Thursday, October 7, 2010

NASIONALISME DAN KEBANGSAAN DI ERA DESENTRALISAS

 

NASIONALISME DAN KEBANGSAAN

DI ERA DESENTRALISASI[1]

Pratikno[2]

Fisipol UGM

Indonesia mempunyai pondasi semangat kebangsaan yang kuat di tengah realitas kebhinekaan. Hal ini bisa dilihat dari sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia yang diperoleh dari penyatuan kedaulatan kebangsaan-kebangsaan kecil di daerah. Oleh karena itu, pengakuan terhadap keberadaan entitas masyarakat daerah di era kemerdekaan melalui kebijakan desentralisasi menjadi mandat sejarah yang sulit dielakkan.

Dalam perjalanannya, sejarah politik Indonesia diwarnai dengan berbagai ketegangan antara pusat dan daerah. Namun pada dasarnya, tuntutan untuk merdeka tidak pernah menjadi target utama dari pergerakan daerah. Gerakan PRRI Permesta di Sulawesi Selatan misalnya, merupakan pemberontakan setengah hati yang menuntut merdeka sebagai bagian dari negosiasi politik dengan pusat. Sementara gerakan Aceh untuk merdeka di masa pemerintahan Sukarno digambarkan sebagai "Pemberontakan Kaum Republik", yaitu pemberontakan oleh para pendiri republik yang kecewa terhadap republik yang didirikannya. Pemberontakan daerah yang terjadi selama pemerintahan Orde Lama tersebut dipicu oleh ketidakadilan pemerintah pusat dalam memperlakukan daerah secara ekonomi, politik dan kultural. Pemberontakan daerah pada prinsipnya adalah politik untuk menuntut perhatian.

Di bawah represi politik pusat di era Orde Baru, kekecewaan daerah terhadap pusat sebenarnya terus berlanjut, tetapi tidak lagi bisa diekspresikan secara terbuka karena semua ruang politik ditutup dengan cara otoriter. Tatkala kapasitas pusat dalam menutup dan menekan gerakan politik daerah mengalami penurunan, gejolak politik daerah kembali bangkit. Pada periode akhir dekade 1990an sampai awal 2000an, Indonesia kembali dihadapkan pada fenomena keinginan beberapa daerah untuk merdeka. Ini berarti, kekecewaan lama daerah dalam hal ketidakadilan ekonomi, politik dan kultural yang terjadi di era Orde Lama ternyata tidak dijawab secara serius oleh 30 tahun pemerintahan Orde Baru. Pemerintah pasca Orde Baru menyelesaikan tuntutan ini dengan memberikan pengakuan politik dan kultural serta alokasi fiskal yang lebih besar kepada daerah-daerah yang memberontak.

Selanjutnya, apakah pengelolaan hubungan pusat dan daerah pola baru yang diberlakukan pasca Orde Baru akan mampu untuk memperkuat semangat kebangsaan di seluruh daerah di Indonesia? Tulisan ini bertujuan untuk melacak sejarah implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia dan implikasinya terhadap masa depan komitmen semangat kebangsaan Indonesia.

Belajar dari Orde Lama

Di tahun-tahun awal pendiriannya, negara-bangsa Indonesia harus dihadapkan pada masalah persatuan dan kesatuan nasional. Pada masa demokrasi liberal dan awal demokrasi terpimpin di dekade 1950an terjadi beberapa pemberontakan daerah yang signifikan, antara lain di Sumatra Barat, Sulawesi Selatan yang terkenal dengan PRRI-Permesta, dan Gerakan Aceh Merdeka. Selain itu masih terdapat beberapa pemberontakan kecil yang antara lain terjadi di Jawa Barat yang bermaksud mendirikan negara Islam, dan di Kalimantan Barat di awal 1960an yang terkait dengan etnis Cina.[3] Oleh karena itu sangat mudah dipahami mengapa hubungan pusat-daerah merupakan satu permasalahan pelik politik Orde Lama yang menyita banyak energi.

Belajar dari pengalaman tersebut, paling tidak terdapat empat pilar penjelasan penyebab munculnya pemberontakan daerah di era Orde Lama (Amal: 1992). Pertama, pemberontakan daerah di luar Jawa dilatar belakangi oleh ketimpangan struktur ekonomi yang mencolok antara Jawa dan luar Jawa. Pulau Jawa yang sangat padat penduduknya berperan menjadi ‘net-importer’, sementara luar Jawa menjadi andalan untuk kepentingan ekspor. Ketidakadilan struktur ekonomi yang lebih menguntungkan Jawa ini masih diperparah oleh kondisi politik yang membatasi harapan masyarakat luar Jawa untuk terlibat dalam proses politik nasional. Partai-partai besar yang berpengaruh secara nasional pada Pemilu 1955 lebih banyak berbasis di Jawa, seperti PNI, NU, dan PKI. Sementara aspirasi luar Jawa hanya diwakili oleh satu partai Masyumi.

Kedua, pemberontakan daerah Orde Lama tersebut didorong oleh kekecewaan terhadap sistem pemerintahan yang sentralistis yang tidak memberikan ruang yang memadai terhadap otonomi daerah. Para politisi daerah di awal kemerdekaan yakin bahwa otonomi daerah merupakan syarat minimal yang memungkinkan daerah untuk menjaga kepentingannya. Namun, pemerintahan yang berjalan sampai menjelang 1957 cenderung bersifat sentralistis. Pembentukan Republik Indonesia Serikat di akhir 1940an dengan cepat dikembalikan lagi ke bentuk negara kesatuan. Para birokrat dan profesional cenderung untuk menghalangi proses desentralisasi. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan yang tinggi di kalangan politisi daerah. Upaya pemerintah pusat mengembangkan otonomi melalui UU No. 1/1957 dinilai sudah terlambat karena kekecewaan daerah telah demikian memuncak.

Ketiga, peluang pemberontakan daerah di era Orde Lama diperluas oleh pengorganisasian militer yang berkoisidensi dengan pengorganisasian sipil dan bahkan sekaligus menjadi satu kesatuan dengan polarisasi kultural. Kepemimpinan militer di daerah mempunyai wilayah yang koinsiden dengan kepemimpinan sipil sehingga di antara keduanya mudah untuk menyatu dengan nama daerah. Kemudian, profesionalisasi dan rasionalisasi organisasi militer yang dilakukan oleh militer pusat telah merugikan para militer daerah yang berpendidikan formal rendah. Oleh karena itu, penjelasan ini mengajukan argumen bahwa pemberontakan daerah lebih didorong oleh konflik internal militer yang kemudian menyatu dengan kepemimpinan sipil dan solidaritas kultural.

Keempat, perdebatan mengenai dasar negara. Ketika PPKI menetapkan Pancasila sebagai dasar negara bagi Republik Indonesia, sejak itu pula muncul gerakan-gerakan penolakan. Pemberontakan Darul Islam adalah salah satu buktinya di awal kemerdekaan. Sejak awal 1950an pertentangan antara para nasionalis di bawah Sukarno yang secara tegas mendukung Pancasila dengan Masyumi yang mendukung Islam sebagai dasar negara semakin tajam. Pertentangan antara nasionalis yang menjadi aktor dominan di pemerintah pusat ini dengan Masyumi ini dengan cepat menjadi perseteruan antara pusat (Jawa) dan luar Jawa sesuai dengan peta geografis basis sosial mereka.

Kegagalan Orde Baru

Pemberontakan-pemberontakan daerah pada masa Orde Lama tersebut berhasil dihentikan oleh Orde Baru. Sejak 1965, hampir tidak terdapat pemberontakan daerah yang berarti. Gerakan-gerakan separatis yang terdapat di Aceh dan Irian Jaya terjadi pada skala yang jauh lebih kecil dan terkendali pusat dibandingkan dengan yang terjadi pada masa Orde Lama. Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat yang pada masa Sukarno menjadi daerah yang banyak memberikan perlawanan kepada pusat, pada masa Suharto hal itu tidak lagi terjadi.[4] Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana rejim Orde Baru mengakhiri pemberontakan daerah tersebut.

Berdasar pada argumen kemunculan pemberontakan daerah pada masa Orde Lama yang telah dikemukakan di atas, maka keberhasilan Orde Baru seharusnya bersumber pada kemampuannya untuk menyelesaikan empat sumber masalah tersebut. Namun, bukti menunjukkan bahwa pemerintahan Orde Baru tidak menghentikan semua penyakit tersebut. Orde Baru hanya menyelesaikan dua permasalahan terkait dasar negara dan pengorganisasian militer, namun pada saat yang sama justru semakin memperparah dua permasalahan terpenting yaitu mengembangkan sistem pemerintahan dan keuangan daerah yang semakin tersentralisir, dan semakin memperlebar dikotomi struktur ekonomi yang fundamental antara Jawa dan Luar Jawa. Untuk memahami mengapa hal ini terjadi, kita bisa melakukan pelacakan terhadap karakter rejim Orde Baru.

Karakter Rejim Orde Baru

Sering orang mengatakan bahwa rejim Orde Baru adalah ‘veto regime’, yang lahir di-veto dan mempunyai hak veto untuk menyelamatkan kebangkrutan ekonomi dan meningkatkan stabilitas politik dan integrasi nasional. Padahal, di sisi lain, Orde Baru di bawah kepemimpinan militer dan Suharto sebagai personal, hanya mempunyai sumber-sumber legitimasi politik yang rentan.

Walaupun tidak mempunyai sumber legitimasi politik yang kuat, Orde Baru telah berhasil membentuk pemerintahan yang efektif. Satu ‘trade mark’ keberhasilan Orde Baru yang menjadi penyangga bagi rentetan keberhasilan lainnya adalah kemampuannya dalam menciptakan stabilitas dengan cara melakukan kontrol politik terhadap masyarakat baik secara politik maupun ekonomi.

Kekuasaan politik Orde Baru yang efektif tersebut berakar dari paling tidak empat sumber utama (Pratikno 1996). Pertama, keleluasaan Orde Baru untuk menggunakan mekanisme kekerasan, baik kekerasan militer maupun kekerasan hukum dalam kehidupan politik sehari-hari. Kedua, klientelisme ekonomi dengan mekanisme money politics untuk membeli dukungan yang berhasil dilakukan berkat melimpahnya sumberdaya ekonomi dari hasil eksport minyak dan hasil alam lainnya. Ketiga, ideologisasi definisi partikularistik seperti demokrasi Pancasila, definisi hak asasi manusia, dan tanggung jawab warga negara terhadap segala kehidupan bernegara untuk melegitimasi otoritarianismenya. Terakhir, dengan memanfaatkan jaringan korporatisme negara untuk ‘menyalurkan’ partisipasi masyarakat menjadi mobilisasi politik yang terkontrol, melalui penunggalan kelompok-kelompok profesi dan kepentingan yang ke bawah menempati posisi penting di hadapan anggotanya, namun ke atas, organisasi ini sangat rentan terhadap intervensi negara (King, 1982).

Karakter Hubungan Pusat-Daerah

Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini masih diperparah lagi dengan dikembangkannya uniformitas supra- dan infra-struktur politik.

Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional (Devas 1989). Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas ‘sistem politik’ lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia. Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru melakukan penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara terpusat. Para buruh di seluruh nusantara hanya diakui eksistensinya apabila bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk pegawai negeri yang telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI, untuk petani telah disediakan HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk para wartawan telah disediakan PWI, dan lain-lain. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya sentralisasi kelembagaan kelompok kepentingan dan kemudian menjadi salah satu mesin politik untuk membangun dukungan masyarakat (walaupun mungkin semu) kepada pemerintah melalui organisasi payung yang dinamakan Golongan Karya (King 1982, Reeve 1990).

Dengan kata lain, dalam era Orde Baru telah terjadi proses negaraisasi (state formation) secara luar biasa yang berusaha menisbikan eksistensi politik lokal yang telah lama berakar di masyarakat. Hal ini menjadi semakin efektif melalui keterlibatan militer dalam day-to-day politics yang secara intens menumbuhkan suasana ketakutan (baik represi ideologis maupun fisik) di kalangan komunitas politik yang berusaha menolak dominasi pusat. Administrasi negara juga terlalu banyak merambah di dalam kehidupan privat, seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk, Surat Kelakuan Baik, Keterangan Bersih Lingkungan, dan lain-lain yang menciptakan ketergantungan individu kepada negara (Antlov 1994).

Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat bias pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan wacana pembangunan nasional, pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional, pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara nasional. Pertambangan, hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis perkebenan dikelola secara nasional yang hasilnya dibawa secara penuh ke Jakarta.

Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal utama. Pertama, pada tingkat nasional, elit politik pembuat keputusan tidak mempunyai basis politik lokal sama sekali. Kekuatan eksekutif nasional (yang bisa jadi hanya Lembaga Kepresidenan, dan bahkan hanya Suharto saja) yang menjadi aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari bawah, dan bahkan tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat untuk kelangsungan kekuasaan politik mereka. Kedua, pada tingkat daerah, masyarakat politik lokal teralienasi dari mekanisme politik yang telah sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan juga, arena politik lokal telah dimonopoli oleh orang pusat yang ada di daerah.

Karena supra-struktur dan infra-struktur politik lokal telah mengalami negaraisasi secara substansial, maka praktis tidak ada resistensi politik daerah yang memadai terhadap sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi yang terpusat ini. Dengan kata lain, secara ringkas bisa dikatakan bahwa berbagai sosok bias pusat dalam distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang terjadi selama 32 tahun terakhir ini adalah produk dari sebuah rejim politik otoritarian yang membangun legitimasi politiknya melalui sentralisasi serta monopoli sumber daya politik dan ekonomi secara nasional.

Namun, cara kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu memperbaiki keadaan sesaat dan bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok ke permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan Aceh, menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan dalam hubungan pusat-daerah di tahun 1997an. Bahkan, salah satu bentuk tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri. Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian wilayah NKRI benar-benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor Timur dari bagian wilayah NKRI melalui referendum pada era Presiden Habibie.

Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan melalui lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti bahwa ‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap pusat yang terjadi selama ini adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak. Tatkala krisis ekonomi melanda Indonesia, tatkala reformasi politik digulirkan masyarakat, dan tatkala pelanggaran HAM di Indonesia semakin menjadi sorotan dunia, maka tatkala itulah proses pembusukan politik (bukan pembangunan politik) Orde Baru mulai terangkat ke permukaan.

Pasca Orde Baru: Integrasi Nasional Melalui Desentralisasi

Pemerintahan pasca Suharto yang tampil di bawah tekanan demokratisasi dan dilanda kelangkaan sumberdaya ekonomi telah benar-benar tidak bisa memanfaatkan sumber-sumber kekuasaan Orde Baru tersebut secara leluasa. Kekerasan militer tidak bisa lagi digunakan secara terbuka. DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh ‘terpaksa’ harus dicabut. Demonstrasi ‘terpaksa’ harus ditangani secara persuasif. Dan perilaku militer menjadi sorotan publik. Klientelisme ekonomi untuk membeli loyalitas menjadi semakin sulit dilakukan, tatkala pemerintah tak lagi kaya. Krisis ekonomi telah menjadikan anggaran negara defisit; sentralisasi pengelolaan sumberdaya ekonomi sekarang ini digugat; dan setiap kebijakan alokasi sumberdaya ekonomi dipertanyakan. Mempermainkan standar moralitas politik juga sulit dilakukan, ketika rakyat sekarang ini berani bersuara dengan standar nuraninya dan menggugat hukum normatif Orde Baru yang kaya dengan manipulasi politik. Korporatisme negara juga lumpuh, tatkala kelompok-kelompok masyarakat, terutama kelompok profesi, berhasil membangun pluralitas representasi kepentingan mereka tanpa berhasil dikekang negara.

Kebebasan dan keterbukaan politik yang terjadi pasca Orde Baru membawa konsekuensi logis pada pemerintahan untuk segera mengubah diri. Segala macam kebijakan dan regulasi yang berbau orde baru yang sentralistis diubah sedemikian besarnya menjadi sangat terdesentralisasi. Kebijakan radikal (big bang) desentralisasi diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan UU 25/1999. Dua undang-undang ini lahir untuk merespon dua kondisi sosial-politik yaitu merebaknya tuntutan daerah untuk memperoleh otonomi yang lebih luas, bahkan tuntutan federasi dan merdeka,[5] serta semangat demokrasi yang menuntut ruang partisipasi yang luas.

Dengan setting sosial politik ini maka UU No. 22/1999 dan UU 25/1999 hadir dengan dua misi utama. Pertama, untuk memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi melalui ‘desentralisasi politik’ dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan kepuasan politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk menikmati simbol-simbol utama demokrasi lokal (misal pemilihan Kepala Daerah). Kedua, untuk memuaskan daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang ‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.

Regulasi yang baru ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta beberapa kewenangan bidang lain. Disamping memperoleh kewenangan politik yang luas, daerah juga memperoleh peluang partisipasi politik yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kesempatan untuk memilih Kepala Daerah secara langsung, juga pembentukan Badan Perwakilan Desa sebagai perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa. Secara lebih detail, UU No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/2004 dengan beberapa revisi, telah melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem yang digunakan di masa Orde Baru.

Pertama, semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih netral, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini didasari semangat untuk menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkhis lebih berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal dua-duanya merupakan badan hukum yang terpisah dan sejajar yang mempunyai kewenangan berbeda.

Kedua, UU No.22/1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan Propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom (Local Self-government) dan Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati dan Walikota adalah Kepada Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi.

Ketiga, Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan pemerintah Propinsi maupun pemerintah Pusat. Dalam UU No.22/1999, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, Bupati/Walikota harus bertanggung jawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (Presiden) hanya diberi kekuasaan untuk ‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi nasional. Pada tahun 2004, diperkenalkanlah Pilkada Langsung di mana Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Perubahan ke arah pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU No.32/2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008 dengan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pilkada Langsung.

Keempat, UU No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan oleh UU No.32/2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field administration) pada level Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Integrated Prefectoral System yang sentralistis yang digunakan UU No.5/1974 diubah menjadi Functional System, dan bukan sekedar Unintegrated Prefectoral System yang dikenal pada UU No.1/1957.

Kelima, UU tersebut menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat Daerah otonom, yaitu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai aparat dekonsentrasi.

Keenam, UU ini memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta ‘kewenangan bidang lain’. Hanya saja, definisi ‘kewenangan bidang lain’ ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendaya gunaan SDA serta teknologi tinggi strategis, koservasi dan standarisasi nasional.

Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan. Melalui UU No.25/1999 dan UU No. 33/2004, secara makro sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan dikembangkannya prinsip perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah ini juga semakin terasa untuk dua provinsi yang memperoleh otonomi khusus, yaitu Papua dan Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) melalui dana Otsus dan penyesuaian. Semua ini dilakukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan sinergi perencanaan pembangunan pusat dan daerah. Tabel berikut menunjukkan peningkatan alokasi transfer pusat ke daerah selama era desentralisasi (sumber dari Dirjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan 2007).


Kebijakan ini memberikan sumberdaya fiskal yang besar kepada daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang ‘memberontak’ di akhir 1990an dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
Namun, permasalahan yang tetap muncul adalah bagaimana pengelolaan kapasitas fiskal tersebut, dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat lokal.

Respon Daerah: Memperbutkan Sumberdaya Turun ke Lokal

Kebijakan pasca Orde Baru yang digambarkan di atas telah memperluas arena dan memperbesar sumberdaya yang tersedia di daerah. Melalui desentralisasi dan otonomi, pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperbaiki kondisi pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Lembaga-lembaga pemantau pelaksanaan otonomi daerah seperti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP), SMERU Research Institute, Sustainable Capacity Building for Decentralization Project (SCBD), Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD), dan berbagai lembaga lain telah berhasil mendokumentasikan sejumlah inovasi baru daerah yang dikembangkan pada masa implementasi otonomi daerah.

Selain itu, berbagai daerah juga telah semakin maju mengembangkan lembaga-lembaga kerjasama antar daerah untuk memfasilitasi manajemen konflik, pengembangan ekonomi lintas daerah, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, dsb. Beberapa lembaga kerjasama antar daerah yang sudah mulai dikenal antara lain Javapromo (kerjasama 13 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta di bidang Pariwisata), Kartamantul (kerjasama Kota Yogyakarta, Kab Sleman, dan Kab Bnatul), Subosuko Wonosraten (mencakup daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten), Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari), Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen), Gerbangkertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoardjo dan Lamongan), dan lain-lain.

Berbagai kemajuan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah semakin memiliki kebebasan untuk mengembangkan wilayahnya sesuai kebutuhan masyarakat lokal dengan bekal kebijakan otonomi yang diberikan oleh pusat.

Namun di sisi lain, masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati desentralisasi fungsi dan fiskal yang diberikan ke daerah. Banyak bagian-bagian dari daerah yang kecewa terhadap kebijakan daerah otonom maupun pemerintah pusat yang pada gilirannya kemudian menuntut mandiri menjadi daerah otonom sendiri. Fenomena inilah yang disebut dengan pemekaran daerah.

Hanya dalam waktu setengah dekade, jumlah daerah otonom di Indonesia bertambah menjadi hampir dua kali lipat. Sejak Oktober 1999 sampai Januari 2008, tercatat telah terbentuk 164 daerah baru terdiri dari 7 provinsi baru, 23 kota baru, dan 134 kabupaten baru, sebagaimana bisa dilihat dalam tabel berikut ini.

Pemekaran Daerah Tahun 1999-2008

Tahun

Bulan

Jumlah Provinsi Baru

Jumlah Kab. Baru

Jumlah Kota Baru

Total

1999

Oktober

-

26

1

27

2000

Juni

2

-

-

2

Oktober

1

-

-

1

Desember

2

1

-

3

2001

Juni

-

-

12

12

2002

April

-

19

3

22

Oktober

1

-

-

1

2003

Februari

-

9

3

12

April

-

17

-

17

Mei

-

12

-

12

Desember

-

23

-

23

2004

Oktober

1

-

-

1

2007

Januari

-

14

2

16

Maret

-

1

-

1

Agustus

-

6

2

8

2008

Januari

-

6

-

6

TOTAL

7

134

23

164

Sumber: Diolah dari UU Pembentukan Daerah Baru, Sekretariat DPR 1999-2008

Fenomena pemekaran daerah pada dasarnya merupakan bentuk lain dari upaya daerah dalam menarik perhatian pusat. Jika pada era Orde Lama daerah menyuarakan tuntutannya melalui pemberontakan, pada era Orde Baru pemberontakan daerah diredam melalui mekanisme penyuapan loyalitas yang elitis dari pusat, maka pada era reformasi pusat merespon tuntutan dari daerah dengan lebih terlembaga melalui pemberian rekognisi politik dan kultural serta alokasi sumberdaya ekonomi yang tidak merata ke seluruh bagian daerah.

Sebagian besar kajian akademis tentang pemekaran daerah menunjukkan bahwa inisiasi pemekaran daerah dipicu oleh kebutuhan untuk pemerataan ekonomi, dan upaya memperbaiki kondisi pelayanan publik dengan menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, adanya insentif pemekaran dalam bentuk alokasi DAU dan DAK juga menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-daerah untuk mengajukan usul pemekaran.

Dalam kacamata pemerintah pusat, kebijakan pemekaran juga sangat penting ditempuh dalam kaitannya untuk mendorong munculnya aktivitas perekonomian dan akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan dan tertinggal, penguatan identitas keindonesiaan dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat sehingga negara akan dirasakan kehadirannya sangat riil oleh masyarakat, dan sebagai upaya untuk penjagaan wilayah aktif dalam rangka membangun pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan.

Namun demikian, kebijakan pemekaran daerah yang berjumlah lebih dari 160 kasus tersebut tidak membawa dampak yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah mempunyai kekhasannya sendiri yang tidak mudah untuk digeneralisasikan. Untuk kepentingan perumusan kebijakan di tingkat nasional, perlu dilakukan identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan di tingkat nasional, tetapi juga dampak sosial, politik dan ekonominya di tingkat daerah.

Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset, seperti Percik, LIPI dan beberapa lembaga lainnya, dampak sosial dan politik kebijakan pemekaran tidak bisa digambarkan secara generik. Sangat tidak mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah berdampak positif ataukah negatif. Di setiap dimensi, baik sosio-kultural, politik dan pemerintahan, serta pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak pemekaran selalu bermata ganda: bisa positif, tetapi pada saat yang sama juga bersifat negatif. Belum lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam skala yang berbeda: dalam skala daerah ataukah dalam skala nasional.

Atas pertimbangan tersebut gambaran tentang dampak pemekaran dalam tulisan ini diletakkan dalam wajah ganda. Menghindari ataupun meminimalisasi dampak negatif pada dasarnya adalah mengelola proses kebijakan pemekaran dan proses pasca pemekaran.

1. Dampak Sosio Kultural

Pemekaran daerah membawa implikasi positif dalam bentuk pengakuan sosial, politik dan kultural masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, sehingga meningkatkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional.

Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik yang pada gilirannya juga menimbulkan masalah horisontal dan vertikal dalam masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, seringkali berimplikasi pada ketegangan antar kubu masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah.

2. Dampak Pada Pelayanan Publik

Kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya. Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayanan baru, seperti pelayanan listrik, telepon, serta fasilitas urban lainnya, terutama di wilayah ibukota daerah pemekaran.

Tetapi, pemekaran juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran.

3. Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi

Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang yang besar bagi akselerasi pembangunan ekonomi di wilayah yang baru. Bukan hanya infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga infrastruktur fisik dan infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka peluang yang lebih besar bagi wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi.

Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai belanja pegawai dan belanja operasional pemerintahan daerah. Dari sisi teoritik, belanja ini bisa diminimalisir melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang menjangkau seluruh wilayah, sehingga akselerasi pembangunan ekonomi tetap dimungkinkan dengan harga yang murah. Namun, dalam perspektif masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah daerah otonom.

4. Dampak Bagi Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional

Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan masyarakat di wilayah perbatasan merupakan isu politik nasional yang penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka tidak pernah melihat dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol pemerintahan, politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintah. Pemekaran daerah otonom, oleh karenanya, bisa memperbaiki kenangan politik nasional di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah nasional dan menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.

Akan tetapi, ongkos politik untuk menghadirkan pemerintahan daerah otonom baru ini seringkali juga bisa sangat mahal, apabila pengelolaan politik selama proses dan pasca pemekaran tidak bisa dilakukan dengan baik. Sebagaimana terbukti pada beberapa daerah hasil pemekaran, ketidak mampuan untuk membangun inklusifitas politik antar kelompok dalam masyarakat mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi daerah yang baru saja mekar.

Identifikasi dampak pemekaran tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa banyak dampak negatif yang perlu diminimalisasi. Esensi kebijakan yang perlu dilakukan adalah merasionalisasi proses kebijakan pemekaran, baik proses pengusulan pemekaran yang dilakukan oleh daerah, maupun proses penetapan pemekaran yang dilakukan di tingkat pusat. Dalam uraian berikut ini kita akan memahami proses dalam dua tingkatan tersebut yang akan membawa kita pada usulan rasionalisasi proses kebijakan pemekaran demi optimalisasi kepentingan publik.

Penutup

Bangsa Indonesia menaruh harapan yang besar terhadap keberhasilan format kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dalam memperkuat integrasi nasional dan semangat kebangsaan. Kekecewaan-kekecewaan masyarakat lokal di tahun 1950an dan 1960an ternyata hanya bisa diselesaikan secara semu oleh pemerintah Orde Baru. Pemberontakan daerah diselesaikan dan represi politik dan militer, dan tuntutan alokasi sumberdaya ekonomi diselesaikan dengan pola pembangunan yang sentralistis dan otoriter. Gejolak politik daerah memang tidak ada, namun sebenarnya hanya sekedar tidak bisa mencuat ke permukaan belaka.

Indonesia pasca 1999 mencoba untuk merumuskan kebijakan baru. Kekecewaan masyarakat daerah yang muncul dalam bentuk semangat ingin merdeka dari Aceh, Papua, Kalimantan Timur dan Riau di akhir dekade 1990an tidak direspon semata-mata dengan kekuatan represif. Justru yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah melalui kebijakan desentralisasi, baik itu desentralisasi politik, desentralisasi fungsi maupun desentralisasi fiskal. Kebijakan inilah yang membuat mobilitas vertikal masyarakat daerah menjadi terbuka, ekspresi politik semakin mungkin dilakukan, dan otonomi pengelolaan sumberdaya semakin terbuka. Dalam kasus provinsi Aceh dan Papua, derajad desentralisasi semakin diperkuat melalui kebijakan desentralisasi asimetris yang memberikan otonomi khusus kepada dua provinsi tersebut.

Tetapi, kebijakan tersebut ternyata tidak serta merta membuat kekecewaan daerah usai. Berangkat dari fenomena pambangunan daerah yang tidak merata, representasi politik yang tidak adil, pembangunan ekonomi yang diskriminatif, dan praktek korupsi yang merajalela, kekecewaan masyarakat lokal tetap berlanjut. Hal ini terbukti dari semakin maraknya tuntutan untuk membentuk daerah-daerah otonom baru. Di satu sisi pemekaran daerah ini menjadi obat 'penurun panas' yang efektif untuk meredam kekecewaan masyarakat lokal, dan bahkan pula memperbaiki kinerja pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan pemekaran tersebut juga bisa membawa menguatnya regionalisasi berbasis primordial jika tidak disertai dengan kebijakan untuk merangkai sinergi lintas daerah.

Masih banyak ekspresi kekecewaan daerah terhadap pemerintah daerah atasan ataupun terhadap pemerintah pusat di era desentralisasi sekarang ini. Pemerintah pusat yang terfragmentasi dan tanpa koordinasi, serta pusat yang tidak konsisten dengan kebijakan desentralisasi merupakan contoh-contoh ekspresi yang bisa ditemukan di kalangan pelaku pemerintahan daerah. Kesalahan-urus yang parah dan kinerja pemerintah pusat yang buruk yang terjadi secara berkesinambungan akan memperpuruk legitimasi politik dan moral pemerintah pusat di hadapan masyarakat daerah. Jika hal ini terjadi, kebangsaan Indonesia akan ikut menanggung akibatnya.


REFERENSI

Amal, Ichlasul (1992), Regional and Central Government in Indonesian Politics: West Sumatra and South Sulawesi 1949-1979, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Antlov, Hans (1994), “Village Leaders and the New Order”, in Antlov, Hans and Sven Cederroth (1994), Leadership on Java: Gentle Hints, Authoritarian Rule, Curzon Press, Surrey.

Bahar, Saafroedin & A.B.Tangdililing (1996), Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Dirjend Perimbangan, Departemen Keuangan Republik Indoneisa, 2007. Kebijakan Transfer Daerah Tahun 2008, Materi Kuliah Umum Program Magister Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan.

Devas, Nick (1989), Financing Local Government in Indonesia, Ohio University Press, Ohio.

King, Dwight Y. (1982), "Indonesia's New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference does it Make?", in Anderson, B. and Kahin, A. (1982, eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca.

Lay, Cornelis, 2006, Perjuangan Menuju Puncak, Yogyakarta: S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM dengan Pemkab Puncak Jaya

Mubarak M. Zaki, dkk. (eds). 2006. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European Union (EU).

Pratikno (1996), Working the System dan Testing the Boundaries: Political Participation in Gresik Under Indonesia’s New Order, disertasi S-3, Flinders University of South Australia.

Pratikno, 1999, ”Hubungan Pusat dan Daerah: Gelombang Ketiga”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 39/XXII/III/1999

Pratikno, 2007, “Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan Daerah”, Kajian Akademik untuk Penataan Daerah di Indonesia, DRSP-Usaid, Jakarta.

Reeve, D. (1990), ‘The Corporatist State: the Case of Golkar’, in Budiman, Arief (1990, ed.), State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia - No.22, Monash University, Melbourne.

Rohdewohld, Rainer (1995), Public Administration in Indonesia, Montech Pty Ltd, Melbourne.



[1] Makalah ini dikembangkan dari makalah dengan judul ”Mencoba Desentralisasi Sebagai Penguat Kebangsaan” yang disampaikan pada Seminar Nasional Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI: Merajut Kembali Semangat Kebangsaan, Fisipol-UGM, Depdagri, Yogyakarta, 7 Juni 2008

[2] Dr.Pratikno, MSocSc adalah staf pengajar di Fisipol UGM, saat ini sebagai Ketua Pengelola Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM.

[3] Lihat misal Amal (1992), Bahar & Tangdililing (1996).

[4] Gerakan separatis yang paling kuat terjadi adalah di Timor Timur. Namun, hal ini tidak bisa dibandingkan dengan masa Orde Lama, sebab penggabungan Timor Timur ke wilayah Indonesia terjadi pada masa Orde Baru.

[5] Khususnya muncul di daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam seperti Papua, Aceh,dan Riau.

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi