Wednesday, May 19, 2010

Kaderisasi Dalam Parpol Pada Pemilu 2009

 


Kaderisasi Dalam Parpol Pada Pemilu 2009

Pemilihan Umum bukan sekedar ritual demokrasi yang dilakukan secara berkala setiap 5 tahun sekali untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat atau pemimpin pemerintahan pada tingkat nasional dan lokal. Pemilihan Umum merupakan sistem penyelenggaraan Negara yang sesuai dengan amanat konstitusi yang menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Artinya rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi untuk menentukan kebijakan negara, untuk menentukan kepemimpinan politik yang akan mengendalikan lembaga pemerintahan (eksekutif) dan lembaga perwakilan rakyat.

Salah satu instrumen pemilu adalah Parpol. Parpol merepresentasikan ideologi perjuangan, aspirasi dan agregasi kepentingan politik rakyat. Pilihan demokrasi perwakilan yang dianut negeri ini menempatkan parpol pada posisi centrum dalam mencoraki warna perpolitikan negara. Secara umum peran parpol meliputi empat hal; peran keterwakilan politik, peran pendidikan politik rakyat, peran penyeimbang kekuatan negara dan kekuatan sospol lainnya, serta peran strategis sebagai aspirator, mediator dan fasilitator politik rakyat.


Menimbang Kualitas Kader Partai Politik Pemilu 2009

Dari rahim parpol akan lahir kader-kader politisi baik yang duduk di parlemen pusat maupun daerah-daerah, kementerian, Dewan Perwakilan Daerah hingga jabatan presiden dan wakil presiden. Nasib rakyat dan birokrasi pemerintah bergantung pada kualitas kader parpol, apakah amanat pada janji semasa kampanye atau sebaliknya. Tak pelak kualitas demokrasi juga diukur dari seberapa kuat kedewasaan dan kematangan parpol dalam mengelola konflik internal serta etika dan fatsoen politik di tingkat praksis.

Peran parpol bagai striker sepak bola yang mampu menjelajah lapangan hijau, maju mundur atau mengitari lapangan hijau sesukanya. Seorang striker dapat menendang bola bebas kemana saja dan ke arah mana saja, bisa ke arah menteri, kepada seorang dirjend, bahkan presiden (dengan impeachment dll) sekalipun. Singkatnya, peran parpol kuat sebagai penopang sistem politik negara.

Apakah parpol benar menjalankan fungsi dan perannya? Di sinilah masalahnya. Masuknya gelombang demokratisasi politik yang menempatkan parpol sebagai pemain utama, sayangnya tidak diikuti oleh kematangan dan kedewasaan parpol. Demikian banyak konflik internal parpol yang tidak dikelola dengan baik yang berujung pada perpecahan. Silang pendapat, konflik laten, pragmatisme dan kumpulan orang-orang haus kekuasaan adalah deretan image dan citra parpol di mata publik.

Namun, naasnya mesin politik dan demokrasi harus terus berjalan, Indonesia harus menggelar Pemilu lagi di tahun 2009 nanti. Rakyat harus memilih lagi, jika tidak ingin disebut anti kebijakan negara. Dengan prosedur yang sama lagi pada tiap tahunnya dan wajah-wajah caleg yang itu-itu lagi. Wajah-wajah yang dengan mudahnya lompat pagar parpol, tidak ada visi, yang hanya mengandalkan tampang atau uang. Sedangkan pada saat yang sama rakyat tidak punya pilihan lainnya, oligarki parpol dan tidak adanya mekanisme umpan balik publik terhadap caleg, menyebabkan rakyat menahan getir karena tidak ada alternatif pilihan lain.

Bagaimana mungkin KPU dapat menganulir caleg yang berasal dari parpol. Berdasarkan track record yang bersifat moral obligations di tengah oligarki parpol. Domain KPU hanya peran administratif dan prosedural tidak ada urusan dengan track record seseorang. Bagaimana mungkin publik dapat mengetahui track record, asal muasal, visi dan misi, attitude dan lain sebagainya jika tidak ada data dan publikasi tentang caleg baik dari parpol maupun KPU? Kecuali nama-nama DCS yang ditampilkan pada media-media lokal.

Ibarat jual beli, tidak ada tawar menawar antara caleg dengan pemilihnya. Seluruh harga sudah dibanderol dan telah diikat, dikemas rapih oleh parpol, semuanya sudah given dari parpol. Lalu rakyat diminta melihat dan mengkomentari deretan nama-nama tersebut dalam bungkus-bungkus plastik yang telah rapih dan diikat. Bagaimana cara membuka ikatan plastik tersebut hanya KPU dan parpol yang berhak, dan dilakukan di tempat lain.

Dengan pola jual beli yang semacam ini, tentu saja tak banyak pembeli yang berminat, kecuali ada tawar menawar yang terjadi antara pembeli dan pedagang, dari mana asal barang dan kualitas barang, antara rakyat dengan caleg, KPU dan parpol. Dengan cara ini pasar pemilu pasti lebih ramai dan demokratis.

Jangan berlebihan, karena pemilu kita memang masih sebatas itu. Sebatas memenuhi aspek prosedural, sebatas waktu yang sempit dan telah ditentukan (pembahasan UU Pemilu saja sempit waktunya), sebatas anggaran yang ada, sebatas aturan yang mengaturnya, tidak boleh keluar dari konteks aturan meski harus menabrak prinsip-prinsip demokratisasi rakyat (misalnya informasi tentang caleg yang minim, ini merupakan hak publik). Demokrasi memang harus diatur dan dikelola. Inilah mungkin paradoks demokrasi.

Usulan-usulan

Dengan 34 Parpol peserta pemilu tahun 2009, maka tak pelak persaingan merebut simpati dan suara rakyat makin ketat. Berbagai upaya konvensional dilakukan dengan membagi-bagikan sembako dan pamflet-pamflet caleg, hal ini tidak ada salahnya. Namun, yang penting diingat bahwa ajang pemilu merupakan ajang pendidikan politik rakyat.

Sepanjang sejarah pemilu (kecuali Pemilu tahun 1955 yang konon sangat demokratis), telah dilakukan, sayangnya hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan para elit politik tak lebih tak kurang. Tak heran, telah banyak pemilu dilakukan namun hasilnya kedewasaan dan kematangan politik rakyat tetap saja minim. Ritual pemilu dengan biaya yang sangat besar dan fantastis digunakan hanya untuk melanggengkan kekuasaan para elit politik. Tentu saja ini harus dihindari pada Pemilu tahun 2009. Pemilu harus bermakna pendidikan dan pendewasaan politik rakyat.

Hendaknya parpol mulai membuka diri, berfikiran jauh ke depan, berorientasi politik tidak untuk dan hanya kekuasaan semata serta mengutamakan pilihan-pilihan rasional konstituensinya. Pilihan-pilihan kegiatan dapat dimulai dengan mengumumkan latar belakang, pendidikan profesi dan visi calegnya di hadapan publik, melalui media-media masa lokal Banten, selebaran parpol, talkshow radio dan media publik lainnya.

Mensinergiskan kegiatan-kegiatan pembuka wacana pendidikan politik di kalangan pemuda, mahasiswa dan unsur golongan profesi lainnya (pada kalangan buruh, petani, nelayan dll) baik di kampus-kampus, aula karang taruna tingkat kecamatan dan tempat-tempat publik lainnya yang difasilitasi oleh perguruan tinggi, pengurus KNPI, FKPPI maupun ormas-ormas lainnya yang independen.

Peran media massa cetak lokal, radio-radio lokal dengan kemitraan sinergis dengan Parpol-KPU-Pemerintah daerah atau lembaga-lembaga donor lainnya hendaknya dapat dilakukan secara sistematis dan tidak partisan. Hanya dengan cara-cara inilah, rakyat jadi tahu apa, bagaimana dan siapa wakil-wakilnya yang akan dipilihnya. Pemilu tahun 2009 pun jadi lebih bermakna pendidikan dan pendewasaan politik rakyat. Bukan membeli kucing dalam karung.






Peranan Perempuan Dalam Pemilu 2009

Pemilihan Umum sebagai sistem penyelenggaraan Negara yang demokratis menjadi urusan setiap warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan. Demokrasi mempersyaratkan diperkuatnya dukungan terhadap nilai-nilai persamaan, kebebasan dan persaingan yang fair dalam praktek penyelenggaraan Negara. Ketentuan konstitusi yang menjamin persamaan, kebebasan dan persaingan demokratis untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan harus diwujudkan secara nyata. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 secara lebih konkrit menentukan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak merupakan perintah UU yang harus dipatuhi. Artinya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu wajib menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak sipil dan politik. Hambatan bagi partisipasi perempuan dalam kehidupan politik tidak boleh ditolerir, karena dapat menghambat pertumbuhan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dan mempersulit perkembangan potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara

Peningkatan Kuantitatif

UU No. 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum memberikan dukungan untuk terlaksananya affirmative action dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di bidang partai politik.

Ditentukannya 30% pengurus partai politik di semua tingkatan harus diisi oleh perempuan dan 30% calon anggota legislatif juga diisi oleh perempuan dengan jaminan penempatan pada nomor urut kopiah atau dasi, cukup memberi peluang kepada peningkatan peranan perempuan secara kuantitatif. Tetapi hal tersebut belum menjamin calon anggota legislatif dari kalangan perempuan akan benar terpilih, karena partai politik berubah pikiran dalam penetapan calon terpilih dari berdasar nomor urut ke berdasar suara terbanyak. Artinya bila hal tersebut menjadi keputusan politik calon anggota legislative dari kalangan kaum hawa harus lebih keras dalam mengumpulkan pemilih. Ketentuan UU tersebut diperlukan sebagai sarana perubahan sosio cultural menuju persamaan gender dalam kehidupan politik. Hukum sebagai sarana perubahan sosial diharapkan mampu mengubah pola peranan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang masih diwarnai oleh ciri-ciri suatu masyarakat tradisional paternalistik.

Dalam masyarakat tradisional semacam itu perempuan diberi peran untuk tugas-tugas yang perlu kesabaran, kehalusan perasaan, sehingga peran mereka terutama mengasuh anak, memasak, menjadi bidan/perawat. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menantang dianggap dunianya laki-laki seperti menjadi tentara, bupati atau pemimpin partai. Secara bertahap sejak reformasi perubahan sosio cultural menuju persamaan peran laki-laki dan perempuan di dunia politik sudah mulai terjadi. Walaupun Secara kualitatif peranan perempuan belum mengalami peningkatan signifikan.

Sejumlah partai politik memberi peran strategis kepada kaum perempuan dalam kepemimpinan partai politik. Tetapi lebih banyak yang memberi peran figuran untuk sekedar memenuhi formalitas yang ditentukan undang-undang perempuan lebih kurang ditempatkan pada posisi sekretaris, bendahara atau peran-peran yang terkait dengan konsumsi, dan kesenian. Dalam daftar calon legislatif yang diserahkan kepada KPU, sebagian partai politik berusaha memenuhi batas minimum kuota perempuan. Karena langkanya kader perempuan yang dimiliki tidak jarang aroma nepotisme dalam rekrutmen calon anggota legislatif sulit dielakan. Soal kualitas calon perempuan masih menjadi tanda tanya, karena tidak sedikit partai politik yang belum sempat menempa kader-kader srikandi yang mempunyai untuk ditampilkan sebagai wakil rakyat yang cerdas, trengginas mampu menangkap aspirasi rakyat dan paham lika-likunya politik.




Peranan Perempuan dan Laki-laki Dalam Politik Adalah Sama

Untuk kepemimpinan di bidang pemerintahan pada pemilu 2009 nanti, peran perempuan tidak jauh berbeda dari peran mereka dalam kepemimpinan partai politik dan calon anggota legislatif. Peran perempuan dibidang pemerintahan merupakan refleksi dari kualitas peran mereka dalam kepemimpinan partai politik dan dalam lembaga legislatif.

Untuk meningkatkan kualitas peran perempuan dalam pemilu 2009 nanti, diperlukan komitmen, yang kuat dikalangan elit politik untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD dan ketentuan undang-undang yang menjamin perusahaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan didepan hukum dan pemerintahan. Sementara itu kaum perempuan perlu mengkonsolidasikan potensinya, menggalang dukungan untuk meraih simpati dan secara sistematis menempa diri agar memiliki kapasitas, kapabilitas serta akseptabilitas untuk memainkan peranan lebih besar dalam kancah politik demi kesejahteraan seluruh rakyat. Urusan politik dalam negara demokratis adalah urusan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun bangsanya.

Fenomena Artis Dalam Kaderisasi Parpol

Setelah Dede Yusuf dan Rano Karno yang notabene sebagai artis berhasil menjadi pemimpin di daerah pemilihan, sebagai wakil Gubernur Jawa Barat dan wakil walikota Tangerang, kini adagium kesuksesan politik tersebut tengah menghinggapi artis-artis lain, termasuk Parpol yang melihat "artis" juga sebagai instrumen potensial menjaring suara. Saat ini menjelang Pemilu 2009, lebih banyak lagi selebritis yang telah terdaftar menjadi calon legislatif (caleg). Mulai dari Wulan Guritno, Rieke Dyah Pitaloka, Tengku Firmansyah, Adrian Maulana, hingga Steve Immanuel. Inilah realitas yang terjadi dalam kancah perpolitikan kita sekarang. Di saat partai politik citranya memburuk serta ketidakmampuan melahirkan kader yang baik, jalan pintas adalah pilihan, yaitu menyulap selebritis menjadi calon wakil rakyat atau pemerintahan dalam waktu singkat. Jangan heran bila kemudian ada partai yang mendapat sebutan sebagai "Partai Dikelilingi Selebritis" atau "Partai Artis Nasional.

Alih-alih untuk meningkatkan porsi suara dan prediksi kuota kursi di Parlemen sih sah-sah saja sebagai target instan bagi parpol untuk "menempatkan" artis-nya sebagai kader "pilihan". Namun perlu diingat bahwa konsekwensi mendirect kader artis sebagai jalan paling instan dan murah dalam konstalasi politik nasional dengan melihat perspektif dan susbtansi peran parpol dalam dimensi kultural, moral dan ketatanegaraan kita, boleh jadi apa yang dilakukan oleh parpol saat ini adalah semacam pendistorsian dan peradikalisasian proses pengkaderan partai secara organisatoris. Parpol jelas menegasikan domain organization life cicle ( yakni eksistensi parpol tumbuh, berkembang dan mature berdasarkan proses kontinuitas internalisasi dan kontribusi intelektual, kepemimpinan dan sense of belonging anggota terhadap parpol). Kondisi yang terjadi saat ini adalah parpol memangkas jalur itu dengan hanya mengandalkan pencitraan melalui publik figur yang tertanam dalam diri artis. implikasinya jika ini terus berlanjut maka eksistensi parpol akan terbebani oleh peran idealisme parpol itu sendiri yang sebagian besar mengandalkan aspek intelektualisasi, sense of research & academicion, leadership, mentalitas dan kapabilitas berorganisasi yang matang dan sebagainya. Dengan demikian orientasi partai politik sebagai lokomotif yang mampu mengubah persepsi, membangun opini dan merubah tingkah laku publik akan semakin terkontaminasi dengan "performance' dan "gaya" keartisan yang dimiliki para artis-lepas apakah sebenarnya juga kontaminasi itu berimplikasi kepada hal-hal positif ataupun justru malah negatif. Retorika politik dan kepercayaan diri artis saja sangat tidak cukup untuk mengkonstruksi eksistensi parpol. Kecuali memang parpol melihat potensi artis tidak semata mengandalkan hanya kepercayaan diri dan retorita komunikasi politik (bisa ngomong soal masalah politik bangsa).dalam konteks ini para artis juga sebenarnya juga harus menyadari bahwa keberadaannya dalam partai politik sejatinya memang karena potensi dan kapabiulitasnya – seperti contoh kasus tentang keterlibatan Sophan Sophiaan (Alm) di PDIP dulu. atau hanya sekedar menjadi kosmetika partai agar kelihatan lebih "fresh" di mata publik. kalaupun itu terjadi-jelas artius sebenarnya tetap subordinat dari eksistensi parpol, karena perannya hanya sebagai kelompok penggembira.Jika pun berhasil duduk di Parlemen-barangkali peran dan eksistensi tidak cukup signifikan mempengaruhi kontribusi parpol/fraksi. Paling pahit perannnya hanya sebagai penambah suara jika keputusan yang diambil deadlock dan harus melalui pemungutan suara.

Mau artis tersebut berkualitas atau tidak, memiliki kemampuan atau tidak dalam konteks ini bukan itu yang menjadi primary key. Yang jelas parpol sudah salah jalan jika menegasikan faktor kaderisasi struktural sebagai salah satu aspek atau nilai partisan partai. Saya khawatir jika parpol tetap berorientasi instan seperti ini, secara internal parpol akan menyemai benih dikotomi tentang arti sebuah "kontribusi kader parpol" yang boleh jadi justru akan mencederai eksistensi parpol dikemudian hari khususnya dilihat dari perspektif internal partai. Dalam konteks ini parpol hanya mengakomodasi prosedur formal partisipasi setiap warga negara yang berhak menjadi wakil bagi rakyat di parlemen atau di jalur2 birokrasi dan kekuasaan secara an-sich termasuk dalam konteks ini adalah artis sebagai profesi.

Namun yang jelas proses penciptaan, pengembangan dan pemeliharaan citra suatu organisasi, bisa terbentuk manakala organisasi mampu memberikan persepsi tentang organ kelembaannya kepada publik, dengan demikian publik menjadi mengerti dan memiliki pengetahuan tentang eksistensi organisasi, dari pengetahuan tersebut, kemudian publik menjadi memiliki kesadaran dan loyalitasnya kepada organisasi. Istilah lain dalam konteks tersebut adalah adanya proses public perception, public understanding, public knowledge, public awwarness dan public equity yang dimiliki masyarakat terhadap parpol. Proses pembentukan, pengembangan dan pemeliharaan citra tersebut sekali lagi diakomodasi oleh suatu proses panjang melalui mekanisme normatif parpol dalam mengembangkan prosedur dan program kontribusinya kepada rakyat melalui kader-kader yag memiliki kontinuitas, konsistensi dan memiiki sense of organizm yang jelas.


Berbagai Sumber

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi