SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI DI BANTEN
PASCA PEMBENTUKAN PROPINSI BANTEN
PENDAHULUAN
Gerakan reformasi yang dilancarkan oleh mahasiswa telah menjatuhkan Soeharto dari kursi kepresidenannya pada tahun 1998. Gerakan reformasi itu terus bergulir dan mencuatkan tuntutan-tuntutan yang semakin meningkat tentang perlunya demokratisasi, kebebasan, dan transfarani di berbagai bidang dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan oleh tulisan ini bahwa kasus berpisahnya Banten dari provinsi Jawa Barat juga tidak lepas dari akibat gerakan reformasi tersebut. Dengan analisa historis yang tajam tulisan ini memberikan perspektif yang objektif, tanpa rasa marah dan berat sebelah tentang proses berpisahnya Banten dari Jawa Barat.
Gerakan reformasi yang dilancarkan oleh mahasiswa telah menjatuhkan Soeharto dari kursi kepresidenannya pada tahun 1998. Gerakan reformasi itu terus bergulir dan mencuatkan tuntutan-tuntutan yang semakin meningkat tentang perlunya demokratisasi, kebebasan, dan transfarani di berbagai bidang dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan oleh tulisan ini bahwa kasus berpisahnya Banten dari provinsi Jawa Barat juga tidak lepas dari akibat gerakan reformasi tersebut. Dengan analisa historis yang tajam tulisan ini memberikan perspektif yang objektif, tanpa rasa marah dan berat sebelah tentang proses berpisahnya Banten dari Jawa Barat.
Presiden Soeharto turun dari jabatannya pada bulan Mei 1998. Setelah itu proses reformasi bergulir terus menuju pemerintahan yang demokratis. Berbagai tuntutan keterbukaan dan demokratisasi di segala bidang muncul ke permukaan. Termasuk tuntutan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Timor-Timur, Aceh, dan Papua. Selain itu, beberapa wilayah meminta untuk memekarkan diri, membuat kabupaten ataupun provinsi baru. Salah satunya adalah Banten, yang resmi menjadi provinsi baru pada tanggal 4 Oktober 2000. Bagaimana proses berdirinya provinsi tersebut dan adakah kaitannya dengan pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis
PEMBAHASAN
Proses Berdirinya Prov.Banten
Pada bulan Februari 1999, sejumlah ulama mengadakan dialog dalam acara temu wicara dengan Presiden B.J. Habibie di Pandeglang. Dalam acara tersebut, pimpinan pondok pesantren Darul Iman, K.H. Aminuddin Ibrahim, mengusulkan agar wilayah eks karesidenan Banten ditingkatkan menjadi provinsi Banten. Usul serupa diajukan juga oleh K.H. Mansur Muchjidin dalam acara dialog dengan Presiden B.J. Habibie dengan para ulama di Cilegon.
Apa yang diungkapkan oleh para ulama di atas kemudian ditindaklanjuti. Sejumlah tokoh masyarakat pada pertengahan bulan Juli 1999 di Serang mendeklarasikan berdirinya Komite Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Banten, dengan ketuanya H. Uwes Qorny, mantan kepala ITWILKAB (Inspektorat Wilayah Kabupaten) Serang. Naskah deklarasi ditandatangani oleh 30 orang tokoh Banten antara lain: Uu Mangkusasmita, H. Djadjuli Mangkusubrata, Sofyan Ichsan, dan R. Gunawan. Bunyi deklarasi itu adalah Kami rakyat Banten dengan ini menyatakan Provinsi Daerah Tingkat I Banten sudah saatnya terbentuk. Hal-hal yang menyangkut legalisasinya hendaknya diselenggarakan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, dalam tempo secepat-cepatnya. Semoga Allah SWT meridhoi perjuangan kami.
Pengakuan dari pihak pemerintah pusat mulai tampak ketika pada akhir bulan Juli 1999, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Syarwan Hamid – dalam kesempatan acara wisuda STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) di Jatinangor, Jawa Barat – menyatakan bahwa keinginan masyarakat Banten adalah suatu hal yang wajar dan perlu diproses. Niat mendirikan provinsi Banten itu kemudian digulirkan dalam acara seminar di Jakarta pada bulan Agustus 1999. Sosialiasi terus-menerus dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui mass media, baik cetak maupun elektronik. Justifikasi usaha mendirikan provinsi baru ini dilakukan dengan mengekspose pemberitaan bahwa sebenarnya usaha mereka mendirikan provinsi Banten sudah dimulai sejak tahun 1953. Usaha pertama ini gagal, kemudian dilanjutkan pada tahun 1964, yang juga gagal. Kemudian setelah lahir pemerintah Orde Baru pada tahun 1967, mereka mencoba lagi pada tahun 1970-an, tetapi gagal lagi. Kini, pada era reformasi usaha itu dicoba lagi. Tampaknya inilah usaha pamungkas yang telah membuahkan hasil.
Usaha lebih jauh dilakukan dengan meningkatkan upaya itu dari sekadar wacana ke tingkat pelembagaan dengan membentuk Badan Koordinasi (Bakor) Pembentukan Propinsi Banten, yang kepengurusannya disahkan dengan surat keputusan tertanggal 16 Februari 2000, setelah didahului pertemuan pada tanggal 4 Februari 2000 di rumah H. Tubagus Tryana Sjam’un, S.E.. Tokoh inilah yang kemudian menjadi Ketua Umum Bakor Banten, yang menjadi motor sekaligus donatur terkemuka untuk terbentuknya provinsi Banten. Para tokoh terkemuka dari berbagai kalangan yang berasal dari Banten – baik yang berdomisili di Banten maupun di luar Banten seperti di Jakarta, Bogor, dan Bandung – direkrut dalam kepengurusan Bakor Banten. Misalnya, Ketua Umum Dewan Penasehat adalah H. Tubagus Chasan Sochib, seorang tokoh Ketua Perkumpulan Pendekar (Jawara) Banten. Wakil Ketua Penasehat adalah Ir.H. Tubagus Rais (mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta), Prof.Dr. Tubagus Ronny Nitibaskara (Guru Besar Kriminologi UI Jakarta), dan Mayjen (Pol.) Drs. Taufik Rahman Ruki (Wakil Ketua Fraksi TNI/POLRI di MPR RI). Sementara itu para anggota Dewan Penasehat antara lain: Prof.Dr.H. Mohammad Fakry Gaffar, M.Ed. (Rektor UPI Bandung), Drs. Achmad Djadjuli (Kakanwil Diknas Jabar), Drs.H. Moh. Aly Yahya (Anggota DPR/MPR RI), H. Ekky Syachruddin (Anggota DPR/MPR RI), Hj. Tumbu Saraswati, S.H., Drs. Tito Sutalaksana, Prof.Dr. Herman Haeruman, dan Tantyo A.P. Sudharmono (putra mantan Wakil Presiden RI). Tokoh-tokoh terkemuka lainnya yang duduk dalam kepengurusan Bakor Banten adalah: Tubagus Tryana Sjam’un sebagai Ketua Umum. Para ketua terdiri dari: H. Uwes Qorny, K.H. Dr.H.M. Irsyad Djuwaeli (Ketua Matlaul-Anwar), H. Mochtar Mandala, S.E., dan lain-lain. Sementara itu, Ketua KAHMI Jaya, H. Tubagus Farich Nahril, menjadi Sekretaris Umum Bakor Banten, dan artis kondang Mi’ing (Bagito Grup) alias Drs.H. Tubagus Dedi Gumelar, diangkat sebagai Sekretaris. Para ketua atau pengurus organisasi kemasyarakatan (ormas) yang ada di Banten, sebanyak 137 orang direkrut menjadi anggota pengurus Bakor-Banten. Misalnya dari unsur HMI, KAHMI, GP Ansor, Fatayat NU, Persis, KNPI, Kadinda, ICMI, Kosgoro, dan lain-lain. Tentu saja,jumlah yang begitu banyak itu dimaksudkan untuk upaya mengakomodasi berbagai kekuatan unsur masyarakat.Berbagai perdebatan terjadi di kalangan masyarakat, baik masyarakat Banten sendiri maupun masyarakat Jawa Barat dan pemerintah Pusat.Beberapa anggota DPR yang berasal dari Banten, yaitu Ekky Syahruddin, menjadi motor utama untuk melobbi DPR agar menyetujui usul para elite Banten itu.Dilanjutkan dengan unjuk rasa di depan Gedung Sate, yaitu pusat pemerintahan provinsi Jawa Barat, hingga ke Gedung DPR RI di Senayan,Jakarta.
Sikap Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat
Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menyetujui begitu saja permintaan masyarakat Banten itu, karena bila mereka mendirikan provinsi sendiri, berarti sebagian pendapatan asli daerah akan hilang dari anggaran, belum lagi dampak lainnya. Gubernur Jawa Barat, H.RNuriana mempertanyakan apakah keinginan untuk membentuk provinsi sendiri itu merupakan keinginan rakyat atau keinginan segelintir elite politik? Gubernur menyarankan agar dilakukan referendum.
Pada akhir bulan Oktober 1999 – untuk menunjukkan bahwa Pemda (Pemerintah Daerah) Provinsi Jawa Barat memperhatikan kesejahteraan rakyat Banten dan melalui Yayasan Saung Kadeudeuh – Gubernur H.R. Nuriana menyerahkan bantuan uang muka rumah RSS (Rumah Sangat Sederhana) bagi 156 karyawan golongan I dan II Pemda Kabupaten Lebak sebesar Rp. 218,4 juta. Secara diplomatis, Gubernur kemudian menyatakan bahwa ia tak akan menghalang-halangi keinginan pembentukan provinsi tersebut, sepanjang hal itu dilakukan secara demokratis dan konstitusional. Pada tanggal 20 Desember 1999, DPR yang mengadakan kunjungan kerja ke Bandung, mempertanyakan masalah ini kepada Gubernur Jawa Barat. Dalam kesempatan itu Gubernur menjelaskan bahwa peluang pembentukan provinsi Banten cukup terbuka, asalkan keinginan itu merupakan keinginan masyarakat Banten yang diproses secara demokratis dan konstitusional, dan secara politis disetujui oleh DPRD setiap kabupaten/kotamadya.
Persetujuan dari Gubernur ini nampaknya hanya bersifat diplomatis belaka, karena ternyata ketika DPRD Jawa Barat sudah menyetujui – dan DPR Pusat pun sudah setuju untuk membuat Undang-undang Pembentukan Provinsi Banten – Gubernur Jawa Barat tetap bertahan untuk tidak setuju. Rencananya, pada akhir tahun 2000 Undang-undang itu sudah akan disahkan.
Oleh karena terdesak, Pemda Jawa Barat pada bulan Januari 2000 meminta Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan) Jawa Barat untuk melakukan studi kelayakan bakal provinsi Banten. Saya sendiri diminta untuk menganalis masalah sejarah budaya Banten. Hasil kajian ini ternyata sarat dengan muatan politis. Hasil kajian dibuat sedemikian rupa, sehingga Pemda Jawa Barat membuat kesimpulan bahwa provinsi Banten belum layak untuk direalisasikan, karena berbagai kekurangan yang ada. Hasil kajian ini kemudian dibawa ke DPR Pusat oleh pihak Pemda Provinsi Jawa Barat. Tentu saja penilaian DPR Pusat menjadi negatif. Akibatnya para tokoh Bakor Banten marah. Mereka memperbanyak laporan kajian ini dan kemudian dibakar, sebagai tanda protes. Pada tanggal 20 Maret 2000, bertempat di Hotel Sahid Jaya Jakarta diadakan seminar dengan tema “Perspektif Masa Depan Provinsi Banten: Peluang, Tantangan, dan Strategi”. Salah satu topik bahasan adalah soal kajian dari Bappeda tersebut. Saya sendiri kembali diundang sebagai pembicara. Dalam kesempatan itulah, menjadi terbuka bagaimana sesungguhnya sikap Pemda Jawa Barat. Hasil seminar itu kemudian diekspose dalam mass media, antara lain dalam majalah Forum Keadilan.
Untuk mengantisipasi pendapat yang menyudutkan Pemda Jawa Barat ini, kemudian diadakan seminar hasil kajian Bappeda pada tanggal 22 Maret 2000 di Hotel Santika Bandung. Tidak jauh dari dugaan, hasil kajian Bappeda mendapat serangan keras, terutama dari tokoh-tokoh Banten yang diundang – dan juga dari kalangan perguruan tinggi. Saya sendiri meminta agar Bappeda Jawa Barat mencabut kajian yang sudah dimanipulasi itu. Bappeda akhirnya memutuskan untuk melakukan kaji-ulang yang pelaksanaannya diserahkan ke tiga perguruan tinggi, yaitu UNPAD (Universitas Padjadjaran), ITB (Institut Teknologi Bandung), dan UNTIRTA (Universitas Tirtayasa, Serang). Hasil kajian yang baru itu dianggap terlambat, karena proses di DPR Pusat bergulir terus tanpa menunggu perbaikan kajian. Akhirnya pada akhir bulan Maret 2000, Gubernur Jawa Barat terpaksa menuruti “perintah” dari pemerintah Pusat dengan menyatakan bahwa ia tidak akan menolak maupun mendukung berdirinya provinsi Banten dan hanya akan menyerahkan persoalan itu kepada pemerintah Pusat.
Proses pembentukan provinsi Banten terus bergulir. Berbagai jalur ditempuh oleh para tokoh Bakor Banten untuk mempercepat proses tersebut, termasuk menggunakan jalur para pejabat tinggi, bahkan menteri yang berasal dari Banten. Misalnya saja Mendagri yang baru, Suryadi Sudirja, yang memang berasal dari Banten. Pada tanggal 18 Agustus 2000, dilangsungkan lokakarya bertempat di Hotel Hilton Jakarta untuk membahas peluang dan tantangan yang bakal dihadapi bila provinsi Banten berdiri. Mendagri Suryadi Sudirja membuka lokakarya tersebut. Dari apa yang disampaikan dalam lokakarya itu, tampaknya provinsi Banten memang sudah akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat. Dalam acara itu juga hadir Menteri Kelautan yang cukup vokal, Ir. Sarwono Kusumaatmaja. Para bupati dan walikota dari bakal provinsi tersebut juga diundang untuk menyampaikan gagasan ataupun pandangan mengenai bakal provinsi Banten. Mereka adalah Walikota Tangerang dan Cilegon, Bupati Tangerang, Serang, Lebak, dan Pandeglang. Selain itu diundang pula para cendekiawan Banten, baik dari Banten maupun luar Banten, ulama, anggota DPR Pusat kelahiran Banten, anggota DPRD, pendekar, dan kalangan pemuda.
Dalam lokakarya itu terungkap apa saja kekuatan dan kelemahan yang dimiliki Banten. Yang cukup menonjol adalah soal Sumber Daya Manusia (SDM). Meski banyak tokoh Banten bergelar doktor dan guru besar, tetapi rendahnya pendidikan rata-rata penduduk menjadi penyebab utama kelemahan SDM ini. Sementara itu Sumber Daya Alam (SDA) cukup kuat, hanya untuk pengolahannya memang memerlukan SDM yang handal. Meski demikian, umumnya para tokoh Banten tidak merasa pesimistis, dengan berargumentasi: ketika Soekarno dulu memutuskan untuk membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI, toh tidak dengan membuat perhitungan soal SDM atau SDA, nyatanya Republik Indonesia berjalan terus. Sementara itu, di sisi lain, dalam lokakarya tersebut juga, secara diam-diam, bisa diamati bahwa persaingan untuk memperebutkan kursi bakal gubernur nanti, mulai tampak meskipun samar-samar, karena hal itu hanya bisa didengar dalam pembicaraan bisik-bisik dari meja ke meja. Para kandidat tidak resmi ini mulai mengukur kekuatan para kompetitor dan saling menjajagi.
Provinsi Banten akhirnya resmi berdiri pada tanggal 4 Oktober 2000, setelah diperjuangkan secara nyata sejak bulan Agustus 1999. Yang cukup mengejutkan adalah bahwa Pejabat Sementara Gubernur Banten ternyata diambil dari Sulawesi Selatan, yaitu mantan Sekwilda (Sekretaris Wilayah Daerah) Banten, Drs. Hakamuddin Jamal. Tentu saja, ini merupakan posisi yang sulit, terbukti ketika akan dilantik sebagai Pejabat Sementara Gubernur, demonstrasi dilakukan oleh sebagian masyarakat Banten. Penunjukkan ini akhirnya diterima juga oleh masyarakat Banten, sebab yang penting bagi mereka adalah asal Pejabat Sementara Gubernur itu bukan dari Bandung atau – dalam bahasa mereka – bukan “orang Gedung Sate”. Dan yang lebih penting lagi, tentu saja, agar gubernur pertama provinsi Banten itu nantinya adalah mesti orang Banten.
Setelah secara resmi provinsi Banten berdiri, jalannya pemerintahan mengalami banyak kendala. Pertama, soal anggaran. Pemda Jawa Barat sudah jauh-jauh hari menyatakan tidak akan bisa membantu “anak yang memaksa memisahkan diri” itu. Sisa anggaran, yang masih ada di Kas Pemda Jawa Barat, untuk daerah Banten pun keluarnya tersendat. Hingga seorang tokoh Bakor Banten, yang merupakan seorang pengusaha besar, berusaha memberikan bantuan dana untuk membantu kelancaran pemerintahan Banten.
Pada tanggal 26 Februari 2001, Bakor Banten membubarkan diri karena tujuan lembaga ini, yaitu berdirinya provinsi Banten, sudah terwujud. Meski demikian, para tokoh yang tergabung di dalamnya bertekad untuk terus mewujudkan diri dalam lembaga yang mungkin namanya berganti. Setelah itu, mulailah kegiatan pembentukan DPRD Banten yang akan memproses pemilihan gubernur Banten definitif. Itu berarti bahwa para kandidat gubernur mulai mencari kendaraan politik masing-masing, melalui partai mana mereka akan naik ke kursi gubernur. Persaingan secara terbuka maupun tertutup terjadilah. Hingga bulan Oktober 2001, ketika tulisan ini dibuat, sudah ada beberapa pasang calon gubernur dan wakil gubernur.
Latar Belakang Historis Konflik Banten-Jawa Barat
Sejak tahun 1945, Banten termasuk ke dalam provinsi Jawa Barat. Banten sendiri memiliki sejarah yang panjang, bahkan sama panjangnya dengan sejarah wilayah Jawa Barat ketika belum bernama Jawa Barat. Dalam naskah Carita Parahyangan yang ditulis pada tahun 1518, disebut sebuah tempat bernama “Wahanten Girang” yang dapat dihubungkan dengan nama “Banten Girang”. Berita dari Tome Pires, yang datang ke Banten antara tahun 1512-1513, menyebutkan bahwa ada beberapa kota pantai di kerajaan Sunda, yaitu Bantam (Banten), Pontang, Cheguide, Tamgara, dan Sundakalapa. Ia menyebutkan bahwa Bantam adalah bandar perdagangan yang ramai dikunjungi para pedagang dari Maladwipa dan pantai barat Sumatra. Di Bantam yang terletak dua hari perjalanan dari ibukota (dayeuh) kerajaan Sunda, banyak diperdagangkan beras, bahan makanan, dan lada. Jadi, hingga tahun 1512, Banten adalah kota pelabuhan dagang kerajaan Sunda.
Selanjutnya, Banten menjadi sebuah kerajaan yang wilayahnya meliputi sebagian bekas wilayah kerajaan Sunda. Hal ini diberitakan dalam naskah Sajarah Banten, yang ditulis tahun 1662/1663. Kerajaan Banten didirikan pada tahun 1525 oleh Nurullah atau yang kelak disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Akan tetapi, menurut sumber-sumber lokal lain, yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Banten adalah Sultan Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati. Selanjutnya, keadaan menjadi terbalik. Melalui serangkaian peperangan, Banten akhirnya menaklukkan kerajaan Sunda yang berlangsung cukup lama, mulai dari masa pemerintahan Maulana Hasanuddin hingga masa Maulana Yusuf, anak Maulana Hasanuddin. Kerajaan Sunda baru runtuh pada tahun 1579. Jadi, masa penaklukan terjadi lebih dari lima puluh tahun (meskipun tidak terus-menerus).
Pada tahun 1596, orang Belanda datang ke Banten. Pada mulanya mereka diterima dengan baik. Akan tetapi, karena sikap orang-orang Belanda yang curang, mereka akhirnya diusir. Pada tahun 1598 datang kembali rombongan kedua orang-orang Belanda. Dengan cara pendekatan yang lebih baik, mereka diterima dan pada tahun 1603, kantor dagang VOC yang pertama berdiri di Banten. Setelah itu, konflik sering terjadi. Ketika Batavia didirikan pada tahun 1619, para pedagang yang biasa datang ke Banten banyak yang dipaksa beralih ke sana. Konflik semakin menjadi-jadi, terlebih ketika pada tahun 1651, Sultan Ageng Tirtayasa menjadi raja. Sultan berjuang selama 32 tahun melawan VOC. Konflik menjadi rumit, karena ia harus berhadapan dengan anaknya yang diperalat oleh VOC. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian dipenjarakan selama 10 tahun. Sejak itulah kerajaan Banten memudar kebesarannya. Setelah itu raja-raja menaiki tahta silih berganti. Akan tetapi kedudukan mereka tidak lebih seperti vassal dari VOC.
Konflik terjadi lagi ketika Daendels memaksa rakyat Banten untuk kerja rodi dalam rangka membuka pangkalan angkatan laut di daerah Ujung Kulon. Rakyat banyak yang mati terkena malaria, kelaparan, atau keracunan gas rawa. Sultan Aliyudin II diharuskan mengirimkan 1.000 orang setiap hari untuk bekerja rodi. Ia juga harus memindahkan keraton dari Surosowan ke Anyer. Sultan menolak perintah dari Daendels. Akibatnya, benteng keraton dihancurkan pada tanggal 21 November 1808. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda berlangsung terus di bawah pimpinan para ulama. Daendels benar-benar marah, istana pun segera saja dibumihanguskan. Sejak itulah wilayah bekas kerajaan Banten dianeksasi oleh pemerintah kolonial Belanda dan dijadikan tiga wilayah yang setara dengan kabupaten di bawah pengawasan seorang landrostambt (semacam residen). Sejak itu pulalah kesultanan Banten lenyap dan dilupakan orang. Keturunan Sultan, yang kemudian diangkat menjadi bupati, memindahkan istana ke keraton Kaibon.
Sepanjang abad ke-19, berulangkali terjadi gerakan sosial yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Keturunan sultan-sultan Banten atau kelompok para bangsawan berulangkali melakukan gerakan untuk mengembalikan eksistensi kesultanan Banten. Pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk meredam gerakan perlawanan ini, antara lain dengan menjadikan para keturunan sultan sebagai bupati. Akan tetapi banyak juga keturunan sultan, yang juga tergolong ulama, tidak mau menjadi kaki-tangan Belanda. Antara tahun 1848-1850, terjadi kelaparan di Banten. Selain itu, pajak yang dibebankan kepada rakyat semakin berat. Rakyat merasa tertekan dan resah. Situasi ini membangkitkan rakyat untuk melawan di bawah pimpinan para ulama dan para haji. Antara tahun 1850 dan 1858, terjadi gerakan yang dipimpin oleh Haji Wahya di Kramatwatu, gerakan yang dipimpin oleh Syeh Abdulkadir di Tegalpapak, Anyer. Dan peristiwa puncak perlawanan terkenal dengan peristiwa yang disebut “Geger Cilegon tahun 1888”, yang dipimpin oleh Haji Wasid.
Banyaknya gerakan perlawanan yang terjadi, menyebabkan timbulnya istilah bahwa Banten itu adalah “bantahan”. Tidak mengherankan bila orang Banten oleh kalangan pemerintah kolonial Belanda disebut memiliki tradisi berontak. Golongan ulama mengadakan persekutuan dengan kaum bangsawan dan para petani untuk menghadapi kekuasaan kolonial. Ideologi “jihad fisabilillah” melawan orang kafir sangatlah menguatkan perlawanan yang mereka lakukan. Peranan tarekat sebagai sarana mobilisasi gerakan ikut menentukan, karena disiplin tarekat ternyata menumbuhkan sifat revolusioner atau militan dalam jiwa rakyat.
Untuk menjaga prestise sosial, elite lama (keturunan sultan) berusaha menjalin afinitas dengan elite baru yaitu birokrat yang direkrut oleh pemerintah kolonial Belanda. Fenomena di atas mencuat ke permukaan pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Mungkin pada perkembangannya kemudian, istilah jawara juga sering dikaitkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan apa yang disebut sebagai “banditisme”. Hal ini terjadi, karena di samping gerakan perlawanan yang jelas ditujukan kepada pemerintah kolonial seperti disebut di atas, juga seringkali terjadi perampokan dan kerusuhan, yang menurut keterangan pemerintah kolonial Belanda dilakukan oleh kaum brandalan. Oleh karena itu, istilah “jawara” sering juga disebut sebagai kependekan dari kata “ja(hat) + wa(ni) + ra(mpog)” artinya: jahat, berani merampok. Akibatnya, tumbuh kesan dan penilaian negatif di kalangan masyarakat luar Banten, bahwa “jawara” itu sama dengan perampok. Lebih jauh lagi, timbul ketegangan antara kelompok ulama-jawara dan kelompok jawara yang citranya dianggap buruk.
Tekanan-tekanan dan konflik yang berkepanjangan, yang melahirkan “tradisi berontak” itu, juga didukung oleh perbedaan watak atau karakter orang Banten dengan orang Priangan. Orang Banten merasa bahwa mereka memiliki budaya yang berbeda dari orang Priangan yang memang benar-benar orang Sunda. Ketika Mataram melakukan ekspansi ke daerah mancanegara Barat pada dekade ketiga abad ke-17, hanya wilayah Priangan yang berhasil ditaklukkan. Mula-mula daerah Priangan Timur yaitu Galuh jatuh ke Mataram pada tahun 1595, diikuti Sumedang Larang yang menyerah pada tahun 1620-an. Menyerahnya Sumedang Larang berarti jatuhnya seluruh wilayah Priangan ke tangan Mataram. Banten ternyata terlalu kuat untuk bisa ditaklukkan oleh Mataram.
Pengaruh kekuasaan Mataram terhadap Priangan, ternyata besar sekali, terutama dilihat dari segi budaya. Mula-mula bahasa Jawa dijadikan sebagai bahasa resmi dalam administrasi pemerintahan di Priangan. Setelah itu, peradaban Jawa secara perlahan namun pasti merasuki kehidupan kaum menak Priangan yang menjadi lapisan elite di kabupaten-kabupaten bentukan Mataram. Bahasa Sunda yang pada masa kerajaan Sunda, bersifat demokratis menjadi bersifat feodal, karena diperkenalkannya undak- usuk basa. Kesenian Jawa yang berasal dari istana Mataram dijadikan pula kesenian istana atau kabupaten di Priangan. Mulai dari jenis tarian, jenis-jenis tembang yang mengikuti pola tembang Jawa, hingga seni bangunan. Peradaban istana Jawa pun diadopsi oleh orang Priangan, meski tidak seluruhnya atau tidak sempurna. Dengan demikian dapat dibedakan bahwa dalam perkembangan selanjutnya terjadi perbedaan budaya antara orang Banten dengan orang Priangan. Orang Banten menjadi lebih egaliter bila dibandingkan dengan orang Priangan.
Selain perbedaan dari segi budaya, yang diakibatkan oleh perbedaan kondisi politik pada masa invasi Mataram ke mancanagara Kulon, ternyata Banten pun mendapat perlakuan yang berbeda dari pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan yang diperlakukan terhadap daerah Jawa dan Madura, selalu dikecualikan untuk daerah Priangan. Jadi, dalam hal ini, karena Banten dan Cirebon adalah suatu daerah di mana masih ada sisa kerajaan lama, diperlakukan berbeda. Perlakuan yang berbeda untuk daerah bekas kerajaan ini, diduga erat kaitannya dengan upaya pemerintah kolonial Belanda untuk mencegah bangkitnya kembali kerajaan lama.]
Sementara itu, kaum ulama yang sangat anti pemerintahan kolonial Belanda yang dianggap kafir, pada umumnya melarang anak-anak mereka untuk sekolah di sekolah Barat. Selain itu, mereka juga sangat tidak suka kepada para pegawai pribumi yang duduk dalam pemerintahan kolonial di kabupaten. Mereka ini dianggap sebagai “kaki-tangan kolonial Belanda”. Akibatnya, pemerintah kolonial Belanda mengangkat para pegawai pribumi yang berasal dari Priangan, karena mereka dianggap memenuhi syarat. Misalnya saja bupati Lebak dan Caringin, diambil dari Priangan. Tentu saja elite Banten merasa tidak senang diperintah oleh orang Priangan, meskipun dari kalangan mereka sendiri tidak cukup orang yang dianggap memenuhi syarat rekrutmen pemerintah kolonial Belanda (misalnya pendidikan, kemampuan berbahasa Belanda, dan lain-lain).
Kebencian orang Banten terhadap kaum birokrat pribumi (Priangan) ini tercermin dalam pemberontakan Komunis tahun 1926, di mana salah satu sasarannya adalah para pangreh praja di Banten. Bahkan salah satu penyebab terjadinya gerakan Ce Mamat pada tahun 1945, begitu Indonesia merdeka, yaitu karena kelompok radikal Ce Mamat merasa tidak setuju atas pengangkatan para bekas pangreh praja pemerintahan kolonial Belanda (dari Priangan) diangkat sebagai pejabat pemerintah Republik Indonesia. Padahal, pemerintahan Soekarno yang baru lahir itu memang kesulitan mencari orang untuk duduk dalam jabatan pemerintahan di Banten selain harus memakai orang-orang lama yang memang sudah berpengalaman. Rasa tidak suka terhadap orang Priangan hingga sekarang masih terasa, misalnya dalam Seminar Pembentukan Propinsi Banten di Jakarta pada tanggal 21 Maret 2000, di mana saya sendiri hadir sebagai pembicara, beberapa tokoh Banten pernah melontarkan kata-kata bahwa Banten sudah lama “dijajah” oleh Priangan, karena hingga sekarang banyak pejabat pemerintah di Banten berasal dari Priangan.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa orang Banten memang memiliki perbedaan budaya dengan orang Priangan, karena latar belakang historis yang cukup panjang. Akan tetapi, perbedaan ini semakin dipertajam dengan adanya rasa tidak senang terhadap orang Priangan yang dianggap diistimewakan oleh pemerintah kolonial Belanda.Sementara itu,pemerintah kolonial Belanda yang sangat sentralistis juga tidak terlalu peduli dengan masyarakat Banten.Mereka menganggap bahwa dengan menempatkan elite pribumi dari Priangan yang dianggap memenuhi syarat sebagai birokrat,maka hal itu sudah cukup.Mereka lupa bahwa kondisi internal Banten yang terbina melalui rangkaian konflik berkepanjangan,sejak berakhirnya kesultanan Banten menimbulkan kebencian terhadap elite pribumi yang berasal dari Priangan,yang dianggap sebagai kaki-tangan pemerintah pusat (pemerintah kolonial Belanda).
PENUTUP
Kesimpulan
Otonomi Dearah adalah Hak,wewenang,dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan.
Motivasi masyarakat Banten ingin membentuk provinsi sendiri,lebih mungkin sebagai akibat sentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat,sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah Pusat.Yang sangat dirasakan oleh masyarakat Banten adalah ketidakadilan Pusat terhadap Daerah.Para elite Banten mendapat jalan untuk “berontak”,ketika Reformasi terjadi pada tahun 1998.Untuk menjustifikasi usahanya,orang Banten mencari alasan historis dan kultural.Sementara orang di luar Banten,mengkaitkannya dengan tradisi berontak yang dimiliki orang Banten yang memang berwatak keras.
No comments:
Write komentarSilahkan isi komentar Anda disini