West and East will lead to ultimate disaster.” 5 Kehampaan nilai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi juga dirasakan Francis Saunderaraj. Penulis yang aktivis gereja itu mengemukakan sejumlah isu yang dirasakan manusia abad ke-20.

Semangat pencerahan (enlightenment) yang muncul di Eropa sejak abad ke-18, menurut Saunderaraj, telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan masyarakat hampa nilai. Sebagai akibatnya, Sunderaraj menyesali terjadinya erosi nilai-nilai moral masyarakat, termasuk di kalangan ilmuwan. Kehancuran nilai-nilai moral, menurut pengamatannya, karena tiga alasan utama. Pertama, kita hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk memperoleh materi yang sangat cepat. Kecenderungan profit oriented menghalalkan segala cara. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada keberhasilan (succsess oriented society) yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada kehampaan nilai-nilai moral.6 Karena itu, Saunderaraj dan Bond menghendaki adanya proses internalisasi nilai pada sains dan teknologi.

Teori-teori ilmiah hanya semata-mata hasil pengamatan manusia secara sistematis terhadap realitas empiris tanpa ada pengaruh nilai. Itulah pandangan epistemologis yang cenderung “antropo-sentrisme.” Epistemologi “antropo-sentrisme” Barat yang hampa nilai telah gagal memanusiakan manusia, seperti dikritik Bond dan Saunderaraj. Rumusan-rumusan empiris dalam bentuk teori, hukum, norma, dan etika yang semata-mata didasarkan pada manusia menimbulkan berbagai kontradiksi, seperti kebebasan tanpa batas, kesenjangan ekonomi, hedonistik dan yang semacamnya. Asumsi yang melahirkan teori bahwa manusia merupakan makhluk ekonomi yang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil mungkin melahirkan pola hidup hedonistik, mencari keuntungan dengan menghalalkan segala cara. Berbeda dengan pola pikir sains yang bebas nilai, pola pikir rasional justru sarat nilai. MM Ismail, seorang guru besar Universitas Mesir menyebutkan:  “Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indra yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indra menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau ide, yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini mencakup pengkajian obyek yang dapat diindra maupun yang abstrak yang berkaiatan dengan pemikiran.”

Berbagai teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini, sebenarnya merupakan pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan terdahulu yang sudah dimiliki seseorang. Demikian halnya teori-teori yang terkait dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai. Teori Darwin tentang asal usul manusia jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu. Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail menegaskan, pola pikir rasional terdiri dari: fakta empiris, benak manusia, panca indra, dan pengetahuan atau informasi yang dimiliki. Berpikir dalam perspektif pola pikir rasional merupakan proses pemindahan fakta empiris dan pengambilan keputusan atau sikap atas fakta berdasarkan informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki. Epistemologi ilmu yang dibangun atas landasan nilai-nilai moral diharapkan akan melahirkan perilaku yang sarat moral. Mereka memiliki profesionalisme yang tinggi dalam bidang ilmu yang menjadi kajiannya, memiliki tanggung jawab moral yang sangat tinggi dan sangat malu melakukan pelanggaran moral. Mereka juga memiliki tanggung jawab sosial dalam arti berusaha menghilangkan kejahatan dam ketidakadilan.

C. PENDIDIKAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
Di Amerika aliran positivism telah merubah paradigma pendidikan yang mulai
menghilangkan pengajaran nilai moral kepada anak-anak, sehinga melahirkan budaya baru yang anti kemapanan, budaya materialism dan hedonistik yang tinggi.9 Kebingungan untuk mengajarkan nilai-nilai siapa yang akan diajarkan (whose values should be taught?) juga menjadi pertimbangan mereka mengingat masyarakat yang sangat heterogen Benson dan Engeman dalam bukunya Amoral America10 menjelaskan bahwa metode pendidikan bangsa Amerika pada tahun 1960-an, saat aliran positivism dan kemajuan ilmu dan teknologi demikan pesat, justru telah melahirkan tingkat demoralisasi yang demikian tinggi yang diukur dari tingginya tingkat perceraian, angka aborsi, angka penderita penyakit akibat hubungan seksual, tingkat kriminalitas dan pelanggaran hukum remaja, berkali-kali lipat selama 3 dekade hingga tahun 1990-an.

Kemerdekaan pendapat dan kebebasan hak asasi manusia yang begitu tinggi juga telah membentuk struktur masyarakat Amerika baru, karena saat dinyatakan dewasa (berdasarkan usia), individu bebas menentukan hidupnya sendiri. Namun kesadaran akan pentingnya sosialisasi nilai pada bangsa Amerika saat ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya angka kriminalitas dan demoralisasi bangsa Amerika.11 Pada masa pemerintahan Presiden Clinton pada tahun 1997 State of the Union Address menekankan pentingnya pendidikan moral sebagai point utama dalam reformasi pendidikan di Amerika.12 Kesadaran bangsa Amerika tentang pentingnya pendidikan moral dan perlunya sosialisasi nilai mematahkan teori tentang nilai kebaikan yang sebelumnya dianggap merupakan pelanggaran dan pemaksaan terhadap hak asasi manusia Amerika yang sangat mengedepankan kebebasan dan kemerdekaan berpendapat. . Sejak tahun 1990-an dimulailah apa yang disebut pengajaran nilai kebaikan universal (the golden rule) di Amerika yaitu nilai-nilai kebaikan dan kebajikan manusia yang melewati batas budaya, etnik dan agama, yang dijadikan acuan dalam mendidik anak-anak dan kaum remaja sebagai warga negara dan individu yang baik (be a good citizens). Terdapat enam nilai yang dijadikan acuan dan dianggap universally valid yaitu (1) kepercayaan (trustworthiness), (2) saling menghargai (respect), (3) bertanggungjawab (responsibility), (4) adil (fairness), (5) kasih sayang (caring) dan (6) kewarganegaraan (citizenship).13 Hal ini memperlihatkan kepercayaan bangsa Amerika yang tinggi terhadap pentingnya tata nilai yang bersifat abstrak dan tidak nyata yang sekaligus menunjukkan pula bahwa dalam pemahaman terhadap esensi manusia dan harkat manusia, maka budaya, agama dan ras merupakan simbol yang mewarnai manusia, namun intinya adalah pada kemanusiaan manusia (humanity) itu sendiri.

Sekolah adalah institusi sosial -- selain keluarga -- yang mempunyai pengaruh kuat untuk menanamkan dan menumbuhkan kekuatan moral manusia (Lickona, 1992) mulai masa usia sekolah hingga usia dewasa. Jarrett (dalam Syamsuhidajat 1998) menjelaskan bahwa pendidikan tata nilai di sekolah seharusnya lebih ditekankan pada pentingnya latihan, sikap dan praktek sejalan dengan kewajiban untuk terus menerus mengembangkan diri ke tingkat kesadaran diri yang lebih tinggi. Hidayat (2001) menyatakan bahwa pola pendidikan yang ideal harus menyesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan psikologi anak (psikososial, kognitif dan moral), serta memperhatikan pengembangan kecerdasan emosional (EQ) dan moral di samping pengembangan kecerdasan kognitif. Kecerdasan emosional merupakan landasan perkembangan kepribadian seseorang, dimana kemampuan mengelola dan mengendalikan emosi dilatih untuk dikuasai oleh setiap individu. Dalam praktek pendidikan di Indonesia, kecerdasan emosional lebih besar porsinya (dalam kurikulum) pada jenjang pendidikan TK dan SD, dan berkurang pada SLTP dan SMU, serta mencapai porsi minimal pada pendidikan di Perguruan Tinggi. Selama ini sistem pendidikan kita terlanjur lebih menekankan keberhasilan penguasaan intelektual (Intelligence Quotient atau IQ) tanpa diimbangi keseimbangan emotional quotient (EQ), padahal keberhasilan IQ tanpa EQ menyebabkan individu mengalami kekurangan, antara lain, dalam pengelolaan dan pengendalian emosi, pembinaan hubungan sosial, empati, dan ketekunan. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan karir kelak ketika dewasa. Beberapa literatur menyebutkan kualitas emosi yang penting dikembangkan dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan ialah: 1) kemampuan empati; 2) memahami perasaan sendiri; 3) mengungkapkan perasaan; 4) mengendalikan amarah; 5) kemandirian; 6) kemampuan menyesuaikan diri; 7) memecahkan masalah antar pribadi; 8) kesetiakawanan; 9) keramahan; 10) kejujuran; 11) menghormati orang lain; dan 12) menumbuhkan rasa tanggung jawab.

Dengan pola pendidikan yang menyelaraskan perkembangan IQ dan EQ diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berilmu pengetahuan, beretika moral, berahlak, menjunjung tinggi martabat manusia dan berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah dan pendidikan umumnya harus menjadi wahana agar individu mengetahui kebaikan, merasakan kebaikan dan menjalankan kebaikan, melalui latihan yang terus menerus sepanjang rentang pendidikan itu berlangsung. Jika tidak, maka sekolah (betapapun tingginya) hanya menjadi tempat untuk mengetahui (to achieve knowledge, not wisdom).

D. KELUARGA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER INDIVIDU
Menurut Patrick Fagan, dan Dana Mack14 kehancuran moral bangsa Amerika saat ini berhubungan dengan lemahnya institusi keluarga Amerika dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan. Munculnya fenomena single parent family, unmarried family, cohabitation family, dan lain-lain di Amerika telah melemahkan fungsi orangtua dalam mendidik dan mengajarkan nilai kebaikan. Nilai penghormatan hak asasi manusia yang demikian tinggi pada bangsa Amerika secara langsung maupun tidak langsung telah memperlemah otoritas orangtua terhadap anak-anaknya. Bahkan Dana Mack mengulas peran media massa dalam merubah tatanan nilai-nilai dalam keluarga. Apa yang terjadi pada bangsa Indonesia? Apakah keluarga telah menjadi lemah perannya dalam sosialisasi nilai kebaikan sehingga tidak dapat menciptakan individu bermoral.


 Keluarga Indonesia mulai periode tahun 70-an berada pada tahap transisi dari keluarga tradisional (traditional directed) menjadi keluarga modern (inner directed), dimana terdapat perbedaan sangat besar dalam hal penghormatan terhadap hak otoritas orangtua, nilai anak, sistem kekerabatan, kepatuhan (obedience) terhadap kerabat, kesesuaian dan keserasian dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, serta kebebasan individual. Pada keluarga modern yang berlaku adalah kebebasan individual dan kemerdekaan untuk berpendapat dimana hak-hak individu, termasuk hak anak, amat dihargai. Ciri keluarga modern lainnya adalah tingginya partisipasi wanita pada dunia kerja yang sekaligus menggeser fungsi ibu dalam mengasuh anak-anak (parenting). Angka partisipasi perempuan Indonesia di dunia publik saat ini telah mencapai sekitar 30-40 persen, dan mungkin akan meningkat lagi seiring meningkatnya pendidikan kaum perempuan. Jika 40 persen saja dari jumlah tersebut merupakan ibu maka dapat dibayangkan jumlah ibu yang juga bekerja di luar rumah.

Dimasukkannya anak ke sekolah secara dini juga menjadi pemicu melemahnya ikatan emosi (emotional bonding) ibu dan anak, yang merupakan masa penting bagi terbentuknya kualitas diri manusia. Meski kelemahan institusi keluarga bukan hanya terletak pada ibu, namun pengetahuan tentang bagaimana pengasuhan yang tepat menjadi amat penting bagi ibu dan keluarga pada era globalisasi saat ini. Karena penelitian di Amerika dan beberapa negara di Afrika seperti dibuktikan oleh Ainsworth15 menunjukkan adanya kaitan antara pengasuhan yang tepat (securely attached) dengan tumbuhnya anak-anak yang otonom dan mandiri. Penelitian longitudinal Conger juga memperlihatkan bahwa anak-anak yang anti sosial, yaitu anak remaja yang terlibat pada kecanduan narkoba, alkohol dan perkelahian antar geng, adalah anak-anak yang diasuh secara kasar (harsh and strict parenting atau disebut juga inept parenting), dan faktor pengasuhan ini amat dominan melebihi faktor perceraian (divorce) dan ketidakstabilan ekonomi keluarga (economic hardship atau poverty). Keluarga juga merupakan institusi dasar (fundamental unit of society) yang dapat menjalankan peran fungsional dan ekspresif-nya dalam membentuk individu melalui proses sosialisasi terus menerus kepada anak-anaknya16, yang telah terbukti dapat melahirkan anakanak yang lebih bertanggungjawab (responsible), mandiri, kreatif, hormat (respect to others). Menurut Berger dan Berger hanya dalam keluargalah dapat diciptakan moral demokrasi pada individu yang saling menghargai (respect to others)17 yaitu keluarga yang penuh cinta, kasih sayang dan kehangatan pada anak-anak sepanjang rentang kehidupannya hingga dewasa. Dengan demikian keluarga amat berperanan dalam mensosialisasi nilai-nilai kebaikan kepada individu muda (young generations) dalam membentuk karakter yang mulia pada masa depan kelak. Secara jelas McCleland18 menulis bahwa praktek pengasuhan anak dalam keluarga merupakan masa penting yang dapat membentuk kematangan dan kedewasaan seorang individu melalui proses pengasuhan yang penuh cinta:
"So parents also need faith-faith that loving and believing in their children will
promote maturity in the long run, even though in the short run the children may
show less moral, decent behavior than they might like"

Bahkan Erich Neuman dalam bukunya The Child menulis dengan indahnya tentang peran ibu mulai masa pre natal (intra uterine phase) hingga tahun pertama kehidupan anak, dalam menjadikan anak-anak yang dapat membentuk diri sebagai manusia sempurna dengan human dignity, yaitu manusia yang mampu mencapai dirinya (the self) dan meninggalkan egonya (the ego). Bagi Sachiko Murata,19 individu yang paling tinggi moralnya adalah mereka yang telah sampai pada cahaya (the self) dan meninggalkan kegelapan (darkness), dimana tidak terjadi perbedaan (undifferentiated) antara diri manusia dengan sinar ilahiah.

E. PERAN SISTEM SOSIAL KEMASYARAKATAN
Ketika berbicara tentang peran sosial kemasyarakatan maka perlu dicermati bahwa manusia adalah sebuah sistem yang kompleks yang hidup sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat dimana ia berada (socially living being). Sebagai salah satu makhluk Tuhan manusia diberikan keunggulan pada kemampuan akal dan conscience yang tidak dimiliki makhluk hidup lain di bumi. Menurut Plato,20 manusia terdiri atas 3 bagian yaitu kepala (akal), dada (emosi dan semangat), perut (nafsu) yang memperlihatkan hierarki dan struktur dalam tubuh organik manusia. Bagi Plato ketiga aspek ini harus diseimbangkan sehingga terjadi harmoni dan terbentuk manusia yang sempurna. Dalam tataran negara maka struktur juga harus terdiri atas tiga bagian yaitu penguasa (rulers), para asistennya (auxiliaries) dan para pekerja (laborers). Struktur ini selanjutnya menjalankan fungsi-fungsi yang diembannya dengan baik melalui pembagian kerja (division of labor), dan kepercayaan (common beliefs) yang dapat menyatukan seluruh sistem kemasyarakatan.

Menurut Megawangi (2000) masyarakat dengan sistem yang mengimplementasikan tataran struktural fungsional adalah suatu sistem yang dipandang paling ideal dan selaras dengan nilai dasar kemanusian, yang seperti dikatakan Plato terdiri atas 3 bagian yang saling berinteraksi. Menurutnya, teori ini merupakan cikal bakal dari sistem kapitalisme dalam sebuah negara, seperti yang dipraktekkan Amerika atau Singapura sebagai contoh. Namun sekali lagi warna sistem tata negara ini untuk meraih kemajuan merupakan bagian dari budaya masyarakat, sehingga sistem yang sama akan dilaksanakan berbeda misalnya antara di Amerika dengan di Singapura. Seperti dikatakan Parsons, terdapat hubungan antar sistem sosial yang memberikan warna yaitu budaya, struktur sosial, karakter dan organisme, yang melalui interaksinya dengan subsistem-subsistem tersebut maka keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state).

Ketika melakukan internalisasi nilai-nilai moral terhadap proses perumusan teori-teori sosial ekonomi dan pembangunan, misalnya, hal ini akan membentuk individu-individu terpelajar memiliki tanggung jawab moral. Konsep “homo-economicus” barangkali akan berubah menjadi ekonomi yang berkeadilan. Manusia tidak akan menghalalkan segala carademi alasan ekonomi. Ukuran keberhasilan bukan hanya mencapai posisi tertentu yang diukur dengan perolehan materi melainkan kemampuan melakukan aktualisasi diri dalam bentuk usaha-usaha yang didasarkan pada tanggung jawab sosial. Hanya saja, setiap individu yang memiliki tanggung jawab moral akan berhadapan dengan realitas "ketidakadilan." Ia harus hidup sederhana di tengah-tengah kemewahan para birokrat korup, ia pun harus menyaksikan kekayaan alam yang dimiliki negerinya jatuh ke pihak lain tanpa dapat melakukan tindakan apa pun, dan ketika berhadapan dengan public service, ia pun harus melakukan perbuatan “curang” melayani birokrat korup. Ketika melakukan transaksi – dalam dunia akademis sekalipun – ia terpaksa harus melakukan kecurangan dengan membayar komisi kepada birokrat yang kebetulan memegang posisi tertentu. Hal ini akan memaksa individu untuk hidup pada dua dimensi, yakni dimensi kejujuran dan tanggung jawab moral dengan dimensi realitas yang penuh ketidakadilan. Karena itu, pengembangan teori-teori sosial, ekonomi, dan pembangunan harus didukung oleh sebuah sistem yang kondusif.

Pengelolaan sumber daya alam harus memungkinkan tercapainya keadilan distributif. Pertumbuhan ekonomi harus didesain sedemikian rupa agar mencapai pemerataan. Hasrat seseorang untuk memiliki dan mengembangkan harta melalui dunia usaha harus diaktualisasikan agar memungkinkan bagi seseorang memperoleh kekayaan sebanyak mungkin dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan tanggung jawab moral. Laju inflasi harus terkontrol agar kehidupan masyarakat tidak selalu tertekan. Harga-harga kebutuhan pokok harus terkendali agar dapat dicapai dengan mudah dan dengan harga murah, dan disinilah pemerintah (the true clean and good government) berperan. Sementara dunia pendidikan diharapkan tidak menjadi komoditas yang semakin mahal dan menisbikan nilai moral dan karakter dalam membentuk anak didiknya. Demikian pula keluarga harus didukung sedemikian rupa agar memahami benar bahwa keluarga dan terutama ibu merupakan individu paling bertanggungjawab dalam menciptakan  anak-anak bermoral saat ini dan individu dewasa bermoral di masa depan.

Dalam kondisi demikian, hukum harus dirumuskan menjadi sesuatu yang pasti dan berlaku bagi siapa pun tanpa kecuali (law enforcement). Masyarakat harus memungkinkan melakukan kontrol sosial terhadap mekanisme kekuasaan. Penguasa pun tidak alergi terhadap kritik. Setiap individu dalam masyarakat harus mendapat penghargaan tertentu. Mereka harus hidup dalam suasana yang diwarnai semangat equal opportunity untuk menikmati sumber daya alam.

Ilmuan dan kaum terpelajar harus dihargai sedemikian rupa ketika mereka melakukan proses-proses ilmu pengetahuan, sehingga akan terangsang melakukan penelitian ilmiah. Secara lebih kongkrit, Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (2002) mengusulkan beberapa pembaharuan untuk mengatasi korupsi. Pertama, pembaharuan lembaga pegawai negeri, meliputi: mengurangi sistem patronase pejabat pemerintahan, perbaikan pelayanan umum yang rawan korupsi, audit operasional, perekrutan profesional, sistem evaluasi kinerja, tata pemerintahan yang transparan dan akuntabilitas. Kedua, Pembaharuan bidang hukum, meliputi: peundang-undangan, kualitas para profesional, pembentukan komisi keadilan, serta informasi dan publikasi berbagai kasus kriminalitas. Ketiga, pengembangan pendidikan bagi warga negara, meliputi hak dan kewajiban warga negara dan sistem nilai dan moral yang perlu dikembangkan. Keempat, pembaharuan lain, meliputi: sektor keuangan (UU perbankan dan bank sentral), politik (khusus mengenai pencegahan politik uang), dan otonomi daerah. Lalu, yang menjadi persoalan: siapakah yang akan memulai, terutama ketika suasana sosial, politik dan ekonomi tidak berada dalam kondisi ideal? Seperti dikatakan Harefa (2001), guru (termasuk ilmuwan) adalah individu paling tinggi derajatnya, dan ia harus memiliki semangat untuk memberikan teladan dan melakukan perubahan, walaupun hal ini tidak mudah.

Mereka harus mampu menjadi perintis dalam merumuskan kondisi ideal yang bersifat praktis dan memberikan kontribusi bagi terciptanya individu berkarakter mulia, sehinga pada akhirnya dapat membentuk keluarga bermutu, dan masyarakat yang maju.

BAB II
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tulisan ini merupakan hasil tinjauan atau pendapat teoritis dari beberapa ilmuwan dan ahli tentang bagaimana masing-masing elemen: keilmuan, keluarga, pendidikan dan sosial kemasyarakatan dapat saling berkontibusi terhadap terbentuknya moral dan kebajikan dalam masyarakat. Peran ilmu dalam pemahaman nilai-nilai kebaikan tentu tidak terlalu ampuh jika tidak ada sistem yang mendukung. Sinergi antara pertahanan internal individu yang mengedepankan human dignity dan nilai kebaikan universal, dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi dan hukum akan menjadi pertahanan yang ampuh untuk tidak melakukan berbagai bentuk kejahatan. Setiap individu akan merasa sangat malu terhadap dirinya untuk menyalahgunakan wewenang atau melakukan kejahatan sekecil apapun, karena individu yang paling tinggi moral dan derajatnya adalah individu yang telah mampu menaklukkan egonya dan menuju kepada kedirian (the self) sebagai manusia sejati, yaitu manusia yang berbuat kebaikan (atau tidak berbuat kejahatan) karena keberadaan orang lain semata, tetapi manusia sejati adalah manusia yang telah menjadi dirinya sendiri: you are what you are when no body else see you, ia berbuat kebaikan demi kebaikan semata.

B. SARAN
Dalam perkembangnnya korupsi telah merebak ke berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia baik dalam lembaga pemerintah maupun swasta, adakalanya korupsi merupakan salah satu perilaku yang dianggap biasa dalam prakteknya, maka perlu beberapa pendekatan akan tindak korupsi sebagai tindakan yang salah dan harus diberantas melalui pendekatan keilmuan, keluarga moral maupun agama.



DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani, Taqyuddin. At-Tafkir (Beirut: Darul Ummat, 1973)
16 Septemebr 2001 dalam http://www.tempo.co.id dikunjungi Selasa 1 Oktober 2002.
Anonim, “Indonesia Negara Paling Korup di Asia,” Angin Surga dalam
http://www.surga.org/korup.html dikunjungi Selasa 1 Oktober 2002.
Berkowitz, M.W., The Education of the Complete Moral Person (1998).
Karen, R., “Becoming Attached,” The Atlantic Monthly, February, 1990.
Megawangi, R., Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. (Bandung: Pustaka Mizan, 1999).
Mutidjo, M. “Poverty and Corruption in Indonesia” dalam http://www.
stolaf.edu/cis/wp/mutidjo dikunjungi Senin, 30 September 2002.

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi