KINERJA TATA PEMERINTAHAN PROVINSI BANTEN
# SEKILAS AWAL
Pergulatan kehidupan masyarakat Banten dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang wilayah tersebut. Tidak mengherankan apabila kemudian secara luas diakui adanya peran yang penting wilayah ini dalam kasanah perjalanan panjang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Banten memiliki peran strategis dan menorehkan sejarah kehidupan politik tersendiri di bumi Nusantara. Dinamika dan sejarah panjang Provinsi ini turut memberikan warna bagi perjalanan negara Indonesia baik pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Sejarah mencatat bahwa Banten sebagai sebuah nama suatu wilayah telah dikenal dan diperkenalkan sejak abad ke 14. Mulanya Banten merupakan sebuah pelabuhan yang sangat ramai di kunjungi pedagang dari berbagai belahan bumi. Secara politik pada tahun 1330 sudah dikenal sebuah negara dengan nama Panten. Sejak saat itu, pasang surut kehidupan politik di Banten terjadi seiring dengan perkembangan kasultanan Banten sampai kira-kira tahun 1820an.
Sejarah singkat tersebut memberikan petunjuk pasti bahwa secara sosio-politik, masyarakat Banten sudah terbiasa hidup dalam satu kesatuan. Dapat dimaklumi apabila kemudian di era kemerdekaan, keinginan untuk berdiri sebagai satu Provinsi selalu muncul. Perjuangan untuk menjadi Provinsi tersendiri dimulai sejak tahun 1953 yang kemudian pada tahun 1963 terbentuk panitia Provinsi Banten di Pendopo Kabupaten Serang. Pada waktu itu, DPR-GR sepakat untuk membentuk Provinsi Banten. Tanggal 25 Oktober 1970 diadakan Sidang Pleno Musyawarah Besar Banten mengesahkan presidium Panitia Pusat Provinsi Banten. Perjuangan panjang ternyata masih harus dilakukan. Pada tanggal 18 Juli 1999, tekanan untuk membentuk Provinsi Banten dilakukan dengan diadakannya Deklarasi Rakyat Banten. Perjuangan akhirnya berhasil dengan ditetapkannya UU pembentukan Provinsi Banten pada tanggal 4 Oktober tahun 2000, UUNo. 23 Tahun 2000 (Banten dalam angka, 2004). Provinsi Banten terbentuk setelah perjuangan panjang meliputi Kabupaten Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Serang serta Kota Tangerang dan Cilegon.

sedangkan wilayah selatan menampakkan diri sebagai wilayah tertinggal, yang sarat dengan kemiskinan. Namun demikian, secara umum dapat dimengerti apabila kemudian sebagian besar penduduk Provinsi ini bekerja pada sektor industri, sebagaimana dapat dilihat pada bagan 1.
Grafik 1 menunjukkan, sebagian besar penduduk ProvinsiBanten menggantungkan hidupnya dari sektor industri dan jasa. Hanya 25,80 persen yang hidup dari sektor pertanian. Sementara untuk sektor industri mencapai 25,25 persen, perdagangan 20,58 persen, dan sektor jasa lebih dari 12,48 persen. Struktur ekonomi tersebut menjadi alasan utama besarnya kontribusi dari kegiatan industri pengolahan memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2005 yang mencapai 49.7 persen, sektor perdagangan, perhotelan, dan restoran 17.13 persen, transportasi dan komunikasi, serta pertanian, memberikan masing-masing 8.6 persen dan 8.5 persen. Dominasi sektor pertanian ini didukung oleh 17 kawasan industri seluas 6.876 hektar (Kompas, 9 September 2006). Beberapa kawasan industri strategis yang berkedudukan di Provinsi Banten antara lain Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC), Nikomas Gemilang Industrial Estate, dan Modern Cikande Industrial Estate. Perkembangan sosial-ekonomi yang tidak seimbang antara wilayah utara dan selatan Provinsi Banten membawa konsekuensi pada munculnya polarisasi ekonomi kedua wilayah. Apabila wilayah utara tampak dengan kemajuan dan kemakmuran maka wilayah selatan lebih menunjukkan wajah kemiskinan dan keterbelakangan. Kondisi kemiskinan dengan mudah dapat ditemukan di beberapa desa di wilayah kecamatan Banten selatan seperti kecamatan Cimarga, Muncang, Cipanas, Cikulur, dan Bojomanik di Kabupaten Lebak. Kondisi yang hampir sama juga dapat ditemukan di desa-desa di Kecamatan Angsana, Pagelaran, Cigelulis, Cikeusik, dan Panimbang, Kabupaten Pandeglang. Kontribusi PDRB kedua kabupaten terhadap PDRB Provinsi masing-masing sebesar Rp 3.28 trilyun (5.36 persen) dan Rp 3.36 trilyun (5.48 persen). Perbedaanperbedaan kemajuan secara mendasar tersebut menyebabkan polarisasi kemajuan sosialekonomi di Provinsi banten, khususnya antara wilayah utara dan selatan tidak 13 terelakkan.1 Disparitas antara wilayah antara lain tampak dari tingginya PDRB perkapita Kota tangerang dan Cilegon yakni Rp 15.260.365 dan Rp 30.499.086. berbanding dengan PDRB perkapita Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang hanya Rp 3.174.086 dan Rp 3.460.332. Pertumbuhan perekonomian kedua wilayah kabupaten yang pada kisaran 3 persen hanya merupakan setengah dari perkembangan perekonomian Provinsi secara keseluruhan2. Situasi sosial ekonomi penduduk tersebut mengindikasikan bahwa disatu sisi betapa pentingnya berbagai aspek terkait dengan investasi untuk dijaga dan dikelola dengan baik. Namun pada sisi lain, pemerintah Provinsi Banten juga dituntut untuk mampu meningkatkan daerah-daerah non-industri untuk memiliki kemajuan yang setara dengan wilayah industri. Ketergantungan terhadap sektor industri dan jasa memang mengindikasikan bahwa masyarakat Provinsi ini telah mengalami kemajuan dan lepas dari sektor pertanian. Namun demikian, hal ini juga menyiratkan bahwa secara sosiokultural, kehidupan masyarakat telah memasuki era baru yakni pergeseran dari solidaritas komunal ke era relasi yang lebih bersifat mekanis.
Dalam situasi tersebut, diperlukan inovasi-inovasi baru dalam tata kelola kehidupan kemasyarakatan. Tanpa perhatian yang cukup dalam pengelolaan kehidupan massyarakatnya maka yang terjadi adalah munculnya friksi-friksi dan kegagapan sosial anggota masyarakat lapisan bawah dalam menghadapi perubahan-perubahan kehidupan sosialnya, suatu kehidupan sosial yang telah tercabut dari kehidupan lama, masuk pada suatu era baru relasi berbasiskan kepentingan ekonomi pasar. Suatu era yang dicirikan dengan mudahnya pasang surut kehidupan ekonomi karena terkait langsung dengan kehidupan global. Posisi strategis secara ekonomi memberikan keuntungan material cukup besar. Hal ini dapat ditegok besarnya nilai kegiatan ekonomi Provinsi Banten tahun 2005 yang mencapai 84.6 trilyun. Dalam catatan Kompas (9 September, 2006), angka tersebut menempatkan Provinsi ini pada posisi ke-7 dari 33 Provinsi seluruh Indonesia. Dalam RAPBD tahun 2006, yang ditetapkan sebesar 1.96 trilyun, target PAD (Pendapatan Asli Daerah) Provinsi ini mencapai lebih dari Rp. 1,24 trilyun. Sebagai daerah instrustri, tentu saja sebagaian besar akan diperoleh dari sektor pajak jasa dan industri. Besarnya dana tersebut tentu saja merupakan anugrah tak terkirakan bagi pembangunan Provinsi ini. Namun demikian, harapan tersebut kiranya masih cukup jauh dari realitas. Sebagai Provinsi baru, berbagai sistem dan kelembagaan ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Sarana dan prasarana untuk pelaksanaan pemerintahan masih belum memadai. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya perkantoran yang belum menempati gedung sendiri dan masih menumpang atau sewa di ruko. Tentu saja hal ini sangat tidak kondusif untuk pelayanan kepada warga masyarakat.
Disamping itu, pelayanan dasar khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan juga belum memadai. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam kedua bidang tersebut masih keteteran dibandingkan target-target nasional. Data menunjukkan sampai dengan tahun 2004, tingkat pendidikan penduduk Banten usia 10 tahun keatas sebagian besar hanya tamat sekolah dasar, sementara yang belum/tidak tamat SD/sederajat besarnya mencapai 59,02 persen, meliputi 32,18 persen tamat 136 SD/sederajat dan 26,85 persen yang tidak/belum tamat SD. Sementara itu, untuk penduduk dengan tingkat pendidikan menengah/lanjutan, yang telah menamatkan pendidikan setingkat SLTP sekitar 17,53 persen dan SLTA 19,73 persen. Jumlah penduduk yang masih buta huruf pun relatif tinggi yakni 5,28 persen (Banten Dalam Angka, 2004). Dalam bidang kesehatan, pencapaiannya pun masih sangat memprihatinkan. Fakta menunjukkan bahwa pembangunan bidang kesehatan masih menyimpan banyak persoalan kronis. Hal ini ditandai dengan belum meratanya ketersediaan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat karena pelayanan kesehatan hanya terkonsentrasi di daerah perkotaan, khususnya pelayanan rumah sakit. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Kedua, secara politis dan keamanan, kedekatan geografis Provinsi Banten dengan ibukota negara membawa implikasi tidak kecil. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam berbagai peristiwa dan pergolakan sosial politik nasional yang terjadi di Jakarta, peran elemen-elemen masyarakat Banten tidak kecil. Sekedar kilas balik, pada era pra reformasi dan menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, demontrasi besar-besaran selain dari elemen mahasiswa juga muncul dari elemen masyarakat Banten seperti kelompok Jawara, santri dan anggota masyarakat lainnya. Posisi strategis ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Banten, misalnya konflik ataupun kerusuhan sosial lainnya, pasti juga akan memiliki dampak luas. Dengan demikian, apa yang terjadi di Provinsi Banten perlu dicermati sejak dini.
Dengan memperhatikan kedua posisi strategis tersebut, dan mengkaitkannya dengan pencapaian pelayanan publik untuk pelayanan dasar sebagaimana telah diuraikan, tentu menarik untuk dijadikan bahan pijakan dan penilai pencapaian pembangunan Provinsi ini. Dalam konteks Penelitian GAS 2006, menarik untuk dilihat lebih jauh bagaimana publik dan pemangku kepentingan lain di Provinsi Banten dalam melihat kinerja pemerintah dalam upaya menciptakan suatu tata-pemerintahan yang baik. Tulisan ini akan mencoba menggambarkan profil Provinsi Banten dilihat dari beberapa aspek yakni; pertama, pertama, sejauh mana kemampuan pemerintah dalam memenuhi hak-hak politik dan HAM khususnya bagi warga masyarakat miskin. Indikator yang digunakan adalah sejauhmana pemerintah melakukan transparansi kebijakan, memenuhi hak untuk tahu, mendengarkan suara publik dan keterlibatan pemangku kepentingan lain dalam pengambilan kebijakan publik. Kedua, sejauhmana kemampuan membuat regulasi yang mampu memfasilitasi partisipasi dunia usaha dan masyarakat. Ketiga, Kemampuan mengelola konflik dan mencegah kekerasan; Keempat, kemampuan menciptakan kepastian hukum; dan Kelima, dan kemampuan memberantas korupsi; keenam, kemampuan birokrasi melaksanakan kebijakan dan menyelenggarakan pelayanan publik.
# Kemampuan Birokrasi Melaksanakan Kebijakan dan Menyelenggarakan
Pelayanan Publik


“Pada anggaran tahun 2004 di dewan Provinsi ada "Perda fiktif". Uang Perda keluar, tapi
tidak ada hasil perdanya. Di Provinsi Banten, tiap dinas harus setoran sebesar 30 % dari
total anggaran yang cair pada dinas tersebut kepada Gubernur. Tender hanya formalitas,sudah dikapling-kapling”.
Dengan melihat kondisi ini, tidak salah apabila kemudian responden dalam Penelitian GAS 2006 sebagian besar menilai pelayanan dalam bidang pedidikan dan investasi cukup rendah. APBD mereka nilai tidak mampu mengatasi permasalahan publik. Para responden dalam Penelitian GAS 2006 juga menilai bahwa walaupun kapasitas SDM birokrasi cukup memadai, namun mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menjaga keberlanjutan program. Sebagaimana dipersepsikan warga seperti tampak pada bagan 2. Menurut responden dalam Penelitian GAS 2006, pelayanan dalam bidang perijinan dinilai rendah oleh sebagaian besar warga.
Demikian juga dalam hal APBD, publik memiliki penilaian, APBD tidak mampu memberikan jaminan untuk terselenggaranya pelayanan secara kontinu. Terdapat keraguan akan kemampuannya 151 untuk mengatasi permasalahan publik. Salah satui faktor penyebab kondisi ini adalah masih rendahnya kemampuan para pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas.

Kualitas SDM rendah masih dilihat sebagai salah satu faktor penyebab tidak berjalannya pelayanan publik dengan baik. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan tingginya persentase warga yang memberikan penilaian bahwa dilihat dari tingkat kemudahannya, prosedur pelayanan publik termasuk sulit. Sebagaimana terlihat pada bagan.Bagan memberikan gambaran jelas bagaimana penilaian warga dan pemangku kepentingan non-pemerintah terhadap kemampuan birokrasi dalam melaksanakan kebijakan dan menyelenggarakan pelayanan publik dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perijinan. Tampak betapa warga melihat ketidaksadaran pemangku kepentingan dalam lingkungan birokrasi akan pentingnya reformasi pelayanan khususnya terkait dengan investasi. Sulitnya pelayanan dalam ketiga bidang tersebut dalam jangka panjang akan berdampak cukup besar misalnya keengganan invostor untuk masuk, dan tidak berkembangnya pelayanan pendidikan dan kesehatan. Sebagai akibat lebih lanjut, warga akan lebih senang untuk mengakses pelayanan pendidikan dan kesehatan ke tempat lain misalnya Jakarta dan Bandung.

Apabila hal tersebut terjadi, maka upaya pembangunan SDM di Provinsi Banten akan semakin sulit. Dengan kondisi tersebut maka kapasitas SDM yang rendah yang tersedia dalam pelayanan publik (sebagaimana tampak pada bagan) akan semakin sulit untuk diatasi. Pada titik tersebut akan muncul persoalan-persoalan ikutan seperti kemiskinan, keterpurukan penduduk lokal karena kalah bersaing, kondisi kesehatan penduduk yang semakin buruk, dan rendahnya daya tarik daerah untuk investor. Buruknya pelayanan publik ini diperparah oleh adanya persepsi publik bahwa anggaran APBD hanya berorientasi pada kepentingan penguasa. Publik juga menilai bahwa dalam penyusunan APBD, pemerintah dan DPRD kurang melihat aspek keberlanjutan program dan keberlanjutan pembiayaan pembangunan.
# Kesimpulan Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Banten
Memperhatikan fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan, dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, pelaksanaan tata-pemerintahan di Provinsi Banten pada dasarnya masih cukup buruk. Pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga masyarakat belum secara memadai tersediakan. Pelayanan dasar yang dinilai cukup memadai adalah pelayanan kesehatan. Kedua, dalam hal regulasi, penyelenggara tata-pemerintahan di Provinsi ini dinilai telah mampu untuk menyediakan seperangkat hukum yang cukup kondusi bagi terciptanya iklim investasi yang baik. Namun demikian, pada tataran implementasi masih terdapat banyak kekurangan dan bahkan kelemahan-kelemahan mendasar seperti masih kurangnya komitmen pemangku kepentingan untuk melaksanakan aturan dan hukum dengan baik. Ketiga, rendahnya komitmen untuk melaksanakan hukum menyebabkan merebaknya korupsi di lembaga-lembaga yang seharusnya bertindak sebagai penjaga tegaknya hukum. Kondisi ini tentu saja semakin mendorong wajah tata-pemerintahan di Provinsi Banten pada kondisi yang kurang baik. Dalam konteks penciptaan daya tarik untuk investasi, birokrasi yang korup dan gangguan preman merupakan dua faktor utama penyebab kegagalan usaha. Data ini tentu saja memperkuat kesimpulan-kesimpulan sementara yang melihat aspek kolusi antara penguasa dengan kekuatan-kekuatan informal merupakan pembentuk wajah paling mendasar di Provinsi Banten. Pada akhirnya, rendahnya kualitas pelayanan publik, penegakan hukum dan tingginya indikasi korupsi justru membawa pemangku kepentingan dalam situasi tidak dipercaya oleh publik. Pihak-pihak yang memiliki tingkat kepercayaan publik terendah adalah pemerintah Provinsi, kepolisian dan pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan. 2004. Banten Awal Pembangunan. Jakarta : Tiga Serangkai
Sulaeman.2000. Provinsi Banten Pengharapan Kemajuan. Jakarta : Fokusmedia
http ://www. banten.go.id/ sistem jawara banten
http://www. banten.go.id/ kinerja pemerintahan propinsi banten
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=862
http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=8895
http://www.metro.tv.co.id/berita
http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=207811&kat_id=23
No comments:
Write komentarSilahkan isi komentar Anda disini