Thursday, October 21, 2010

IKLIM MULAI TIDAK STABIL

 

IKLIM MULAI TIDAK STABIL

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

Pemanasan global telah mengacaukan musim hujan dan musim kemarau. Para petani kini sulit menentukan jenis varietas dan kalender tanam, lantaran iklim sulit diduga. Di berbagai wilayah Indonesia kekeringan dan banjir menggagalkan produksi pangan. Sawah banyak puso atau gagal panen lantaran kemarau panjang dan banjir. Para petani mestinya tidak begitu saja pasrah. Di sejumlah kabupaten/kota, berbagai kelompok petani kini aktif mengikuti sekolah lapangan iklim. Mereka berharap bisa lebih mudah dan pasti dalam menetapkan varietas serta kalender tanam, sesuai gejala-gejala iklim yang dipelajari.

Berikut adalah dampak dari perubahan iklim di Indonesia:

Salah meramalkan iklim

Untuk tahun 2003, para petani di Indramayu, Jawa Barat, punya catatan kelam. Ribuan hektar lahan terserang puso, gagal panen. Kala itu mereka menanam padi jenis talimas, salah satu varietas padi yang butuh waktu panjang dan perlu banyak air.

Waryono, Didi Casmadi dan petani lain Kecamatan Kadang Haur, Indramayu, waktu itu salah meramalkan iklim. Musim hujan yang mereka duga panjang, justru malah berlangsung pendek. Akibatnya, sawah hanya menghasilkan bulir-bulir gabah kosong, karena kurang air. Para petani pun rugi rata-rata Rp. 1,5 juta dari 700 meter persegi sawah mereka. Sedangkan gabah Wahyono jadi gabuk karena angin bugang.

Panen padi kosong

Menanam varietas Talimas itu gagal panen di sini karena gabuk selap. Kena angin bugang. Kalau dihitung rata-rata kerugian petani untuk satu hektar mencapai satu juta lebih.

Bencana yang dialami petani Indramayu, oleh pemerintah daerah dianggap dampak meningkatnya suhu bumi, alias pemanasan global. Meningkatnya suhu bumi membuat iklim terus berubah, jadi sulit diraba. Asap Fahmi, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu Jawa Barat.

Kalau pasang air laut ke atas. Hujan tinggi banjir. Kalau kekeringan jelas kita daerah hulu sehingga tidak punya sumber air sendiri. Sehingga air dari Garut dan Sumedang. Tentunya kalau dilihat secara global ada kaitannya dengan perubahan iklim. Sering terjadi keterlambatan tanam. Ini pertanda telah terasa dampak pemanasan global.

Musim yang kacau

Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian juga dibenarkan pakar iklim pertanian Institut Pertanian Bogor IPB Rizaldo Boer. Perubahan iklim, kata dia, merupakan stabilisasi pemanasan global yang memicu anomali iklim. Sederhananya, iklim menyimpang dari biasanya. Penyimpangan iklim ini terus meningkat, baik seringnya, gawatnya, mau pun lamanya.

Menurut Gatot Irianto, Direktur Pengelolaan Air pada Departemen Pertanian, dampak perubahan iklim terhadap pertanian sebenarnya tidak langsung. Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana banjir dan kekeringan.

Hasil studi kita dalam intensitas anomali kuat. Maka kehilangan masa tanam bisa mencapai lima dasarian. Itu terjadi musim kemarau maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Ini di Subang yang merupakan sentra produksi pangan. Tapi kalau anomalinya sedang ini mundurnya cuma 20 hari. Bandingkan kalau tidak mengalami anomali, masa tanamnya ada tambahan 50 hari atau setengah siklus dari tanaman padi.

Kalender tanam

Iklim yang sulit diperhitungkan menyebabkan petani sulit menyusun kalender tanam. Jadi kalau musim kemarau, lahan pertanian kekeringan. Sedang kalau musim hujan, kata Asap, yang dialami cuma banjir. Petani jelas rugi.

Karena ramalan iklim susah ditebak. Kita kecolongan terus di lapangan. Yang saya mampu adalah menyiasati bagaimana sebelum kekeringan, panen sudah selesai. Ternyata perkiraan meleset. Kayak sekarang, sekarang kita perkirakan tanam Oktober, tapi sekarang belum menanam. Apa ada prediksi kalau Januari tidak banjir. Susah kan?

Sukar ditentukan kapan persisnya dampak perubahan iklim terjadi. Ada pakar yang berpendapat perubahan iklim sudah terjadi pada tahun 1970an, tapi ada juga yang bilang baru tahun 1997. Pemerintah sendiri mengakui dampak perubahan iklim untuk sektor pertanian di Indonesia baru diawasi 1997. Gatot Irianto, Direktur Pengelolaan Air Departemen Pertanian.

Informasi iklim

Pakar Iklim Pertanian IPB, Rizaldi Boer mengatakan, kerugian sulit diperkirakan lantaran petani dan pemerintah daerah tidak paham pentingnya informasi iklim. Selain sulit dimengerti, informasi iklim masih bersifat umum dan tidak cepat tersedia, sehingga petani sulit memperhitungkan berbagai persoalan iklim.

" Baik petani dan pemda belum peduli pentingnya informasi iklim. Selama ini pemerintah daerah belum menganggap informasi iklim penting. Apalagi petaninya sendiri. Mereka skeptis dan lebih percaya prakiraan tradisional. Karakteristik wilayah pertanian yang sering terjadi bencana, petani sudah kembangkan teknologi prakiraan. Ada yang bisa dijelaskan secara ilmiah dan ada juga yang tidak. Lebih banyak seperti paranormal," katanya.

Bahkan di sejumlah daerah, kata Rizaldi, masyarakat bergantung pada perhitungan iklim para orang tua yang dianggap mumpuni dalam urusan ilmu kebatinan.

Untuk mengatasi gejolak iklim saat ini Negara jepang telah memiliki caranya sendiri untuk menghadapi perubahan iklim. Tak ada lahan, bawah tanah pun jadi. Mungkin prinsip itulah yang mengilhami para peneliti dan petani di Jepang. Basemen Gedung Pasono 02 yang berada kawasan Ginza di pusat Kota Tokyo, Jepang, dikembangkan teknologi tanaman dengan cara hydroponic dan light emiting diode. Hasilnya berbagai tanaman bisa tumbuh di dalam gedung tertutup bertingkat 22 ini.

Matahari diganti penerangan lampu disertai dengan suhu yang diatur menghasilkan berbagai tanaman. Di gedung ini pula tengah dilakukan berbagai percobaan, pelatihan hingga tujuan wisata. Kemajuan tekonologi ini mengundang komentar Wakil Presiden Jusul Kalla yang berkunjung ke Jepang.

Gedung Pasona didirikan pada tahun 2005 untuk menjadi proyek tingginya kebutuhan pangan di Jepang. Selama ini Jepang mengimpor 72 persen bahan makanan dan biji-bijian. Lahan percobaan seperti ini sudah ada di sembilan gedung di Tokyo.

Di areal seluas 1000 m2 tumbuh subur sayuran seperti tomat, strawberi, padi dan tanaman lainnya. Tanaman di tanam dengan sistem hidroponik (cara menanam tanpa media tanah). Karena di dalam gedung di bawah tanah maka sinar mataharipun tidak bisa menembus ke dalam tanaman ini. Namun dengan teknologinya negeri ini sebagai pengganti cahaya matahari, kebun dibawah tanah ini di suplai oleh lampu seperti LED, dan high-pressure sodium vapor lamps. Semuanya di kontrol oleh komputer sehingga baik cahaya maupun temperatur mirip dengan kebun aslinya.

Untuk menanam padi, misalnya, dipakai bak tanah yang dirancang khusus. Airnya diganti secara otomatis setiap hari. Secara berkala juga diberikan nutrisi yang diperlukan tanaman untuk tumbuh. Di lokasi yang juga disebut Pasona O2 itu, lahan padi hanya seluas 6 x 5 meter. GM Pasona O2, Yasuyuki Nambu mengatakan, padi tersebut bisa dipanen 3-4 kali setahun. Setiap panen, bisa menghasilkan 20 Kg padi. Kalau misal setiap keluarga punya satu lahan di bawah rumah mereka maka akan tercukupi kebutuhan makanan setiap saat. kemandirian yang luar biasa jika terwujud.

Indonesia kapan dikembangkan seperti ini ya ? atau mungkin gak perlu ya? lahannya saja masih melimpah ruah tapi belum dimaksimalkan penggunaannya. Tapi kemajuan teknologinya patut kita tiru dan diterapkan di Negeri kita tercinta. Karena Indonesia adalah negeri harapan dunia. Negeri yang akan menjadi penyelesai masalah umat.

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi