Wednesday, October 13, 2010

STRATEGI NETWORKING LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) : (STUDI KASUS ALIANSI PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (APPA) DALAM PENDAMPINGAN KORBAN KEKERASAN

 

. JUDUL : STRATEGI NETWORKING LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) : (STUDI KASUS ALIANSI PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (APPA) DALAM PENDAMPINGAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN BERBASIS GENDER DI KABUPATEN JEPARA)

B. NAMA PENULIS : NAILIS SA’ADAH

C. ABSTRAKSI

The aim of the research is to analyze the activity of Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA), a network was established by a number of NGO’s in jepara regency which have concern to women’s problem. This research used an analytical descriptif method.

The result of this research show that in order to create gender equality as well as gender justice, APPA gives advocacy to the victims of domestic violence. The establishment of this network can increase effectiveness of advocacy that they have done. But, there are some obstacles. In internal come from the financial factors and participation of members. In external, come from less commitment of other institutions.

Keywords : Gender Mainstreaming, NGO, Domestic Violence, Networking

D. PENDAHULUAN

Pengarusutamaan gender merupakan salah satu strategi yang dibentuk pemerintah dalam rangka menangani permasalahan ketidakadilan gender. Di Kabupaten Jepara, strategi pengarusutamaan gender belum diimplementasikan secara maksimal. Hal ini masih terlihat dari semakin meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Jepara. Dalam tiga tahun terakhir kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender di Kabupaten Jepara meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Satreskrim Polres Jepara pada tahun 2006 sendiri terdapat 22 kasus, pada tahun 2007 terdapat 35 kasus, dan pada tahun 2008 sampai bulan September terdapat 35 kasus yang dilaporkan kepada pihak yang berwajib[1]. Kurang maksimalnya implementasi ini mendorong lahirnya LSM-LSM yang peduli terhadap permasalahan KTPBG tersebut. LSM-LSM ini kemudian membentuk sebuah network dengan harapan agar dapat meningkatkan efektivitas kerja mereka.

Permasalahannya adalah bagaimana pola kerja Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) sebagai sebuah jaringan LSM dalam memperjuangkan tercapainya tujuan pengarusutamaan gender . Upaya apa saja yang dilakukan APPA secara langsung dalam memperjuangkan tercapainya tujuan pengarusutamaan gender, bagaimana upaya APPA dalam menjalin kemitraan bersama pemerintah, dan bagaimana pendampingan yang dilakukan APPA kepada korban kekerasan terhadap perempuan berbasis gender.

Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya yang sudah dilakukan APPA secara langsung untuk memperjuangkan tercapainya tujuan pengarusutamaan gender, untuk mengetahui upaya yang dilakukan APPA dalam rangka membangun kemitraan bersama pemerintah untuk memperjuangkan tercapainya tujuan pengarusutamaan gender, bagaimana pendampingan yang dilakukan APPA kepada korban kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender.

Definisi PUG yang saat ini banyak diadopsi oleh negara dan lembaga-lembaga pembangunan adalah versi United Nations Economic and Social Council (1997) yaitu :

”Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses memeriksa pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program, dalam berbagai bidang dalam semua tingkat. Ia sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman perempuan maupun laki-laki menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan dan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan (inequality) tidak berlanjut. Tujuan akhirnya adalah kesetaraan gender ”.[2]

Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang pedoman pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional”.[3]PUG yang saat ini banyak diadopsi oleh negara dan lembaga-lembaga pembangunan adalah versi United Nations Economic and Social Council (1997) yaitu :

”Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses memeriksa pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program, dalam berbagai bidang dalam semua tingkat. Ia sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman perempuan maupun laki-laki menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan dan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan (inequality) tidak berlanjut. Tujuan akhirnya adalah kesetaraan gender ”.[4]

Berdasarkan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 ini, pengarusutamaan gender memiliki tujuan untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan ruang lingkup pengarusutamaan gender meliputi seluruh perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional.

Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG) merupakan salah satu bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender. Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Gender sendiri adalah segala bentuk kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan, baik yang terjadi di area publik maupun domestik.[5] Penyebab utama terjadinya KTPBG ini adalah adanya relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di mana posisi perempuan berada dalam “posisi tawar” yang lemah. Adanya permasalahan KTPBG ini mendorong munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki concern terhadap perempuan. Lembaga Swadaya Masyarakat atau yang umum dikenal dengan organisasi non-pemerintah (Non Government Organization) merupakan organisasi yang dibentuk oleh kalangan yang bersifat mandiri[6].Organisasi seperti ini dibentuk sebagai perwujudan dari komitmen sejumlah warga negara yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul, baik dalam bidang teknologi, ekonomi, sosial, maupun politik[7]. Dalam melakukan kerjanya, salah satu strategi yang dilakuakan adalah dengan membentuk sebuah network.

Definisi network adalah :

“Sekumpulan aktor yang dihubungkan oleh sekumpulan ikatan-ikatan. Para aktor (yang disebut juga ‘noda’) bisa merupakan individu-individu, kelompok, organisasi, konsep, dan sebagainya. Ikatan-ikatan ini menghubungkan berbagai aktor dan bisa bersifat terarah (berpotensi diarahkan secara sepihak, misalnya dalam memberikan nasehat pada seseorang) atau tidak terarah (seperti ikatan kedekatan fisik), bisa juga bersifat dikotomis (ikatan kehadiran atau ketidakhadiran) atau terukur (diukur dengan suatu skala tertentu, misalnya derajat kedekatan dalam suatu ikatan pertemanan). Setiap ikatan tipe tertentu (seperti ikatan pertemanan) membangun sebuah relasi sosial yang bersifat biner, dan setiap relasi membentuk sebuah jaringan yang unik (misalnya, jaringan pertemanan berbeda dengan jaringan nasehat, meskipun secara empiris keduanya mungkin memiliki korelasi)”.[8]

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam sebuah network, diantaranya :[9]

a. Mengidentifikasi masalah dan melakukan pertukaran informasi.

b. Melakukan identifikasi kemajuan teknologi.

c. Melakukan pengembangan teknologi.

d. Pengembangan infrastruktur pengetahuan.

e. Capacity building

f. Bersama-sama membuat strategi

g. Bersama-sama membuat atau memprogram kebijakan.

Dengan melihat penjelasan di atas, beberapa keuntungan yang dapat diperoleh para anggota dalam sebuah network, diantaranya :[10]

1. Peningkatan akses. Keuntungan bagi anggota network diperoleh dari peningkatan akses akan informasi, keahlian, sumber daya finansial dan lainnya.

2. Peningkatan efisiensi. Anggota network dapat mengurangi biaya, dan dengan adanya kemampuan untuk berbagi informasi atau program akan menghindarkan anggota network untuk menciptakan kembali panduan setiap kali melakukan aktivitas.

3. Multiplier effect yang meningkatkan jangkauan dan pengaruh yang didapatkan bagi anggota organisasi. Keanggotaan network dapat mencapai prestasi yang lebih melalui pemanfaatan multiplier effect, yang diciptakan oleh network yang efektif. Sebagaimana yang sudah disebutkan, sejak nilai network melebihi jumlah dari bagiannya, anggota individu LSM dapat meraih jangkauan yang lebih jauh dan pengaruh yang lebih baik dalam hubungannya pada tujuan mereka sendiri ketika mereka berpartisipasi dalam sebuah network. Dengan mengingat bahwa banyak network yang tidak hanya menjadi anggota dari satu network saja, maka tidak sulit untuk melihat bagaimana multiplier effect ini dapat menguntungkan LSM dalam berbagai level.

4. Solidaritas dan dukungan. Beberapa penulis menyebutkan pengembangan rasa solidaritas dan dukungan sebagai keuntungan yang penting diterima LSM dari partisipasinya dalam network.

5. Peningkatan kemampuan melihat pada persoalan-persoalan, kebiasaan-kebiasaan terbaik dan kelompok-kelompok yang tidak terwakili.

Faktor-faktor penentu efektivitas manajemen network, diantaranya adalah [11]:

a. Jumlah Aktor yang terlibat. Semakin banyaknya jumlah aktor, semakin susah terwujud persetujuan bersama.

b. Keragaman dalam network. Semakin banyak kategori dan bentuk aktor yang ada dalam network(misalnya : pemerintah, NGO, sektor privat, dan sebagainya), semakin banyak pula pendekatan yang mesti dirumuskan untuk mempengaruhi aktor-aktor tersebut

c. Closed nature of network. Secara alamiah network sebagai sebuah sistem akan punya kecenderungan “ketertutupan”. Bukan berarti sebuah sistem tidak bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya, tapi sebuah sistem punya mekanisme self-regulating untuk merespon perubahan yang berasal dari lingkungan mereka. Inilah yang membatasi adanya peluang untuk mengembangkan manajemen network.

d. Konflik kepentingan. Minimalnya konflik kepentingan menjadi prasyarat penting bagi manajemen network

e. Biaya manajemen network. Misalnya : konflik kepentingan yang rendah hanya membutuhkan fasilitasi sedangkan konflik kepentingan yang tinggi harus menggunakan mekanisme mediasi dan arbitrasi

f. Konteks sosial dan politik

g. Kepemimpinan dan kekuatan komitmen. Keberhasilan manajemen network dipengaruhi oleh adanya kapasitas kepemimpinan aktor dalam interaksi yang mampu memberikan pilihan-pilihan baru.

h. Keahlian. Keahlian dalam mengidentifikasi aktor potensial yang dilibatkan dalam network serta jenis informasi apa yang bisa dishare. Juga kehalian untuk bernegosiasi dan memediasi.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan tipe penelitian deskriptif analitis yang bertujuan untuk menyelidiki secara rinci aktivitas dan pekerjaan manusia dan hasil penelitian tersebut dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk keperluan masa yang akan datang. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan sumber data berupa data primer yang didapatkan dengan melakukan wawancara ke lapangan, yaitu kepada APPA dan Pemerintah Kabupaten Jepara, dan data sekunder yang didapatkan melalui kepustakaan, seperti koran, majalah, buku dan artikel yang didapat pada situs internet.

Penetapan Informan dalam penelitian ini menggunakan Snowball Sampling, yaitu peneliti menetapkan satu atau beberapa informan berdasarkan anggapan bahwa informan dapat memberikan informasi yang diinginkan peneliti sesuai dengan permasalahan penelitian. Rincian informan terdiri dari: informan yang ditunjuk oleh APPA dan informan yang ditunjuk oleh Pemerintah Kabupaten Jepara yang meliputi instansi maupun dinas pemerintah Kabupaten Jepara dan instansi lain yang terlibat langsung maupun tidak langsung di dalam proses pencapaian tujuan pengarusutamaan gender oleh APPA .

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa Indepth Interview atau wawancara Mendalam dan observasi. Penelitian ini menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data atau teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data tersebut untuk keperluan pengecekan maupun sebagai data pembanding.

Penelitian ini menggunakan model analisa data dasar secara kualitatif, yaitu suatu metode yang digunakan untuk menganalisa data yang tidak dapat diterjemahkan dalam bentuk angka dan dilakukan dengan menguraikan informasi-informasi yang diperoleh secara logis. Dimana setelah data dikumpulkan, dilakukan pengolahan data yang meliputi penelaahan sumber data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi).

F. POLA KERJA ALIANSI PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (APPA) SEBAGAI SEBUAH JARINGAN LSM DALAM MEMPERJUANGKAN TERCAPAINYA TUJUAN PENGARUSUTAMAAN GENDER.

Keberadaan Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) di Kabupaten Jepara merupakan suatu langkah nyata dari anggota-angota LSM di Jepara yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan perempuan Kabupaten Jepara, khususnya permasalahan tindak kekerasan terhadap perempuan berbasis gender dan kekerasan anak. Terbentuknya aliansi ini merupakan hasil sharing dari sejumlah LSM yang mengikuti workshop advocacy pada tanggal 20 april 2006. Sebelum terbentuknya aliansi, di Jepara sendiri, banyak LSM-LSM yang bukan merupakan LSM yang memiliki program khusus pendampingan perempuan berbasis gender telah melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan perempuan berbasis gender. Akan tetapi dalam kenyataannya, banyak masyarakat yang mendatangi mereka untuk meminta pendampingan terhadap kasus yang dihadapi.

Sesuai dengan latar belakang pembentukannya tersebut, dalam rangka mmewujudkan tercapainya tujuan pengarusutamaan gender, APPA memberikan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan berbasis gender. Pendampingan dilakukan melalui litigasi dan non litigasi. Secara definitif penanganan kasus secara litigasi dalam tindakan kekerasan terhadap perempuan (KTP) merupakan penanganan yang dilakukan melalui jalur hukum[12]. Sedangkan penanganan secara nonlitigasi merupakan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran perempuan tentang hak-hak mereka sebagai individu yang merdeka, sosialisasi kesetaraan dan keadilan gender (KKG) di masyarakat, advokasi dan pendampingan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan, penanggulangan dampak fisik dan psikis dari perempuan yang menajdi korban kekerasan, penguatan kelembagaan, dan perbaikan undang-undang dan kebijakan publik ke arah keberpihakan yang lebih tinggi pada perempuan.[13] Salah satu model non litigasi ini dilakukan melalui konseling-konseling terhadap korban. Dalam melakukan pendampingan, APPA tidak mencari korban, tetapi APPA menunggu laporan dari korban.

Pola pendampingan yang biasanya dilakukan :

1. Konseling. Konseling ini merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam melakukan pendampingan. Konseling dilakukan bersifat situasional, dalam arti disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi korban.

2. Pencatatan kronologi kasus. Biasanya dilakukan oleh anggota yang mendapat laporan dari korban atau dari keluarga korban, dengan ditemani pengurus teras. Setelah diperoleh kronologi kasusnya, kemudian diinformasikan ke anggota aliansi lainnya melalui mekanisme rapat.

3. Identifikasi masalah. Setelah kronologi kasus diketahui, kemudian dilakukan musyawarah bersama untuk membahas apakah kasus tersebut layak atau tidak untuk didampingi.

4. Pendampingan pelaporan ke kepolisian sampai kasus dibawa ke pegadilan. Dilakukan pendampingan mulai awal pemeriksaan ke pihak yang berwenang yaitu polisi sampai kasus ini disidangkan di pengadilan.

Selain alur pendampingan di atas, kegiatan lain yang dilakukan adalah koordinasi. Koordinasi ini bersifat situasional, dalam arti tergantung pada keadaan, terutama jika terdapat perkembangan kasus yang membutuhkan pembahasan bersama, maka akan dilakukan koordinasi.

Dalam melakukan pendampingan APPA juga melakukan networking dengan lembaga-lembaga lain. Hal ini dilakukan jika terdapat kasus-kasus yang dianggap rumit dan tidak dapat didampingi secara efektif jika hanya mengandalkan kapasitas APPA sendiri. Salah satunya dengan membentuk network bersama LBH, diantaranya LBH Yaphi Kudus, LBH Atma Pati, dan LBH Jawa Tengah.

Dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai tujuan PUG, APPA melakukan upaya-upaya membangun kemitraan bersama pemerintah. Salah satunya melalui keanggotaan APPA dalam PPT (Pusat Pelayanan Terpadu), salah satu kebijakan yang diambil pemerintah kabupaten jepara dalam rangka menangani permaslahan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender di Kabupaten Jepara. Tim dalam PPT ini berasal dari instansi pemerintah Kabupaten Jepara, kepolisian Resort Jepara, LSM, rumah sakit Umum RA. Kartini Jepara, Lembaga Bantuan Hukum, DPRD Kabupaten Jepara, pengadilan Agama Kabupaten Jepara, Pengadilan Negeri Kabupaten Jepara, PKK Kabupaten Jepara, Dharma Wanita Kabupaten Jepara, Departemen Agama, Kejaksaan Negeri Jepara. Namun kemitraan ini tidak berjalan dengan baik, karena tidak adanya visi misi yang sejalan dari masing-masing anggota.

G. EFEKTIFITAS POLA KERJA ALIANSI PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (APPA) SEBAGAI SEBUAH JARINGAN LSM DALAM MEMPERJUANGKAN TERCAPAINYA TUJUAN PENGARUSUTAMAAN GENDER

Pengembangan networking atau jaringan sekarang ini memang menjadi kecenderungan untuk membuat aksi LSM menjadi lebih efektif. Model organisasi jaringan bahkan merupakan model pengembangan organisasi yang relevan untuk menjawab berbagai isu sosial yang semakin kompleks, di tengah majunya perkembangan teknologi informasi, dan derasnya arus globalisasi. [14] Pembentukan APPA dalam pendampingan yang dilakukan sejumlah LSM di Kabupaten Jepara ini, menunjukkan efektifitasnya. Efektivitas keberadaan network dalam pendampingan tersebut yaitu :

a. Network sebagai sumber kekuatan.

Keberadaan network ini terbukti memberikan kekuatan tersendiri dalam melakukan pendampingan. Hal ini dapat dilihat pada pressure yang lebih kuat terhadap aparat penegak hukum dibandingkan sebelum dibentuknya APPA. Hal ini disebabkan jumlah anggota APPA yang lebih banyak.

b. Pola pendampingan yang lebih efektif.

Penulis melihat keefektifan pola pendampingan ini dari strategi yang digunakan dan pembagian kerja yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari strategi-strategi yang digunakan APPA tidak berasal dari individu, tapi dihasilkan oleh mekanisme rapat anggota aliansi. Dengan banyaknya aktor yang terlibat, akan terjadi sharing informasi yang lebih, sehingga strategi yang diambil akan lebih efektif dibandingkan ketika strategi diputuskan secara individu.Dari sisi pembagian kerja, seperti yang diketahui bahwa pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender merupakan sebuah proses yang rumit dan memakan waktu yang lama. Dengan banyaknya actor yang terlibat tentu saja akan lebih mempermudah proses pendampingan karena proses tersebut dapat dibagi-bagi kepada anggota yang lain.

c. Jangkauan wilayah yang lebih luas.

Dalam APPA, banyaknya aktor yang berasal dari daerah yang berbeda-beda, terbukti memberikan kemudahan APPA untuk menjangkau kasus-kasus ke wilayah yang lebih luas. Korban biasanya melapor tidak ke kantor, melainkan ke rumah individu. Dengan tersebarnya anggota yang lebih banyak, maka memberikan kemudahan dan mendorong korban untuk melaporkan kasus yang dihadapinya.

d. Adanya solidaritas dan dukungan yang merupakan salah satu keuntungan dari keberadaan network, menumbuhkan komitmen yang kuat pada masing-masing anggota dalam melakukan pendampingan. Solidaritas dan dukungan ini muncul karena mereka merasa memiliki tujuan yang sama dan dengan membentuk sebuah aliansi berarti mereka telah memilih jalan yang sama pula. Komitmen yang tumbuh ini kemudian memunculkan keinginan untuk terus memberikan pendampingan, meskipun tidak mendapatkan imbalan. Ini terlihat dari kerja para anggota APPA yang meskipun tidak mendapatkan insentif, biaya yang terbatas misalnya untuk transportasi, ditambah proses pendampingan yang dilakukan siang malam, tidak menggoyahkan keinginan mereka untuk tetap berusaha memberikan pendampingan semaksimal mungkin.

Dalam pendampingan tersebut terdapat beberapa hambatan dalam proses pendampingan yang dilakukan APPA, diantaranya :

§ Dari sisi internal

Dari dalam APPA sendiri yaitu keanggotaan dan finansial. keberadaan APPA telah mampu memberikan kontribusi dalam rangka memperjuangkan hak perempuan sebagai korban. Tetapi menurut penulis, kontribusi ini belum dilakukan secara maksimal. Karena dalam kenyataan di lapangan sering timbul kesenjangan antara jumlah anggota dengan jumlah kasus yang masuk. Menurut penulis hal ini salah satunya dikarenakan masih terdapat anggota yang tidak aktif dalam proses pendampingan. APPA memiliki anggota 13 lembaga, tapi hal tersebut hanya di atas kertas saja, pada kenyataannya terdapat anggota yang tidak aktif. Terbatasnya anggota yang aktif ini menimbulkan kesulitan dalam pembagian tugas. Kenyataan itu membuat proses pendampingan kurang efektif, karena seorang anggota dapat memiliki tugas berlipat ganda. Kondisi ini tentu saja akan berbeda jika personelnya cukup, bisa memudahkan proses pendampingan. Apalagi jika kita melihat kenyataan di lapangan bahwa proses pendampingan membutuhkan waktu yang lama dan strategi yang tepat. Sedangkan dalam hal financial, APPA merupakan lembaga yang pendanaannya tidak melibatkan lembaga donor. Pada dasarnya dana diperoleh dari dana swadaya dan bantuan dari pemerintah. Dana yang terbatas ini tentu saja merupakan hambatan dalam proses pendampingan yang dilakukan karena menghambat APPA untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang proses pendampingan yang dilakukan. Menurut penulis, keterbatasan dana ini juga menjadi salah satu penyebab kurang aktifnya sebagian personel, karena tiadanya insentif yang diberikan.

§ Dari sisi eksternal

Hambatan dari sisi eksternal dapat dilihat dari keberadaan aparat penegak hukum dan pemerintah yang kurang memiliki komitmen terhadap pencapaian keadilan dan kesetaraan gender. Seperti yang diketahui bahwa penanganan permasalahan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi membutuhkan kerja sama integratif antara berbagai pihak. Dalam hal ini aparat penegak hukum dan pemerintah yang tidak memiliki komitmen yang sama dengan APPA akan menghambat proses pendampingan yang dilakukan oleh APPA. Salah satunya tidak tertanganinya masalah ini secara serius oleh aparat penegak hukum.. Komitmen yang kurang dari pemerintah dapat dilihat pada komitmennya dalam pembentukan PPT. Kurangnya komitmen ini tercermin pada kurangnya dukungan yang diberikan terhadap proses pendampingan yang dilakukan APPA.

H. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan diskusi pada pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :

§ Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, APPA memilih pendampingan non profit sebagai kegiatan utama. Kegiatan ini ditetapkan dengan mempertimbangkan perkembangan permasalahan perempuan di Kabupaten Jepara. Dimana banyak korban kekerasan yang membutuhkan pendampingan, dan sebagian besar mereka lemah secara social dan ekonomi. Pendampingan dilakukan dengan memberikan bantuan hukum dan konseling. Dengan adanya bantuan hukum ini, akses perempuan terhadap hokum akan meningkat, sehingga mendorong kesadaran masyarakat untuk melaporkan setiap kekerasan perempuan berbasis gender yang terjadi.

§ Dalam mewujudkan tercapainya tujuan PUG, APPA menjalin kemitraan bersama pemerintah melalui keanggotaannya dalam PPT (Pusat pelayanan terpadu), salah satu kebijakan pemerintah dalam menangani permasalahan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Akan tetapi, kemitraan ini tidak berjalan dengan baik karena tidak terwujudnya prinsip kesetaraan diantara anggota yang menimbulkan adanya pihak yang merasa memiliki posisi yang lebih tinggi. Tidak adanya rasa saling mempercayai, hubungan timbal balik, rasa ketergantungan menyebabkan tidak munculnya visi yang sama diantara anggota.

§ Pola pendampingan yang biasa dilakukan APPA adalah konseling, pencatatan kronologi kasus, identifikasi masalah, dan pendampingan pelaporan ke kepolisian hingga kasus di bawa ke pengadilan. Pola kerja yang dilakukan APPA sebagai sebuah jaringan mampu meningkatkan efektivitas pendampingan yang dilakukan. Efektivitas ini terlihat pada pressure yang lebih kuat, pola pendampingan yang lebih efektif, jangkauan wilayah yang lebih luas, dan solidaritas dan komitmen yang lebih kuat. Namun terdapat pula beberapa hambatan, diantaranya dari internal APPA berasal dari faktor financial dan keterlibatan anggota di lapangan, sedangkan dari sisi eksternal berasal dari kurangnya komitmen aparat penegak hukum yang lain dan pemerintah.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis dapat mengemukakan saran sebagai berikut ini :

1. Perlu diciptakan hubungan saling mempercayai, timbal balik, saling ketergantungan dan komitmen untuk jangka panjang bagi anggota PPT agar implementasi PPT dapat berjalan lancar.

2. Bagi para anggota APPA, perlu adanya peneguhan komitmen kembali mengenai keaktifan mereka dalam melakukan pendampingan. Hal ini bertujuan agar APPA semakin solid.

3. Perlu banyak dikembangkan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan strategi networking LSM ini, karena penulis merasa terdapat keterbatasan sumber yang berhubungan dengan apa yang menjadi penelitian penulis.

I. DAFTAR RUJUKAN

Affan Gaffar. 1999. POLITIK INDONESIA Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Data Satreskrim Polres Jepara 2008

Hindun Anisah (20 Oktober 2008) “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)” Makalah (Disampaikan dalam Pelatihan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak berbasis Gender, bagi Relawan Desa).

Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional

Liebler, Claudia and Marisa Ferri. 2004. ”NGO Networks: Building Capacity in a Changing World”. (makalah tidak diterbitkan)

Pointers Stephen P. Borgatti dan pacey C. Foster. “Paradigma Jaringan Dalam Riset Organisasional: Sebuah Telaah Dan Tipologi”. Journal of Management 2003 (6) 991-1013

Sinta, Dewi R. (2006). ”Gender Mainstreaming : Feminisme, Gender dan Transformasi Institusi". Jurnal perempuan (50) (November). Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. Hal 13

Susi Eja Yuarsi dkk. (2002). Menggagas Tempat yang aman bagi perempuan kasus di daerahistimewa yogyakarta. Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford Foundation



[1] Data Satreskrim Polres Jepara 2008

[2] Dewi, R. Sinta .(2006). ”Gender Mainstreaming : Feminisme, Gender dan Transformasi Institusi” . Jurnal Perempuan (50) (November). Hal 13.

[3] Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional

[4] Ibid. hal 13

[5] Hindun Anisah (20 Oktober 2008) “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)” Makalah (Disampaikan dalam Pelatihan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak berbasis Gender, bagi Relawan Desa).

[6] Affan Gaffar. (1999). POLITIK INDONESIA Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal 20.

[7] Ibid. Hal 201.

[8] Pointers Stephen P. Borgatti dan pacey C. Foster. “Paradigma Jaringan Dalam Riset Organisasional: Sebuah Telaah Dan Tipologi”. Journal of Management 2003 (6) 991-1013

[9] Ibid.

[10] Liebler, Claudia and Marisa Ferri. (2004). ”NGO Networks: Building Capacity in a Changing World”. (makalah tidak diterbitkan)

[11] Ibid.

[12] Susi Eja Yuarsi dkk. (2002). Menggagas Tempat yang aman bagi perempuan kasus di daerahistimewa yogyakarta. Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford Foundation. Hal 80.

[13] Ibid. Hal 124.

[14] Opcit.Hal 149.

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi