Monday, May 3, 2010

MELEMAHNYA PERAN DAN FUNGSI OMBUSMAN DALAM MENDAMPINGI PEMERINTAHAN

 


MELEMAHNYA PERAN DAN FUNGSI OMBUSMAN

DALAM MENDAMPINGI PEMERINTAHAN



A. PENDAHULUAN

OMBUDSMAN merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasi dengan Ketetapan (Tap) MPR No VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Yang juga direkomendasikan dibentuk perundang-undangannya meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan Memperoleh Informasi dan sebagainya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Antikorupsi dan Pencucian Uang kini sedang dibahas di DPR. Sementara, Komisi Ombudsman Nasional (KON) pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah dibentuk melalui Keppres No 44 Tahun 2000. Artinya, kini eksekutif ombudsman akan ditingkatkan menjadi parliamentary ombudsman dengan landasan hukum (constitusional basis) yang lebih tinggi guna memberi keluasan yurisdiksi, kedudukan yang kokoh, dan independen.


Di masyarakat awam, ombudsman belum begitu banyak dikenal. Bahkan, di kalangan praktisi hukum, DPR, dan pemerintah, masih banyak yang menolak pembentukan ombudsman dengan berbagai alasan. Umumnya mereka berpandangan lebih baik membenahi kelembagaan pengawasan yang telah ada, dan memberdayakan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sekadar analog, di negeri Belanda perdebatan signifikansi pembentukan ombudsman berlangsung hampir 20 tahun sebelum akhirnya pada tahun 1981 diakomodasi dalam konstitusi mereka, meski di sana sistem peradilan dan institusi demokrasi lain telah berjalan relatif sempurna. Hal yang sama juga terjadi di Perancis, semula mereka menentang pembentukan ombudsman karena menganggap PTUN mereka paling efektif di dunia, meski kemudian tahun 1973 ombudsman didirikan.


Yang kini relevan diperdebatkan mungkin bukan lagi perlu tidaknya ombudsman, tetapi prasyarat-prasyarat apa yang diperlukan dalam pembentukan ombudsman, sehingga kehadirannya betul-betul dapat menjadi lubrikasi bagi kelancaran sistem birokrasi atau sistem peradilan guna meningkatkan mutu pelayanan umum sebagaimana andil ombudsman di negara-negara maju. Pertanyaan ini perlu diajukan, sebab belajar dari pengalaman, sejauh ini patut dikhawatirkan agenda reformasi hukum dan kelembagaan nasional hanya bersifat seremonial politik atau latah, tanpa dilandasi niat untuk menyempurnakan tata pemerintahan yang baik (good governance).


B. OMBUSMAN PENJEGAH MALADMINISTRASI PUBLIK

Kendati kata ombudsman berasal dari Skandinavia, yang sering diartikan wakil sah seseorang, tetapi sesungguhnya lembaga semacam ombudsman pernah dipraktikkan di Cina sekitar 2.000 tahun lalu selama Dinasti Han dan di Korea pada era Dinasti Choseon. Saat itu ibarat seseorang yang dipercayai rakyat dan didengar nasihatnya oleh raja, sehingga dapat memainkan peran dalam menjembatani penyelesaian masalah kerajaan dengan rakyatnya atau sebaliknya. Adalah Swedia yang pertama kali mendirikan lembaga ombudsman klasik (Justitie Ombudsman) tahun 1809. Lembaga Parliamentary Ombudsman (Folketingets Ombudsman) yang lebih modern mulai didirikan di Denmark tahun 1955 lalu Selandia Baru tahun 1962. Hingga kini lembaga ombudsman sedikitnya telah ada di 107 negara termasuk Indonesia, 50 di antaranya berlandaskan konstitusi dan lainnya diatur undang-undang tersendiri. Umumnya tetap menggunakan nama ombudsman, meski di sejumlah negara mengalami penyesuaian dan penegasan, misalnya, Mediateur de la Republique (Perancis), Public Protector (Afrika Selatan), Wafaki Mohtasib (Pakistan), Lok Ayukta (India).


Ombudsman umumnya dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan menyelidiki keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik. Maladministration itu meliputi keputusan-keputusan atau tindakan pejabat publik yang ganjil (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate), penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) atau pelanggaran kepatutan (equity). Tetapi, sesungguhnya Ombudsman tidak sekadar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat kasus demi kasus, yang utama mengambil inisiatif untuk mengusulkan perbaikan administratif atau sistemik dalam upayanya meningkatkan mutu pelayanan masyarakat.


Pada perkembangannya tidak saja state ombudsman yang mengurus maladministrasi publik, tumbuh juga ombudsman yang dibentuk kalangan civil society dengan wilayah kerja yang lebih khusus. Di Inggris dan Australia, misalnya, selain ada federal ombudsman dan commonwealth ombudsman, juga marak ombudsman industri seperti untuk sektor perbankan, telekomunikasi, perumahan, rumah sakit dan sebagainya. Di Swedia ombudsman pers yang dibentuk asosiasi wartawan dan industri pers amat efektif menangani keluhan-keluhan masyarakat yang dirugikan pemberitaan media massa. Di Tanah Air penerbit pers yang telah memiliki ombudsman misalnya Kompas dan Jawa Pos. Dewan Pers pada tingkat tertentu juga telah menjalankan fungsi ombudsman pers.


Dalam hal pemberantasan korupsi, ombudsman berbeda dengan fungsi lembaga represif antikorupsi seperti kejaksaan atau kepolisian. Fungsi ombudsman lebih tertuju pada perbaikan administrasi guna memastikan bahwa sistem-sistem itu membatasi korupsi sampai tingkat minimum, yakni penyelenggaraan administrasi yang transparan, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Dalam konteks good governance, sumbangan terbesar ombudsman melalui kewenangannya dalam melakukan peninjauan kebijakan publik mewakili publik, memberi peran langsung dalam upaya memperkuat dan melembagakan partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemerintahan agar lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif. Ini penting mengingat tata pemerintahan yang baik hanya dimungkinkan bila ada keseimbangan hubungan yang sehat antara negara, masyarakat, dan sektor swasta, tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam governance yang mempunyai kontrol yang absolut. Korupsi tumbuh subur dalam situasi ketidakseimbangan hubungan tadi.


Meski demikian, dari waktu ke waktu, fungsi dan wilayah kerja ombudsman juga mengalami perkembangan. Di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur, ombudsman juga melakukan pengawasan terhadap masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan, misalnya, di Filipina, Papua Niugini, Taiwan, atau Uganda, ombudsman memiliki kewenangan lebih luas, yaitu melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, layaknya Independen Commision Againts Corruption (ICAC) atau kejaksaan di banyak negara. Fungsi Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Ombudsman di banyak negara. Yaitu, (1) mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan umum yang berkualitas dan efisien, penyelenggaraan peradilan yang adil, tidak memihak dan jujur; (2) meningkatkan perlindungan perorangan dalam memperoleh pelayanan publik, keadilan, kesejahteraan, dan dalam mempertahankan hak-haknya terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue delay), serta diskresi yang tidak layak.

Di banyak negara, Ombudsman telah menjadi lembaga alternatif bagi warga masyarakat untuk menyelesaikan keluhan atau ketidakpuasan terhadap birokrasi pemerintah secara cepat, gratis, tidak perlu bayar pengacara dan aman (kerahasiaan pelapor terlindungi). Penyelesaian melalui lembaga peradilan untuk masalah maladministrasi telah banyak ditinggalkan karena amat lamban, mahal, dan jauh dari kemudahan (non-user friendly).


Pada tahun 2001 di KON tercatat ada 511 pengaduan masyarakat, di antaranya 45 persen menyangkut lembaga peradilan, polisi 11 persen, instansi pemerintah lain tujuh persen. Bandingkan dengan Commonwealth Ombudsman Australia yang didirikan tahun 1976, pada tahun 2000-2001 menerima keluhan 20.000 kasus, yang sebagian besar (60 persen) berhubungan dengan masalah pajak. Kelihatan sekali efektivitas KON masih belum seberapa, karena akses dan kepercayaan masyarakat terhadap ombudsman masih rendah. Malah Presiden Megawati, sampai sekarang tidak tampak ada keinginan untuk memberdayakan KON sebagai kelembagaan governance penting yang dapat dioptimasikan guna meningkatkan kinerja pemerintahannya.


C. PERAN OMBUSMAN DALAM PEMERINTAHAN

BELUM terbiasa lidah kita mengucapkannya, OMBUDSMAN. Kosa kata ini memang baru tercatat dalam kamus administrasi ketatanegaraan kita, ketika lima tahun lalu terbit Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) No. 44, Tahun 2000, yang ditandatangani oleh Presiden RI ketika itu, KH Abdurrahman Wahid.


Visi Ombudsman, seperti termaktub dalam Keppres, adalah terselenggaranya pemerintahan yang baik (Good Governance). Banyak teori tentang Pemerintahan yang Baik. Tapi, initinya adalah pemerintahan dijalankan oleh orang-orang yang menyadari betul bahwa melayani kepentingan warga bukan sekedar kewajiban legal, tapi sekaligus kewajiban moral. Kewajiban legal adalah kewajiban yang dipaksakan dari luar; kewajiban moral adalah kewajiban yang dituntut dari dalam, dari diri sendiri. Sementara itu, pemerintahan yang baik, tentu saja, tidak mungkin terwujud kalau bukan sekaligus merupakan pemerintahan yang bersih (Clean Government) dari 'daki' kepentingan pribadi para penguasa/pejabatnya. Bentuk paling kasar dari 'daki' kepentingan pribadi adalah apa yang populer disebut korupsi. Karena itu, Good Governance lazim diucapkan senafas dengan Clean Government.


Secara spesifik, misi Ombudsman adalah "meningkatkan kualitas layanan aparat pemerintah selaku pelayan publik kepada warga masyarakat sebagai konstituen atau stakeholder utamanya". Dari situ lah dirumuskan tugas utama yang paling menonjol dari Ombudsman adalah: melayani keluhan masyarakat berkenaan dengan layanan aparat negara/pemerintah yang dinilai tidak atau kurang semestinya. Baik dari sudut waktu, biaya, proses, mutu, maupun unggah-ungguhnya.


D. PROKONTRA PEMBENTUKAN OMBUSMAN

Sejak reformasi bergulir memang cukup banyak komisi-komisi bermunculan di republik ini. Selain Ombudsman Nasional, bisa dicatat: Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN, alm.), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Nasional (KPN), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Konstitusi (KK, alm), dan sebentar lagi Komisi Judicial Review, dll.


Bisa dimaklumi jika ada apatisme masyarakat mengiringi hadirnya berbagai komisi tersebut. Pertama, karena dianggapnya komisi-komisi itu hanya menambah beban anggaran negara yang sudah payah. Kedua, sebagian komisi dianggap tumpang tindih atau duplikasi terhadap peranan lembaga negara/pemerintahan yang sudah ada. Terdengarlah lontaran-lontaran, misalnya: "Kenapa harus bikin KPK, sementara kita sudah punya Kejaksaan & Kepolisian? Kenapa harus bikin KHN sementara sudah ada BPHN?" Dan, "Kenapa harus bikin KOMNAS HAM toh pada akhirnya yang harus menangani tuntas juga lembaga penyidik, yakni Kepolisian dan Kejaksaan? Kenapa harus ada Komisi Judicial, toh sudah ada fungsi pengawasan oleh Mahkamah Agung? Bukankah lebih afdhol menyehatkan dan mengefektifkan lembaga/badan/komisi yang sudah ada saja?" Komisi Ombudsman pun tidak luput dari sorotan serupa, sebagai tumpang tindih dengan lembaga pengawasan yang sudah lebih dahulu ada: Inspektorat, BPK, BPKP, bahkan DPR/D?. Untuk itu, perlu dilihat dengan lebih seksama, apakah fungsi dan peranan Ombudsman ini telah atau dapat sepenuhnya diambil alih oleh lembaga yang sudah ada. Jika iya, tentunya lebih baik dibubarkan saja. Tapi jika tidak, jika apa yang dilakukan oleh Ombudsman memang unik dan perlu bagi kemaslahatan masyarakat luas, maka ceritanya pun menjadi beda.


Untuk menjawab pertanyan di atas, perlu kita lihat satu persatu: Pertama beda Ombudsman dengan perangkat pengawasan struktural yang dilakukan oleh inspektorat yang ada di semua instansi/ badan/lembaga adalah pada independensinya. Perangkat inspektorat, di mana pun dan pada level apa pun, adalah bagian integral dari badan/instansi yang diawasi. Termasuk kategori ini BAWASDA (Badan Pengawasan Daerah) di tingkat Pemerintahan Daerah I/II. Lagipula, yang diawasi oleh Inspektorat hanya menyangkut urusan disiplin internal institusi yang bersangkutan.


Ombudsman tidak demikian. Ombudsman bukan bagian dari instansi/lembaga atau badan kenegaraan atau pemerintahan mana pun yang diawasinya. Sementara fungsi pengawasan yang efektif selalu mempersyaratkan independensi. Tanpa independensi antara pihak yang mengawasi dengan yang diawasi kemungkinan besar yang terjadi justru kolusi. Kedua, badan pengawas fungsional seperti BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), memang serupa dengan Ombudsman sebagai lembaga independen terhadap instansi yang diawasi. Demikian pula lembaga politik DPR/DPRD, juga independen. Akan tetapi, objek pengawasannya lah yang membedakannya. Obyek pengawasan BPK/BPKP adalah aspek keuangan menyangkut seberapa jauh pembelanjaannya sesuai dengan rencana pembelanjaan dan penganggarannya; dan obyek pengawasan DPR/D adalah kebijakan publik yang bersifat umum dan tentu saja ada nuansa politisnya. Sementara sasaran pengawsan Ombudsman pada "mutu layanan aparat yang bersifat langsung kepada warga masyarakat". Itulah sebabnya, sasaran utama kerja Ombudsman adalah keluhan masyarakat terhadap mutu layanan publik dari aparat.


Juga ada yang bertanya, "kenapa keluhan masyarakat tidak ditangani saja oleh aparat hukum kepolisian atau kejaksaan?" Seperti diketahui, yang dijangkau oleh kedua aparat negara itu adalah tindakan hokum, baik dalam kategori pelanggaran, kejahatan atau sengketa hak. Yang ditangani oleh Ombudsman adalah hal-hal yang lebih bersifat "diskresi" dari aparat sebagai manusia yang bebas yang yang tidak bisa diatur secara kaku, tegas dan mekanis seperti mesin.

Misalnya, yang banyak dikeluhkan masyarakat, ketika ada seseorang atau sekelompok orang menyampaikan informasi kepada aparat tentang indikasi korupsi oleh seorang pejabat. Kenapa yang sering dijadikan bulan-bulanan oleh aparat hukum justru yang menyampaikan laporan, sementara yang dilaporkan dibiarkan? Atau, ketika sejumlah buruh berunjuk rasa menunut perbaikan gaji. Kenapa sering terjadi bahwa yang pertama, bahkan satu-satunya pihak, yang diusut oleh aparat justru buruh yang menuntut hak mereka, sementara si majikan dibiarkan saja?


Mutu layanan sebagai fokus utama kerja Ombudsman memang sesuatu yang lebih subtle, lebih 'lembut' dan tidak serta-merta dapat diukur dengan timbangan-timbangan legal formal dalam pasal-pasal yang rinci sekalipun. Ia menyangkut sense, atau rasa yang subyektif tapi sangat eksistensial: "rasa keadilan" yang begitu lembut, menyentuh dan hanya bisa ditangkap dengan jelas oleh akal budi dan berperasaan. Atau jika ia bisa diatur, tidaklah mungkin dengan aturan bersanksi hukum yang rigid dan diproses melalui prosedur peradilan yang rumit. Misalnya hal-hal yang menyangkut soal waktu, persyaratan, biaya, dan semisalnya. Katakanlah, mestinya berperkara di pengadilan, mengurus perizinan, SIM, KTP, paspor, dan dokumen-dokumen lain bisa selesai dalam jangka waktu tertentu, dengan biaya tertentu yang masuk akal dan terjangkau, lebih-lebih oleh masyarakat kebanyakan yang hidupnya pas-pasan.


Bahkan ada aspek layanan yang lebih halus lagi, yang menyangkut norma kepatutan, bahkan sopan santun dari aparat publik dalam memberikan layanan. Perlakuan aparat yang tidak mengikuti norma-norma kepatutan dan kepantasan secara material memang tidak menimbulkan kerugian yang nyata. Di-'pingpong' oleh aparat, dari satu pintu ke pintu yang lain, jelas tidak berakibat kehilangan uang. Akan tetapi siapa bilang perlakukan seperti itu adalah perkara sepele? Perlakukan tidak manusiawi seperti itu adalah pelecehan terhadap martabat yang jika harus dinilai dengan uang bisa tidak terhingga. Memastikan aparat publik untuk melayani rakyat sebagai manusia bermartabat dan pemegang kedaulatan itulah misi utama Ombudsman.


Sehingga, jika kerja Ombudsman dikaitkan pula dengan "usaha memberantas korupsi", bukan berarti bahwa tugasnya adalah mengusut tindak pidana menyangkut uang negara. Inilah tugas dan kewenangan KPK atau Jaksa dan Polisi. Korupsi dalam perspektif Ombudsman adalah perilaku buruk (corruptive practices) dari aparat kekuasaan atau pejabat publik sebagai mukadimah (pintu masuk) terjadinya tindakan pidana kurupsi. Jadi, jika belakangan ini ramai disorot mutlaknya Pemerintahan yang Baik (Good Governance) dan Pemerintahan yang Bersih (Clean Government), maka kerja Ombudsman lebih fokus pada tujuan yang pertama, Good Governance. Bukan dalam pengertian bahwa Ombudsman sendiri yang akan memberikan layanan kepada masyarakat, mengambil alih tugas lembaga-lembaga pemerintahan sebagai pelayan publik yang sudah ada. Misi Ombudsman hanya ingin memastikan, bagaimana fungsi layanan publik yang menjadi tanggungjawab semua badan/instansi/ lembaga-lembaga tersebut berjalan seperti yang diinginkan oleh masyarakat yang memerlukannya. Tidak lebih.


Pemerintah yang melayani rakyat tidak pelak lagi merupakan paradigma baru yang masih harus diikhtiarkan dengan sekuat tenaga. Tidak bisa ditutup-tutupi, bahwa sampai sekarang, di sana-sini, yang lebih terasa adalah aroma paradigma lama: bukan pejabat yang melayani rakyat, melainkan rakyatlah yang melayani pejabat. Tidak mudah mengubah paradigma hubungan rakyat dengan aparat negara/pemerintah. Sejak awal berdirinya republik ini, aparat negara atau pegawai pemerintah menyebut dirinya sebagai abdi negara. Negara, sebagaimana dihayati dalam budaya politik tradisional yang kita warisi adalah metamorfosa dari kerajaan. Yakni organisasi kekuasaan yang berpangkal pada sang penguasa tunggal ("monolitik") bernama raja. Maka, ungkapan abdi negara tidak dihayati lain kecuali, pertama-tama sebagai abdi raja, abdinya orang yang paling berkuasa–bukan abdi rakyat.


Mengapa aparat mengabdi kepada raja? Karena secara material rajalah yang menghidupi mereka dengan gaji atau dengan bengkok-nya. Bengkok adalah tanah yang diperuntukkan raja untuk para pegawai kerajaan sebagai "abdi dalem". Gaji adalah uang yang dibayarkan secara reguler oleh kerajaan. Sebagai pihak yang menghidupi dalam pengertian yang hampir harfiah, raja dianggap sebagai pihak yang sungguh layak untuk menerima kebaktian dan pengabdian total mereka. Bukan tidak diketahui, baik oleh para aparat kerajaan/negara sendiri, bahwa uang gaji dari kerajaan hakikatnya adalah uang rayat yang dihimpun atau dipungut oleh kerajaan sebagai pajak (upeti). Jika ini nalarnya, kenapa pengabdian aparat negara bukan kepada rakyat, melainkan kepada raja? Rupanya ada nalar lain yang lebih mengatasi, yakni bahwa uang rakyat yang dibayarkan kepada raja pada hakikatnya adalah uang raja juga, karena diperoleh dari olah tanah/bumi yang, dalam kosmologi tradisional, didefinisikan sebagai milik "Sang Raja".


Sebutan raja-raja Jawa yang diabadikan sampai sekarang (mohon maaf!) masih menjadi saksi betapa raja adalah pemilik dan sekaligus penguasa jagat dan bumi tempat manusia berpijak dan menggantungkan hidupnya: Pakubuwono, Mangkubuwono, Pakubumi dan Mangkubumi. Dalam kosmologi seperti ini, aparat kerajan/negara jelas adalah aparat pelayan raja (diimpersonalkan menjadi: "negara"), bukan aparat rakyat. Itulah mengapa sampai sekarang masih begitu banyak dikeluhkan bahwa ketika harus berhubungan dengan warga masyarakatnya, para pejabat kita cenderung memamerkan (show off) kewenangan dan kekuasaannya. Cara yang paling digemari untuk memperlihatkan kekuasaannya kepada rakyat adalah dengan mempersulit mereka. Harga diri seorang pejabat dibuktikan justru dalam kepiawaiannya memperlakukan rakyat sebagai pesakitan dari kekuasannya.


Sejalan dengan itu, kita mengerti mengapa ketika aparat ditemui rakyatnya, terutama dari kalangan rakyat kecil, cenderung bersikap serem, macak wibawa, bernada meremehkan dan mempersulit? Ada 'hukum' tidak tertulis yang konon diikuti betul oleh aparat birokrasi kekuasaan kita dalam menangani masyarakat: Kalau masih bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah? Kalau masih bisa diperlambat, kenapa mesti cepat-cepat? Dan ujung-ujungnya, Kalau bisa dipunguti biaya, kenapa musti cuma-cuma? Mungkinkah paradigma itu berubah? Perubahan sejarah memang selalu ditandai dengan perubahan paradigma. Tanpa perubahan paradigma yang terjadi hanyalah reproduksi sejarah, bukan perubahan. Inilah yang kita alami. Meskipun secara formal kita sudah bukan lagi kerajaan, akan tetapi paradigma bahwa pemegang kedaulatan adalah rakyat, bukan lagi raja (yang paling berkuasa), masih belum dihayati.


Untuk ini harus dimulai dari penyadaran publik yang bertumpu pada fakta material yang sangat jelas dan tanpa ambigu sedikit pun. Pertama, bahwa bumi Indonesia tempat kita berpijak dan menggantungkan hidup bukanlah milik penguasa pada level apa pun juga, melainkan adalah anugerah Allah untuk kita semua, segenap rakyat dan tumpah darah Indonesia. Oleh sebab itu tidak ada alasan apa pun bagi si penguasa atau aparat kekuasaan untuk mengklaim pengabdian atau layanan dari rakyat. Kedua, bahwa gaji yang dibayarkan kepada aparat negara/pemerintah untuk menghidupi diri dan keluarganya bukanlah dari kantong penguasa pribadi melainkan dari pajak rakyat. Dan rakyat pembayar pajak sejati ini janganlah semata-mata dibatasi pada si kaya raya yang secara formal membubuhkan tanda tangannya pada struk pajak,melainkan juga para buruh yang bekerja dengan keringatnya dan juga para petani dan nelayan yang telah mensubsidi mereka dengan kemiskinannya. Oleh sebab itu, tidak ada alasan sedikit pun bagi aparat negara/pemerintah untuk memberikan loyalitas dan pengabdiannya kecuali kepada rakyat, termasuk yang paling jelata.






D. SOLUSI PENYELESAIAN

Untuk memastikan kerja Ombudsman berjalan dengan baik, ditetapkan langkah-langkah pokok kerja Ombudsman yang bersifat standar, sbb.: Pertama, menerima laporan atau keluhan warga masyarakat, baik perorangan maupun kelompok, berkenan dengan layanan pemerintah sebagai lembaga publik terhadap dirinya. Sangat baik apabila laporan/keluhan ini disampaikan sendiri oleh yang bersangkutan. Tentu, bahwa laporan/keluhan perlu disertai bukti secukupnya.


Kedua, melakukan telaah terhadap isi laporan/keluhan untuk mendapatkan gambaran yang lebih bulat dan akurat. Jika terasa kurang cukup hanya dengan membaca isi laporan dan dokumen-dokumen pendukung, maka dilengkapi dengan bicara langsung dengan pihak warga yang mengeluhkan.


Ketiga, klarifikasi dengan pihak pejabat publik yang dikeluhkan layanannya, untuk mengetahui kebenaran keluhan dan sekaligus mengetahui tanggapan pihak yang dikeluhkan. Keempat, jika ada perbedaan yang mencolok antara klaim dari warga yang mengeluhkan dengan klaim dari pejabat publik yang dikeluhkan, atau jika perkara yang dikeluhkan memiliki keterkaitan yang signifikan dengan perkara lain yang kompleks, maka dilakukan investigasi.


Kelima, mediasi atau mempertemukan warga yang mengeluhkan dengan pejabat yang dikeluhkan untuk mencari titik temu menyangkut penyelesaian yang terbaik bagi kedua belah pihak. Mediasi ini ditempuh sejauh menyangkut penyelesaian perkara yang bisa ditempuh dengan kompromi.


Keenam, sebagai muaranya adalah "rekomendasi" yang dikeluarkan oleh Ombudsman baik untuk menyelesaikan keluhan itu sendiri maupun untuk mencegah terjadinya keluhan masyarakat lebih lanjut. Yang terakhir ini, dalam kondisi tertentu, bisa berupa rekomendasi agar pejabat yang bersangkutan bisa dikenai tindakan disiplin oleh pihak atasan.


Benar, bahwa hidup dalam negara hukum, segala suatu harus diatur dengan hukum dan dijalankan sesuai dengan hukum. Dan hukum, dalam wacana publik, selalu berarti hukum dalam arti ketentuan atau aturan yang ditetapkan oleh pemegang kewenangan formal dan ditegakkan dengan jaminan kekuasaan yang mengancam. Oleh sebab itu, bicara hukum cenderung dipahami sebagai bicara tentang perintah atau larangan yang mesti dikawal ketat oleh sanksi yang menakutkan: denda, penjara sampai dengan nyawa.


Bahwa negara memiliki otoritas yang sangat efektif untuk menegakkan hukum, adalah benar. Demikian pula bahwa hukum selalu mengandaikan sanksi yang diancamkan atau dijatuhan oleh yang punya otoritas, juga benar. Tapi membatasi otoritas pembuat hukum dan penegak sanksi hanya pada kekuasaan formal kenegaraan jelas terlalu menyederhanakan masalah. Hukum selalu berhubungan dengan perilaku manusia dalam kerangka penilain baik-buruk, merugikan/menggangu orang lain, atau sebaliknya. Sementara negara adalah lembaga publik, lembaga untuk mengurus kepentingan orang banyak, sebatas menyangkut perbuatan warganya yang memang bisa diakses secara obyektif juga oleh orang banyak. Itulah sebabnya, tidak ada kekuasaan negara di dunia ini yang mampu mengatur, memperkarakan dan menjatuhkan sanksi kepada setiap warganya berkenaan dengan sikap atau perilakunya yang subyektif: dalam kategori sopan santun misalnya. Bukan berarti sopan santun dan sikap rendah hati itu tidak ada harganya, melainkan karena keterbatasan negara sebagai lembaga formal untuk menjangkaunya. Yang memiliki kemampuan untuk mengawasi dan mengontrol hal-hal 'lembut' seperti itu adalah masyarakat.



Referensi:

Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Peraturan Ombudsman Republik Indonesia No. 002 Tahun 2009 tentang Tata

Jurnal Teten Masduki, anggota Komisi Ombudsman Nasional

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembicaraan:Komisi_Ombudsman_Nasional

www.bipnewsroom.info, 29-1-2009

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi