Monday, November 8, 2010

RESPON TOKOH ISLAM ATAS FATWA MUI TENTANG GERAKAN AHMADIYAH INDONESIA

 


RESPON TOKOH ISLAM ATAS FATWA MUI
TENTANG GERAKAN AHMADIYAH INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada tanggal 26-29 Juli 2005 MUI menyelenggarakan Munasnya yang ke-VII di Jakarta. Pada Munas kali ini lembaga fatwa ini mengeluarkan 11 fatwa, satu di antaranya adalah fatwa tentang aliran Ahmadiyah. Butir fatwa tentang aliran ini menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang berada di luar Islam, sehingga pengikutnya adalah murtad.1 Fatwa ini berdampak luas, namun yang paling memprihatinkan adalah terjadinya penyerangan yang dilakukan oleh sejumlah orang terhadap fasilitas-fasilitas milik Ahmadiyah,  di Parung Kabupaten Bogor. 2 Inilah yang mengakibatkan munculnya kritik dari banyak kalangan, di antaranya adalah berasal dari Masdar Farid Mas’udi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)3. Intellektual NU ini mengimbau agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencabut fatwanya, khususnya yang berkaitan dengan Ahmadiyah, karena dikhawatirkan dapat memicu meluasnya kekerasan yang mengatas namakan agama. Farid menghimbau agar fatwa lembaga ini, dapat ditarik dahulu untuk dipikirkan kembali dengan kearifan dan kedalaman ilmiah sesuai dengan karakter sejati keulamaan. Ketua Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu khawatir fatwa MUI tersebut akan mengakibatkan semakin meluasnya kekerasan atas nama agama.
Bagi kelompok yang selama ini kerap melakukan aksi kekerasan, fatwa tersebut dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan mereka. Mengeluarkan fatwa seperti itu sungguh-sungguh beresiko. Sangat dikhawatirkan fatwa itu akan dipakai oleh orang-orang tertentu dalam melakukan kekerasan, dalam arti fatwa dapat menjadi semacam justifikasi tindakan mereka. Jika ini terjadi, sulit dihindari bahwa MUI telah menjadi
inspirator tindakan-tindakan kekerasan itu. Menurut Masdar, fatwa merupakan aplikasi norma fikih yang diperuntukan bagi hal-hal yang bersifat tindakan atau perbuatan obyektif seperti masalah perjudian, korupsi, suap dan politik uang. Fatwa yang ditujukan terhadap hal-hal yang bersifat pemikiran atau pandangan hidup terasa melampaui batas dan tidak lazim.

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
Fatwa MUI yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah merupakan aliran bukan dari bagian syiar agama Islam,  dan berbagai tanggapan, respon sebagai implikasi dari fatwa MUI tersebut.

C. TUJUAN PENULISAN
Pembahasan yang dikemukakan dalam makalah ini memiliki tujuan khusus dan tujuan umum yang dimana bertujuan untuk :
a. metode fatwa MUI terhadap Ahmadiyah
b. tanggapan beberapa tokoh Islam
c. sosialisasi Fatwa MUI terhadap Ahmadiyah  
e. kehidupan sosial penganut aliran Ahmadiyah pasca fatwa MUI


BAB II
RESPON TOKOH ISLAM ATAS FATWA MUI
TENTANG GERAKAN AHMADIYAH INDONESIA

A. TINDAKAN FATWA MUI TERHADAP AHMADIYAH
Kini MUI bukan sekadar lembaga fatwa yang hanya mengurusi persoalan keagamaan kaum muslimin, tapi sudah terlibat dalam urusan sosial, politik, dan pemerintahan. Dan karenanya, ia telah menjadi lembaga publik yang memiliki implikasi bagi orang banyak. Suara MUI, misalnya, cukup kuat mempengaruhi kepolisian dalam urusan pemberantasan judi dan pelacuran. Suara MUI juga telah mempengaruhi batalnya pembentukan tim kecil dalam mengatasi persoalan judi di Jakarta. Dan yang terbaru, suara MUI juga dijadikan bahan pertimbangan bagi Mahkamah Agung untuk memutuskan perkara “aliran sesat” dalam Islam (kasus Ahmadiyah). Perjudian, pelacuran, dan “aliran sesat,” adalah persoalan menyangkut urusan agama. Tapi, masalah ini juga sangat erat terkait dengan isu kebebasan, hak-hak warga negara, dan aturan ruang publik secara umum. Pada satu sisi, MUI berperan sebagai lembaga keagamaan yang fungsinya sebatas mengurusipersoalan internal kaum muslim, sebuah fungsi yang mirip dengan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) bagi umat Katolik atau PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia) bagi umat Protestan. Tapi pada sisi lain, MUI kerap kali diposisikan --atau merasa dirinya-- sebagai sebuah lembaga penasehat pemerintah. Pada tanggal 21-22 Juli 2005 lalu di Bali, berlangsung Dialog Antar Agama Asia Eropa (Asia Europe Meeting Interfaith Dialogue), di mana NU, Muhammadiyah, dan MUI, termasuk Panitia Penyelenggara, melahirkan empat butir Deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Bali. Keempat butir itu dimaksud adalah: (1) Seluruh Agama dan Kepercayaan menganjurkan sikap perdamaian, saling mengasihi dan toleransi diantara umat manusia. (2) Menumbuhkan dan melindungi HAM serta kebebasan, termasuk hak individu untuk memilih agama atau keyakinan. (3) Masyarakat yang berbeda agama dan kepercayaan bersatu dan menegaskan tidak akan menggunakan aksi kekerasan. (4) Perdamaian, keadilan, kasih sayang dan toleransi perlu dipelihara untuk menciptakan lingkungan kondusif dalam membangun keselarasan komunitas dan masyarakat internasional.5 Sejak reformasi bergulir pada tahun 1997, masyarakat banyak disuguhi tindak kekerasan atas nama agama. Kekerasan tidak hanya terjadi antar satu pemeluk agama dengan pemeluk agama yang lain tetapi juga antara pemeluk satu agama. Dan yang berkenaan dengan penelitian ini adalah penyerangan terhadap kelompoh Ahmadiyah yang dilakukan pasca dikeluarkannya fatwa MUI tentang pelarangan aliran ini. Pertanyaanya kemudian adalah apakah lembaga MUI akan menjadi menjadi legitimator suatu tindak kekerasan? Pro dan kontra terhadap fatwa MUI bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar. Pertama kelompok yang mendukung fatwa tersebut. Ada sekitar 31 ormas Islam menyatakan mendukung fatwa MUI, Komite Islam untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Syarikat Islam, Al Irsyad. Kedua kelompok yang menolak fatwa, termasuk di dalamnya mereka yang menuntut dibubarkannya lembaga ini. Melihat kenyataan di atas harus ada sebuah upaya serius untuk menjernihkan persoalaan melalui sebuah kajian obyektif. Inilah pentingnya penelitian ini dilakukan. Di samping itu penelitian ini bisa dijadikan sebagai parameter untuk melihat eksistensi MUI di masa-masa mendatang. Karenanya kajian secara detail dan obyektif tentang aspek metodologis maupun kondisi sosial politik muculnya fatwa tersebut adalah suatu keniscayaan. Pertanyaan pokok dari penelitian ini adalah i) Bagaimana ajaran dan perilaku Gerakan Ahmadiyah Indonesia sehingga melahirkan Fatwa MUI untuk melarang gerakan ini; ii) bagaimana metodologi perumusan fatwa MUI, dan faktorfaktor sosial, politik dan kultural apa yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tersebut; dan iii) bagaimana respon tokoh-tokoh Islam atas fatwa MUI tersebut.

B. Metode Penetapan Fatwa MUI
Penyusunan dan Penetapan Fatwa dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI. Komisi ini diberi tugas untuk mendiskusikan dan menetapkan fatwa tentang persoalan-persoalan hukum Islam yang sedang dihadapi masyarakat.7 Pada saat pembentukannya pada tahun 1975, komisi ini memiliki tujuh orang anggota, tetapi jumlah itu bisa berubah karena kematian atau penggantian anggota; setiap lima tahun sekali komisi ini diperbarui melalui pengangkatan baru. Ketua Komisi Fatwa secara otomatis bertindak selaku wakil ketua MUI.8 Sidang Komisi Fatwa dilakukan sesuai kebutuhan atau apabila MUI diminta pendapatnya tentang persoalan tertentu (hukum Islam) baik oleh
pemerintah atau oleh umum. Persidangan seperti ini biasanya dihadiri oleh ketua dan anggota komisi juga dihadiri oleh undangan, terdiri dari ulama dan ilmuwan yang dianggap kompeten dalam bidangnya. Dalam menetapkan sebuah fatwa ada kalanya hanya memerlukan satu kali sidang dan ada yang memerlukan berkali-kali sidang, sebaliknya dalam sekali bisa menghasilkan fatwa dalam jumlah besar.9 Metode lain untuk membentuk fatwa adalah memperbincangkan masalah-masalah terkait dalam konferensi tahunan para ulama yang diselenggarakan oleh MUI. Pertemuan seperti ini dihadiri oleh kalangan ulama dari lingkungan yang lebih luas, kemudian dikemukakan persoalan-persoalaan yang hendak dicarikan solusinya, setelah persoalaan bisa disetujui dan dilengkapi dalil-dalinya, kemudian didaftarkan dan disampaikan kepada Komisi Fatwa, Komisi Fatwa akan mengumumkannya. Dalam kasus seperti ini Komisi Fatwa tidak perlu lagi melakukan kajian dan telaah, karena masalahmasalah terakait telah dibicarakan dalam pertemuan yang lebih besar.

Pada tahun 1980 misalnya, Konferensi Nasional para ulama membahas masalah operasi ganti kelamin, pernikahan antara agama dan gerakan Ahmadiyah.10 Sedangkan bentuk fatwa selalu sama, dimulai dengan pernyataan bahwa komisi telah menyelenggarakan sidang pada tanggal tertentu berkenaan dengan adanya pertanyaan dari orang atau lembaga tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Dalil-dalil itu berbeda dalam hal panjang dan kedalamannya bagi masing-masing fatwa. Dalil bagi kebanyakan fatwa dimulai dengan pengambilan dari ayat al Qur’an dan hadis yang bersangkutan disertai kutipan naskah-naskah fikih dalam bahasa Arab. Dalil-dalil rasional juga dilampirkan sebagai pendukung. Setelah itu baru baru diberikan pernyataaan yang sebenarnya dari fatwa yang bersangkutan, dan hal itu letakkan di bagian akhir. Akan tetapi dalam beberapa kasus tidak diberikan dalil sama sekali, baik dari al Qur’an maupun dalil rasional, tetapi langsung berisi fatwa. Kemungkinan dalil-dalil bisa ditemukan dalam catatan-catatan persidangan.

B.1. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah di Indonesia
Majelis Ulama Indonesia dalam Munas II tahun 1980 menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah Jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.12 Fatwa yang sama dikeluarkan pada tahun 2005 dalam suatu Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia melalui Musyawaran Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M yang dituangkan dalam Surat Keputusan MUI Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005. Bukan hanya di Indonesia, jauh sebelumnya sudah ada keputusan serupa dalam level internasional. Pada tahun 1974, ulama Islam dari 124 negara menyelenggarakan pertemuan di Mekah yang diprakarsai oleh Liga Muslim Dunia (Rabithah al Alam al Islami)13. Pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa tokoh dan pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya adalah ingkar. Keputusan tersebut didasarkan pada analisa bahwa Ahmadiyah sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

C. Respon Tokoh Islam
1. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Hizbut Tahrir Indonesia memandang bahwa munculnya sebuah gerakan harus dilihat dari kacamata ma’lumat-ma’lumat syar’i, sehingga apabila lembaga atau organisasi muncul untuk melakukan pendangkalan akidah maka keberadaannya tidak bisa diterima. Jadi menyikapi persoalaan Ahmadiyah ini tidak sekedar menggunakan ukuran “toleransi,” karena Ahmadiyah sudah memasuki wilayah ushul,15 namun jika perbedaan-perbedaan itu dalam ranah fikih, maka hal itu adalah sebuah dinamika. Sebagaimana yang sudah difatwakan oleh MUI ihwal pelarangan Ahmadiyah, HTI memberikan dukungan secara penuh atas keluarnya keputusan tersebut, dukungan itu bukan dalam arti bahwa HTI menghambat lahirnya lembaga atau gerakan yang mencoba bangkit untuk menyemarakkan dakwah Islam di bumi ini, khususnya di Indonesia, tetapi lebih pada penjagaan akidah umat, karena menurut HTI pemahaman  Ahmadiyah tentang masalah kenabian sudah masuk dalam wilayah yang tidak bisa ditolerir, masalah ini adalah ranah ushul, perbedaan yang bias ditotelir dan menjadi rahmat adalah perbedaan dalam ranah furu’. 16 Sedangkan kasus penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap Ahmadiyah—terutama di Bogor--hal itu terjadi bukan karena fatwa MUI, atau fatwa MUI bukan satu-satunya penyebab, yang menjadi penyebab justru pandangan masyarakat memandang bahwa eksistensi Ahmadiyah mulai membahayakan eksistensi akidah Islam secara keseluruhan, terutama mereka yang langsung bersinggungan dengan Ahmadiyah. HTI berpandangan ketika Islam dijadikan sebagai rujukan dalam segala aktifitas—tidak hanya agama yang mengatur masalah ibadah an sich---maka hubungan antar masyarakat akan terjalin secara damai, tidak ada tindakan kezhaliman terhadap minoritas, karena Islam sangat menghormati dan menghargai minoritas.

2. MUI Cabang Kediri
Menurut MUI Kediri, fatwa tersebut tidak bertentangan dengan Hak Azasi Manusia, karena dengan HAM tidak berarti boleh merusak kedaulatan suatu agama. Jadi jika atas nama HAM, kemudian nilai-nilai agama dirusak, hal tersebut tidak boleh diabaikan. Apa yang dilakukan MUI sudah on the right track (di jalur yang benar.)17 Masalah fatwa MUI tidak jauh berbeda dengan diagnosa penyakit oleh dokter. Pertanyaannya siapa yang berhak dan mampu mendiagnosa suatu aliran itu sesat atau tidak? Yang memiliki hak adalah lembaga yang memiliki potensi di bidang itu. Perusakan akidah yang dilakukan Ahmadiyah terhadap umat Islam justru lebih berat. ''Apakah seorang muslim atas nama kebebasan hak asasi boleh mengatakan ada nabi setelah Nabi Muhammad saw? Di tanah kelahiranya sendiri, di Pakistan, Ahmadiyah ditempatkan sebagai "Minoritas Non-Muslim". ''Rabithah 'Alam Islami juga mengharamkan organisasi ini. Organisasi yang sudah jelas merupakan aliran yang engandung kesesatan, pemerintah tidak boleh membiarkan hal-hal seperti tu berlama-lama. Kalau hal yang demikian tetap berlangsung, maka etentraman dan kerukunan umat beragama terganggu.. Karena itu sudah aktunya pemerintah melalui Kejaksaan Agung harus melarang Aliran hmadiyah. atwa MUI itu, menurut MUI Kediri, bisa dikatakan sudah sesuai engan keputusan ulama seluruh dunia yang bergabung dalam Majma' al iqh al-Islami (Organisasi Konferensi Islam). Organisasi ini telah emutuskan aliran Ahmadiyah baik yang Qodyaniyah maupun Lahore, ama-sama berada di luar Islam. Kendati aliran Ahmadiyah Lahore tidak secaas mengatakan Mirza Ghulam Ahmad—pendiri Ahmadiyah— ebagai nabi, tapi mereka meyakini dia adalah ghillun wa buruzun (bayangbayang an penampakan Nabi Muhammad SAW). Dengan adanya fatwa UI, pemerintah secara otomatis berkewajiban untuk melarang gerakan tu. Jika pemerintah tidak responsif terhadap keputusan fatwa MUI tersebut aka akan berdampak negatif terhadap umat Islam di seluruh Indonesia, karena umat akan bergerak dengan caranya sendiri untuk membubarkan ahmadiyah.

3. Al-Irsyad al-Islamiyah
Pergeseran dari masalah penyimpangan akidah dan ajaran Islam oleh Ahmadiyah kepada persoalan penyerbuan markas Ahmadiyah—yang menjadi isu hak asasi manusia (HAM) dan pelanggaran HAM—telah mengaburkan substansi masalah penyalahgunaan dan penodaan agama Islam. Persoalaan Ahmadiyah, bukanlah persoalan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) tetapi persoalan penodaan kemurnian ajaran agama Islam. Ajaran Ahmadiyah menyimpang dari Islam, karena mereka menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir dan Tadzkirah sebagai kitab sucinya. Jika hal ini dibiarkan, maka akan membahayakan akidah umat, serta memurtadkan umat Islam dan
menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Sehingga munculnya fatwa MUI tentang kesesatan gerakan ini adalah dambaan kita semua. MUI sebagai wadah bagi ulama dari berbagai organisasi di Indonesia memiliki kewajiban untuk memelihara dan mengawal akidah Islam yang sebenarnya dengan berpedoman pada al Qur’an dan al Hadis. Kalau kita kaji dalam beberapa tulisannya, Mirza Ghulam Ahmad sering menyatakan bahwa dirinya adalah Nabi dan Rasul: “tentang diriku aku katakan bahwa Tuhan telah mengangkatku sebagai Rasul dan Nabi”, ia juga menyatakan dirinya sebagai Nabi Isa yang dijanjikan akan turun di akhir zaman19. Padahal di dalam al Qur’an secara jelas dinyatakan “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. (QS. al Ahzab: 40)
Dengan demikian keyakinan Ahmadiyah tentang kenabian dan kerasulan Mirza Ghulam Ahmad bertentangan secara diametrik dengan ayat al Qur’an tersebut. Di samping itu dalam banyak hadis juga disebutkan bahwa sepeninggal Muhammad tidak akan ada nabi yang diutus oleh Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim disebutkan bahwa:..Aku pendatang yang akhir yang sesudahnya tak akan ada seorang nabi (HR. Bukhari Muslim)
Ajaran kontroversial lainnya adalah tentang wahyu, menurut Ahmadiyah wahyu tetap berlangsung sampai hari kiamat. Agama, menurut pengikut Mirza Ghulam ini, yang tidak lagi diikuti oleh turunnya wahyu akan mati, dan Tuhan tidak bersamanya. Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu yang pertama pada tahun 1871, dan pada tahun 1876,
Mirza menerima ilham yang menyatakan bahwa ayahnya akan meninggal dunia sesudah matahari terbenam. Wahyu itu ia terima sampai akhir hayatnya pada tahun 1908. Wahyu dan ilham itu dikumpulkan dalam satu kitab tadzkirah, dan inilah yang dianggap kitab suci mereka di samping al Qur’an. Padahal menurut kebanyakan umat Islam antara wahyu dan ilham dibedakan. Wahyu telah berhenti setelah nabi Muhammad saw meninggal. Apa yang disebutkan di atas adalah di antara penyimpanganpenyimpangan
yang dilakukan oleh Ahmadiyah, sehingga wajar bahkan adalah suatu keharusan untuk melarang gerakan ini secara nasional. Bahkan menurut Al Irsyad “darah” orang Ahmadiyah adalah halal. Dengan demikian keputusan para ulama yang duduk dalam MUI tidak berarti mereka memperalat agama, merasa benar sendiri, atau merasa menjadi “Tuhan,” hal itu hanya dimaksudkan untuk “menyelamatkan umat.” Kalau umat Islam tidak diberi “pagar” dengan fatwa sesat, hal itu justru akan membuat umat terpengaruh oleh ajaran sesat, dan sebaiknya jika Ahmadiyah ingin tetap berkembang di negeri ini, harus memisahkan diri dari Islam, agar tidak diusik terus oleh umat Islam lainnya. Penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap Ahmadiyah semata-mata dilakukan untuk menyelamatkan akidah umat Islam, tidak hendak memusuhi atau merusak. Apabila mereka mau kembali kepada Islam yang benar, tentu tindakan penyerangan itu tidak akan terjadi. Sedangkan tentang gerakan-gerakan Islam (sempalan) lainnya yang memiliki indikasi menyimpang perlu ada kajian seksama dari MUI, karena salah satu tugas MUI adalah pemberi fatwa bagi umat Islam, baik diminta
maupun tidak. Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis Ulama Indonesia mengakomodasikan dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya.

4. Muhammadiyah
Menurut Muhammadiyah, Ahmadiyan baik yang Qadian maupun Lahore sama saja, perbedaan antara keduanya hanya berbeda dalam hal istilah saja. Yang pertama meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang menerima wahyu, sedangkan yang kedua mempergunakan istilah mujaddid atau nabi lughawi (nabi tidak hakiki), yakni manusia biasa, namun memiliki persamaan yang cukup besar dengan para nabi: menerima wahyu yang tidak bersifat tasyri’i.20
Gerakan Ahmadiyah seperti yang sudah difatwakan oleh MUI adalah sesat dan menyesatkan. Muhammadiyah mendukung sepenuhnya fatwa tersebut, sikap ini diambil karena ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh Ahmadiyah berbeda dengan mainstream kaum muslimin di seluruh dunia. Sementara penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap Ahmadiyah—di beberapa daerah di Indonesia—terjadi karena masyarakat memandang Ahmadiyah telah membahayakan akidah Islam. Tindakan itu adalah akumulasi gesekan dari orang-orang yang langsung bersinggungan dengan Ahmadiyah. Dalam uraian fikih secara jelas dinyatakan bahwa Ahmadiyah telah
menyimpang Islam, misalnya dalam Fatawa Ibn Taimiyah, namun Muhammadiyah tidak membenarkan aksi-aksi kekerasan tersebut, karena cara-cara anarkhis tidak akan menyelesaikan masalah dan juga bertentangan Islam sebagai agama yang rahmatal lil alamin. Dalam konteks negara Indonesia yang bukan negara Agama (Islam), keluarnya fatwa MUI tetap bisa dianggap sebagai suatu keputusan yang sah, dan sifat dari fatwa itu sendiri tak lebih sebagai himbauan atau nasehat agar umat Islam hati-hati terhadap Ahmadiyah, fatwa itu tidak memiliki sanksi hukum bagi mereka yang tidak melaksanakan keputusan tersebut. MUI hanya berhak mengkaji dan memutuskan dan tidak berhak memaksakan keputusan tersebut. MUI hanya berhak mengusulkan dan memberi saran, dan kata akhirnya tetap dimiliki oleh “pemerintah.” Sekalipun demikian kita sebagai umat Islam wajib mengikuti keputusan tersebut karena MUI adalah representasi organisasi-organisasi Islam di Indonesia, dan anggotannya terdiri dari mereka yang berkompeten di bidangnya. Jadi fatwa itu sendiri tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena kebebasan yang diatur dalam UU tersebut adalah kebebasan untuk melaksanakan agama dan kepercayannya tidak untuk menodai atau menyalahgunakan sebuah agama. Dalam hal penodaaan agama secara jelas diatur dalam UU No.1/PnPs/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan atau penodaan atas agama pasal 1 UU Hukum Pidana pasal 156a. Masa reformasi telah mengantarkan masyarakat kita berada dalam euforia setelah selama sekian tahun rakyat Indonesia—terutama umat
Islam—berada dalam suasana ketakutan dan intimidasi. Suasana euphoria ini mesti dijadikan jalan untuk terus berdialog dan bertukar pikiran, tidak sebaliknya digunakan untuk mencoba unjuk diri (show of force), dengan jalan dialog diharapkan akan tercipta mileu yang kondusif untuk bangkit dari krisis multidimensi yang menimpa negeri ini. Sikap toleran yang menjadi ciri khas bangsa ini mesti terus dijaga, sebab jika tidak cita-cita negeri ini tidak akan pernah tergapai. Sikap toleran juga harus kita tunjukkan kepada gerakan-gerakan Islam yang berindikasi menyimpang, mereka perlu untuk didekati tidak dimusuhi, jadi sekalipun misalnya sudah ada keputusan “sesat” massa tidak boleh bertindak sendiri. Dengan demikian jalan dialog adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.

D. Ahmadiyah dalam Sorotan
Polemik sekitar fatwa terus begulir, perdebatan berbagai kelompok masyarakat maupun individu dalam merespon fatwa tersebut terus berlangsung, mulai tingkat lokal sampai internasional. Jauh sebelumnya, sudah ada fatwa serupa dalam skala internasional. Pada tahun 1974, ulama Islam dari 124 negara menyelenggarakan pertemuan di Mekah yang
diprakarsai oleh Liga Muslim Dunia (Rabithah al Alam al Islami)29. Pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa tokoh dan pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya adalah ingkar. Kesimpulan tersebut didasarkan pada analisa bahwa Ahmadiyah sangat bertentangan dengan ajaran Islam.30 Kali pertama Ahmadiyah diperkenalkan di Sumatera, banyak tokohtokoh yang menolak Ahmadiyah, di antaranya adalah Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah. Keduanya menolak secara tegas misi yang dibawa oleh tokoh dari Pakistan ini dan memposisikan pengikut Ahmadiyah berada di luar Islam. Penilaian seperti itu didasarkan pada keyakinan bahwa Ahmadiyah mempercayai adanya nabi setelah nabi Muhammad saw. Haji Abdul Karim Amrullah pada tahun 1926 menyusun buku al qaul ash shahih untuk menolak paham ini agar tidak berkembang di bumi Indonesia.31 Untuk membuktikan kebenaran Ahmadiyah, Rahmat Ali menyusun buku yang berjudul Izhharul Haq, dan karena usaha keras dan kegigihannya berdirilah cabang Ahmadiyah di Sumatera. Dalam menyebarkan Ahmadiyah di Jawa, Rahmat Ali juga memperoleh tantangan yang tak kalah keras sebagaimana di Sumatera. Pada tahun 1933 salah seorang tokoh Pesatuan Islam (PERSIS), Ahmad Hasan menantang Rahmat untuk melakukan debat terbuka di Bandung ihwal kenabian dan persoalan hidup dan matinya Nabi Isa as. Namun setelah debat berakhir, masingmasing tetap pada pendiriannya.32 Penolakan dan penentangan terhadap Ahmadiyah pada masa-masa lalu tidak diikuti gejolak dan aksi anarkhis sebagaimana keluarnya fatwa MUI pada tahun 2005. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan, berujung pada tindakan anarkhis terhadap kalangan Ahmadiyah, sehingga fatwa MUI ini menuai respon yang beragama. Respon tokoh Islam atas fatwa “sesat” terhadap Ahmadiyah bisa diklasifikan ke dalam 3 kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang mendukung keluarnya fatwa berdalil bahwa ajaran Ahmadiyah telah menodai Islam. Menurut mereka wajar jika MUI mengeluarkan fatwa tersebut. Bahkan tidak hanya MUI, dalam skala yang lebih luas—Organisasi Konferensi Islam, bahkan di tempat kelahirannya sendiri, Pakistan, organisasi dianggap sebagai minoritas—Ahmadiyah juga telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang. Organisasi yang mendukung penuh fatwa itu, dalam pengertian bahwa baik Ahmadiyah faksi Lahore maupun Qadian adalah sesat, adalah Majelis Ulama Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, al Irsyad al Islamiyah, Forum Umat Islam Indonesia, Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI). Mereka berargumen bahwa antara Ahmadiyah Lahore dan Qadian, tidak ada perbedaan yang jelas dalam memposisikan Mirza Ghulam Ahmad. Faksi Lahore secara implisit memandangnya sebagai nabi lughawi atau majazi, ia bukan seorang nabi namun memiliki persamaan yang sangat besar dengan para nabi: menerima wahyu.33 Wahyu itu bukan wahyu kenabian tetapi hanya wahyu walayah (kewalian), wahyu seperti ini tetap diturunkan oleh Tuhan sepanjang masa agar iman umat manusia tetap hidup dan tercerahkan. Dengan pendapat demikian, mereka menolak pendapat Ahmadiyah Qadian. Adapun menurut faksi Lahore, Mirza Ghulam tak lebih sebagai mujaddid abad 14 H, dan kepercayaan kepada al Masih dan al Mahdi tidak termasuk rukun iman dan orang yang mengingkarinya tidak bisa dikatakan kafir. Sekalipun demikian, kedua faksi itu sepakat dalam beberapa hal, pertama berakhirnya nabi tasyri’i atau nabi mustaqil sesudah Nabi Muhammad saw. Kedua, penggunaan wahyu selain al Qur’an yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Perbedaan keduanya hanya dalam hal penggunaan kata “nabi” setelah Nabi Muhammad saw. Dengan argumen demikian mereka mendukung sepenuhnya fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah yang yang dikeluarkan oleh MUI. Sekalipun di antara mereka berbeda pendapat dalam hal sikap kelompok-kelompok yang melakukan aksi anarkhis terhadap Ahmadiyah. Sebagian menyatakan bahwa aksi itu terjadi karena massa sudah tidak tahan lagi dengan kegaiatan-kegiatan Ahmadiyah yang dianggap membahayakan akidah umat Islam. Sebagian yang lain berpendapat bahwa aksiaksi kekerasan tidak bisa dibenarkan, karena negara kita adalah negara “sekuler” bukan negara agama (Islam), sehingga sekalipun sudah ada keputusan “sesat” keputusan itu tidak mengikat. Kelompok kedua adalah mereka yang hanya menyetujui kesesatan Qadian saja. Di antara yang termasuk dalam kelompok ini adalah tokoh Majelis Ulama Indonesia Cabang Yogyakarta, KH. Thoha Abdurrahman, Ketua MUI Daerah Istimewa Yogyarakta dan mantan Wakil Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama wilayah DIY, mempertanyakan label “sesat” yang ditetapkan oleh MUI. Menurutnya tidak semua Ahmadiyah sesat, dan MUI belum melakukan kajian secara seksama dalam masalah ini. Menurutnya harus dipisahkan antara Ahmadiyah Lahore dan Qadiyan. Saat memberi penjelasan tentang fatwa ini dan membacakan Keputusan Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 dalam Muktamar di Jeddah, KH. Ma’ruf Amin, menjelaskan bahwa Ahmadiyah Lahore termasuk di dalamnya, karena faksi ini menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai bayangan (dhill) dan penampakan (buruz) Nabi Muhammad. Mereka juga sudah murtad.35 Menanggapi
pernyataan tersebut KH. Thoha menyatakan, mestinya MUI berdalil dan berargumen yang lebih kuat, dan kenapa MUI mengikuti keputusan ulama di Jeddah”36 Ahmadiyah Lahore tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan Tadzkirah sebagai kitab suci, di samping itu selama ini hubungan antara NU dan Ahmadiyah di Yogyakarta tidak masalah, bahkan sering mengadakan kerja sama. Jadi harus ada pembedaan antara dua faksi Ahmadiyah. Ketua Majelis Tarjih Pengurus Pusat Muhammadiyah, Yunahar Ilyas menyatakan, PP Muhammadiyah tidak perlu mengeluarkan fatwa mengenai Jamaah Ahmadiyah Qodiani. Sebab, hingga saat ini sudah ada dua fatwa yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Robithah ‘alam Islami atau Liga Muslim Dunia yang menyatakan bahwa kelompok itu adalah sesat. PP Muhammadiyah juga berpandangan serupa bahwa ajaran Ahmadiyah yang Qodiani adalah sesat. Sedang untuk Ahmadiyah Lahore, sampai sekarang belum diketahui apakah ada fatwa tentang mereka. Sebab kedua kelompok itu jelas berbeda dalam memandang posisi Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Lahore, memandang Mirza Ghulam hanya sebagai pembaharu (mujaddid) Islam. Tetapi Ahmadiyah Qodiani menempatkan Mirza Ghulam sebagai orang yang menerima wahyu atau ditempatkan sebagai nabi sehingga ajaran mereka menyesatkan.
Selain itu, Ahmadiyah Qodiani juga punya kitab suci tambahan selain Qur’an yang disebut dengan tadzkirah. Sehingga bisa dikatakan, kitab suci mereka adalah Quran plus. Keyakinan ini menurutnya jelas menyesatkan. Masalah ini adalah persoalan prinsip karena menyangkut aqidah. Pendapat Ketua Yunahar ini bertentangan dengan pendapat Pimpinan Daerah Muhammadiyah, yang menyatakan bahwa kedua kelompok Ahmadiyah adalah sesat.37 Meski demikian, keduanya sepakat bahwa Muhammadiyah secara organisatoris menolak secara tegas aksi penyerangan terhadap Ahmadiyah. Sebab terhadap warga yang nonmuslim saja penyerbuan dilarang kecuali telah memenuhi persyaratan. Jika umat Islam menghendaki ajaran Ahmadiyah dilarang, sebaiknya dilakukan sesuai mekanisme yang ada yaitu meminta kepada Jaksa Agung untuk mengeluarkan aturan bahwa ajaran tersebut dilarang di Indonesia.38 Muthohir Alabas—sekretaris I Ahmadiyah Lahore Cabang Kediri menyatakan, ada perbedaan prinsip antara Ahmadiyah Lahore dan Qadian, dalam masalah status Mirza Ghulam Ahmad. Qadian menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, sedangkan Lahore menempatkan tokoh itu sebagai mujaddid. Fikih Ahmadiyah Lahore tidak berbeda dengan fikihnya NU dan Muhammadiyah. Hanya saja Faksi Lahore tidak menentukan pengikut Ahmadiyah harus mengikuti mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hanbali atau siapa. Mereka bebas memilihnya sesuai dengan kemantapannya. Dengan pemahaman demikian banyak anggota Ahmadiyah yang menjadi pengurus NU maupun Muhammadiyah. Di berbagai wilayah di Indonesia –kecuali di Parung, Bogor– hubungan antara muslim Ahmadiyah dan muslim mayoritas Indonesia (NU dan Muhammadiyah) baik-baik saja. Awal mula lahirnya Ahmadiyah Lahore adalah untuk mengantisipasi berkembanganya faksi Qadian. Jadi antara Ahmadiyah Lahore dan Qadian tidak bisa disamakan. Hal senada juga diungkapkan S. Ali Yasir—sesepuh Ahmadiyah Lahore. Menurutnya Fatwa MUI itu salah alamat, karena ada dua Ahmadiyah, Lahore dan Qadian, yang memiliki perbedaan mendasar. Di samping itu sembilan buku yang dijadikan dasar dan fakta oleh MUI untuk menetapkan fatwa tersebut sampai sekarang masih misteri, karena pada tahun 1981 sejumlah fungsionaris Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) mencoba mengklarifikasi masalah ini kepada pihak MUI pusat, saat itu pihak MUI diwakili oleh H. Sudirman. Menurutnya masalah tersebut akan disampaikan kepada Prof. Dr. Hamka, sebagai ketua MUI, dan sewaktu-waktu pihak GAI akan diundang untuk tabayun, namun kenyataannya sampai sekarang undangan itu belum juga kunjung datang.39 Kelompok ketiga adalah mereka yang menolak kedua fatwa tersebut, di antara mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah Jemaat Ahmadiyah Qadian, yang didukung oleh Komnas HAM dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani. Mereka berargumen bahwa Ahmadiyah di Indonesia sudah mendapat ijin legal dari pemerintah sebagai organisasi sosial. Pada tahun 1953 mereka mendapat legalitas sebagai badan hukum. Pada tahun 2003 mereka mendapat ijin sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Dengan demikian tidak ada alasan bagi untuk memutuskan kesesatan Ahmadiyah. Ooy Tahyan Alisyahbana40, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Tasikmalaya memberikan penghargaan besar terhadap gerakan Ahmadiyah Indonesia. Ia menyatakan bahwa gerakan ini tidak berbeda dengan gerakan Islam yang lain, berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi, dan tak sedikitpun merubahnya, kalau ada perbedaan, hal itu bukanlah hal yang bersifat fundamental dan prinsipil. Perbedaan itu tidak sampai merubah fondasi keimanan dan keislaman, tidak mengganti rukun Islam dan rukun Iman, melainkan hanyalah perbedaan tafsir terhadap beberapa ayat dan hadis, dan hal ini sangat lazim, karena kandungan ayatayat al Qur’an sangat dalam, apalagi ayat-ayat mutasyabihat.41 Menyikapi persoalan Ahmadiyah, intelektual muslim kenamaan Harun Nasution menyatakan:
Sebenarnya kedua golongan Ahmadiyah tetap percaya penuh kepada kitab suci al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akherat, dan Takdir-nya, serta berpegang kepada rukun Islam yang lima, mengakui dua kalimah syahadat, mendiririkan shalat, membayar zakat, puasa bulan Ramadlan, dan naik haji. Pendeknya, kitab al Qur’an dan sunnah nabi yang mereka pegang tidak berbeda dengan yang dipegang umat Islam. Mereka yakin bahwa Muhamamd adalah khatamul anbiya’; namun mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syari’at. Nab-nabi yang tidak membawa syarai’at masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah nabi Muhammad. Mereka juga percaya kepada hadis nabi yang berbunyi la nabiyya ba’di (tidak ada nabi sesudahku), tetapi mereka sempitkan artinya menjadi “tidak ada nabi yang menyalahi atau menentangku”. Dengan demikian, tidak dinafikan adanya nabi-nabi yang akan mendukung ajaran Nabi Muhammad seperti adanya banyak nabi sesudah Nabi Musa yang bertugas menegakkan syari’at Nabi Musa.42
Disamping itu dilihat dari segi hukum, fatwa tersebut juga batal demi hukum, sebab dalam UUD 1945 Pasal 29 secara tegas dinyatakan: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Penetapan Ahmadiyah sebagai organisasi sesat dan menyesatkan bertentangan dengan dua aturan hukum tersebut, karena adanya unsur pemaksaan kepada pihak lain untuk mengingkari pengakuan dan keyakinan seseorang sebagai orang Ahmadiyah, yang akidah dan keyakinannya selaras dengan al Qur’an dan Sunnah Nabi.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ajaran-ajaran Ahmadiyah yang menimbulkan reaksi keras dari umat Islam dan menyebabkan lahirnya fatwa MUI adalah: pertama, tentang status kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Menurut keyakinan mayoritas umat Islam, Nabi Muhammad saw adalah nabi pungkasan dan tidak ada lagi nabi sesudahnya. Kedua, pengakuannya sebagai al Masih dan al Mahdi dalam satu pribadi. Menurut keyakinan kebanyakan umat Islam, al Mahdi dan al Masih adalah dua pribadi, yang disebut pertama akan mengikuti yang kedua. Ketiga tentang wahyu, menurut Ahmadiyah wahyu terus berlangsung sampai akhir zaman, dan wahyu yang diterima oleh Mirza Ghulam Ahmad dikumpulkan dalam sebuah kitab yang dikenal dengan tadzkirah. Menurut umumnya umat Islam wahyu sudah tidak turun lagi sepeninggal Nabi Muhammad saw, sedangkan yang masih tetap berlangsung adalah ilham. Bagi Ahmadiyah, antara wahyu dan ilham tidak dibedakan. Keempat tentang jihad, bagi Ahmadiyah Jihad pada masa sekarang adalah berjuang untuk meninggikan kalimat Islam, untuk menangkis sanggahan-sanggahan pihak lawan, untuk mempropagandakan keistimewaan-keistimewaan agama Islam dan untuk menampakkan kebenaran Rasulullah saw di seantero dunia. Pemahaman seperti ini membuat kelompok lain beranggaan bahwa Ahmadiyah menolak melakukan jihad secara fisik. Kelima, bagi Ahmadiyah khalifah adalah pemimpin ruhani, bukan pemimpin pemerintahan. Mayoritas kaum muslimin berpandangan bahwa khalifah adalah pemimpin negara dan sekaligus penggerak dakwah Islam.

B. SARAN
Islam merupakan agama yang sempurna dengan ketentuan dan syiar yang jelas, yaitu mentahuidkan Allah SWT dan dibawakan oleh seorang Rasul akhir zaman, yang tidak akan lagi ada rasul-rasul berikutnya setelah nabi Muhamad SAW.  Maka dengan adanya aliran Ahmadiyah yang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhamad merupakan unsur masalah yang diahadapi selanjutnya,yaitu pengekangan terhadap aliran tersebut maka dalam penyelesaianya perlu jalan yang bijak dan ikhlas dalam menyelesaikan prokontra tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Jurnal
Abdul Karim Amrullah, al Qaul ash Shahih, terj. Abd. Malik T.N. (Djogjakarta:
Marah Intan, 1926)
Abdullah Hanif, “Gerakan Ahmadiyah dalam Sorotan Publik” dalam Mozaik
Pesantren, edisi 01/Th.1/Oktober 2005.
B. Website
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=862
http://www.antara.co.id/seenws/index.php?id=14828
http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=8895


1 comment:
Write komentar
  1. Jika orang Ahmadiyah tak boleh menggunakan simbol-simbol Islam dan tak boleh beramal sesuai ajaran Islam, maka logis muncul pertanyaan sebagai berikut:

    1. Siapakah pemilik Islam? Bukan tah Allah yang Maha Kuasa pemiliknya?

    2. Jika Allah pemilik Islam, dan hanya Dia, maka manusia hanyalah penerima amanat untuk melaksanakannya.

    3. Jika manusia diberi amanat untuk menerapkan agama Islam sebagai ajaran terbaik yg difahaminya, maka adakah yg lebih berkuasa di atas Allah dengan menetapkan pelarangan mengamalkan ajaran terbaik itu?

    4. Jika ada yg melarang pengamalan ajaran terbaik ini, berarti orang yg melarang tersebut memiliki kerancuan berpikir dan memiliki salah satu dari dua sikap berikut:

    a. Tidak menghendaki org lain menjadi baik

    b. Tidak mengakui kelebihan dan kehebatan ajaran Islam yg bisa membuat orang menjadi baik.

    Dari sudut pandang ini maka, orang yg melarang warga Ahmadiyah menerapkan ajaran Islam, berarti orang tersebut melarang hal-hal berikut: warga Ahmadiyah tidak boleh mengamalkan tauhid Ilahi, tidak boleh membaca Al Quran suci, tidak boleh terakhlak mulia, tidak boleh menerapkan hukum-hukum Al Quran suci, tidak boleh mengirimkan Shalawat bagi yg Mulia Nabi Muhammad SHALLALLAAHU ‘alaihi wasallam, tidak boleh santun, tidak boleh Shalat fardhu 5 waktu dan tidak boleh melakukan kebaikan-kebaikan lainnya yg diajarkan Islam. Maasyaa-aLLAAH. InnaaLILLAAHI wa innaa ILAIHI raaji’uun. Kami berlindung kepada Allah terhadap kerancuan berpikir seperti itu..

    by Zafrullah Ahmad Pontoh

    ReplyDelete

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi